Golput
dalam Pilkada DKI
Abdullah Yazid ; Peneliti
International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
|
SUARA KARYA, 19 September 2012
Kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI putaran pertama
mengejutkan semua orang. Perhatian masyarakat terpusat pada sosok fenomenal
Jokowi. Euforia kemenangan pendukungnya, diiringi ekspektasi masyarakat Jakarta
terhadap perubahan lebih baik untuk penataan Jakarta ke depan.
Namun, hal yang tidak boleh dilupakan dalam pilkada itu adalah
besarnya angka golput, yakni 36,7 persen. Angka ini melampaui perolehan suara
Foke-Nara, dan mendekati perolehan Jokowi-Ahok. Ini adalah fakta pemilu dalam
konteks demokrasi. Rendahnya partisipasi masyarakat pemilih dari satu ke
pilkada lain di berbagai daerah, mengalami kenaikan signifikan. Siapa peduli,
dan (mau) bertanggungjawab?
Menyalahkan penyelenggara pemilu rasanya kurang tepat, dan tidak
pula menyelesaikan masalah. Menyalahkan pemerintah juga sudah (ter)biasa. Yang
kurang dilakukan sesungguhnya adalah mengevaluasi pemilu sebagai instrumen
demokrasi kerakyatan.
Sebagai pengejawantahan pemerintahan demokratis,
legislasi UU terkait pilkada terus mengalami penyesuaian; UU 32/2004 jo UU
12/2008 tentang pemerintahan daerah, UU 22/2007 direvisi menjadi UU 15/2011
tentang penyelenggara pemilu, yang terbaru UU 8/2012 tentang Pemilu, hingga UU
Pilkada yang masih terus digodok DPR. Pilkada DKI kemarin cukup menyedihkan
jika melihat golput semakin nyata menjadi ancaman demokrasi di Indonesia.
Sepertinya kita belum mengevaluasi lonjakan tajam golput pemilu sebelumnya.
Secara nasional, sejak era reformasi, jumlah masyarakat yang abstain atau
golput meningkat pesat, yakni 10,21 persen pada tahun 1999 menjadi 39,1 persen
di tahun 2009. Di Pemilu 2009, dari 171.265.442 pemilih, hanya 104.099.785
suara sah. Suara tidak sah sebesar 17.488.581. Pada Pilkada DKI 2012, KPU DKI
Jakarta menyebutkan DPT sebanyak 6.962.348 orang. Jika golput sebesar 36,7
persen berdasarkan rekapitulasi akhir KPUD, terdapat sekitar 2,5 juta orang
yang tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak suaranya. Pada Pilkada DKI 2007,
golput sebesar 34,59 persen. Ada kenaikan 2 persen lebih.
Di balik kemenangan Jokowi-Ahok, prosentase warga DKI yang apatis
terhadap pilkada tidak bisa dinafikan. Angka golput yang besar adalah cerminan
dan respon terhadap model demokrasi kita. Bila pilihan golput semakin besar
dari pemilu ke pemilu, tidak menguntungkan bagi bangsa kita.
Alasan golput beragam, tidak bisa meninggalkan pekerjaan, tidak
menggunakan hak pilih dengan benar karena mencoblos lebih dari satu, tidak
hadir karena tidak terdaftar, punya hak pilih tapi tidak mendapat surat
undangan memilih, dan alasan-alasan lain yang dapat dikategorikan sebagai
golput administratif.
Sisanya adalah golput apatis (pasif terhadap pemilu), dan golput
ideologis. Terutama golput ideologis, anggaplah para golput tersebut adalah
orang-orang idealis yang sebenarnya punya keinginan besar menjadikan
pemerintahan ini bisa terkelola dengan jujur sehingga rakyatnya dapat merasakan
pemerataan keadilan dan kesejahteraan.
Namun, usai pemilu, para golput
ideologis ini susah juga untuk menuntut sesuatu, sementara mereka sejak awal
sudah tidak percaya dengan para kandidat pemimpin, termasuk calon yang sudah terpilih.
Apalagi dalam konteks Jakarta sebagai sentrum pemerintahan, politik, dan
ekonomi Indonesia. Akses informasi dan pengetahuan, dan kecerdasan masyarakat
pemilih Jakarta tentu lebih tinggi daripada di daerah lain.
Meski demikian, golput tipologi ini pasti akan terus ada. Yang
dapat dilakukan sebenarnya adalah menekan rendahnya angka partisipasi publik
secara optimal dengan pendidikan politik yang baik pada generasi muda.
Diseminasi di kalangan muda dan masyarakat ini tidak boleh sporadis, tapi harus
sistematis, terkonsep, dan terukur. Evaluasi berkelanjutan dan kampanye urgensi
pemilu yang sehat, jujur, dan adil terus harus digalakkan. Inilah pilihan yang
paling kongkrit yang harus dijalankan.
Dalam pilkada sendiri pun, politik uang juga
akan tetap berlangsung. Tapi, itupun dapat diminimalisir dengan penguatan
kelembagaan negara seperti KPU dan Bawaslu. Pada Pilkada DKI kemarin, politik uang dan serangan fajar
disinyalir tetap terjadi, namun secara teori tidak kongruen dengan kemenangan
Jokowi-Ahok. Hampir tidak banyak terdengar aduan masyarakat tentang kecurangan
dan pelanggaran, kecuali pada daftar pemilih dan surat undangan memilih, yang
terjadi secara sporadis. Untuk ini, pengawasan pilkada yang diperankan Bawaslu
di pusat dan daerah, harus didukung bersama.
Angin segar pengoptimalisasian peran Bawaslu sedang berlangsung
dengan diberikannya kepercayaan Bawaslu untuk mengelola anggaran sendiri per
tahun ini. Selain berharap pengawasan pemilu dapat berlangsung efektif dan
sistemik, porsi "pencegahan" amat ditekankan di tubuh Bawaslu yang
baru saat ini. Kehadiran Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP)
menunjukkan, pemilu bersih berprinsip luber jurdil sedang menjadi aspek serius
untuk menciptakan rezim pemilu yang lebih baik dari sebelumnya.
Kita dapat memprediksi, potensi golput akan
berulang kembali dalam waktu dekat, yakni di 49 pilkada provinsi dan
kabupaten/kota se-Indonesia pada 2012-2013 di 26 provinsi. Belum lagi jumlah
pemungutan suara ulang (PSU) dan pemungutan putaran kedua yang bisa terus
berulang sesuai perkembangan di putaran pertama di semua pilkada di Indonesia.
Sudah saatnya golput dievaluasi dan direfleksikan secara serius.
Tidak boleh lagi kita membiarkan pemilu digagahi penguasa yang kurang
bertanggungjawab dan para calon yang hanya memikirkan perutnya sendiri.
Kepedulian kita sedang dipertaruhkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar