Sabtu, 31 Januari 2015

Teologi Polri dan KPK

Teologi Polri dan KPK

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Wakil Ketua Muslimat NU Cabang Arab Saudi Hj Rufinah Madrais, misalnya, menyatakan kegundahannya atas perang antara KPK dan Polri itu. Berita tentang penetapan calon kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka pelaku korupsi oleh KPK, yang kemudian dibalas dengan penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka perekayasa keterangan palsu oleh Bareskrim Polri, telah menyentak perhatian publik.

Meski mungkin ada yang berpura-pura menyebut peristiwa itu sebagai dinamika, tak bisa dihindari sebenarnya banyak yang menyebut peristiwa tersebut sebagai perang antara KPK dan Polri. Ia menarik perhatian bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri, terutama di kalangan warga negara Indonesia. Ketika pada Sabtu dini hari pekan lalu (24/1) saya mendarat di Jeddah, dua aktivis Ansor NU di Arab Saudi, Maksum Jalal dan Nurkholis, yang menjemput saya di bandara juga menanyakan soal kisruh Polri vs KPK itu.

Begitu juga ketika ngobrol-ngobrol ringan saat bertemu dengan orang-orang Indonesia di Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjid Haram (Mekkah), yang paling banyak ditanyakan kepada saya adalah perang antara KPK dan Polri. Semua sedih dan prihatin karena pada saat kita sedang dituntut untuk serius memerangi korupsi ternyata terjadi perang antarkedua institusi penegak hukum itu sehingga memberi kesan kita tak serius memerangi korupsi.

Sebenarnya kalau kita melihat peristiwa itu secara jernih dan seimbang, kedua pihak mungkin sama-sama melakukan kekeliruan. Tapi tak terhindarkan yang muncul dalam opini publik adalah terjadinya upaya pelemahan terhadap KPK. Banyak yang kesal, mengapa Polri melakukan itu.

Orang kemudian tidak lagi menyebut Budi Gunawan sebagai oknum, melainkan menyebut Polri sebagai institusi. Tanpa sadar kemudian mulai timbul ketidaksukaan terhadap Polri. Itu yang membahayakan.

Menyebut Polri korup secara institusi apalagi sampai menimbulkan antipati dan kebencian di tengah-tengah masyarakat sangatlah tidak baik. Polri adalah lembaga penegak hukum yang keberadaannya disebutkan eksplisit di dalam konstitusi kita. Negara ini memerlukan Polri untuk mengawal upaya pencapaian tujuan-tujuan bernegara terutama untuk menjamin ketertiban, keamanan, dan ketenteraman di dalam masyarakat.

Karena itu polisi diberi monopoli oleh hukum untuk menggunakan senjata demi menjamin keamanan dan ketertiban. Harus kita akui, dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu Polri sebagai institusi secara umum sudah bekerja dengan baik. Kalau mau objektif, kita tak boleh memandang Polri hanya sebatas markas besar, apalagi hanya sebagian kecil oknumnya saja. Kita harus melihat masih banyak polisi yang baik dan penuh dedikasi.

Lihatlah kerja serius polisi sampai ke pelosok-pelosok kecamatan dan desa terpencil yang mampu memberi jaminan kepada rakyat untuk hidup tenang dan nyaman, aman dari berbagai ancaman. Bayangkan, betapa mengerikan seandainya Polri menyatakan berhenti bekerja atau mogok selama satu jam saja.

Tentu selama satu jam itu tidak ada penegak hukum yang bisa menjaga ketertiban di tempat-tempat umum, menangkap perampok, pembobol ATM, pemerkosa, pembuat kerusuhan, pembunuh sadis, penyelundup, dan pengedar narkoba sehingga bisa terjadi kehancuran di mana-mana.

Seumpama setelah satu jam Polri mengumumkan berhenti mogok dan siap aktif kembali, tentu semuanya sudah terlambat dan terlanjur hancur. Itulah sebabnya semarah apa pun kita terhadap oknumoknum di Polri, jangan sampai kebablasan merusak Polri sebagai institusi. Gerakan #Save-Polri yang sekarang muncul adalah sama dengan gerakan #SaveKPK yang sama-sama ingin memelihara kebaikan bagi negara kita.

Kalau soal oknum berperilaku korup itu adanya bukan hanya di Polri, tetapi juga ada di mana-mana, termasuk di berbagai LSM bahkan ormasormas keagamaan sekalipun. Karena sedang berceramah di Jeddah, saya sedikit menggunakan pendekatan teologis dengan mengatakan bahwa Polri adalah representasi negara dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.

Maka itu Polri tidak boleh didelegitimasi. Begitu pentingnya ketaatan terhadap pemerintah yang menyelenggarakan keamanan sehingga dari sudut agama Imam Nawawi pernah mengatakan, kita tidak boleh melakukan perlawanan terhadap pemerintah karena hal itu bisa menyengsarakan rakyat.

Maksudnya tentu bukan tidak boleh mengkritik atau mengontrol, melainkan tidak boleh mendelegitimasi aparat pemerintah yang melakukan tugas-tugas menyelenggarakan keamanan dan ketertiban. Dalam pada itu Ibn Taymiyah pernah mengatakan, ”Enam puluh tahun diperintah oleh pemerintah yang jelek adalah lebih baik daripada satu malam saja tidak ada pemerintah.”

Dalil Ibn Taymiyah ini pun tak dimaksudkan untuk menoleransi tampilnya pemerintahan yang korup. Kritik dan kontrol terhadap pemerintah atau aparat penegak hukum tetap dianjurkan, tetapi dalam batas jangan sampai menimbulkan chaos karena lumpuhnya pemerintah. Kita harus tetap tegas dan galak terhadap oknum-oknum yang korup, siapa pun mereka.

Tapi dalam konteks perang antar-dua lembaga penegak hukum ini kita juga harus selalu dalam posisi menyelamatkan dan menguatkan KPK dan Polri karena keduanya dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas pencapaian tujuan kita bernegara.

Partai dan Hukum Besi Oligarki

Partai dan Hukum Besi Oligarki

Firman Noor  ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pada awal abad kedua puluh muncul sebuah mahakarya dalam khazanah ilmu politik yang ditulis oleh seorang lulusan sejarah dan kemudian memfokuskan diri pada kajian sosiologi politik berjudul Zur Soziologie des Parteiwesens in der Modernen Demokratie, Untersuchungen über die oligarchischen Tendenzen des Gruppenlebens.

Dalam bahasa Inggris buku tersebut diterjemahkan menjadi On the Sociology of Political Partiesin Modern Democracy: a Study on Oligarchic Tendencies in Political Aggregations. Pengarangnya adalah Robert Michels, seorang pengajar dan sekaligus politikus mantan aktivis Partai Sosial Demokrat Jerman, yang kemudian keluar dari partainya dengan kekecewaan.

Hal utama yang menyebabkannya angkat kaki adalah kesebalannya yang membuncah akan sebuah kenyataan bahwa partai, yang menurut logika naifnya harusnya dikembangkan dengan berlandaskan aspirasi dan kepentingan kader dan para pendukungnya, dalam kenyataannya hanya diatur oleh segelintir orang. Di dalam partai tidak ada sebuah transaksi demokratis yang benar-benar menghitung suara akar rumput.

Aspirasi populis objektif pun kerap menjadi sulit untuk dikonversi menjadi kebijakan partai. Secara normatif partai memang dibentuk sebagai wadah setiap kader untuk berkiprah. Namun, dalam konteks riil politik, khususnya dalam soal power game , dunia partai adalah dunia kaum elite dengan watak otokratik.

Partai, bahkan yang mengaku sebagai sosialis demokrat sekalipun, baginya akan segera terjebak dalam sebuah pola organisasi oligarkis. Berdasarkan amatan Michels nyaris tidak ada satu partai pun yang tidak terhinggapi oleh penyakit yang bernuansakan elitisme ini. Di situlah kemudian dia dengan mantap mengatakan fenomena ini sebagai ”iron law” atau ”hukum besi”.

Oligarki Kekinian

Fenomena di atas tentu tidak mengecualikan Indonesia. Di negara ini beberapa partai bahkan telah dihinggapi oleh elitism yang akut, ditandai ketergantungan yang nyaris total pada figur. Titah figur-figur ini harus terjadi meski bisa jadi secara substansi tidak aspiratif dan bahkan menabrak aturan main.

Dalam nuansa ini tidak heran kalau kemudian berbagai peristiwa politik–baik di lingkungan partai maupun di luar partai, apakah yang berupa konflik ataupun konsensus–lebih ditentukan oleh kekuatan eksklusif dari balik layar yang berasal dari aspirasi para elite. Dus , pelibatan massa atau kader sejatinya hanyalah semu. Tak lebih dari sekadar penggembira dan pemberi legitimasi atas kehendak para elite itu.

Bulan-bulan belakangan ini kita disuguhkan oleh serentetan pagelaran politik yang demikian bising. Simak saja misalnya mulai dari terbentuknya koalisi menjelang pilpres, konflik internal partaipartai yakni Golkar dan PPP, kegagalan pembentukan alat kelengkapan Dewan (AKD) yang berlanjut pada terbentuknya ”DPR Tandingan”, penyusunan kabinet Presiden Jokowi, hingga yang teranyar perseteruan KPK versus Polri sebagai efek dari terpilihnya Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri menggantikan Jenderal Sutarman.

Semua itu sepintas tampak berasal dari penyebab yang berbeda-beda. Namun, secara umum jelas dapat dilihat dari perspektif hukum besi oligarki, di mana secara mendasar akar penyebab itu semua adalah (pertarungan) kepentingan para elite. Pembentukan koalisi apakah KIH dan KMP adalah kesepakatan para elite partai, khususnya di level ketua-ketua partai.

Pertarungan internal partai-partai adalah jelas pertarungan para elite, antara mereka yang tengah dan ingin terus berkuasa dan yang tak sabar lagi untuk berkuasa, dengan pernak-pernik seputar aturan main sebagai legitimasi untuk bertarung. Penyusunan kabinet dan segenap posisi penting dalam pemerintahan adalah hasil transaksi para elite atau bahkan para ”mahaelite” yang segera saja dapat dengan mudah menyingkirkan harapan dan aspirasi akar rumput, termasuk aspirasi mereka yang sebenarnya sudah berkeringat.

Sementara dalam soal pengangkatan sosok pimpinan Polri yang tidak populis, amat jelas mengesankan hasil sebuah keputusan elitis yang melibatkan segelintir orang saja. Di sini jangankan rakyat, kebanyakan kader partai hanya berperan sebagai penonton.

Mengapa?

Setidaknya ada lima hal yang menyebabkan hukum besi itu berlaku dan cenderung menguat. Pertama, partai memang ”milik” segelintir orang. Ini seiring dengan terus bergantungnya keberlangsungan hidup partai oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial. Studi Perludem (2011) mengindikasikan lemahnya kemandirian partai dalam mendapatkan dan mengelola keuangan.

Hal mana tentu saja membuka peluang para ”pemegang saham” yakni para elite untuk terus berkiprah lebih besar dan lebih menentukan. Kedua, ini ditambah dengan situasi lemahnya kaderisasi yang berimplikasi setidaknya pada dua hal.

(1) Ketidakjelasan jenjang karier atas dasar prestasi yang menyebabkan sirkulasi jabatan dan pimpinan atau elite lebih ditentukan oleh jaring-jaring kepentingan elite itu sendiri guna mengukuhkan basis oligarkinya. (2) Berkembangnya pendekatan pragmatisme, di mana ideologi partai tidak lagi dipahami dan idealisme bekerja untuk partai tersingkirkan, terutama oleh pengabdian kepada (kepentingan) elite yang jauh lebih menjanjikan.

Ketiga, mekanisme internal partai yang kerap memberikan porsi lebih kepada jajaran elite dalam menentukan hidup mati partai. Dalam labirin struktur yang oligarkis ini, elite partai bergerak nyaris tanpa kontrol. Kontrol yang terjadi adalah justru sesama elite yang bila tidak diakomodasi dengan cantik, berpotensi besar memunculkan konflik internal. Di sisi lain banyak hal penting yang diatur sepintas dalam AD/ART yang selebihnya diserahkan pada keputusan segelintir orang saja.

Semangat demokrasi pun kerap masih bersifat anjuran dan ada pada level tradisi, namun belum secara total dilembagakan. Keempat, aturan main yang belum seutuhnya menopang demokratisasi partai. Pengaturan keuangan partai yang diamanatkan oleh UU Partai Politik misalnya justru cenderung memberikan peluang bagi para kader yang juga pengusaha besar untuk mengukuhkan perannya dalam partai karena memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat menyumbang sejumlah uang tanpa batas.

Aturan main yang ada juga belum mampu memaksa partai-partai untuk membenahi kaderisasi yang dalam banyak aspeknya menjadi salah satu penyebab bagi munculnya budaya pragmatisme dan pengukuhan elitisme. Kelima, ”pasar” atau pemilih yang tidak kritis.

Seandainya ada korelasi antara partai yang oligarkis dan kegagalan dalam perolehan suara, tentu partai akan berlomba-lomba untuk mendemokratisasi diri. Namun, setidaknya hingga saat ini banyak partai yang terjerembab dalam lingkar elitisme dan oligarki justru berhasil baik dalam pemilu. Situasi ini tentu saja tidak memberikan stimulus bagi partai untuk memperbaiki diri.

Sebaliknya, kondisi ini amat melenakan partai-partai yang pada gilirannya mengokohkan bangunan oligarki partai. Situasi ini tentu saja bukan menjadi alasan kita untuk menguburkan partai-partai. Tugas kita sekarang justru mengembalikan jati diri partai dalam bentuk idealnya, sebagai penyambung kepentingan rakyat.

Kalaupun menghapuskan hukum besi tidaklah mudah, setidaknya kita harus tetap berusaha meminimalkan peluang tegaknya oligarki di antaranya mengatasi beberapa akar penyebab kemunculannya di atas. Bagaimanapun partai-partai adalah kebutuhan alamiah dari demokrasi yang bersama kita yakini.

Meruntuhkan Mitos “Orang Suci”

Meruntuhkan Mitos “Orang Suci”

Masdar Hilmy  ;  Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
KOMPAS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PERSETERUAN Komisi Pemberantasan Korupsi-Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam derajat tertentu, memiliki arti yang cukup signifikan bagi perkembangan dan pendewasaan hukum di negeri ini. Saya tidak melihat upaya ”pelemahan” KPK akan berdampak serius terhadap agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Betapapun kuat dugaan adanya pelemahan secara sistematis, KPK secara kelembagaan tidak boleh runtuh. Bagaimanapun, KPK adalah harapan dan benteng terakhir pemberantasan korupsi. Namun, begitu, ”pertarungan” di antara keduanya akan saling menguji: how clean can you go?

Tanpa berpretensi membela salah satu di antara keduanya, penegakan hukum secara imparsial harus tetap berjalan. Terpenting lagi, jangan ada pembelaan membabi buta. Jangan pula kita terjebak pada argumentum ad hominem, sikap menghakimi orang dengan menghindari substansi persoalan.

Jika pun semua unsur pimpinan KPK diperkarakan akibat tuduhan-tuduhan yang dipersangkakan, jangan ada desain penghancuran KPK secara kelembagaan. KPKi tidak boleh bubar dan agenda pemberantasan korupsi harus tetap jalan.

Regenerasi ”orang suci”

Mati satu, tumbuh seribu. Demikianlah harapan publik terhadap regenerasi ”orang-orang suci” di negeri ini. Indonesia harus menyediakan stok berlimpah bagi kemunculan orang-orang bersih dalam rangka mengisi pimpinan KPK yang beperkara.

Saya tidak percaya kita sudah kehabisan ”orang suci”. Habisnya ”orang suci” adalah mitos, bukan realitas. Orang boleh keluar-masuk, datang dan pergi silih berganti, dari dan ke KPK. Namun, KPK secara kelembagaan tidak pernah bisa dimusnahkan. Jika pun semua unsur pimpinan KPK ”dilucuti” oleh Polri, lembaga anti rasuah ini tidak boleh dibiarkan mati.

Oleh karena itu, pemihakan presiden terhadap KPK juga harus fair: berpihak bukan kepada orang per orang, tetapi secara kelembagaan. Setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum (equality before the law).

Presiden harus melindungi setiap lembaga negara, apa pun tugas dan fungsinya. Namun, presiden tidak boleh membiarkan KPK secara kelembagaan diobrak-abrik dengan tujuan memberangus agenda pemberantasan korupsi.

Harus diakui, memang ada perbedaan sikap di kalangan masyarakat terkait pembelaan terhadap KPK dan Polri. Pembelaan masyarakat kepada KPK—ketimbang Polri—adalah sebuah realitas tak terbantahkan. Realitas semacam ini harus menjadi cermin obyektif bagi Polri bahwa ada sesuatu yang salah terkait dengan kinerjanya.

Citra KPK yang positif di mata masyarakat tidak terbentuk sekali jadi. Ia merupakan akumulasi kinerja KPK yang terbukti performed menjalankan aksi-aksi pemberantasan korupsi. Penyelamatan aset negara sejumlah lebih dari Rp 153 triliun oleh KPK adalah fakta tak terbantahkan. Tidak ada lembaga penegak hukum di negeri ini yang memiliki rekam kinerja yang sebanding dengan KPK.

Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa dipersalahkan ketika mereka memiliki pencitraan yang buruk tentang Polri. Kenyataan semacam ini diperkuat oleh sejumlah survei bahwa Polri merupakan lembaga terkorup di negeri ini—selain parpol, DPR dan lembaga peradilan. Ada pekerjaan rumah yang begitu besar untuk menggerek citra Polri sejajar dengan KPK. Yang perlu direfleksi adalah mengapa citra Polri begitu buruk di mata masyarakat?

Selain itu, pemerkaraan para pemimpin KPK menjadi pelajaran bagi semua bahwa menjadi bagian dari KPK bukanlah persoalan kompetensi semata, melainkan juga persoalan integritas, moralitas, dan totalitas dalam menjaga marwah, kehormatan, dan harga diri.

Sebelum membersihkan orang lain, dia harus bersih terlebih dahulu. Analoginya, bagaimana mungkin sapu yang kotor dapat membersihkan lantai? Oleh karena itu, siapa pun yang hendak memasuki lembaga ini harus bersih luar-dalam, lahir-batin. Jika tidak, dia sebaiknya harus tahu diri.

Perseteruan ini juga penting dalam rangka menciptakan sikap saling menguji di antara keduanya. Mengikuti hukum Darwinian, hanya lembaga tebersihlah yang akan survive (the survival of the cleanest). Ada baiknya kedua lembaga dibiarkan berdialektika dalam rangka saling ”membentuk” dan mengoreksi dalam pengertian positif. Masing-masing terlibat dalam sebuah dialektika hukum yang hidup, saling menguji dan mengoreksi. Dalam kondisi demikian, ”standar kebersihan” di kalangan Polri akan naik dengan sendirinya, seiring dengan proses dialektika dimaksud.

Jika hukum Darwinian dipakai untuk mengevaluasi standar ”kebersihan”, Polri tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan lembaga kompetitornya, KPK. Polri harus memperketat diri ketika mengajukan nama calon pimpinannya. Tidak boleh asal comot, terlebih mengusung kepentingan tertentu.

Ketika ada unsur pimpinan yang diperkarakan KPK, jangan ada pembelaan membabi buta terhadap yang bersangkutan. Kenyataannya, pembelaan Polri terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan terkesan hanya mengedepankan semangat esprit de corps dalam rangka melindungi kepentingan sesama anggota, bukan semangat mengedepankan obyektivitas perkara.

Dialektika hukum di antara keduanya, pada gilirannya, akan membentuk ruang-ruang fastabiqul khairat (perlombaan dalam kebajikan). Mungkin ada baiknya otak kita tidak diokupasi oleh prakonsepsi tentang setiap lembaga yang bersifat menghakimi.

Pengasosiasian KPK sebagai ”cicak” dan Polri sebagai ”buaya” menyiratkan bias penghakiman tersebut, sekalipun faktanya memang demikian. Dalam hal ini, pertarungan Cicak vs Buaya dipersepsikan sebagai pertarungan antara yang baik (KPK) vs yang jahat (Polri).

Langkah alternatif

Menyikapi ”habisnya” pimpinan KPK, Presiden dapat mempertimbangkan salah satu dari ketiga langkah alternatif berikut ini. Pertama, Presiden segera mengambil langkah darurat untuk mengangkat Pelaksana tugas (Plt) yang diambilkan dari unsur internal KPK sendiri.

Kedua, Presiden segera mengganti semua unsur pimpinan KPK yang beperkara dengan merekrut pimpinan yang baru. Ketiga, membiarkan pimpinan KPK lowong hingga waktu pemilihan pimpinan baru tiba. Apa pun langkah yang diambil Presiden tidak akan berpengaruh terhadap kinerja KPK secara kelembagaan karena tiap-tiap divisi yang ada di dalamnya telah memiliki agenda dan programnya masing-masing.

Pendek kata, upaya meruntuhkan mitos ”orang suci” KPK—seharusnya—tidak akan berpengaruh terhadap kinerja lembaga itu jika yang bekerja adalah sistem, bukan orang per orang. Habisnya unsur pimpinan di KPK tidak berarti eksistensi lembaga ini habis.

Sejalan dengan itu, intervensi Presiden dalam perseteruan KPK-Polri tidak untuk menyelamatkan orang per orang, tetapi demi eksistensi kelembagaannya.

Pertaruhan Politik Jokowi

Pertaruhan Politik Jokowi

Syamsuddin Haris  ;  Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

MENGAPA Jokowi tidak kunjung hadir sebagai seorang presiden yang hanya tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat seperti janji sebelum pemilu? Mengapa Jokowi menjadi seorang peragu dan tak berdaya menghadapi konflik KPK dan Polri? Mengapa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diam saja?
Barangkali itulah beberapa di antara begitu banyak pertanyaan publik yang dilontarkan dalam beberapa hari terakhir. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahan obrolan dan diskusi di mana pun di seantero negeri, dari tingkat warung kopi kaki lima hingga kafe hotel bintang lima, dari pasar becek hingga pasar saham di lantai bursa. Kita semua ingin memperoleh kepastian, apakah Indonesia di bawah Jokowi semakin maju atau malah mundur. Para pelaku usaha, misalnya, ingin memastikan, apakah kemelut politik yang tengah bergolak di pusaran Istana akan berkepanjangan sehingga berimplikasi, bukan hanya pada masa depan bisnis dan investasi, melainkan juga kelangsungan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Ironisnya, jawaban yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung hadir. Ketika satu peristiwa belum sepenuhnya terungkap dan belum jelas duduk persoalannya, peristiwa lain sudah muncul. Itulah yang kita alami hari-hari ini. Ketika Presiden Jokowi mengajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kepala Polri dan belum sempat dibahas oleh Komisi III DPR, KPK menetapkan BG sebagai tersangka tindak pidana suap dan korupsi. Kompleksitas masalah bertambah tatkala DPR, kecuali Fraksi Demokrat, menyetujui penunjukan BG sebagai calon Kapolri. Dihadapkan pada meluasnya tuntutan publik agar Presiden mencabut kembali pencalonan BG, Jokowi akhirnya memilih untuk menunda pelantikan BG sebagai Kapolri.

Karut-marut persoalan semakin melebar ketika Bareskrim Polri, diduga tanpa sepengetahuan Komjen Badrodin Haiti selaku pemimpin sementara Polri, menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). Atas tekanan publik, BW yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan turut serta mengarahkan pemberian kesaksian palsu kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010 akhirnya ditangguhkan penahanannya. Belakangan, Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja, dilaporkan pula melakukan pelanggaran hukum di masa lalu.

Otoritas presiden

Presiden dalam skema presidensial pada dasarnya memiliki otoritas apa pun yang diperlukan untuk menyelamatkan bangsa selama masih berada dalam koridor konstitusi. Dalam keadaan kegentingan memaksa, misalnya, presiden memiliki instrumen peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika dianggap perlu mengeluarkan kebijakan strategis di saat persetujuan parlemen sulit diperoleh dalam jangka pendek.  Otoritas yang diberikan konstitusi itu memberikan ruang kepada presiden untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika kepentingan kolektif bangsa kita mengharuskannya demikian.

Oleh karena itu, jika terdapat indikasi kuat bahwa Polri melakukan kriminalisasi terhadap KPK, presiden atas nama kepentingan bangsa dan negara bisa memerintahkan pimpinan Polri untuk menghentikan penyidikan atas BW. Jajaran Polri adalah aparat penegak hukum yang berada di bawah kekuasaan eksekutif presiden sehingga perintah atau instruksi presiden kepada pimpinan Polri tidak dapat dikategorikan sebagai campur tangan atau intervensi dalam proses hukum.

Dalam konteks pencalonan Kapolri, jika pemberantasan korupsi menjadi agenda kolektif bangsa kita dan menjadi visi pemerintahan Jokowi, tidak ada pilihan lain bagi presiden selain menarik kembali pencalonan tersangka BG yang telah disetujui DPR. Seseorang dalam status tersangka tindak pidana khusus bukan saja tidak pantas, tetapi juga tidak memiliki dasar moral untuk menduduki suatu jabatan publik, apalagi menjadi orang nomor satu di institusi kepolisian negara.

Pelantikan pejabat publik yang berstatus tersangka tindak pidana suap dan korupsi adalah preseden buruk yang hampir pasti akan menghancurkan bangsa kita ke depan.

Tekanan politik Megawati?

Kita percaya, Presiden Jokowi sangat memahami soal-soal ini, termasuk otoritas politik besar yang dimilikinya selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan otoritas yang dimilikinya, Jokowi sebenarnya tak perlu membentuk tim independen yang terdiri atas sembilan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan karut-marut konflik baru antara KPK dan Polri. Namun, karena dihadapkan pada tekanan politik bertubi-tubi dan sulit dihindari dari lingkaran dalam lingkungan Istana, Jokowi membutuhkan ”tangan lain” untuk membenarkan pilihan-pilihan politik yang telah disiapkannya sendiri.

Lalu, dari mana dan kekuatan politik apa yang mampu menekan seorang presiden? Secara umum tekanan politik tentu saja berasal dari partai politik pengusung Jokowi. Namun, secara khusus tampaknya sulit bagi Jokowi untuk mengelak jika suatu usulan personalia calon pejabat publik berasal dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Jokowi bukan hanya dikenal sangat loyal kepada ”sang Ibu” yang memberikan kesempatan kepadanya menjadi calon presiden melalui partai banteng.

Dugaan ini didasarkan pada beberapa fakta. Pertama, Presiden Jokowi tetap mengajukan nama BG meskipun KPK sudah mengingatkan bahwa jenderal polisi berbintang tiga tersebut disinyalir memiliki rekening bermasalah. Kedua, tak lama setelah KPK menetapkan status tersangka bagi BG seusai diajukan oleh presiden ke DPR, jajaran PDI-P yang dimotori Hasto Kristiyanto, pelaksana tugas sekretaris jenderal, segera melakukan manuver politik dengan cara memojokkan Ketua KPK Abraham Samad terkait aktivitas lobi-lobi politik Samad saat Jokowi tengah mencari pasangan capres menjelang Pilpres 2014.

Ketiga, agak mengherankan bahwa jajaran PDI-P sebagai basis politik Jokowi cenderung bungkam dalam menyikapi tindak kriminalisasi terhadap BW khususnya dan KPK pada umumnya. Ada kesan kuat bahwa jajaran partai banteng meradang sehingga membiarkan Jokowi sendirian, baik dalam menyelesaikan konflik KPK versus Polri maupun terkait status BG yang ditunda pelantikannya sebagai calon Kapolri.

Pertaruhan politik

Sebagai parpol terbesar hasil Pemilu 2014 dan pengusung Jokowi, PDI-P semestinya turut mengawal pemerintahan Jokowi-Kalla dengan cara memastikan agar kepentingan bangsa berada di atas kepentingan partai dan golongan. Adalah suatu kekeliruan jika ada anggapan bahwa Jokowi menjadi presiden karena ”jasa” parpol atau tokoh tertentu. Jokowi bukanlah presiden bagi sekelompok parpol koalisi, atau presiden yang hanya berada di balik bayang-bayang kepentingan para ketua umum parpol pendukung.

Bagi Presiden Jokowi, pertaruhan politik yang dihadapi saat ini bukan semata-mata menyelesaikan konflik KPK-Polri, memastikan nasib BG, serta menghindari kriminalisasi satu institusi atas yang lain. Pertaruhan politik terbesar Jokowi adalah bagaimana ia bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Kepercayaan publik akan runtuh seketika jika Jokowi mengorbankan reputasinya demi loyalitas sempit kepada partai.

Oleh karena itu, sesuai janji sebelum pemilu, Jokowi harus menjadi presiden bagi Republik ini dengan hanya tunduk kepada konstitusi dan berdiri tegak lurus di atas kemauan rakyat.

Jokowi Akhir-Akhir Ini

Jokowi Akhir-Akhir Ini

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SEWAKTU  kampanye Pilpres 2014, Joko Widodo acap kali menyebut beberapa kata kunci tentang kabinet yang akan dibentuk jika terpilih sebagai presiden. Tiga kata kunci yang diucapkan adalah ”kerja”, ”ramping”, dan ”profesional”.

Kabinet ”kerja”, yang akhirnya menjadi nama resmi kabinet, merujuk pada kabinet yang dipimpin langsung Presiden Soekarno dengan Djoeanda Kartawidjaja sebagai menteri pertama. Kabinet Kerja yang dibentuk Juli 1959 itu tak menyertakan seorang politisi pun.

Kabinet ”ramping” terbukti cuma sekadar janji kampanye Jokowi yang belum ditepati. Begitu juga kabinet ”profesional” hanya ilusi belaka sekalipun ada sejumlah menteri yang boleh dianggap ahli di bidang-bidang tertentu.

Politisi di negara mana pun pasti menebar ”angin surga” saat kampanye. Namun, sering terbukti bahwa memenuhi janji kampanye tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Sewaktu kampanye kita membayangkan kabinet Jokowi pasti mau bekerja, mungkin jumlahnya 20-an saja, para menterinya dari kalangan profesional, dan kalau bisa politisi segelintir saja. Namun, kita saat itu juga sadar bahwa politik bukanlah hitungan matematika 2+2=4.

Kita sudah malas berdebat tentang seberapa ideal Kabinet Kerja dan jarum jam mustahil ditarik mundur. Mungkin sebaiknya kita bersandar pada prinsip bahwa menteri adalah sebuah jabatan politis yang orangnya dipilih bukan berdasarkan pada hak prerogatif presiden semata.

Tuntutan publik dan kebutuhan politik untuk membentuk kabinet yang lebih baik tentu ada. Sebab, kabinet pemerintahan sebelumnya amburadul, khususnya karena sejumlah kementerian dijadikan sapi perah pendanaan partai.

Jika ada pertanyaan apakah Jokowi benar-benar menggunakan hak prerogatif 100 persen dalam menentukan menteri-menterinya, jawabannya tidak.

Hak prerogatif dia tergerus karena dia harus menjalani kompromi politik yang pelik dan bertele-tele dengan tokoh-tokoh partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dengan kata lain, Jokowi sampai kini masih menghadapi konflik memperjuangkan hak prerogatif yang dikombinasikan dengan ”kompromi politik”.

Apakah ini akan mengganggu slogan ”kerja, kerja, kerja”? Rasanya tidak juga. Sebab, harus diakui bahwa dalam kurun waktu sekitar tiga bulan ini Kabinet Kerja telah menunjukkan sejumlah prestasi meski belum sesuai dengan harapan rakyat.

Seperti pernah saya tulis di rubrik ini, Kabinet Kerja, ibarat rapor, layak mendapat nilai tujuh. Jika bekerja konsisten dengan merujuk pada program Nawa Cita-Trisakti, nilai tersebut kelak akan naik ke angka delapan.

Prestasi yang setidaknya kita rasakan saat ini antara lain kepedulian pemerintah pada kedaulatan fisik kita yang telah lama tergerus, baik di darat, perairan, maupun udara. Pemerintah juga sedang berupaya menegakkan hukum dengan menolak grasi sekaligus mengeksekusi para bandar narkoba yang dihukum mati.

Dan, setidaknya kita kini menyadari betapa besar dan banyaknya masalah yang diwariskan rezim sebelumnya. Sungguh pekerjaan tidak mengenakkan ketika Anda harus mencuci piring dan gelas serta menyapu dan mengepel setelah pesta berakhir.

Ini awal baik yang layak dilanjutkan Kabinet Kerja dengan harapan dukungan rakyat tidak anjlok. Masa bulan madu telah berakhir dan Kabinet Kerja hendaknya tetap berani bekerja menghadapi berbagai tantangan di depan.

Keputusan serampangan

Namun, di tengah hiruk-pikuk pemilihan menteri serta pejabat tinggi tingkat direktur/ komisaris BUMN dua bulan terakhir ini, terdapat pola proses pengambilan keputusan yang erratic (serampangan). Itu tampak jelas dari seleksi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Dan, semakin terbukalah konflik internal KIH setelah kegagalan pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Kini, keserampangan tersebut meluber ke konflik antar-institusi, termasuk Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bukan lagi rahasia kesan serampangan itu muncul sejak pembentukan Tim Transisi. Dan, jangan terkejut jikalau keserampangan ini masih akan tetap berlangsung sampai JKW-JK melakukan perombakan kabinet dalam kurun waktu 6-12 bulan ke depan.

Apakah Jokowi terganggu dengan keserampangan tersebut? Jawabannya belum tentu. Sebab, dia memimpin pemerintahan baru berjalan sekitar tiga bulan, yang sarat kompromi politik, dan yang mungkin masih canggung beraksi di atas panggung.

Selain menghadapi tekanan internal dari KIH, pemerintahan yang baru seumur jagung ini juga masih harus menghadapi DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP). Kita berharap hubungan antara eksekutif dan legislatif semakin konstruktif—bukan destruktif—demi memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Semoga saja apa yang dihadapi Jokowi akhir-akhir ini hanya sekadar riak yang tak mengganggu tugasnya memimpin dan memerintah bangsa dan negara ini. Insya Allah!

Era Baru Industri Pertahanan

Era Baru Industri Pertahanan

Sjafrie Sjamsoeddin  ;  Wakil Menteri Pertahanan dan  Sekretaris KKIP (2010-2014)
KOMPAS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo ke PT PAL dan PT Pindad membuka mata publik tentang komitmen pemerintah untuk pengembangan industri pertahanan nasional. Untuk PT Pindad, misalnya, Presiden yang juga Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan mengatakan bahwa negara akan mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 700 miliar. PMN yang disampaikan Presiden tentu angin segar bagi industri pertahanan nasional. Ini bentuk kebijakan yang menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pengembangan industri strategis.

Pada awalnya industri pertahanan di dunia tumbuh sebagai government-created, protected and regulated industry, yakni industri yang diciptakan, diproteksi, dan diregulasi oleh pemerintah. Ciri-ciri umumnya tampak dari pasar yang bersifat monopsonistik, yakni pemerintah menjadi pembeli utama atau konsumen terbesar industri pertahanan suatu negara.

Secara universal, dimulai dari Eropa, sejak akhir 1980-an gencar desakan untuk membuka keran investasi bagi industri pertahanan terkait maraknya iklim keterbukaan, demokratisasi, dan desakan pembayar pajak untuk alokasi dana pemerintah bagi sektor publik lainnya.

Hasilnya bisa kita lihat dari kemunculan raksasa industri pertahanan dunia semacam BAE dari Inggris. Industri pertahanan di Amerika juga membuka diri masuknya pemodal lain untuk memperkuat lini bisnis dan memperluas pasar. Tren paling akhir adalah maraknya pelaku industri pertahanan dunia masuk ke Afrika dan Asia dengan melakukan aksi merger dan akuisisi.

Negara-negara yang industri pertahanannya telah mengalami ”metamorfosa investasi” umumnya melewati perjalanan panjang dan turbulensi yang tak mudah. Kita juga tidak bisa memberikan penilaian begitu saja bahwa model mereka yang paling tepat. Ada karakteristik di berbagai region dan negara yang melahirkan wajah investasi dan tren pertumbuhan usaha industri pertahanan yang berbeda. Di Indonesia, misalnya, hingga sekarang industri pertahanan bagian pokok atau strategis dari upaya pemerintah menegakkan kedaulatan dan keamanan negara.

Dewasa ini industri pertahanan nasional masih berpusar pada tahapan kemampuan produksi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peningkatan capacity building, penguasaan teknologi, hingga konsistensi mutu dan layanan kepada pengguna akhir di tiap-tiap matra masih jadi pekerjaan rumah utama. Wajar jika pemikiran yang berkembang masih linear, kepemilikan badan usaha yang memproduksi alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) oleh pemerintah merupakan keharusan. Demikian pula dengan investasi dan strategi pertumbuhan usahanya.

Walhasil, diskursus yang ada lebih bermuara pada opsi untuk membeli dari luar negeri atau memproduksi sendiri alpalhankam Indonesia. Itu sebabnya muncul desakan untuk adanya alih teknologi dan kewajiban offset bagi pembelian alpalhankam dari luar negeri sesuai amanat UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.

Dewasa ini tren dari industri pertahanan nasional menggandeng mitra strategis dari pelaku industri pertahanan global merupakan peneguhan spirit alih teknologi. Tren ini patut kita sambut baik karena implikasinya pada penghematan devisa, penciptaan lapangan kerja, maupun perwujudan amanah kemandirian industri pertahanan nasional.

Perusahaan induk

Menyimak kunjungan Presiden Joko Widodo ke PT Pindad, ada atensi strategis yang tersirat dari Presiden, yaitu menjadikan industri pertahanan mandiri dan bersaing di pasar luar negeri. Maknanya, membesarkan industri pertahanan nasional dengan jaringan birokrasi yang lebih sederhana dan praktis, tetapi solid dan tidak membebani regulator korporasi (Kementerian BUMN). Apalagi industri pertahanan punya spesifikasi yang homogen dan melibatkan pemangku kepentingan yang luas. Konkretnya, kita bisa merespons atensi strategis Presiden dengan penataan manajemen sekaligus membangun perusahaan induk (holding company) industri pertahanan nasional.

Diskusi pembentukan perusahaan induk di sektor industri lain bukan hal baru. Inpres No 5/2008 sudah mencanangkan perampingan atau upaya membuat jumlah dan skala usaha BUMN dalam komposisi yang tepat untuk industri semen, pupuk, perkebunan dan perbankan. Salah satu opsi perampingan—sesuai dengan cetak biru yang disusun pemerintah—adalah membentuk perusahaan induk. Sejatinya, pembentukan holding juga bisa jadi opsi pengembangan industri pertahanan, yang dapat berperan dalam pengelolaan dana pemerintah, skema investasi hingga strategi pertumbuhan usaha antar-industri pertahanan agar bisa lebih terintegrasi.

Peran Kementerian BUMN praktis hanya di tataran kebijakan yang bersifat makro, seperti perencanaan dan pengawasan korporasi. Adapun holding memainkan peranan strategis, yaitu perencanaan perusahaan secara keseluruhan, pengembangan usaha, pengelolaan keuangan, pengendalian anak perusahaan, menentukan arah pengembangan produk dan penelitian, serta sinergi pemasaran, khususnya untuk pasar luar negeri.

Indonesia dulu pernah memiliki holding BUMN pertahanan, PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS). Pemerintah membubarkan BPIS pada 2002 karena tidak efisien dan lebih kental nuansa birokratis daripada korporasi.  Sudah jamak diketahui para pelaku industri modern, suatu perusahaan induk akan kehilangan maknanya jika tak mampu memberikan benefit efisiensi dan integrasi aktivitas produksi serta keleluasaan pengambilan keputusan kepada anak perusahaan.

Kita serius menginginkan industri pertahanan nasional masa kini dan mendatang ditandai dengan era baru skala manajemen yang dikemas dalam perusahaan induk. Industri pertahanan sudah saatnya memasuki era baru dengan perusahaan induknya untuk menghapuskan inefisiensi dan disharmoni antarkomunitas industri pertahanan. Walhasil, negara akan mudah dan praktis dalam membuat perencanaan strategis, sekaligus memberikan benefitas  bagi sektor ekonomi dan pertahanan.