Tragedi Mei dan Pelajaran dari Atlanta
Endang Suryadinata ;
Peneliti Sejarah; Tinggal di
Jakarta
|
JAWA POS, 16 Mei
2016
MENCOBA menguak misteri Kerusuhan Mei 1998 memang
sulit. Ada sejumlah pihak yang justru menutupi tragedi yang merenggut lebih
dari 1.000 jiwa tersebut. Usaha menutupi tragedi yang berlangsung pada 13-15
Mei 1998 di Jakarta itu, di antaranya, tampak pada upaya lebih menonjolkan
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa yang juga terjadi dalam
peristiwa tersebut. Ironisnya, kekerasan seksual itu hanya disebut puluhan
dengan alasan sulit mendapatkan pengakuan.
Kenyataan tersebut tentu
sangat getir bagi para korban dan keluarganya. Penderitaan mereka hanya
dianggap sebagai angin lalu. Pemerintah, wakil rakyat, dan institusi hukum
atau militer yang seharusnya menegakkan keadilan bagi korban ternyata lebih
suka melindungi kepentingan pelaku atau dalang dari peristiwa itu. Impunitas
masih terjadi dalam tragedi ini.
Ujung-ujungnya, pemerintah dan aparatnya
lebih suka melupakan, mengaburkan, atau bahkan menganggap peristiwa itu tidak
ada. Alasannya tentu saja demi menjaga kepentingan pragmatis semata. Yakni,
kasus tersebut tidak memberikan keuntungan bila diungkap.
Amnesia
Kolektif
Para penguasa kita selama
ini sangat lihai dalam memanipulasi hal-hal yang terkait dengan sejarah masa
lalu bangsa ini. Berbagai cara ditempuh untuk melakukan gerakan yang membuat
terjadinya amnesia kolektif. Orang dibikin lupa akan masa lalu. Atau,
kalaupun ingat, ingatannya dibuat parsial atau tidak lengkap, demi melayani
kepentingan penguasa.
Akibatnya, sejarah masa
lalu kita, termasuk sejarah Tragedi Mei, juga bias dan lebih berpihak kepada
penguasa. Maka, bisa saja anak-anak di jenjang SD hingga SMA tidak tertarik
pada sejarah. Simak saja, buku yang paling sering ditarik dari peredaran
adalah buku sejarah. Itu artinya, tidak boleh ada sejarah versi lain, kecuali
sejarah yang keluar dari versi penguasa.
Dan, menurut versi
penguasa, tidak ada bukti-bukti yang mendukung Tragedi Mei. Meski, tim pencari
fakta telah merekomendasikan cukup banyak bukti. Pantas saja dokumen berikut
data-data asli dari tim gabungan pencari fakta yang diserahkan kepada
pemerintah telah hilang atau sengaja dihilangkan. Yang sekarang tersisa hanya
fotokopi dari dokumen tersebut.
Yang menjengkelkan, jasad
korban Tragedi Mei pun dikecilkan keberadaannya. Misalnya, dengan menyebut
potongan tubuh yang ditemukan hangus dalam peristiwa terbakarnya Plaza
Sentral Klender, Jakarta Timur, bukan orang, melainkan manekin. Padahal, jika
manekin, pasti meleleh dan tidak hangus karena terbuat dari plastik. Sungguh,
memang tidak ada keadilan bagi para korban.
Mengharap peran para
sejarawan dalam kasus ini juga akan sia-sia. Sebab, mereka pasti akan
berhadapan dengan kekuasaan dan berbagai kesulitan lain. Kesulitan itu bukan
disebabkan lemahnya perangkat ilmu sejarah, tapi lebih pada fakta bahwa
kejujuran ilmiah yang dimiliki para sejarawan belum tentu mampu diterima
beragam silang pendapat yang sudah kadung terpecah. Bukannya mencerahkan, apa
yang diungkapkan sejarawan justru bisa berpotensi menimbulkan jurang
perpecahan yang semakin dalam di masyarakat yang pada kenyataannya sering
dihinggapi mentalitas antisejarah dan antimasa lalu.
Jangankan sejarah yang
melibatkan orang-orang kecil seperti para korban Tragedi Mei, yang melibatkan
sosok proklamator kita, Bung Karno, pun, para sejarawan kita bisa ''diorder''
untuk tidak bersikap objektif. Misalnya, ada yang ganjil ketika buku Pejuang
dan Prajurit karya Nugroho Notosusanto terbit pada 1984. Wajah Soekarno tak
tampak dalam foto pengibaran Merah Putih pada 17 Agustus 1945. Hanya wajah
Bung Hatta yang terlihat. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menelepon
penerbit Sinar Harapan. Menurut dia, tindakan itu merupakan penggelapan
sejarah.
Upaya penggelapan semacam
itu masih terus terjadi hingga saat ini, apalagi yang melibatkan rakyat
jelata seperti para korban Tragedi 1965 atau Tragedi 1998. Akibatnya,
peristiwa seperti Tragedi Mei hingga sekarang masih mandek menjadi misteri
yang entah sampai kapan akan terungkap. Padahal, pengungkapan dan penegakan
hukum bagi pelaku Tragedi Mei sangat penting. Bukan hanya demi menegakkan
keadilan dan tanggung jawab negara bagi para korban, melainkan juga bagi
kepentingan bangsa di masa depan.
Pengungkapan bisa menguji
kematangan dan kedewasaan kita sebagai bangsa yang besar. Sebab, kebesaran
sebuah bangsa bisa diukur dari keberanian bangsa itu menatap masa lalunya. Di
Atlanta City, Georgia, Amerika Serikat, terdapat makam Martin Luther King Jr
dan museumnya. Di sana biasa diputar film-film bagaimana orang Afrika-Amerika
atau biasa disebut orang kulit hitam didiskriminasi atau disiksa oleh warga
kulit putih karena hukum segregasi yang diterapkan oleh negara. Keberadaan
makam atau museum itu hanya salah satu bukti betapa AS merupakan bangsa yang
tidak malu mengakui masa lalunya yang buruk demi kemajuannya di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar