Harapan
bagi Jakarta
Sulastomo ; Koordinator Gerakan Jalan Lurus
|
SUARA KARYA, 19 September 2012
Jakarta adalah ibu kota negara Republik Indonesia. Wajar, kalau
diberlakukan secara khusus di depan hukum. Perundangan terkait pemilihan kepala
daerah (pilkada), berbeda dengan daerah lainnya. Diperlukan suara 50 persen
lebih satu untuk bisa keluar sebagai pemenang dalam pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta. Karena itulah, pilkada DKI sekarang ini berlangsung
dua putaran.
Kini, kita telah memasuki masa tenang, masa di
mana tidak boleh ada yang melakukan kampanye. Rakyat sebagai pemilih, sebagai
pemegang kedaulatan rakyat, akan menjadi hakim pada tanggal 20 September besok.
Apa pun pilihan rakyat, wajib ditaati oleh semua warga Jakarta. Dan, siapa pun
yang terpilih, harus kita dukung bersama, agar berhasil melaksanakan
janji-janjinya. Hanya dengan cara begitu, kita bisa menarik manfaat dari proses
demokrasi yang sesungguhnya.
Dapatkah nanti pilkada DKI berakhir seperti
itu? Pertanyaan ini harus kita jawab bersama. Meski sudah di era keterbukaan
yang luar biasa, peran para pemimpin akan sangat menentukan.
Dapatkah kedua calon gubernur-wakil gubernur
memberi contoh perilaku yang demokratis? Legowo kalau kalah dan besar hati
kalau menang. Meski kalah, bersedia mendukung sang pemenang agar berhasil
melaksanakan tugasnya. Meskipun menang, bersedia merangkul yang kalah untuk bekerja
bersama mengabdi rakyat Jakarta. Skenarionya tidak sulit. Sebab, telah banyak
diberikan contoh di negara demokrasi lainnya.
Akan sangat indah, meskipun belum diumumkan
secara resmi, apabila sudah diperhitungkan kalah, yang kalah memberikan selamat
pada yang menang. Sebaliknya, bagi yang menang, menyatakan kesediaannya untuk
merangkul yang kalah, tidak menepuk dada, yang hanya menimbulkan rasa dengki.
Olok-olok selama kampanye, yang bisa jadi sangat menyakitkan hati, harus
dikubur bersamaan dengan selesainya pilkada.
Kalau pilkada DKI bisa melahirkan kondisi
demokrasi seperti itu, insya Allah, akan merupakan pembelajaran yang sangat
berharga dalam mewujudkan budaya demokrasi di Indonesia. Sebab, budaya seperti
itu harus kita akui, terasa belum terbentuk. Budaya seperti itu di masyarakat
dikenal sebagai budaya pokoke. Pokoke menang dengan jalan apa pun. Sebuah
budaya yang sebenarnya lebih memanifestasikan budaya otoritarian. Sebab,
esensinya berarti tujuan menghalalkan cara.
Inilah harapan kita pada pilkada DKI. Jakarta
sebagai ibu kota negara sudah tentu merupakan jendela bagi orang asing untuk
melihat Indonesia. Kalau di Jakarta bisa terbentuk budaya demokrasi seperti
itu, insya Allah, akan memperkuat predikat Indonesia sebagai negara demokrasi
terbesar ketiga di dunia. Jangan sampai predikat itu hanya didukung oleh
besarnya jumlah penduduk, sementara secara kualitatif, proses demokrasi kita
sesungguhnya masih dalam tahapan "pseudo-demokrasi".
Dari luar tampak demokratis, sementara dari dalam, budaya otoritarian,
asal menang, tujuan menghalalkan cara, masih hidup di masyarakat kita. Siapa
pun yang terpilih, sepanjang prosesnya benar-benar demokratis, itulah yang
terbaik bagi kita. Ia wajib kita dukung untuk melaksanakan janji-janjinya agar
rakyat makin sejahtera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar