Optimisme Ekonomi Indonesia
Tirta Segara ;
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi
Bank Indonesia
|
KORAN SINDO, 24
Mei 2016
Ada dua hal penting
yang patut kita catat dari keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG
BI) bulan Mei 2016. Pertama, di balik keputusan mempertahankan suku bunga
kebijakan BI Rate 6,75% dan BI 7-day Repo Rate sebesar 5,5%, BI juga
mengisyaratkan bahwa ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter yang selama ini
terbuka akan dapat dimanfaatkan lebih awal. Kedua, BI menyesuaikan angka
pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2016 ke kisaran 5,0- 5,4% secara
tahunan, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, 5,2-5,6% secara
tahunan.
Apa yang
melatarbelakangi keputusan bank sentral tersebut? Dan apakah kita masih bisa
optimistis pada ekonomi Indonesia saat ini? RDG BI, yang berlangsung selama
dua hari, membahas secara menyeluruh berbagai aspek yang terkait dengan
makroekonomi, moneter, dan stabilitas sistem keuangan, baik dari sisi global,
domestik, termasuk berbagai daerah di Indonesia.
Dari pembahasan selama
dua hari tersebut, BI menganalisis berbagai perkembangan yang terjadi, dan
berdasarkan hal tersebut, menempuh beberapa respons kebijakan. Di sisi
global, kita melihat, kondisi perekonomian dunia belum menunjukkan tanda
pemulihan signifikan. Isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) menjadi
perhatian banyak negara. Kekhawatiran pelaku pasar terhadap Brexit adalah
terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi Inggris dan Eropa lebih lanjut.
Kita juga masih
mencermati sikap dari Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) terkait dengan
rencana menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Fund Rate). Kondisi Jepang dan
China juga belum dapat diharapkan banyak untuk mendorong ekonomi global. Di
dalam negeri, perekonomian Indonesia belum tumbuh secara optimal. Pada
triwulan I-2016 lalu, ekonomi Indonesia tumbuh di bawah perkiraan.
Pertumbuhan pada
triwulan I-2016 mencapai 4,92% (yoy), disebabkan oleh masih terbatasnya
pertumbuhan konsumsi pemerintah dan investasi swasta, meskipun pemerintah
telah berupaya menggenjot pengeluaran belanja. Kalau kita lihat secara
kewilayahan RI, perlambatan ekonomi terjadihampirdiseluruhwilayah Indonesia.
Dalam Laporan Kajian
Ekonomi dan Keuangan Daerah (KEKDA) yang dikeluarkan BI, terlihat beberapa
provinsi yang memiliki kekuatan ekonomi sumber daya alam migas, seperti
Kalimantan Timur dan Papua, mengalami kontraksi ekonomi secara signifikan.
Berbagai kondisi tersebut memang dapat menimbulkan keraguan dan pesimisme
pada ekonomi Indonesia.
Kita mengetahui,
perekonomian yang tumbuh melambat dapat memiliki dampak lanjutan seperti
lingkaran yang terus berputar (vicious
circle). Lingkaran itu bekerja seperti ini, saat ekonomi melambat, muncul
risiko peningkatan jumlah non performing loan (NPL) perbankan dan perlambatan
tumbuhnya Dana Pihak Ketiga yang pada akhirnya menurunkan jumlah kredit.
Di sisi lain,
perlambatan ekonomi menjadikan permintaan masyarakat juga ikut turun.
Konsumsi turun dan permintaan kredit juga turun. Akibatnya, investasi ikut
melemah, yang pada gilirannya menjadikan pertumbuhan ekonomi melambat. Ini
adalah lingkaran yang terus berputar sehingga perlu diputuskan agar tidak
menimbulkan efek negatif pada perekonomian. Bagaimana memutusnya?
Upaya pemerintah
meningkatkan belanja modal, melakukan pembangunan infrastruktur, termasuk
mengeluarkan rangkaian Paket Kebijakan, adalah satu langkah yang perlu kita
apresiasi dan dukung bersama. Implementasi dan akselerasi paket kebijakan
pemerintah dapat mendukung perekonomian Indonesia dan diharapkan dalam jangka
menengah panjang berdampak positif.
Namun dalam jangka
pendek, upaya untuk memberikan semacam j ump start atau ”kejutan awal” pada
perekonomian, perlu juga dilakukan. BI memandang bahwa di tengah kondisi saat
ini, kita masih memiliki kekuatan berupa ketahanan dan stabilitas
makroekonomi yang semakin terjaga. Meski akan memasuki bulan Ramadan dan Hari
Raya, tingkat inflasi secara keseluruhan tahun 2016 diperkirakan terkendali
dalam kisaran sasaran 4% plus minus 1%.
Sementara itu, defisit
transaksi berjalan berada pada posisi yang membaik, didukung oleh nilai tukar
rupiah yang relatif stabil. Neraca perdagangan Indonesia pada April 2016
mencatat surplus sebesar USD0,67 miliar. Transaksi modal dan finansial pada
triwulan I 2016 juga surplus. Jumlah cadangan devisa RI juga berada pada
tingkat yang aman di angka USD107,7 miliar.
Berbagai indikator
makroekonomi tersebut menunjukkan stabilitas makroekonomi Indonesia tetap
terjaga. Dengan modal stabilitas tersebut, upaya untuk memberikan jump start
pada perekonomian tentu dapat dilakukan. Pertama, membangun optimisme
bersama. Optimisme ini sangat penting karena akan membangun ekspektasi
masyarakat. Kalangan pengusaha, pelaku pasar, hingga masyarakat yang
optimistis akan dapat memberi dorongan pada ekonomi dengan meningkatkan
investasi, produksi, dan konsumsi.
Kedua, upaya mengatasi
hambatan pembiayaan, baik dari sisi fiskal, pinjaman perbankan, maupun
likuiditas. Wacana pemberlakuan tax amnesty untuk mengatasi permasalahan
penerimaan pajak, perlu dicermati dan diputuskan dalam jangka yang tidak
terlalu lama. Ketiga , upaya BI untuk secara konsisten menjaga dan mendorong
momentum pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi ekonomi makro yang stabil.
BI telah melakukan
beberapa langkah pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan BI Rate
selama beberapa kali sejak Januari 2016. Melalui bauran kebijakan, BI juga
melakukan relaksasi di kebijakan makroprudensial dan menurunkan tingkat Giro
Wajib Minimum (GWM).
Ke depan, apabila
stabilitas makroekonomi tetap terjaga, BI akan memanfaatkan ruang pelonggaran
moneter yang semakin terbuka tersebut. Dengan tumbuhnya optimisme di
masyarakat, sinergi kebijakan fiskal dengan moneter, dan tentunya disiplin
serta konsistensi kebijakan, ekonomi Indonesia saya yakini dapat tumbuh lebih
baik. Kita harus tetap optimistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar