Amnesti Pajak dan Anomali Pemerintah
Andreas Lako ; Guru Besar Akuntansi; Kepala LPPM Unika
Soegijapranata
|
KOMPAS, 28 Mei
2016
Bocornya dokumen
rahasia firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama atau biasa
disebut Panama Papers (Dokumen Panama) beberapa waktu lalu, mengguncang dunia
dan menimbulkan ketidakstabilan politik di sejumlah negara.
Dalam dokumen itu,
terdapat 2.961 nama individu dan korporasi dari Indonesia yang diduga turut
terlibat dalam aneka malapraktik skandal keuangan rahasia. Yang mengejutkan
adalah reaksi cepat pemerintah menanggapi bocornya dokumen tersebut. Hanya
sehari setelah skandal Dokumen Panama diberitakan secara luas oleh berbagai
media massa dan elektronik pada 5 April 2016, pemerintah langsung meresponsnya
dengan menyatakan bocornya dokumen itu merupakan pintu masuk untuk
mempercepat pembahasan RUU Pengampunan Pajak.
DPR didesak segera
menyelesaikan pembahasan RUU tersebut sebelum akhir April 2016 agar sejumlah
pihak yang selama ini memarkirkan dananya di luar negeri, bisa segera menarik
dananya kembali ke dalam negeri sehingga bisa menyehatkan APBN (Kompas,
6/4/2016).
Reaksi aneh tersebut
pun langsung disambut positif ketua DPR. Dalam rapat konsultasi antara
pemerintah dan pimpinan DPR pada 15 April 2016, Presiden Joko Widodo dan
ketua DPR telah bersepakat mempercepat pembahasan RUU tersebut. Presiden
Jokowi menyatakan bahwa percepatan tersebut dimaksudkan untuk memberi
keamanan dan kenyamanan kepada para pengusaha agar membawa uang kembali ke
Indonesia di luar negeri (Kompas, 16/4/2016).
Bahkan, pemerintah
telah menyiapkan payung hukum alternatif, yaitu menerbitkan peraturan
pemerintah tentang deklarasi pajak, jika pembahasan RUU di DPR meleset dari
target waktu yang diharapkan atau gagal (Kompas, 28/4/2016). Reaksi
pemerintah ini sungguh aneh karena berlawanan dengan reaksi keras yang
ditunjukkan sejumlah kepala negara dan pemimpin pemerintahan dari negara,
seperti AS, Perancis, Inggris, Belanda, Australia, Austria, dan lainnya.
Berbeda dengan respons
Pemerintah RI yang ingin memberikan amnesti pajak, sejumlah negara itu justru
bertekad segera menginvestigasi keterlibatan para individu dan korporasi dari
negaranya yang tertera dalam Dokumen Panama. Mereka akan memburu dan
menghukum penggelap pajak jika terbukti melakukan persekongkolan jahat dengan
Mossack Fonseca.
Pertanyaan krusialnya,
mengapa pemerintah justru bersikap seperti itu? Bukankah bocornya Dokumen
Panama seharusnya menjadi pintu masuk untuk mengusut tuntas sejauh mana
keterlibatan para individu dan korporasi Indonesia dalam berbagai malapraktik
penghindaran, penggelapan dan pembocoran pajak, pencucian uang, dan
penyembunyian aset di luar negeri? Mengapa pemerintah enggan membangun kerja
sama global untuk mengusut skandal itu?
Anomali
Dari perspektif
keuangan dan auditing, reaksi ambigu pemerintah terhadap bocornya Dokumen
Panama sungguh suatu anomali karena bertentangan dengan logika teoretis dan
praktik. Sikap pemerintah yang terkesan kuat mau ”melindungi dan mengampuni”
para pihak yang namanya tercantum dalam Dokumen Panama telah menimbulkan
banyak pertanyaan yang mencurigai dari rakyat Indonesia dan para pemimpin
dunia yang ingin skandal diusut tuntas.
Dikatakan anomali
karena bocornya dokumen itu seharusnya mendorong pemerintah dan DPR menunda
dan bahkan menghentikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Pemerintahan dan
DPR seharusnya bahu-membahu mengusut tuntas nama yang tertera dalam Dokumen
Panama. Selain itu, karena aneka malapraktik skandal Dokumen Panama sangat
sistematis, terstruktur, dan masif, presiden seharusnya langsung meresponsnya
dengan membentuk tim khusus untuk menginvestigasi. Presiden juga seharusnya
memanfaatkan momentum bocornya Dokumen Panama untuk membangun kolaborasi
global guna mengusut tuntas dan menghentikan aneka malapraktik skandal
keuangan rahasia internasional yang telah merugikan keuangan negara.
Kaji ulang
Pertanyaannya, mengapa
perlu dibentuk tim khusus untuk menginvestigasi? Jawabnya, karena bisa jadi
2.961 nama individu dan korporasi Indonesia yang tertera dalam Dokumen Panama
milik Mossack Fonseca hanyalah salah satunya saja. Sangat mungkin masih ada
puluhan ribu hingga ratusan ribu nama individu dan korporasi Indonesia yang
juga melakukan aneka malapraktik serupa bekerja sama dengan firma-firma hukum
internasional lain. Nilai malapraktiknya bisa saja lebih besar dibandingkan
Dokumen Panama.
Selain itu, bisa jadi
juga tidak semua nama yang tertera dalam Dokumen Panama melakukan kejahatan,
seperti dituduhkan banyak pihak. Namun, bisa juga sebaliknya, tidak semua
individu dan korporasi yang tertera dalam Dokumen Panama tidak melakukan
kejahatan keuangan dan pajak. Dari daftar nama yang tertera dalam Dokumen
Panama, saya mengategorikannya ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama
adalah para individu pebisnis dan korporasi yang memiliki relasi dan jaringan
bisnis di sejumlah negara. Untuk mempermudah kerja sama internasional dan
transaksi antarjaringan bisnisnya di sejumlah negara, kelompok ini meminta
jasa Mossack Fonseca mendirikan perusahaan cangkang di negara lain, termasuk
di negara-negara surga pajak. Secara bisnis, tindakan kelompok ini etis,
wajar, dan tidak melanggar hukum.
Kelompok kedua, para
individu dan korporasi yang mendirikan perusahaan cangkang untuk mengelola
dan mengoptimalkan nilai asetnya. Pertimbangannya, daripada menempatkan
portofolio asetnya di dalam negeri yang memiliki biaya bunga dan administrasi
serta pajak tinggi, mereka menempatkan asetnya pada perusahaan cangkang di
negara-negara surga pajak yang relatif stabil risikonya dan nyaman. Tindakan
kelompok ini juga etis dan tidak melanggar hukum.
Kelompok ketiga, para
individu dan korporasi yang mendirikan perusahaan cangkang di negara-negara
surga pajak untuk menyembunyikan aset dari hasil pencurian dan penipuan,
pencucian uang, korupsi dan penyogokan, penggelapan pajak, pembocoran pajak,
dan lainnya. Mereka umumnya pejabat dan mantan pejabat negara serta keluarga
dan kroninya, politikus, pegawai pemerintahan, pebisnis dan korporasi yang
berafiliasi dengan kepentingan politik, para pemilik dan petinggi perusahaan
penggelap pajak, dan lainnya.
Karena termasuk
tindakan kejahatan keuangan dan pajak maka penegakan dan sanksi hukum yang
berat layak diberikan kepada mereka. Mereka tak pantas mendapat amnesti
pajak. Semua aset hasil kejahatan mereka seharusnya juga disita negara.
Karena itu, Presiden
dan DPR sebaiknya mengkaji kembali upaya mempercepat pembahasan RUU
Pengampunan Pajak ataupun menerbitkan dokumen pajak untuk memberi amnesti
pajak kepada kelompok ketiga. Hal itu penting karena tindakan itu justru bisa
menjadi bumerang karena akan kian memperkuat dugaan masyarakat bahwa
pemerintah dan DPR telah berkonspirasi melindungi dan membela kepentingan
para pelaku kejahatan keuangan yang telah merugikan atau merampok keuangan
negara ribuan triliun rupiah.
Presiden sebaiknya
fokus mengusut tuntas skandal Dokumen Panama dan menghukum para pihak yang
terbukti melakukan kejahatan keuangan yang telah merugikan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar