Pendidikan Seksualitas
Nurul Agustina ;
Koordinator Monitoring dan Evaluasi Rutgers
WPF Indonesia, lembaga yang fokus pada isu kesehatan remaja
|
KOMPAS, 26 Mei
2016
Tampaknya tidak
terlalu salah jika salah satu penanda keras tahun 2016 adalah kejahatan
seksual. Kasus pemerkosaan terus meningkat, menyedot perhatian sekaligus
kemarahan publik. Salah satu puncaknya adalah gang rape yang dilakukan 14
remaja laki-laki—sebagian masih di bawah umur—terhadap Yy, 14 tahun, dari
Bengkulu.
Belum habis kemarahan
ini, sudah muncul beberapa kasus berikutnya, termasuk pembunuhan yang diduga
bermotif asmara terhadap EP (19), pekerja sebuah pabrik di kawasan Tangerang,
yang dilakukan juga oleh remaja di bawah umur.
Lalu peristiwa yang
diberitakan di harian Kompas, Selasa, 17 Mei 2016, halaman 22, yang menimpa
remaja berusia 16 tahun berinisial S, siswi madrasah tsanawiyah di
Yogyakarta. S hamil karena perbuatan I (46), kepala sekolah (!) madrasah
aliyah di perguruan tempat S bersekolah. S adalah anak piatu yang dititipkan
ayahnya kepada asrama perguruan tersebut, sementara sang ayah tinggal di
Tegal.
Amat memprihatinkan
bahwa kasus pemerkosaan dan berbagai jenis kekerasan seksual lain di
Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut Catatan
Tahunan Komisi Nasional Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), jika pada 2012 jumlah kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan mencapai 216.156, pada 2013 menjadi 279.688, tahun 2014 menjadi
293.220 kasus, dan pada 2015 sudah lebih dari 320.000.
Sepanjang 2016 saja,
Komnas Perempuan sudah mencatat bahwa kasus kekerasan seksual naik menjadi
peringkat kedua dari keseluruhan kasus kekerasan yang dialami perempuan.
Bentuk kekerasan seksual tertinggi pada ranah personal adalah pemerkosaan
sebanyak 72 persen atau 2.399 kasus, pencabulan 18 persen atau 601 kasus, dan
pelecehan seksual 5 persen atau 166 kasus. Kekerasan seksual tidak sekadar
serangan fisik, tetapi juga pada mental dan emosi korban, serta seluruh
keluarganya.
Pelaku kekerasan
terhadap anak pada umumnya berasal dari lingkungan terdekat, seperti keluarga
teman sebaya, sekolah, dan komunitas sekitar. Sementara pengetahuan dan akses
terhadap layanan kesehatan terkait kekerasan amat minim.
Kasus Yy dan korban
lainnya mengingatkan kita magnitude persoalan yang sesungguhnya. Salah satu
data menunjukkan tingginya angka kekerasan seksual yang dialami anak dan
remaja (terutama perempuan) di Indonesia.
Pada 2014 saja,
diperkirakan, setidaknya ada 1,5 juta remaja yang mengalami kekerasan
seksual. Angka ini merupakan temuan dari survei Kementerian Sosial bekerja
sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, dengan dukungan
teknis Unicef Indonesia dan Center for
Disease Control and Prevention (CDC).
Survei berlangsung
Maret-April 2014. Jumlah sampel responden diambil secara acak dari 25
provinsi, 108 kabupaten, dan 125 kecamatan. Hasilnya 11.250 responden berusia
13-24 tahun. Metode survei adalah pendekatan rumah tangga melalui wawancara.
Margin of error 0,05 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Banyak bukti
menunjukkan bahwa kekerasan sebenarnya bisa dicegah. Ada kaitan erat antara
tingkat kekerasan dan berbagai faktor yang semestinya bisa ditanggulangi,
seperti terbentuknya kantong-kantong kemiskinan, ketimpangan jender dan
pendapatan, penggunaan alkohol dan zat adiktif, serta kualitas hubungan anak
dan orangtua yang buruk sehingga anak tidak mendapatkan dukungan emosi, rasa
aman, dan pengasuhan. Juga pendidikan seksual komprehensif, baik yang
berbasis sekolah maupun komunitas. Oleh karena itu, negara harus berdiri di
garis terdepan perlindungan korban dan upaya pencegahan, termasuk—yang amat
penting—mencegah seseorang menjadi pelaku (kekerasan seks).
Pendidikan seksualitas
Pertama-tama harus
diketahui bahwa pendidikan seksualitas bukan pendidikan yang mengajarkan cara
berhubungan seks, karena seksualitas berbeda dengan seks yang secara cepat
diartikan sebagai kelamin atau perkelaminan. Seksualitas didefinisikan
sebagai istilah komposit yang mengacu pada totalitas kedirian. Seksualitas
menunjukkan karakter manusia kita, bukan hanya tindakan seksual kita dan
memiliki implikasi tentang arti total sebagai pria atau wanita. Seksualitas
berkaitan dengan variabel biologis, psikologis, sosiologis, dan spiritual
dari kehidupan yang memengaruhi perkembangan kepribadian dan hubungan
interpersonal. Hal ini termasuk persepsi diri, harga diri, sejarah pribadi,
kepribadian, konsep cinta dan keintiman, citra tubuh, dan sebagainya (WHO,
2006).
Berangkat dari
definisi tersebut, pendidikan seksualitas pada prinsipnya adalah pendidikan
yang bertujuan agar seseorang mampu menghargai diri sendiri dan orang lain.
Pendidikan Seksualitas Komprehensif (Comprehensive Sexuality Education/CSE)
mengajarkan orang mengenal tak hanya tubuhnya dan proses-proses
reproduktifnya, tetapi juga emosi-emosinya dan sekaligus mengelolanya. Tidak
sebatas memahami fisik, tetapi memanfaatkan segenap fakultas intelektual dan
spiritual yang ada di balik wujud fisik. Tidak hanya menghormati kedaulatan
tubuh yang demikian sempurna dianugerahkan Tuhan kepadanya, tetapi juga
kedaulatan tubuh orang lain. Pendidikan seksualitas merupakan keterampilan
hidup yang dibutuhkan agar seorang anak-anak hingga dewasa muda—dari pra-TK
hingga usia 24 tahun—dapat hidup sehat jasmani dan rohani, dan mampu
mengembangkan potensi yang dianugerahkan kepadanya.
Seksualitas, dengan
demikian, bukan cuma soal tubuh biologis, melainkan juga ”tubuh sosial”.
Karena itu, CSE juga bicara mengenai kesetaraan dan hak remaja untuk
didengarkan. Mempelajari seksualitas tidak hanya merayakan tubuh, tetapi juga
kebebasan sebagai manusia, termasuk kebebasan dari segala jenis kekerasan
yang membahayakan jiwa.
CSE sudah lama
dikembangkan terutama di Eropa dan Amerika sejak akhir abad ke-19. Pada 1892,
misalnya, Asosiasi Pendidikan Nasional di Amerika mempromosikan pendidikan
seksualitas sebagai bagian penting dari kurikulum pendidikan nasional di
sana. CSE mendapat momentum menyusul epidemi HIV dan AIDS yang mendunia dalam
waktu relatif singkat. Menyebar dari Afrika sub-Sahara, Asia, hingga Amerika
Latin dan Karibia.
Sama seperti di sini,
CSE dulu ditanggapi dengan skeptis dan dianggap berkontribusi pada paparan
seks pada usia lebih muda. Namun, banyak penelitian lebih lanjut menunjukkan
hal sebaliknya. Fonner dkk (2014), misalnya, melakukan meta analisis terhadap
sejumlah penelitian yang mengaitkan pemberian materi seksualitas dengan
pengetahuan HIV, self- efficacy remaja, debut seksual, penggunaan kondom, dan
jumlah partner seks.
Fonner
mengklasifikasikan pendidikan seks menjadi tiga: yang hanya menekankan pada
masalah abstinensi, kemudian abstinensi yang disertai pemberian informasi
terbatas, dan CSE. Beberapa kesimpulan penting ditarik. Pertama, dari semua
penelitian yang disertakan, tidak ada satu pun yang menunjukkan bahwa
pendidikan seksualitas meningkatkan perilaku seksual berisiko. Kedua, CSE di
sekolah menjadi instrumen sangat penting untuk mencegah penularan HIV di
kalangan remaja. Ketiga, meski dinilai efektif, pendidikan seksualitas tidak
dapat berdiri sendiri. Ada elemen-elemen lain yang dibutuhkan untuk
melindungi remaja dari ancaman kekerasan seksual.
Efektivitas abstinensi
Kita ambil contoh
abstinensi, yang pada awal epidemi HIV sangat ditekankan, bahkan hingga hari
ini oleh kelompok-kelompok yang menentang pendidikan seksualitas kepada
remaja. Bukti-bukti menunjukkan bahwa abstinensi per se—yang memang menjadi
komponen penting pada banyak modul pendidikan seksualitas hingga hari
ini—tidaklah cukup.
Kasus S yang dihamili
gurunya menunjukkan relasi kuasa sangat berperan. Sebagai murid, piatu, dan
nyaris tidak memiliki dukungan psikososial dari keluarga, S adalah target
mudah gurunya yang notabene menentukan berhasil-tidaknya ia dalam pendidikan.
Bahkan, seandainya pun S memahami pentingnya prinsip abstinensi, belum tentu
ia mampu mengelak dari perbuatan I karena relasi kuasa yang timpang di antara
keduanya.
Memberikan CSE hanya
kepada siswa juga tidak cukup. Guru, kepala sekolah, serta orangtua melalui
Komite Sekolah juga harus mendapatkan penguatan dan klarifikasi nilai agar
mampu memberikan materi dan berdialog lebih lanjut dengan siswa.
Keingintahuan remaja mengenai diri dan problematika yang mereka alami dalam
masa tumbuh kembang yang tidak mudah sering mendorong mereka untuk mencari
jawaban ke sumber-sumber informasi terutama dari internet yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Akan lain ceritanya
jika orangtua dan guru mendapatkan pengetahuan yang sama. Sebuah riset pada
2015 menunjukkan bahwa remaja masih mengharap orangtua dan guru menjadi
sumber informasi pertama, dan sebagian besar remaja responden menyebut mereka
mengakses informasi dari komputer personal di rumah (Rutgers WPF Indonesia:
2015). Artinya, peran orangtua sentral dalam pemberian informasi yang benar
serta membentuk self-efficacy remaja. Dengan demikian, mereka memiliki
kemampuan menepis godaan terhadap hal-hal negatif, termasuk seks berisiko,
menghargai kedaulatan tubuh orang lain, dan tentu saja tidak menjadi pelaku
kekerasan.
Selain materi yang
komprehensif, CSE juga bertujuan menciptakan lingkungan yang aman dan
kondusif bagi siswa, baik di sekolah maupun komunitas. Karena itu, CSE
berbasis sekolah juga seharusnya melibatkan pimpinan tertinggi hingga staf di
jajaran paling bawah. Pendeknya, seluruh staf dan personel di sekolah
diharapkan memiliki tidak hanya pengetahuan, tetapi juga sikap yang mendukung
proses tumbuh kembang remaja secara sehat, termasuk dalam sikap yang tepat adalah
tidak menghakimi remaja ketika ia menunjukkan perilaku tertentu atau
mengalami hal yang secara normatif dianggap tidak sesuai.
Sebaliknya, seluruh
staf dan personel di sekolah juga wajib menemani remaja untuk mendapatkan
jalan keluar yang berpihak kepada kepentingan remaja. Dengan kata lain, CSE
tidak hanya urusan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas.
Di Indonesia, CSE
sudah diinisiasi sejak hampir 10 tahun lalu oleh beberapa organisasi lokal,
seperti Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Yayasan Pelita Ilmu
(YPI) di beberapa daerah, antara lain, DKI Jakarta, Jambi, Lampung,
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Papua. CSE dimulai dari pengenalan tubuh sendiri,
fungsi-fungsi reproduksi, penyakit menular seksual termasuk HIV dan AIDS,
jender, kekerasan yang sering timbul karena konstruksi jender yang diketahui
lebih banyak merugikan, hingga hubungan dan relasi personal yang seharusnya
dibangun di atas prinsip saling menghargai, bukan saling menyakiti.
Selain itu, tema
seperti penyalahgunaan narkoba dan alkohol (terutama untuk siswa di Papua)
juga diberikan. Modul CSE dikembangkan untuk siswa prasekolah hingga SMU.
Selain itu juga sudah dikembangkan modul untuk siswa berkebutuhan khusus,
dalam hal ini baru terbatas untuk siswa tunanetra dan tunarungu, serta anak
didik di lembaga pemasyarakatan khusus anak.
Sayangnya, evaluasi
yang sejauh ini dilakukan menunjukkan bahwa CSE di Indonesia baru sampai pada
tahap meningkatkan pengetahuan siswa, belum sampai pada perubahan perilaku
yang diperlukan untuk melindungi diri dan orang lain dari ancaman kekerasan.
Selain itu, CSE di Indonesia juga masih bersifat eksklusif. Dalam satu
sekolah baru sebagian kecil anak yang berkesempatan terpapar materi CSE, dan
beberapa guru yang mendapatkan penguatan dalam materi pendidikan seksualitas.
Ini tidak lepas dari minimnya dukungan baik dari kepala sekolah, komite
orangtua, maupun dinas dan kementerian pendidikan.
Angin segar mulai
berembus ketika Mendikbud Anies Baswedan bertemu sejumlah aktivis pendidikan seksualitas
pada 9 Mei lalu. Anies sepakat mengenai mendesaknya kurikulum pendidikan
seksualitas komprehensif, menimbang eskalasi kejahatan seksualitas yang luar
biasa belakangan ini. Kita tinggal menunggu realisasi dari keprihatinan
pemerintah saja: seberapa serius negara melindungi remaja dan perempuan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar