Rabu, 29 Oktober 2014

Mencegah Bancakan BUMN

Mencegah Bancakan BUMN

Ali Mutasowifin  ;  Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
KOMPAS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


PRESIDEN Joko Widodo telah dilantik dan kabinet baru pun telah dipilih.
Seperti telah diduga, di antara mereka yang diangkat terdapat banyak kalangan yang selama ini dianggap telah berkeringat menyokong sang Presiden dalam kontestasi pemilu presiden yang lalu. Menteri memang jabatan politis, dan Presiden biasanya memiliki preferensi tersendiri dengan mempertimbangkan kompetensi dan representasi.

Yang sering luput dari perhatian, tak lama setelah pemerintahan berganti, beragam jabatan yang bukan jabatan politis dan seharusnya hanya diisi dengan pertimbangan kompetensi juga ditransaksikan sebagai kompensasi terkait kontestasi politik. Salah satu yang lazim dijadikan ”hadiah” adalah jabatan komisaris badan usaha milik negara (BUMN).

Karena hadiah itu diberikan pemegang tampuk kuasa, sering kali BUMN tidak kuasa menolak. Ketidakmampuan BUMN menentukan langkah sesuai dengan kehendaknya sendiri pernah diakui mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Ia menyatakan bahwa BUMN saat ini belum merdeka sepenuhnya dari berbagai intervensi politik dan bisnis (Kompas, 18/8/2014).

Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi komisaris BUMN acap menjadi bancakan, didistribusikan kepada para pejabat, mereka yang dekat dengan kekuasaan, serta orang-orang yang dianggap berjasa dalam upaya meraih kekuasaan. Kompetensi barangkali hanyalah pertimbangan nomor kesekian.

Salah satu contoh masalah ini terungkap saat berlangsungnya pilpres beberapa waktu lampau. Pemimpin terbitan Obor Rakyat, tabloid yang banyak menulis fitnah kepada Joko Widodo, ternyata Komisaris PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN XIII), sebuah perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang kelapa sawit dan karet. Padahal, ia yang juga adalah Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah Velix Wanggai diketahui pernah dipecat dari sebuah perusahaan pers karena ”pelanggaran etika.” Sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung pun membantah pernah meluluskannya.

Memang, kasus Obor Rakyat itu membongkar fakta tentang buruknya praktik tata kelola perusahaan milik negara di Tanah Air. Aturan yang berlaku umum adalah ”siapa kenal siapa” atau ”siapa dibawa siapa”. Kasus PTPN XIII yang harus menerima orang yang tidak tepat di tempat yang tidak tepat tentu bukanlah kasus tunggal, bahkan tampaknya merupakan fenomena puncak gunung es terkait praktik yang lazim berlaku di perusahaan-perusahaan pelat merah.

Praktik yang juga lazim adalah kala pemerintah, sebagai pemegang saham mayoritas di BUMN, menempatkan para penggede negeri semisal wakil menteri atau pejabat eselon 1 menjadi komisaris di perusahaan-perusahaan milik negara. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat di lingkungan istana, termasuk juru bicara presiden dan para staf khusus presiden, tak luput juga memperoleh ”hadiah”, menjadi pengawas perusahaan-perusahaan pelat merah. Tentu, keuntungan finansial berlimpah juga mengikuti posisi itu.

Komisaris sibuk

Selain persoalan kompetensi, bancakan BUMN ini juga mencuatkan masalah lain, yakni fokus, konsentrasi, dan kesempatan para komisaris. Pertengahan tahun ini, misalnya, pemerintah mengangkat Wakil Menteri BUMN dan Direktur jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Bank Mandiri. Padahal, sebenarnya6 masa jabatan komisaris lama belum berakhir, bahkan ada yang baru akan berakhir tiga tahun kemudian. Seperti biasa, tak ada penjelasan yang memadai pun masuk akal untuk aksi korporasi yang tak biasa seperti ini.

Masalahnya, di tengah-tengah kewajiban menjalankan urusan pemerintahan sehari-hari yang pasti sangat padat, sulit membayangkan mereka masih memiliki cukup energi dan kesempatan untuk fokus memikirkan detail urusan perusahaan. Apalagi, sebagaimana kerap terjadi, terkadang seorang pejabat menjadi komisaris di beberapa perusahaan pelat merah sekaligus.

Pengalaman penulis beberapa kali mengikuti rapat umum pemegang saham (RUPS) BUMN yang telah masuk bursa, sering para pejabat tersebut absen hadir bahkan untuk acara RUPS yang hanya setahun sekali.

Praktik semacam ini tentu merugikan BUMN karena posisi komisaris bukan sekadar sarana guna membagi-bagikan gula-gula kekuasaan belaka, melainkan memiliki peran sangat vital bagi perkembangan bisnis korporasi. Kondisi ini pernah diingatkan Fich dan Shivdasani (2004) dalam penelitiannya Are Busy Boards Effective Monitors? Mereka menemukan bahwa perusahaan yang diawasi komisaris yang sibuk lebih sering membukukan rasio nilai pasar/nilai buku serta laba operasional yang lebih rendah. Mereka juga membuktikan bahwa komisaris yang sibuk biasanya berkaitan dengan tata kelola perusahaan yang lemah.

Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan bagus mewujudkan janji-janji kampanyenya dengan memutus kebiasaan buruk selama ini, dengan tak membagikan jabatan komisaris BUMN sebagai hadiah bagi mereka yang dianggap telah membantunya meraih kekuasaan. Itu karena, sesungguhnya yang paling berjasa mengantarkannya ke istana bukan mereka yang selama ini senantiasa mengiringinya, melainkan jutaan rakyat jelata yang mendambakan kesejahteraan.

Setelah Pemuda Bersumpah

Setelah Pemuda Bersumpah

Asep Salahudin  ;  Intelektual Muda NU;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
KOMPAS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


TERSEBUTALH dalam kalender sebuah hari yang dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Hari yang mengingatkan kita akan peristiwa 86 tahun silam ihwal ikrar yang digelorakan kaum muda tentang kesatuan bangsa, tanah air, dan bahasa.

Dhakidae (2001) menyebut Sumpah Pemuda sebagai Indonesian the holy trinity, tritunggal suci—bangsa, bahasa, tanah air.

Sumpah yang dalam konteks kebangsaan sungguh penuh rajah sebab sumpah itu di kemudian hari bertemali dengan peristiwa politik yang bikin Indonesia ”hamil tua”, kemerdekaan yang menjadi cita-cita bersama 17 tahun kemudian diproklamasikan Soekarno dan Hatta. Teks Sumpah Pemuda dan teks proklamasi menjadi saudara kembar yang dipertalikan oleh kesamaan visi keindonesiaan. Yang membedakan hanya pilihan diksi, Sumpah Pemuda lebih serupa puisi karena memang dibikin penyair soneta Mohammad Yamin, sementara proklamasi mendekat kepada gaya prosa.

Puisi Sumpah Pemuda mengilhami prosa proklamasi. Dari sumpah verbatim kemudian menjelma tindakan-tindakan politik praksis kaum pergerakan. Dalam telaah Sutardji Calzoum Bachri, ”Saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi karena selama ini teks Sumpah Pemuda itu melulu dilihat sebagai teks sosial politik. Padahal, teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan mantra.”

Di titik ini kita menjadi mafhum tentang kekuatan kata-kata, ihwal bagaimana puisi memberikan kontribusi terhadap nyawa bangsa. Dalam sajak Subagio Sastrowardoyo: asal mula adalah kata/jagat tersusun dari kata/di balik itu hanya/ruang kosong dan angin pagi. Mungkin. Kata menjadi rumah eksistensial takhta kemanusiaan sekaligus kebangsaan seperti kata Martin Haidegger the house of being. Dalam syarah Jean Paul Sartre, J’ai commence mau vie vomme je la finirai sans doute: au milie des livres.

Definisi keindonesiaan

Sumpah itu menarik dikenang bukan karena sekadar dirumuskan kaum muda, melainkan isinya menggambarkan tentang definisi Indonesia yang dibayangkan: bersatu dalam pengalaman kemajemukan. Bahwa keragaman bahasa, budaya, dan agama tidak cukup dijadikan alasan ber-mufaraqah, tetapi sudah semestinya menjadi modal sosial membangun bangsa yang bersatu dalam keragaman, ika dalam kebinekaan atau kita menyebutnya NKRI.

Sayang, selama pengalaman negara despotik Orde Baru, NKRI itu sering kali ditampilkan dalam wajah negara dengan narasi tunggal penguasa dus anti terhadap segala bentuk perbedaan. Semua harus diseragamkan dan tidak diperkenankan mengambil pilihan yang bertolak belakang dengan penguasa. Kata Hatta, ”persatuan” yang diam-diam menjadi ”persatean”.  Lebih tragis lagi negara memosisikan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan hal ihwal, termasuk menafsir secara ontologis apa yang dimaksud ”pemuda” itu.

Tersebutlah banyak peristiwa gelap yang berpusat pada kejadian-kejadian pelanggaran hak asasi manusia dan sampai hari ini belum tuntas penyelesaiannya secara hukum. Belum lagi korupsi yang nyaris berjemaah, penculikan dan kekerasan yang ”direstui” negara, baik secara fisik maupun simbolik.

Kata-kata kemudian kehilangan daulatnya, bahkan dipaksa dialihkan kepada senjata seiring dengan angkatan bersenjata yang menguasai semua lini kehidupan politik bangsa. Kata-kata yang penuh ”mantra” harus diberangus: buku yang dibakar, kitab yang dilarang beredar, risalah sastra yang haram disebar, bahkan kaum ilmuwan yang masih fasih berkata benar harus dibungkam.

Atas atmosfer jahiliah seperti ini ternyata tidak sedikit yang merindu untuk kembali ke alam kegelapan itu. Tragisnya datang dari sebagian kalangan yang mengaku cendekiawan, bahkan yang tempo hari ikut terlibat menumbangkan. Disahkannya UU Pilkada, diaraknya elite politik tak ubahnya pahlawan yang dahulu zaman kejayaan Orde Baru dijadikan musuh bersama, dan lain sebagainya.

Signifikasi Sumpah Pemuda

Justru di sinilah pentingnya Sumpah Pemuda itu dirayakan, sebagai interupsi ideologis atas segenap tata kelola negara yang bertentangan dengan akal sehat, menghinakan logika, dan bertubrukan dengan alam pikiran massa. Sumpah Pemuda harus terus digemakan justru ketika kesatuan bangsa terancam oleh banyak paham politik-keagamaan yang memiliki agenda tersendiri yang nyata-nyata menafikan eksistensi Pancasila dan UUD 1945.

Sumpah Pemuda mendapatkan tantangan manakala dalam proses berbangsa sampai hari ini, tanah air satu itu diam-diam bermetamorfosa menjadi ”tanah air mata”. Sementara bahasa Indonesia tidak pernah henti mengalami gempuran bahasa asing dan di sisi lain tidak pernah berhenti pula pemaknaannya dibajak oleh banyak kepentingan politik yang sesaat dan berjangka pendek.

Bahasa sebagai pemersatu yang disebut Sutan Takdir Alisjahbana sebagai salah satu mukjizat abad ini bergeser menjadi penuh epimisme dan kosakata yang menyesatkan disesuaikan dengan kepentingan kelompok.

Bahasa Indonesia yang dahulu disarankan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1916 sebagai bahasa pengajaran karena kelugasan dan kesigapannya sekarang kita seolah tak menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia sekadar untuk Bakrie Tower, Jokowi effect, koalisi permanent, Pondok Indah Mall, The Lavande Residence, Mall of Indonesia, swalayan Indomaret. Bahkan, banyak pejabat dan ”bangsawan pikir” yang seharusnya memberikan contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar sepertinya  belum sempurna berpidato kecuali di sana-sini ditaburi ungkapan istilah asing.

Signifikasi perayaan juga terletak ketika sekarang pada babakan reformasi sebagai antitesa orde sebelumnya justru serba terbalik dalam berbagai hal, termasuk mengalami surplus kata-kata dan defisit makna. Setelah 17 tahun Orde Reformasi itu berlangsung, yang tersisa adalah parade pidato yang isinya tak berisi, berebut mikrofon sekadar untuk menyampaikan teriakan yang tak lebih isinya sumpah serapah kepada mereka yang tak sehaluan.

Pada awal abad ke-21, mengingat Sumpah Pemuda teringat pada apa yang pernah dibilang La Tse, sang filsuf dari dataran Tiongkok, ”Untuk memperbaiki negara, hal pertama yang harus dilakukan adalah terjaga dalam kata!”

Dalam konteks kepemimpinan baru di bawah nakhoda Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah saatnya tidak terlampau banyak bicara, apalagi memburu citra, tetapi selekasnya bekerja. Program unggulan yang meliputi kepastian kehadiran negara sebagai pelindung, pelayan, mewujudkan kemandirian, memperteguh kebinekaan, meningkatkan kualitas dan produktivitas rakyat, membangun dari pinggiran, revolusi mental, serta mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim dapat lekas terwujudkan.

Dengan demikian, ”Indonesia Hebat” bukan sekadar mimpi.

Sumpah Bersejarah

Sumpah Bersejarah

Yonky Karman  ;  Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya punya formulasi resolusi yang lebih elegan),” demikian bisik Mr Mohammad Yamin kepada Soegondo Djojopoespito, pemimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, di Jakarta, sambil menyodorkan secarik kertas. Saat itu, Mr Soenario Sastrowardoyo, penasihat panitia kongres, sedang berpidato pada sesi akhir. Soegondo membubuhkan paraf setuju untuk rumusan elegan resolusi kongres, diikuti peserta kongres lain.

Sebelum resolusi dibacakan, untuk kali pertama diperdengarkan alunan ”Indonesia Raya” tanpa syair, dari gesekan biola komponisnya, Wage Rudolf Soepratman. Di rumah milik Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya, Jakarta, di situ insan Indonesia berusia 20-an tahun yang mewakili puluhan organisasi kepemudaan bersumpah ”Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia.” Sumpah itu kemudian menjadi bagian dari ingatan bangsa, sebuah tonggak sejarah nasional.

Sumpah berbangsa

Deaktivasi identitas lama yang berdasarkan pengelompokan demi sebuah identitas baru (bangsa) yang melampaui semua kelompok. Nasion (Latin: nasci, ’kelahiran’) adalah entitas politik baru hasil suatu keputusan kolektif yang rasional. Maka, bangsa bisa ada sebelum negara dan kesadaran berbangsa mendahului kesadaran bernegara. Proses berbangsa sekat-sekat kelompok. Identitas kelompok tetap ada, sebuah keniscayaan bagi Bhinneka Tunggal Ika, tetapi kepentingan bangsa di atas segala-galanya.

Ada banyak pemuda Indonesia sebelum Sumpah Pemuda, tetapi sejarah nasional tidak berubah. Mereka hanya sebagai generasi seusia (coevals) dan generasi penerus, tetapi bukan generasi penentu. Kehadiran generasi penentu tidak hanya membuat ada yang berubah dalam sejarah, tetapi sejarah itu sendiri berubah.

Perubahan sejarah terjadi bukan karena peran generasi seusia semata, apakah itu generasi muda atau generasi tua, melainkan interaksi di antara keduanya sebagai generasi semasa (contemporaries). Demikian pembedaan kategori generasi dari JosÉ Ortega Y Gasset (1883-1955), filsuf Spanyol. Soekarno pernah berdiskusi di Gedung Sumpah Pemuda. Anggota panitia kongres, seperti Soenario, Johannes Leimena, Mohammad Yamin, dan Amir Sjarifudin, kemudian menjadi menteri Republik Indonesia. RCL Senduk, ahli bedah, kemudian ikut membentuk Palang Merah Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan terjadi bukan hanya karena peran mereka, melainkan juga peran aktif generasi muda, seperti Soekarni dan Wikana, dalam interaksi dengan generasi Soekarno yang berusia 40-an tahun.

Sumpah kepada bangsa

Untuk Indonesia, Oktober ini bulan sumpah. Sumpah para anggota DPR, sumpah presiden baru dan wakilnya, Sumpah Pemuda. Dua sumpah pertama berlangsung di gedung megah, diikrarkan demi Allah, dihadiri para tamu istimewa, menelan biaya sangat mahal. Mereka bersumpah kepada bangsa. Namun, sumpah tersebut biasanya tak dikenang lagi sebab akhirnya itu hanya bagian dari rutinitas kenegaraan. Dilupakannya sumpah tersebut juga karena kehilangan tuahnya. Sumpah itu jadi tak bertuah karena mereka yang bersumpah lebih takut kepada sanksi ketua partai daripada sanksi Tuhan. Mereka lebih tunduk pada kehendak koalisi partai daripada kehendak rakyat. Mereka memberhalakan kekuasaan. Mereka tak peduli bangsa sedang berjalan mundur.

Sebagai bangsa terbesar keempat di dunia, prestasi olahraga Indonesia di tingkat Asia kini malah pada urutan ke-17. Selalu ada korelasi positif antara prestasi olahraga suatu bangsa dan tingkat kemajuan ekonominya. Dengan kekuatan ekonomi yang bertumpu pada sektor konsumsi dan ekspor bahan mentah, imbas langsung pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah peningkatan kesejahteraan rakyat, ketersediaan lapangan kerja, dan pemuliaan martabat bangsa.

Sejarah Indonesia tidak akan berubah hanya dengan rentang usia anggota DPR 25-75 tahun atau sebagian besar anggotanya diisi wajah baru atau presiden yang belum 60 tahun. Namun, perubahan akan datang apabila sumpah jabatan itu dibayar dengan ketulusan untuk mengabdi bagi kepentingan bangsa. Mereka yang bersumpah mau jadi generasi penentu yang memutus kejumudan bangsa. Sekarang saja sudah ada tokoh reformasi mengambil bagian dalam kemunduran demokrasi. Elite politik memilih jadi pemain demokrasi dengan rakyat sebagai penonton. Dulu, para pemuda yang sebagian besar bukan politisi bersumpah untuk berbangsa. Kini, politisi yang bersumpah kepada bangsa malah berebut jabatan.

Jargon ”Merah Putih” dan ”Indonesia Hebat” hanya melestarikan keterbelahan politik sekaligus merendahkan kebangsaan. Kalau urusannya perebutan kursi kepemimpinan, mengapa tak sebut saja Koalisi A dan B? Masa depan bangsa tergantung dari pemimpin dan wakil rakyat yang konsekuen dengan sumpahnya, dalam satu tarikan napas Sumpah Pemuda.

Untuk Indonesia Raya

Daerah membentuk kerajaan tersendiri. Pulau dijual kepada swasta. Sebagian besar anggaran belanjanya untuk mengongkosi kemewahan eksekutif dan legislatif daerah. Pusat seperti tanpa otoritas atas daerah karena miskin keteladanan praktik dan moralitas politik. Kelemahan kontrol pusat ini dimanfaatkan penguasa dan pengusaha korup untuk mengeruk kekayaan negeri di daerah.

Saat berpidato di depan seratusan ribu orang yang hadir dalam Konser Salam Dua Jari, di Gelora Bung Karno, 5 Juli 2014, Joko Widodo berkata, ”Saudara-saudara semua adalah pembuat sejarah, dan sejarah baru sedang kita buat.” Rakyat sudah menorehkan sejarah baru dengan terpilihnya para wakil rakyat dan presiden rakyat. Kini mereka harus membuktikan diri sebagai wakil rakyat sejati (bukan wakil partai semata) dan presiden rakyat (bukan presiden koalisi). Partai pendukung presiden perlu mengambil jarak dan tak memaksakan kepentingan. Merekalah yang pertama akan mengkritisi kebijakan presiden untuk melindunginya dari serangan lawan politik. Baik bagi partai belum tentu baik untuk bangsa. Tetapi, baik bagi bangsa tentu baik bagi partai yang memang berjuang untuk rakyat.

Salah urus negara harus diakhiri. Pemimpin yang baik dan benar harus didukung untuk menakhodai perjalanan bangsa lima tahun ke depan. Hari-hari ke depan, kita akan melihat apakah kerja politik mereka yang mengangkat sumpah jabatan tersebut mampu melampaui kesempitan partai dan koalisi. Apabila politisi di parlemen masih memakai bahasa koalisi, kapasitas politik presiden seyogianya melampaui gramatika koalisi. Presiden adalah pemimpin bangsa, termasuk semua anggota di DPR dan MPR. Nurani mereka hanya bisa dimenangkan dengan kepemimpinan presiden yang baik, bersih, dan tulus untuk kepentingan bangsa. Kepemimpinan seperti itu pasti didukung penuh oleh rakyat. Pimpinlah orkes simfoni ”Indonesia Raya” yang syair bait ketiganya berbunyi ”S’lamatlah rajatnja. S’lamatlah poet’ranja. Poelaonja, laoetnja, semoea. Majoelah neg’rinja. Majoelah Pandoenja. Oentoek Indonesia Raja.”

Babak Baru Ebola

Babak Baru Ebola

Tjandra Yoga Aditama  ;  Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
KOMPAS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KITA sudah hampir setahun bersama wabah ebola. Kini ebola di dunia memasuki babak baru dalam penanggulangannya: sebagian menunjukkan keberhasilan dan sebagian masih menunjukkan kegagalan. Salah satu keberhasilan penanggulangan ebola adalah perhatian dunia pada ebola terus meningkat. Seluruh dunia memberikan perhatian penuh pada ebola yang jumlah kasusnya sampai akhir Oktober 2014 sudah 9.000 orang lebih—sekitar 400 di antaranya petugas kesehatan—dan menimbulkan kematian pada lebih dari 4.500 orang.

Akhir Oktober 2014, Pemerintah Kanada memperkenalkan vaksin ebola edisi pertama, yang akan terus disempurnakan. Vaksin ini baru saja diterima WHO dan minggu terakhir Oktober dilakukan pertemuan yang langsung dipimpin Dirjen WHO untuk membicarakan kemungkinan pemanfaatan vaksin ini. Perkembangan vaksin baru lain adalah dimulainya penelitian pada puluhan ribu orang di Afrika untuk kandidat vaksin yang dihasilkan National Institute of Health AS.

Program penanggulangan yang baik juga sudah menunjukkan hasil. Senegal dan Nigeria pada Oktober 2014 sudah dinyatakan oleh WHO sebagai bebas ebola setelah 42 hari (dua kali masa inkubasi) tak ada kasus baru. Artinya, kalau penanggulangan dilakukan dengan benar dan saksama, ebola dapat dihilangkan dari suatu negara.

Kegagalan

Selain sejumlah keberhasilan di atas, sejumlah kegagalan dan tantangan juga terus dihadapi. Di tiga negara episenter ebola—Liberia, Guinea, dan Sierra Leone—kasus terus bertambah setiap hari. Penyakit juga sudah keluar dari Afrika, ditemukan kasus ebola di Eropa dan AS. WHO memperkirakan, kalau tidak ditangani dengan baik, kasus ebola Desember 2014 akan jadi 10.000 kasus baru setiap minggu. Para ahli juga membuat estimasi jumlah  kasus ebola pada Januari 2015 dapat mencapai 550.000 orang, atau bahkan sebenarnya akan ada 1,4 juta karena sebagian kasus tak terdeteksi atau tak terlaporkan.

Petugas lapangan di negara terjangkit di Afrika juga amat kurang, baik petugas kesehatan maupun petugas lain. Untuk tenaga pengubur jenazah yang aman (seperti diketahui, penularan ebola dari jenazah amatlah tinggi), misalnya di negara-negara wabah di Afrika, perlu 500 tim pengubur jenazah (lengkap dengan mobil jenazah khusus, alat pelindung diri khusus, pelatihan, dan lain-lain), dan kini baru ada 50 tim di lapangan.

Yang juga perlu mendapat perhatian adalah terjadinya penularan ke luar Afrika. Kasus pertama di AS, terbang dari Liberia masih tanpa keluhan, lalu setelah lima hari di AS baru gejalanya timbul. Artinya, penularan ebola antarbenua melalui pesawat terbang memang akhirnya telah terjadi. Secara medis, hal yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya penularan pada petugas kesehatan di AS dan Spanyol. Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, inilah pertama kali terjadi penularan ebola antarmanusia di luar Afrika. Kedua, walaupun petugas kesehatan di AS dan Spanyol sudah menggunakan alat pelindung diri lengkap, toh mereka juga bisa tertular ebola dan jatuh sakit. Belakangan diketahui petugas kesehatan ini tertular karena menggunakan alat pelindung diri tanpa mengikuti prosedur yang benar, baik waktu mengenakan maupun ketika melepas.

Salah satu tantangan lain, sampai 2014 penyakit yang ditemukan pada 1976 ini belum ada obatnya yang ampuh yang dapat membunuh virusnya. Perhatian perusahaan farmasi besar juga tak terlalu besar. Selain pengobatan terhadap mereka yang sakit, upaya penting mencegah meluasnya penularan adalah menemukan dan mengarantina mereka yang mungkin berhubungan dengan pasien (disebut kontak). Dari satu pasien, dapat ditemukan puluhan dan mungkin ratusan orang yang harus diawasi. Ada lima bentuk pengawasan yang harus dilakukan selama 21 hari sesuai masa inkubasi ebola, tergantung dari pertimbangan epidemiologi yang ada.

Pertama, memeriksa suhu setiap pagi dan sore. Kedua, melarang mereka mendatangi tempat umum. Ketiga, meminta mereka tetap tinggal di rumah sakit (bagi petugas kesehatan). Keempat, meminta warga tak meninggalkan rumah selama 21 hari. Kelima, menyediakan ruangan karantina khusus.

Tentu tak mudah melakukan kegiatan karantina seperti ini. Di AS pernah ada pertimbangan untuk mengarantina semua penumpang satu pesawat terbang waktu ada seorang di antara mereka yang diduga ebola, juga penutupan stasiun di Dallas karena ada seseorang yang dicurigai sakit dan muntah di pelataran stasiun. Ada juga upaya untuk menelusuri keadaan kesehatan 800 orang yang pernah naik beberapa pesawat yang kebetulan juga dinaiki seorang pasien ebola. Pernah juga ada kapal pesiar yang harus membelokkan arah pelayarannya di sekitar Meksiko karena ada dugaan penumpang ebola di dalamnya.

Belum lagi dampak psikologis bagi mereka yang dikarantina selama 21 hari, tidak boleh kontak dengan orang lain sambil berpikir bahwa dalam tubuh mereka mungkin ada ”bom waktu virus” yang setiap waktu mungkin menyerang dan mematikan. Bagaimanapun, kemungkinan karantina dalam berbagai tingkatannya memang merupakan bagian dari program penanggulangan penyakit amat menular seperti ebola ini, dan harus disiapkan.

Kesiapan Indonesia

Sampai saat ini belum ada kasus ebola di Indonesia dan juga belum ada di Asia, tetapi tentu kita harus siap dan waspada. Ada lima tahap yang kita lakukan dan harus terus ditingkatkan di Indonesia untuk mengantisipasi ebola yang kini sudah menjadi masalah kesehatan dunia dan sesuai perkembangan ”babak baru” ebola sekarang ini.

Antisipasi pertama tentu kesiapan pintu masuk negara, khususnya bandara internasional. Ada tiga kegiatan di sini. Pertama, ketersediaan pos kantor kesehatan pelabuhan. Kedua, pemasangan thermal scan di bandara. Ketiga, pemberian kartu kewaspadaan kesehatan seperti yang diberikan kepada jemaah haji yang kembali ke Tanah Air. Kita patut bersyukur bahwa sejauh ini tidak terjadi ebola pada musim haji tahun ini.

Antisipasi kedua adalah kesiapan surveilans epidemiologi di lapangan. Hal ini maksudnya agar kalau ada kecurigaan kasus di masyarakat, kasus itu dapat segera ditemukan, dideteksi, ditangani, dan semua orang yang pernah kontak dengan kasus itu ada dalam pengawasan ketat. Kemungkinan karantina juga disiapkan dalam tahap ini. Dalam hal ini peran pemerintah kabupaten/kota menjadi amat penting untuk pelaksanaannya langsung di lapangan.

Antisipasi ketiga adalah kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan untuk menangani ebola, mulai dari peran pelayanan tingkat pertama sampai ke rumah sakit rujukan yang sudah kita siapkan di seluruh Indonesia. Pelayanan tingkat pertama tugasnya mendeteksi awal dan merujuk kasus yang dicurigai, termasuk menangani kontak yang berhubungan dengan kasus yang dicurigai itu.

Kesiapan rumah sakit bukan hanya kemampuan pengobatan, melainkan juga jaminan agar tak terjadi penularan pada petugas kesehatan, seperti sudah terjadi di negara lain, dan kesiapan kemungkinan karantina di rumah sakit. Artinya, perlu pelatihan terus-menerus bagi petugas di berbagai lapisan pelayanan dan juga alat serta ruangan memadai, sebagaimana sudah tersedia di rumah sakit rujukan di negara kita, dan harus terpelihara baik.

Antisipasi keempat, kesiapan laboratorium. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan sudah memiliki laboratorium dengan status Biosafety Level 3 (BSL 3), yang di dalamnya pengolahan virus dilakukan dalam alat Biosafety Cabinet 3 (BSC 3). Petugas andal juga tersedia, sejauh ini tidak ada masalah tentang reagen dan prosedur pemeriksaannya.

Antisipasi kelima, komunikasi risiko. Penjelasan ke masyarakat luas amat penting karena pemahaman masyarakat menjadi kunci penting keberhasilan program kesehatan. Masyarakat tak perlu panik dan takut berlebihan, tetapi perlu waspada dan mengenal penyakit ini secara benar. Kita tak dapat meramal secara pasti bagaimana perkembangan ebola pada masa depan dan apakah akan memengaruhi Indonesia atau tidak. Yang jelas, upaya antisipasi sudah kita lakukan dan akan terus digiatkan sesuai perkembangan penyakit di dunia.

Susi dan Tuhan Sembilan Senti

Susi dan Tuhan Sembilan Senti

Nurul Rahmawati  ;  Mantan Public Relations Perusahaan Rokok, Ibu satu anak
JAWA POS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SIAPA media darling saat ini? Kalau kita amati trending topic di Twitter, nama Susi Pudjiastuti jadi juaranya. Perempuan anti-mainstream itu memang menyodok ke permukaan. Gayanya yang nyentrik, profilnya sebagai pemilik maskapai perintis sukses, membetot atensi masyarakat republik ini.

Pergosipan seputar Susi semakin gurih dan renyah manakala kita saksikan aksi klebas-klebus yang dia pertontonkan di hadapan para jurnalis. Tentu saja, itu pemandangan yang amat langka. Seorang menteri, ulil amri, dengan gaya innocent menyemburkan asap rokok di ruang publik. She’s one in a million. Mungkin baru kali ini ada seorang menteri yang dengan begitu pedenya merokok tanpa tedeng aling-aling.

Lagi-lagi, muncul polarisasi respons publik. Ada pihak yang merasa terwakili dengan gaya Susi. Susi ini gue banget! Apa salahnya dengan merokok? Bukankah merokok itu hak asasi individu? Nggak masalah Susi merokok, bertato, dan rumah tangga berantakan. Yang penting, dia tidak korupsi, kan?

Di pihak lain, tidak sedikit yang menyayangkan sikap Susi yang terkesan eksentrik dan semau gue. Apa jadinya anak-anak kita kalau disodori profil menteri seperti Susi? Sia-sia dong upaya Kementerian Kesehatan yang terus mengampanyekan gerakan antirokok. Toh, ada kok perempuan perokok yang jadi menteri.

Yang lebih parah, muncul beberapa meme di media sosial yang menyandingkan gambar Susi versus Ratu Atut. Pesan yang ingin disampaikan: jangan mudah tertipu bungkus luar. Toh, Ratu Atut berjilbab, cantik, tidak merokok, tidak bertato, dan tidak bercerai, tapi tetap korupsi. Sementara itu, para fans Susi meyakini bahwa idolanya adalah pejuang tangguh dan tidak akan terjerumus dalam lembah korupsi.

Saya jadi teringat puisi satire yang digubah Taufiq Ismail. Beberapa kutipan puisi tersebut, antara lain:

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu bisa ketularan kena.

Anda tahu bagaimana ’’bengis’’-nya industri rokok? Berapa miliar dana yang mereka gelontorkan demi ’’meracuni’’ anak bangsa ini? Mengapa pula pemerintah (dalam hal ini kabinet SBY) terkesan ogah-ogahan untuk meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)? Padahal, FCTC itu adalah strategi jitu untuk melindungi anak-anak dan generasi remaja dari bahaya rokok.

Rokok tidak hanya membahayakan kesehatan anak, tetapi juga meningkatkan prevalensi perokok anak. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2010 menyebutkan, perokok usia di bawah lima tahun (balita) ditemukan hampir di seluruh Indonesia (tempo.co, Juni 2014).

Okelah, iklan rokok sudah diatur sedemikian rupa sehingga hanya nongol di televisi di atas pukul 21.00. Beberapa kampus dan sekolah juga menerapkan kebijakan kawasan bebas rokok. Yang patut diacungi jempol, beberapa produsen event anak muda –PT DBL Indonesia, misalnya– berkomitmen kuat untuk menolak semua brand rokok sebagai sponsorship event.

Sungguh, kita salut akan ’’perlawanan’’ beberapa pihak terhadap rokok. Tapi, tampaknya, semua gerakan melawan rokok itu akan menjadi benang basah yang sulit ditegakkan manakala kita dihadapkan pada role model bernama Ibu Menteri.

Wahai Ibu Susi, mohon bantu kami. Ketika para ibu tengah melarang anak-anak mereka merokok, lalu mendapatkan sanggahan retoris, ’’Lah, Bu Menterinya aja ngerokok? Berarti rokok itu cool kan? Kenapa kita malah dilarang merokok?’’

Lantas, apa jurus pemungkas yang harus kami sampaikan? Kami respek dengan segala prestasi, kehebatan, dan daya juang Ibu Susi. Meski demikian, dengan segala hormat, kami mohon agar Ibu tidak menjadikan rokok sebagai ’’tuhan sembilan senti’’ yang bukan mustahil juga akan menjelma jadi ’’berhala-berhala kecil’’ bagi anak-anak muda di negara ini.

Kalaupun Ibu memang ingin merokok, mohon cari ruangan yang lebih privat. Seorang Ignasius Jonan barangkali bisa Anda jadikan benchmark. Beliau juga perokok berat. Ketika hasrat merokok tersebut muncul, Pak Jonan –waktu itu direktur utama PT KAI– memilih untuk klebas-klebus sebentar di smoking room sebuah stasiun. Dia bersikeras menjadikan seluruh moda kereta api bebas asap rokok. Yang penting ada iktikad dan semangat kuat untuk tidak memberikan teladan kurang elok bagi masyarakat luas.

Sebagai penutup tulisan ini, izinkan saya berbagi satu pertanyaan. Mungkinkah profil Ibu Susi yang nyeleneh itu sengaja di-blow up supaya atensi seluruh masyarakat teralihkan dari kasus delapan menteri yang menyandang rapor merah dari KPK? Tanya kenapa.

Stroke - Edukasi dan Kampanye untuk Pencegahan

Edukasi dan Kampanye untuk Pencegahan

Asra Al Fauzi  ;  Dokter Ahli Bedah Saraf,
Dosen FK Unair, Surabaya Neuroscience Institute (SNei)
JAWA POS, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


STROKE merupakan penyakit yang banyak dihadapi dengan kepasrahan. Terkena penyakit itu seperti mendapat dogma mati atau cacat seumur hidup. Menyambut Hari Stroke Sedunia, 29 Oktober, kita diingatkan kembali untuk lebih memahami silent epidemic yang melanda seluruh dunia ini. Fakta miris disampaikan Badan Kesehatan Dunia. Saat ini satu di antara enam orang di dunia menderita stroke. Catatan lain menunjukkan, setiap 6 detik terdapat 1 orang terkena stroke. Suatu angka yang fantastis dan berujung pada pertanyaan, kita termasuk yang mana?

Setiap tahun kurang lebih 15 juta orang di dunia terkena stroke. Enam juta di antaranya meninggal dunia. Dan, lima juta sisanya akan mengalami cacat permanen. Di Amerika Serikat, stroke merupakan pembunuh ketiga setelah sakit jantung dan kanker. Karena itu, 43 persen dari total anggaran kesehatan dipakai untuk penanganan stroke. Dalam data tercatat saat ini 80 persen penderita stroke hidup di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Sangat kontradiktif dengan pendapat bahwa stroke adalah penyakit orang kaya atau penyakit yang diderita karena gaya hidup mewah. Namun, bisa juga diambil kesimpulan sederhana bahwa di negara maju dengan sistem edukasi dan pelayanan kesehatan yang baik dan modern, stroke dapat dicegah dan dikurangi angka kejadiannya. Pengobatan stroke secara tuntas dapat mencegah kecacatan permanen.

Selama ini, world campaign untuk gross epidemic seperti AIDS, malaria, atau tuberkulosis (TBC) sangat membahana. Bahkan sangat menyentuh kebijakan pemerintah dan gaungnya sangat besar di masyarakat. Tetapi, stroke saat ini belum dianggap penting sehingga seolah menjadi silent epidemic. Akibatnya, dana, kebijakan, atau promosi kesehatannya belum menyentuh masyarakat secara merata. Padahal, selain mematikan, penyakit ini akan berdampak pada sosial ekonomi bila mengakibatkan cacat permanen.

Di negara maju, angka kejadian stroke semakin turun. Di Amerika Serikat, lazim orang mengonsumsi aspirin (obat pengencer darah). Orang bersepeda ke kantor bukan semata-mata untuk menghindari macet. Alasan lainnya adalah exercise. Hal itu berbeda dengan negara berkembang, termasuk Indonesia. Perilaku menuju stroke prone person semakin membudaya. Orang usia muda semakin banyak terpapar risiko stroke. Kehidupan metropolis dengan fast food dan stres sudah menjadi label yang sulit dihindari. Yang diperlukan saat ini adalah edukasi dan promosi pencegahan stroke ke masyarakat. Tentu, ini bukan tugas dokter saja.

Edukasi Stroke

Ada beberapa faktor risiko stroke. Beberapa di antaranya jelas dapat dikendalikan. Yaitu, tekanan darah tinggi (hipertensi), kolesterol tinggi, merokok, diabetes, konsumsi alkohol, obesitas, stres, drug abuse, dan gaya hidup tidak sehat. Artinya, dengan pola hidup yang benar dan memeriksakan kesehatan secara rutin, stroke bisa kita cegah. Pemahaman ini perlu diedukasikan ke seluruh masyarakat. Pencegahan selalu lebih baik dibandingkan pengobatan. Ketersediaan sarana kesehatan juga ikut berperan. Survei di Amerika Serikat menunjukkan, 75–80 persen stroke disebabkan penyempitan pembuluh darah di leher. Dan, ini jelas treatable disease. Dengan penanganan medis maupun tindakan operatif menggunakan alat modern, penyebab stroke (penyempitan pembuluh darah) ini dapat diobati.

Stroke bisa menyerang siapa saja. Namun, stroke bisa dicegah dan disembuhkan. Perlu kebijakan secara institusional untuk program edukasi secara global dan merakyat. Stroke bukan saja milik orang kota. Semua orang bisa terkena sehingga pesan edukasi tidak hanya disampaikan di rumah sakit internasional atau di high class hospital. Pencegahan stroke sudah harus dimulai di tingkat puskesmas. Pengenalan risiko dan tanda-tanda dini stroke dapat dimulai dari pesan sederhana sebagaimana pentingnya imunisasi pada balita atau tanda-tanda penyakit demam berdarah.

Pengenalan tanda dini stroke seperti kesemutan mendadak di satu sisi tubuh, tiba-tiba bicara pelo, vertigo mendadak, atau tiba-tiba jatuh dan koma sudah harus ditanamkan kepada seluruh masyarakat. Dan, ketika mendapati seseorang memiliki tanda-tanda stroke, dia harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat atau kota terdekat dengan fasilitas penanganan stroke primer.

Untuk menghindari potensi kecacatan dan kematian karena stroke, secara institusional rumah sakit juga harus lebih jujur dan bertanggung jawab. Stroke corner, stroke unit, stroke center atau apa pun namanya jangan hanya dijadikan simbol komoditas untuk dijual, padahal sarana dan sumber daya tidak memadai. Masyarakat akan banyak dirugikan. Mereka butuh penanganan yang optimal dan tuntas. ’’Time is brain’’ adalah dogma pada stroke. Semakin cepat ditangani, penderita akan sembuh sempurna. Perlu sumber daya, sarana diagnosis, dan sistem yang terpadu di sarana kesehatan, terutama karena golden time untuk stroke maksimal 4 jam setelah serangan.

Bersama World Stroke Day 2014, khusus aparatur kesehatan dan jajaran terkait mulai diingatkan kembali untuk tetap ikut serta dalam global campaign 1 in 6. Jujur, kita belum bergerak maju, tetapi paling tidak edukasi bisa kita lakukan di keluarga dan di lingkungan masyarakat kita sendiri.

Ini Dia Kabinet Kerja, Kerja Kerja

Ini Dia Kabinet Kerja, Kerja Kerja

Dahlan Iskan  ;  Menteri BUMN 2010-2014
JAWA POS, 28 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SELALU saja ada drama dalam penyusunan kabinet baru. Dulu ada ”drama Nila Moeloek” yang batal jadi menteri kesehatan di detik-detik akhir. Kini ada ”drama Ara” yang batal jadi menteri komunikasi dan informatika (Menkominfo). Kalau Nila Moeloek dikaitkan dengan isu tes psikologi, Ara (sapaan akrab Maruarar Sirait) dikaitkan dengan restu Megawati. Atau restu Puan Maharani. Kalau Nila Moeloek kini akhirnya diangkat Presiden Jokowi jadi menteri kesehatan, Ara tentu tinggal tunggu takdir berikutnya. Ini karena kedekatan Ara dengan Presiden Jokowi tidak diragukan lagi.

Semua itu disebut ”drama” karena Nila sudah telanjur masuk siaran langsung berbagai televisi saat dipanggil ke kediaman Presiden SBY di Cikeas. Dan yang sekarang ini juga disebut drama karena Ara sudah dipanggil, sudah dikirimi baju putih, bahkan sudah dikenakannya pula dan sudah siap-siap menuju istana pula. Drama Ara jauh lebih seru daripada drama Nila karena kalau hanya dipanggil, kali ini pun Prof Komaruddin Hidayat juga dipanggil dan Prof Saldi Isra juga sudah telanjur dipanggil.

Maka, bagi yang sudah masuk daftar lalu namanya hilang, itu belum termasuk drama. Tidak perlu gusar. Tarik-menarik, tekan-menekan, timbul-tenggelam pasti mewarnai proses penyusunan kabinet. Sampai detik terakhir. Presiden baru siapa pun akan mengalaminya.

Itulah sebabnya, ketika hari Minggu pagi lalu running text TV menyebutkan susunan kabinet sudah 100 persen, saya tidak percaya. Pasti masih akan ada perubahan. Ada siapa lagi yang tergeser ke mana lagi di detik-detik terakhirnya. Wiranto harus keluar daftar. Akibatnya, harus ada tokoh Hanura lainnya yang masuk. Tentu bukan untuk pos yang ditinggalkan Wiranto. Masuklah ke pos yang masih agak layak: perindustrian. Akibatnya, Rachmat Gobel yang sudah sangat pas di situ harus bergeser ke perdagangan. Mahendra Siregar pun harus terhapus dari daftar. Maka, dua Batak yang sudah hampir pasti, dua-duanya hilang.

Memang begitu banyak nama yang harus ditampung. Padahal, kursinya terbatas. Aspek etnis, aspek timur-barat, Islam-Kristen-Hindu-Buddha, pria-wanita, tua-muda, profesional-politisi, dan banyak lagi harus ditampung semua. Takdirlah yang ikut bicara. Padahal, masih banyak yang belum ”kebagian”. Suku Batak, misalnya, belum terwakili.

Jadi, Ara gak usah khawatir. Pasti akan dipikirkan yang terbaik. Dia mampu. Dia muda. Dia berjasa. Dia Batak. Dan jangan lupa, Jokowi menang 70 persen di tanah Batak. Bahkan di beberapa kabupaten mendekati 80 persen. Minang saja yang di Sumbar Jokowi kalah paling telak dapat jatah beberapa kursi. Intinya, bagi yang belum kebagian kursi, jangan sedih. Apalagi bagi yang seperti saya, yang masuk daftar pun tidak. Sama sekali tidak boleh masygul. 

Sejak dulu saya sangat percaya takdir. Siapa tahu Komaruddin pun, yang sudah dipanggil kemarin, bisa seperti Nila yang cantik itu, jadi menteri lima tahun lagi. Tentu saya bangga tiga CEO BUMN jadi menteri: Ignasius Jonan, Arif Yahya, dan Sudirman Said. Tiga-tiganya memiliki kemampuan manajerial yang tangguh. Sebenarnya, kalau tidak harus mengakomodasi berbagai hal tadi, masih banyak CEO BUMN yang ”layak menteri”. Kalau mau 15 lagi pun masih ada.

Saya sendiri besok sudah berangkat ke Lombok, Bima, lalu jalan darat ke Dompu, Tambora, dan Sumbawa Besar. Saya juga harus langsung kerja, kerja, kerja. Seperti moto lama saya.

Revolusi Mental Berbahasa

Revolusi Mental Berbahasa

Akh Muzakki  ;  Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 28 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SAAT mengucapkan teks Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, para pemuda dan tokoh bangsa ini menyadari sepenuhnya perlunya bangsa ini memiliki identitas yang kuat. Ya, identitas bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang satu. Bahasa, secara partikular, merupakan pengikat dan sekaligus penanda identitas berbangsa dan bernegara ini.

Namun, pada perkembangan belakangan, identitas berbahasa itu makin meluntur. Ada fenomena semakin lemahnya kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi publik. Alih-alih penguatan bahasa Indonesia, ada kecenderungan di tengah komponen bangsa ini untuk lebih mengutamakan penggunaan bahasa Inggris daripada bahasa nasional sendiri. Pada tataran tertentu, ironisnya, kecenderungan tersebut justru dilakukan sendiri oleh aparatur pemerintah dan negara ini.

Lihatlah kasus-kasus berikut. Penggunaan istilah-istilah bahasa Inggris sangat mudah dijumpai di sejumlah kantor pemerintahan dan layanan publik di negeri ini dalam babakan waktu terakhir. Saat berada di tengah lalu lintas, mata publik segera bisa menangkap istilah-istilah asing, seperti light on, safety riding, car free day, dan quick wins.

Padahal, bahasa Indonesia juga kaya dengan perbendaharaan bahasa yang bisa digunakan untuk menjelaskan dan menyampaikan makna dari istilah-istilah itu. Tapi, mengapa istilah safety riding cenderung lebih sering dikampanyekan daripada ”berkendara aman”? Mengapa pula istilah light on lebih kerap dipakai daripada ”nyalakan lampu”? Juga car free day daripada ”hari terbebas kendaraan bermotor”?

Kasus umbar bahasa asing daripada bahasa Indonesia di atas tidak hanya dilakukan di jalanan oleh para aparatur pemerintah kita. Di kantor-kantor layanan publik, masyarakat juga bisa dengan mudah menjumpai kasus umbar bahasa asing itu.

Lihatlah istilah-istilah seperti samsat corner dan quality assurance. Kita masih punya istilah ”pusat layanan samsat”, namun ditinggalkan dengan menggantinya dengan istilah samsat corner. Kita masih punya istilah ”penjaminan mutu”, namun ditinggalkan demi menjaga gengsi istilah quality assurance.

Ada krisis identitas yang akut di tengah-tengah sikap bangsa ini terhadap bahasa nasionalnya sendiri. Ironisnya, aparatur pemerintah dan negara menjadi pelakunya sendiri. Mereka gagal menjadi panutan atau teladan terhadap sikap bangga dengan bahasa nasional sendiri, termasuk menjadi pemakai bahasa nasional secara baik dan benar.

Kesadaran untuk berbangga dengan bahasa Indonesia memang sedang terpuruk dan sekaligus dipertaruhkan. Harapan dan kebutuhan berbahasa Indonesia yang baik dan benar akhirnya disikapi secara salah kaprah sama sekali oleh pemerintah melalui kebijakan review kurikulum di semua jenjang pendidikan di atas. Di luar itu, kesadaran besar di luar sektor pendidikan tidak tumbuh subur.

Pemegang kekuasaan di negeri ini patut menyadari sepenuhnya bahwa kegagalan mereka untuk menjadi model pemakai bahasa Indonesia yang baik memiliki dampak besar di masyarakat secara luas. Pertama, publik segera akan merasa bahwa peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar hanya retorika kosong dari pemerintah dan atau negara. Tiadanya teladan dari aparatur pemerintah dan negara hanya akan menjauhkan maksud kebutuhan atas kemampuan berbahasa nasional secara baik dan benar dimaksud.

Lebih jauh, penggunaan bahasa asing dalam program-program pemerintahan justru akan menimbulkan ketidakpercayaan diri anak bangsa terhadap bahasa Indonesia. Pada titik paling ekstrem, kepentingan lebih dalam untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia akan ditawar oleh preferensi penggunaan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia oleh aparat pemerintah dan negara sendiri.

Padahal, secara demografis, gugusan masyarakat kita masih banyak terdiri atas mereka dengan tingkat pendidikan rendah dan penghasilan ekonomi yang masih terbatas. Jumlah kelas bawah atau wong cilikjauh lebih besar daripada kelas atas atau elite. Dengan segala keterbatasan itu, mereka masih asing dengan pemahaman atas istilah-istilah yang berasal dari luar kekayaan kultural dan sosiologis mereka sendiri.

Karena itu, yang kedua, kasus umbar bahasa asing menjadikan kampanye dan sosialisasi kebijakan nasional tidak akan bisa maksimal. Penggunaan istilah-istilah asing untuk program-program pemerintah, alih-alih membantu sampainya pesan ke masyarakat, malah membuat bingung publik. Publik di akar rumput akan merasa tercerabut dari akar tradisionalnya, baik dari sisi bahasa maupun budaya.

Mengapa begitu? Sebab, prinsip ”kedekatan jarak” (atau dalam ilmu komunikasi disebut dengan istilah proximity/proksimitas) ditinggalkan sama sekali oleh praktik umbar bahasa asing di atas. Seharusnya, komunikasi yang baik dilakukan dengan menggunakan instrumen dan kekayaan komunikasi, khususnya bahasa, yang dekat dengan perbendaharaan kultural dan sosial audiensnya.

Dengan latar belakang demografis dan sosiologis seperti diuraikan di atas, masyarakat secara kebanyakan memiliki jarak yang relatif jauh dengan istilah-istilah bahasa asing di atas. Saat terdapat jarak, saat itu pula pesan komunikasi sudah memulai awal kegagalannya untuk bisa ditangkap audiensnya.

Atas dasar itu, bertemunya ketiadaan teladan elite dengan kegagalan komunikasi publik semakin memperpuruk kesadaran bangsa ini secara luas terhadap pentingnya kebanggaan dan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Apalagi, globalisasi dengan kekuatan bahasa asingnya yang tidak mungkin bisa ditolak kehadirannya membuat bahasa nasional menjadi objek tantangan dari bombardir arus masuknya budaya dan peradaban asing.

Memang sungguh ironis, kebutuhan untuk memperkuat kemampuan berbahasa Indonesia secara baik dan benar ditantang secara langsung oleh pengeroposan terhadap kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu sendiri. Justru ironisnya, praktik ini diawali perilaku berbahasa aparatur pemerintah dan negara sendiri.

Negeri ini memang penuh dengan berbagai kontradiksi dan ironi. Krisis identitas nasional diperparah masih menguatnya ironi dan kontradiksi ini. Dan bahasa Indonesia sebagai salah satu harapan, kebanggaan, serta kebutuhan nasional harus dihadapkan pula pada ironi dan kontradiksi ini.

Maka, diperlukan revolusi mental dalam berbahasa Indonesia. Revolusi mental yang kini menjadi ikon kebijakan pemerintahan baru sepatutnya juga diperkuat dengan menyentuh sikap serta perilaku berbahasa bangsa ini. Semua itu harus diawali melalui teladan elite bangsa ini. Kita punya modal untuk itu: Presiden Jokowi selama ini dikenal sebagai tokoh yang hampir tidak pernah mengumbar penggunaan bahasa asing dalam pidato-pidatonya.