Subsidi Listrik Tepat Sasaran
Nengah Sudja ;
Dosen Pascasarjana Energi
Ekonomi UKI, Jakarta
|
KOMPAS, 24 Mei
2016
Seminar ”Subsidi
Listrik Tepat Sasaran” di Jakarta, 27 April 2016, diselenggarakan PLN bekerja
sama dengan Kompas. Dibuka Menteri ESDM Sudirman Said, seminar memberikan banyak
data dan informasi dari enam narasumber yang dihadirkan.
Berikut umpan balik penulis.
Pertama, perlu dipertanyakan, mengapa PLN masih terus sibuk dilibatkan dalam urusan
subsidi dan penetapan tarif tenaga listrik (TTL)? Urusan penetapan subsidi
(pajak), sepenuhnya merupakan tugas eksekutif dan legislatif, yang pada hakikatnya
merupakan ranah politik, terkait kesetaraan dan keadilan sosial.
MenurutUU
Ketenagalistrikan (UU Nomor 30/2009), Pasal 34 Ayat (1): ”Pemerintah sesuai
dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.” Oleh karena itu,
penetapan TTL adalah persoalan di sisi pemakaian, bukan urusan PLN yang tugasnya
di sisi pasokan.
Tugas PLN
Lalu, apa tugas PLN terkait
dengan subsidi? Tugas PLN menurut UU Nomor 30/2009, Pasal 4 Ayat (1):
”Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh pemerintah dan pemerintah
daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.”
Jadi jelas, PLN
sebagai badan usaha milik negara bertugas sebagai pelaksana usaha penyediaan
tenaga listrik, yakni di sisi pasokan. Cakupan tugas tersebut adalah
perencanaan, pembangunan, pengusahaan (operasi dan pemeliharaan), serta
pelayanan penyediaan tenaga listrik.
Untuk melaksanakan
tugasnya, PLN membuat perhitungan, mulai dari berapa besar kebutuhan listrik,
prasarana (pembangkit, jaringan transmisi, distribusi), kebutuhan dana serta
biaya untuk penyediaan pasokan listrik, sampai pada meter pengukuran
pemakaian setiap golongan konsumen.
Keterlibatan PLN dalam
kaitannya dengan penetapan TTL, termasuk subsidi, terbatas pada penyampaian
laporan kepada pemerintah terkait biaya pokok penyediaan (BPP), dengan
rinciaan kebutuhan dana yang diperlukan untuk setiap kegiatan. Jadi, murni
ranah teknis, bukan urusan politik. Jelas bahwa PLN tidak terlibat dalam
menetapkan TTL, apalagi subsidi. Perlu dicatat, tarif (harga) adalah biaya
dikurangi subsidi atau ditambah pajak. Tarif urusan pemerintah, BPP urusan
PLN sebagai pemasok.
Setelah pembagian
tugas wewenang antara penyusunan BPP dan penetapan TTL serta subsidi menjadi
jelas, diajukan pertanyaan kedua, apa masalah sasaran sudah tepat? Terlebih
dahulu patut diberikan pujian, arah kebijakan sudah berubah bukan lagi
berbentuk subsidi komoditas, tetapi subsidi hanya diberikan kepada golongan miskin.
Bagaimana mungkin bisa
dinyatakan sasaran sudah tepat kalau pada seminar ini hanya dibahas ekor,
hilir masalah, dan terbatas pada pemberian subsidi kepada golongan rumah
tangga R1, 450 VA, dan 900 VA saja? Terkesan bahwa seminar hanya untuk
menyatakan bahwa sasaran subsidi sudah tepat!
Sementara pangkal,
hulu masalah, besaran BPP yang merupakan tugas PLN menghitung besaran biaya
penyaluran setiap golongan tarif (rumah tangga, bisnis, sosial, industri) dengan
tingkat dan pola pemakaian tersendiri, tidak ditampilkan dan tidak bisa
disandingkan dengan hasil hilir perhitungan penetapan TTL oleh birokrasi
pemerintah.
Tampilan besaran biaya
(BPP) denganTTL untuk setiap golongan tarif diperlukan untuk mendapatkan
gambaran menyeluruh. Semisal, memperbandingkan antara tarif industri dantarif
rumah tangga. Dahulu, penerapan tarif industri yang lebih mahal dari rumah
tangga dan kebijakan subsidi silang mengurangi daya saing industri kita di
pasar global. Ini contoh sasaran tidak tepat.
Rumusan belum jelas
Selain itu, bagaimana
mungkin keadaan tepat sasaran dapat dipastikan sementara rumusan golongan
masyarakat miskin belum jelas? Mengingat banyak golongan tarif rumah tangga
R1 belum dapat digolongkan miskin.
Selain itu, perlu
pengujian apakah penetapan TTL sudah tepat sasaran untuk dapat menghasilkan
BPP yang mencerminkan full cost
recovery. Ini untuk memberikan pendapatan cukup bagi PLN sebagai pemasok,
untuk melaksanakan kewajiban pelayanan publiknya. Semisal, secepatnya
mengurangi derita pemadaman listrik di berbagai wilayah dan mendukung
pembangunan perluasan sistem ketenagalistrikan 35 GW2015-2019.
Perkembangan teknologi
dan dinamika politik membuat proses perencanaan bertambah rumit. Dalam upaya
pencapaian suatu kemajuan, pemerintah menganggap perlu menggelar kebijakan
khusus, memberikan penugasan tambahan kepada PLN.
Seperti pelaksanaan
kebijakan program Indonesia Terang, perlu Feed In Tariff, peningkatan jumlah
pasokan EBT, dan kebijakan mengurangi pemanasan global. Dengan demikian,
besaran dana untuk dapat merealisasikan pembangunan bertambah besar tanpa
mengganggu kesehatan keuangan PLN sesuai semangat UU BUMN Nomor 19 Tahun 2013
tentang BUMN: ”BUMN diberi penugasan khusus oleh pemerintah, apabila
penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah
harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan BUMN itu
termasuk margin yang diharapkan.”
Setiap kebijakan pasti
ada manfaat dan biayanya. Namun, masalahnya pembiayaannya dari mana? Siapa
yang harus bayar? Sudah waktunya dilakukan studi tarif listrik oleh pihak
ketiga, konsultan internasional berpengalaman untuk menghimpun pengetahuan lengkap
dan obyektif dalam penyusunan tarif urusan publik. Bukan seperti sekarang
hanya dengan pelibatan PLN, pemerintah, dan DPR saja, yang mengacu pada kepentingan
dan ego masing-masing sesuai tugas dan kewajiban yang diemban.
Studi tarif perlu
melibatkan partisipasi publik, terutama perguruan tinggi (PT). Ada kesempatan
bagus guna meningkatkan menerapkan Tri Dharma PT, terkait: 1. Pendidikan dan
Pengajaran 2. Penelitian dan Pengembangan 3. Pengabdian kepada Masyarakat.
Inilah wujud penyebaran, peningkatan, dan penguasaan ilmu pengetahuan
berkaitan dengan kepentingan publik, serta proses penyusunan kebijakan
publik. Demokrasi perlu transparansi, partisipasi publik, dan kebebasan
akademis. Dengan demikian, partisipasi dan praktik perguruan tinggi di bidang
energi dapat ditingkatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar