Doktor Itu Beban
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 27
Mei 2016
Secara
formal-administratif, jenjang tertinggi sekolah itu ketika seseorang berhasil
menamatkan prodi S-3 dengan meraih titel doktor. Jika dihitung dan dirunut
dari bawah, pada umumnya untuk menamatkan pendidikan TK (taman kanak-kanak)
diperlukan waktu 2 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, sarjana 4-5
tahun, S-2 atau master 2-3 tahun, S-3 atau doktor 4-5 tahun. Jadi seseorang
kalau saja menyelesaikan studi sampai terminal akhir bisa menghabiskan
usianya sekitar 20-22.
Itu belum berbicara
kualitas karena sekarang ada juga institusi yang menjual gelar master atau
doktor tanpa repot-repot duduk mengikuti kuliah, melakukan riset, dan menulis
disertasi. Makanya ada beberapa kategori universitas. Ada yang sudah terkenal
dan lolos dalam akreditasi lembaga internasional yang berwibawa, ada yang
masuk kategori papan atas tingkat nasional dan sudah terakreditasi, ada juga
yang sering disebut sebagai perguruan tinggi abal-abal sekalipun jumlah
mahasiswanya di atas 20 ribuan.
Bagi saya, apa pun
kualitas dan peringkat sebuah perguruan tinggi, kesemuanya layak diapresiasi.
Semuanya ingin memajukan mahasiswa untuk menambah ilmu pengetahuan. Selagi
mereka secara tulus dan serius ingin mengembangkan kualitas dirinya dengan
ilmu, akhlak, dan keterampilan hidup, nantinya masyarakat yang menilai dan
merasakan hasilnya.
Yang kita sedih dan
sakit hati adalah jika titel formal kesarjanaan itu diraih secara tidak fair
dan hanya untuk menaikkan gengsi. Itu sebuah penipuan kepada diri sendiri,
masyarakat, dan negara. Mengapa negara? Karena banyak pegawai negeri yang
kemudian mengambil program master ataupun doktor, tetapi dengan jalan
pura-pura kuliah, yang penting memperoleh ijazah untuk mendongkrak
kepangkatan dan gajinya.
Mereka jarang ikut
kuliah dan membayar orang lain untuk menulis tugas makalah, tesis, dan
disertasi. Yang demikian itu dosennya diduga kuat mengetahui, tetapi hanya
mendiamkan saja. Yang penting membayar uang kuliah dan bimbingan.
Syukur-syukur ada tambahan uang terima kasih atas statusnya sebagai pembimbing.
Saya sendiri ketika
tamat menempuh pendidikan doktor tahun 1990 pada usia yang ke- 37 dari Middle East Technical University,
Ankara, Turki, seketika muncul rasa malu dan gamang. Merasa berat dan malu
dengan titel PhD yang saya miliki. Saya menulis disertasi tentang filsafat
politik.
Saya sadar betul,
ibarat hutan ilmu, banyak pohon besar ilmuwan yang saya kenal namanya dan
karyanya, tetapi tidak sempat dan tidak sanggup saya membaca serta
menyelaminya. Yang paling melegakan tentu saja saya bisa tamat dan
menggenggam titel doktor, simbol terminal akhir bagi seorang mahasiswa
setelah melalui perjuangan yang tidak ringan. Titel doktor bagi saya ibarat
SIM bagi seorang pengemudi.
Titel doktor haruslah
dimiliki seorang dosen sekalipun doktor bukan jaminan kualitas kecendekiaan
seseorang. Disayangkan, masyarakat sering kali salah persepsi dan terlalu
besar harapannya terhadap penyandang gelar doktor. Terlebih doktor alumni
luar negeri. Doktor lalu diasosiasikan dengan jabatan dan kekayaan.
Padahal doktor itu
lebih tepat diposisikan sebagai ilmuwan atau akademisi yang kiprah dan
pendalaman intelektualnya justru dimulai setelah menamatkan pendidikan
doktornya. Tapi kenyataan di lapangan sangat menyedihkan. Begitu seseorang
selesai dengan studi doktornya, tuntutan ekonomi keluarga dan harapan
masyarakat begitu tinggi.
Sebagai PNS, gaji
doktor jauh di bawah standar kebutuhan untuk hidup layak, boro-boro hidup
mewah. Makanya banyak doktor yang kemudian memilih jadi birokrat di lingkaran
departemen pemerintahan atau mengajar di berbagai universitas semata untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan biaya sekolah anak-anaknya.
Kalau sudah sibuk
dengan tugas birokrasi atau mengajar secara rutin, praktis tidak sempat lagi
membaca buku, riset atau menulis. Puncak ilmunya adalah sewaktu menulis
disertasi. Setelah itu masuk fase antiklimaks. Teman-teman saya yang doktor
sadar betul akan beban dan tuntutan terhadap mereka agar kerja produktif di
bidang keilmuan.
Tapi fasilitas
negara untuk melakukan riset amat sangat minim. Makanya sekalipun Indonesia
memiliki banyak doktor, langit keilmuannya tetap rendah. Masih jadi bangsa
konsumen ilmu asing, bukannya produsen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar