Selasa, 31 Mei 2016

Doktor Itu Beban

Doktor Itu Beban

Komaruddin Hidayat ;    Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                    KORAN SINDO, 27 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Secara formal-administratif, jenjang tertinggi sekolah itu ketika seseorang berhasil menamatkan prodi S-3 dengan meraih titel doktor. Jika dihitung dan dirunut dari bawah, pada umumnya untuk menamatkan pendidikan TK (taman kanak-kanak) diperlukan waktu 2 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, sarjana 4-5 tahun, S-2 atau master 2-3 tahun, S-3 atau doktor 4-5 tahun. Jadi seseorang kalau saja menyelesaikan studi sampai terminal akhir bisa menghabiskan usianya sekitar 20-22.

Itu belum berbicara kualitas karena sekarang ada juga institusi yang menjual gelar master atau doktor tanpa repot-repot duduk mengikuti kuliah, melakukan riset, dan menulis disertasi. Makanya ada beberapa kategori universitas. Ada yang sudah terkenal dan lolos dalam akreditasi lembaga internasional yang berwibawa, ada yang masuk kategori papan atas tingkat nasional dan sudah terakreditasi, ada juga yang sering disebut sebagai perguruan tinggi abal-abal sekalipun jumlah mahasiswanya di atas 20 ribuan.

Bagi saya, apa pun kualitas dan peringkat sebuah perguruan tinggi, kesemuanya layak diapresiasi. Semuanya ingin memajukan mahasiswa untuk menambah ilmu pengetahuan. Selagi mereka secara tulus dan serius ingin mengembangkan kualitas dirinya dengan ilmu, akhlak, dan keterampilan hidup, nantinya masyarakat yang menilai dan merasakan hasilnya.

Yang kita sedih dan sakit hati adalah jika titel formal kesarjanaan itu diraih secara tidak fair dan hanya untuk menaikkan gengsi. Itu sebuah penipuan kepada diri sendiri, masyarakat, dan negara. Mengapa negara? Karena banyak pegawai negeri yang kemudian mengambil program master ataupun doktor, tetapi dengan jalan pura-pura kuliah, yang penting memperoleh ijazah untuk mendongkrak kepangkatan dan gajinya.

Mereka jarang ikut kuliah dan membayar orang lain untuk menulis tugas makalah, tesis, dan disertasi. Yang demikian itu dosennya diduga kuat mengetahui, tetapi hanya mendiamkan saja. Yang penting membayar uang kuliah dan bimbingan. Syukur-syukur ada tambahan uang terima kasih atas statusnya sebagai pembimbing.

Saya sendiri ketika tamat menempuh pendidikan doktor tahun 1990 pada usia yang ke- 37 dari Middle East Technical University, Ankara, Turki, seketika muncul rasa malu dan gamang. Merasa berat dan malu dengan titel PhD yang saya miliki. Saya menulis disertasi tentang filsafat politik.

Saya sadar betul, ibarat hutan ilmu, banyak pohon besar ilmuwan yang saya kenal namanya dan karyanya, tetapi tidak sempat dan tidak sanggup saya membaca serta menyelaminya. Yang paling melegakan tentu saja saya bisa tamat dan menggenggam titel doktor, simbol terminal akhir bagi seorang mahasiswa setelah melalui perjuangan yang tidak ringan. Titel doktor bagi saya ibarat SIM bagi seorang pengemudi.

Titel doktor haruslah dimiliki seorang dosen sekalipun doktor bukan jaminan kualitas kecendekiaan seseorang. Disayangkan, masyarakat sering kali salah persepsi dan terlalu besar harapannya terhadap penyandang gelar doktor. Terlebih doktor alumni luar negeri. Doktor lalu diasosiasikan dengan jabatan dan kekayaan.

Padahal doktor itu lebih tepat diposisikan sebagai ilmuwan atau akademisi yang kiprah dan pendalaman intelektualnya justru dimulai setelah menamatkan pendidikan doktornya. Tapi kenyataan di lapangan sangat menyedihkan. Begitu seseorang selesai dengan studi doktornya, tuntutan ekonomi keluarga dan harapan masyarakat begitu tinggi.

Sebagai PNS, gaji doktor jauh di bawah standar kebutuhan untuk hidup layak, boro-boro hidup mewah. Makanya banyak doktor yang kemudian memilih jadi birokrat di lingkaran departemen pemerintahan atau mengajar di berbagai universitas semata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan biaya sekolah anak-anaknya.

Kalau sudah sibuk dengan tugas birokrasi atau mengajar secara rutin, praktis tidak sempat lagi membaca buku, riset atau menulis. Puncak ilmunya adalah sewaktu menulis disertasi. Setelah itu masuk fase antiklimaks. Teman-teman saya yang doktor sadar betul akan beban dan tuntutan terhadap mereka agar kerja produktif di bidang keilmuan.
Tapi fasilitas negara untuk melakukan riset amat sangat minim. Makanya sekalipun Indonesia memiliki banyak doktor, langit keilmuannya tetap rendah. Masih jadi bangsa konsumen ilmu asing, bukannya produsen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar