Jumat, 29 Juli 2022

 

Anies Bersolek Bangun Ruang Publik, tapi Lupa Masalah Mendasar DKI?

Riyan Setiawan :   Jurnalis Tirto.id

TIRTO.ID, 25 Juli 2022

 

 

                                                           

Jelang akhir masa jabatan pada Oktober 2022, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan terlihat gencar memamerkan hasil pembangunan sejumlah ruang publik oleh Pemprov DKI. Namun, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan menilai, Anies hanya bersolek memamerkan pembangunan sarana publik tersebut, tapi melupakan masalah fundamental Jakarta.

 

“Iya, Anies hanya bersolek, bukan malah melakukan hal-hal yang penting yang dia janjikan saat janji kampanye Pilgub 2017. Warga Jakarta harus sadar itu, yang dia banggakan hanya solekan saja, hanya make up saja," kata Tigor kepada reporter Tirto, Kamis (21/7/2022).

 

Sejumlah pembangunan yang dipamerkan Anies dan menyita perhatian publik, antara lain Tebet Eco Park. Namun kini ditutup sementara karena banyaknya parkir liar yang memakan badan jalan sehingga terjadi kemacetan.

 

Kemudian Jembatan Phinisi Sudirman yang tampak Instagramble. Anies juga membangun Jakarta International Stadium (JIS) dengan stadion berstandar FIFA. Selanjutnya pembangunan sirkuit Formula E yang mengalami banyak permasalahan karena dibangun tergesa-gesa dan memakan biaya Rp60 miliar.

 

Lalu, revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), tetapi sampai saat ini masih terjadi polemik dari para seniman TIM. Dan baru-baru ini adalah Perpustakaan Jakarta Cikini yang berada di TIM yang diresmikan oleh Gubernur Anies Baswedan pada Kamis (7/7/2022).

 

Namun Tigor mengkritik Anies yang hanya bersolek memamerkan pembangunan, tapi luput akan permasalahan fundamental warga Jakarta, misalnya kemacetan dan banjir.

 

Misalnya, Jakarta menjadi salah satu kota termacet di Asia, menduduki peringkat 10 dengan 53 persen tingkat kemacetan dibandingkan kondisi normal atau tidak macet di kota tersebut. Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya angkutan umum.

 

Selain itu, permasalahan banjir di Jakarta juga tak kunjung usai. Apalagi saat memasuki musim hujan yang dapat menenggelamkan pemukiman dan membuat warga menjadi kesulitan.

 

Selanjutnya permasalahan kemiskinan di Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di DKI Jakarta sebesar 4,69% per Maret 2022. Angka ini naik 0,02 poin dibandingkan September 2021 yang sebesar 4,67%.

 

Masalah fundamental lainnya adalah soal polusi udara di Jakarta. Kualitas udara Jakarta tercatat sebagai yang terburuk di dunia pada Selasa (21/6/2022). Pada hari itu tepat pukul 06.00 WIB, data situs pemantau udara IQAir melaporkan kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang masuk ke level sangat tidak sehat (very unhealthy).

 

Hal tersebut diketahui dari lembaga data kualitas udara, IQ Air yang menempatkan polusi udara Jakarta pada posisi pertama terburuk di dunia.

 

Tigor menegaskan, seharusnya peningkatan kualitas hidup masyarakat tak kalah penting untuk menjadi prioritas dibandingkan Gubernur Anies bersolek. “Kita nggak butuh make up untuk bersolek, kita butuh dipenuhi kebutuhannya. Yang kami butuhkan makan, Jakarta bebas macet dan banjir, dan rakyat bisa mendapatkan pekerjaan," kata dia.

 

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi E DPRD DKI, Anggara Wicitra Sastroamidjojo. Ia menilai, selama ini Gubernur Anies hanya fokus melakukan pembangunan monumental dan seremonial. Namun, melupakan permasalahan fundamental yang seharusnya diprioritaskan di Jakarta seperti macet, banjir, hingga kesejahteraan warga Jakarta.

 

“Kita bisa menilai pencapaian Pak Anies dalam menangani masalah fundamental Jakarta selama masa jabatannya tidak signifikan,” kata Anggara saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/7/2022).

 

Ketua Fraksi PSI di DPRD DKI itu menilai, Pemprov DKI di bawah pimpinan Anies terlihat fokus mengerjakan hal monumental yang terasa sekali untuk kepentingan politik pribadinya dibanding menuntaskan permasalahan-permasalahan prioritas yang dihadapi masyarakat DKI.

 

“Saya harap di sisa masa jabatan ini, Pak Anies bisa memanfaatkannya dengan baik untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan fundamental,” kata dia.

 

Agar Kinerjanya Diingat Warga

 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga menilai, tujuan Gubernur Anies membuat banyak bangunan yang menjadi sorotan publik karena ingin meninggalkan kenangan di mata warga selama menjabat.

 

“Jadi bangunan dalam bentuk fisik agar selalu diingat warganya,” kata Nirwono kepada reporter Tirto.

 

Sebab, kata Nirwono, pembangunan fisik kota adalah hal yang paling mudah dilihat oleh masyarakat sebagai keberhasilan kinerja sang pemimpin. Ketimbang hal lain, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi higienis bagi seluruh warga DKI, meningkatan kualitas udara sehat, pengurangan kemacetan lalu lintas yang semakin parah, hingga pengurangan banjir secara signifikan.

 

Namun persoalannya, kata dia, sebagian masyarakat terutama warganet seringkali menilai keberhasilan dari pejabat negara dari suatu yang mudah tampak seperti pembangunan sarana prasarana.

 

Sementara kepekaan terhadap persoalan di baliknya justru tidak diangkat, misal revitalisasi Jembatan penyebrangan orang (JPO).

 

Nirwono mengatakan, pekerjaan rumah sebelum berakhir masa jabatannya, Gubernur Anies harus menyelesaikan permasalahan fundamental seperti banjir dengan membenahi sungai, merevitalisasi situ/danau/embung/waduk, merehabilitasi saluran air kota, dan merestorasi kawasan pesisir yang selalu terdamapk banjir rob.

 

Kemudian untuk mengurangi banjir dan polusi, kata dia, Gubernur Anies juga harus menambah luasan ruang terbuka hijau (RTH) untuk menyerap air. Selanjutnya untuk menata lalu lintas dan mengurai kemacetan, Pemprov DKI harus mengintegrasikan transportasi publik serta terus memperluas trotoar dan jalur sepeda.

 

“Lalu membangun banyak rusunawa bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok pekerja muda, mahasiswa, serta memperbaki kampung kumuh,” kata dia.

 

Respons Pemprov DKI

 

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria membantah sejumlah tudingan di atas. Dia mengatakan Gubernur DKI, Anies Baswedan melakukan seremonial pembangunan memang sesuai dengan waktu yang ditentukan.

 

Politikus Partai Gerindra ini menegaskan, tidak ada hubungannya dengan masa jabatannya yang akan berakhir pada Oktober 2022 nanti.

 

“Jadi seremoni-seremoni memang waktunya, tidak dikumpulkan di akhir, memang sudah jadwalnya," kata Riza usai meresmikan logo Ancol yang baru di Kawasan Ancol, Jakarta Utara, Jumat (22/7/2022).

 

Riza menegaskan Gubernur Anies tidak pernah luput dengan permasalahan fundamental Jakarta dan hanya mementingkan hal seremonial saja.

 

“Tidak luput dong. Kan, pengendalian transportasi dibangun, pengendalian signifikan, kan. Kita lihat data-datanya, terjadi peningkatan prestasi, kebaikan, dan kualitas transportasi, dan kualitas pengendalian banjir, kan, semakin baik ya,” kata Riza menambahkan.

 

Sumber :  https://tirto.id/anies-bersolek-bangun-ruang-publik-tapi-lupa-masalah-mendasar-dki-guny

 

KTT Tiga Negara yang Saling Berbeda

Ikhwanul Kiram Mashuri :   Penulis kolom “Resonansi” Republika

REPUBLIKA, 24 Juli 2022

 

 

                                                           

Inilah riil politik. Tiga presiden bisa mengesampingkan sejenak segala perbedaan untuk sebuah kepentingan. Tiga presiden itu — Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Iran Ebrahim Raisi, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan — pada 19 Juli 2022, bertemu dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT).

 

KTT ini menyedot perhatian dunia, mengingat dua hari sebelumnya digelar KTT di Jeddah, Arab Saudi, mempertemukan Presiden Amerika Serikat dengan pemimpin negara Dewan Kerja Sama Teluk, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Oman, Kuwait, dan Qatar, plus Mesir, Yordania, dan Irak.

 

Sesuai tema "KTT untuk Keamanan dan Pembangunan", pertemuan di Jeddah membahas keamanan di Timur Tengah. Biden menyatakan, kenjungannya ke Timur Tengah kali ini untuk mengembalikan peran sentral AS.

 

Selama ini, katanya, kekosongan itu diisi Rusia, Cina, dan Iran yang menjadi seteru Gedung Putih. Militer Rusia dan Iran ada di beberapa negara Arab. Biden berhasil meyakinkan peserta KTT Jeddah, musuh Arab kini bukan Israel tetapi Iran.

 

Biden dan peserta KTT sepakat mencegah Iran mempunyai senjata nuklir. Banyak pengamat mengaitkan KTT Teheran dengan KTT Jeddah. Mereka menyatakan, KTT Teheran respons atas KTT Jeddah.

 

Agenda KTT Teheran diisi tiga pertemuan utama. Pertama, antara Presiden Iran dan Presiden Turki. Kedua, pertemuan bilateral Presiden Rusia dengan Presiden Turki. Ketiga, KTT tripartit Astana. Ini yang ketujuh sejak 2017, membicarakan penyelesaian soal Suriah.

 

Ketiga pemimpin negara bersepakat bertemu setiap enam bulan sekali pada tingkat pejabat tinggi. Ketiga negara ini penjamin gencatan senjata di Suriah, dengan posisi geografi relatif berdekatan dan punya posisi penting pada geopolitik regional dan internasional. Tak jarang kepentingan mereka bersinggungan, misalnya di Suriah, Kaukasus Selatan, Irak, dan Libya.

 

Singkat kata, ketiga negara mempunyai hubungan unik. Satu sisi atas dasar kepentingan bersama, di sisi lain pada persaingan dan kepentingan saling bertentangan. Turki misalnya, ia anggota NATO dan menandatangani Deklarasi KTT NATO di Madrid pada Juni 2022.

 

Di antara isi deklarasi, kecaman keras atas invasi Rusia dan mendukung Ukraina. Namun, Turki bermitra dengan Rusia. Misalnya terkait ketahanan pangan dunia.

 

Jumat lalu, Turki bersama PBB, Rusia, dan Ukraina menandatangani Perjanjian Istanbul, yang memungkinkan Ukraina mengekspor gandung lewat Laut Hitam untuk mencegah bahaya kelaparan sejumlah negara.

 

Suriah, aspek penting lain dari hubungan tiga negara. Rusia dan Iran pendukung utama rezim Presiden Bashar al-Assad. Kalau bukan peran kedua negara ini, Assad mungkin telah tumbang. Turki menentang Assad.

 

Namun, pada KTT Astana pada 2017, ketiga negara bersepakat tentang "zona deeskalasi", yang memungkinkan perang di Suriah dihentikan.

 

Ketiga negara, seperti tertera dalam pernyataan akhir KTT Teheran, sepakat melanjutkan kerja sama ‘mengenyahkan teroris’ di Suriah. Namun, di sini muncul perbedaan.

 

Erdogan menyatakan akan terus melancarkan operasi militer terhadap wilayah di utara Suriah yang dikendalikan Pasukan Demokrat Suriah, yang tulang punggungnya kelompok Kurdi. Wilayah ini berbatasan dengan Turki.

 

Erdogan menganggap Pasukan Demokrat Suriah teroris. Namun, Raisi dan Putin menolak operasi militer Turki. Mereka menyatakan, serangan militer justru membahayakan banyak pihak, termasuk rezim Assad.

 

Pemimpin Rusia dan Iran menyarankan Erdogan merundingkan masalah Kurdi dengan presiden Suriah. Rusia, dan Iran, juga bersaing sengit mendapatkan pengaruh lebih besar di Suriah. Dua negara itu memilki kelompok dan formasi bersenjata mereka sendiri dalam rezim.

 

Sejak invasi Rusia ke Ukraina, kehadiran Iran di Suriah kian terlihat. Menlu Iran Amir Abdollahian mengunjungi Damaskus empat kali sejak menjadi menteri pada Agustus 2021.

 

Perbedaan lain, Turki berhubungan erat dengan Saudi, UEA, Mesir, bahkan Israel yang menganggap Iran sumber ancaman. Juni lalu, dinas keamanan Turki menangkap beberapa anggota sel yang diduga bagian dari rencana pembunuhan oleh Iran terhadap warga Israel di Istanbul.

 

Israel secara terbuka berterima kasih kepada Turki atas perannya dalam mencegah plot tersebut.

 

Beberapa hari kemudian, Menlu Iran Abdollahian berada di Ankara, menyampaikan pesan persahabatan selama konferensi pers. Turki, Rusia, dan Iran juga berbeda sikap terhadap Barat tetapi sepakat soal pembentukan tatanan dunia baru.

 

Perdagangan mata uang nasional, satu isu yang mereka tekankan dalam beberapa kesempatan. Rusia dan Iran menyatakan kesetian mereka satu sama lain dan tolong menolong di berbagai bidang terutama ekonomi dan militer.

 

Hebatnya, itu disampaikan di depan Presiden Turki, anggota NATO, yang menjatuhkan sanksi pada Rusia dan Iran. Sikap Turki yang berhubungan erat dengan Rusia dan Iran mendapat kritik dari sesama anggota NATO.

 

Erdogan selalu punya jawaban bahwa diplomasi butuh pembicaraan dengan semua pihak. Politik adalah kepentingan. Tak ada kawan atau lawan abadi. Segala perbedaan bisa dikesampingkan demi sebuah kepentingan. Ini yang dilakukan Erdogan, Putin, dan Raisi. ●

 

Sumber :   https://www.republika.id/posts/30238/ktt-tiga-negara-yang-saling-berbeda

 

 

Apa Saja Kejanggalan Kasus Penembakan Brigadir Yosua dan Bagaimana Polri Mengusutnya

Rozy Brilian :  Peneliti Kontras

KORAN TEMPO, 25 Juli 2022

 

 

                                                           

Sudah sepekan lebih kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi sorotan publik. Peristiwa yang terjadi pada 8 Juli 2022 di kediaman Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, tersebut telah memantik diskusi serius di masyarakat. Sejak awal rilis disampaikan oleh Mabes Polri, terdapat berbagai kejanggalan yang melecehkan akal sehat publik. Hal tersebut akhirnya menimbulkan asumsi liar dan dugaan konspirasi yang tak dapat dicegah.

 

Ragam kejanggalan yang sulit diterima itu, di antaranya, disparitas waktu yang cukup lama antara peristiwa dan pengungkapan ke publik, yakni tiga hari. Saat Mabes Polri merilis kasus tersebut pun, tidak ada satu pun barang bukti yang ditunjukkan. Langkah ini begitu berbeda dengan pengungkapan kasus penembakan lainnya, yang biasanya menunjukkan barang bukti seperti pistol dan proyektil.

 

Belum lagi kronologi yang tidak konsisten, bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) dan telepon seluler Brigadir Yosua yang hilang, serta keterangan ketua rukun tetangga setempat yang menyatakan tidak mengetahui adanya peristiwa dan proses olah tempat kejadian perkara (TKP), semakin memperkuat dugaan adanya upaya menyembunyikan fakta. Keluarga Yosua bahkan sempat dihalang-halangi saat ingin melihat kondisi jenazah. Dari kondisi mayat Yosua, terungkap bahwa terdapat beberapa luka sayatan, luka lebam, dan jari putus, yang sangat janggal dan tidak sesuai dengan kronologi kejadian versi Mabes Polri.

 

Kultur Buruk Institusi

 

Pola pengusutan kasus yang cenderung tertutup dan tidak berbasis akuntabilitas sebelumnya pernah terjadi, misalnya dalam kasus penembakan enam laskar khusus Front Pembela Islam (FPI). Dalam persidangan terhadap Brigadir Polisi Satu Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua Mohammad Yusmin Ohorella yang melakukan unlawful killing, terungkap bahwa beberapa warga sekitar area jalan tol KM 50 diduga diintimidasi oleh aparat agar tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta menghapus file rekaman penangkapan. Hal ini merupakan bentuk upaya penghilangan jejak dan mengaburkan kebenaran materiil.

 

Pola-pola tersebut berulang pada kasus Brigadir Yosua. Kepolisian cenderung resistan dan tak mau diliput dalam proses pengusutan, khususnya di TKP. Dua wartawan yang berupaya meliput pun menjadi sasaran intimidasi saat mewawancarai petugas kebersihan. Petugas yang diduga anggota kepolisian itu memaksa jurnalis untuk memberikan rekaman dan menghapusnya. Hal tersebut jelas melanggar Undang-Undang Pers yang melindungi kerja-kerja jurnalistik.

 

Tindakan intimidatif juga dialami keluarga Brigadir Yosua saat mereka aktif menyuarakan kejanggalan kematian korban. Arogansi dan kultur kekerasan tampaknya memang masih melekat erat dalam tubuh institusi Kepolisian. Iklim ketakutan selalu dihadirkan kepada saksi dan korban, terlebih jika suatu kasus melibatkan anggota kepolisian sebagai terduga pelaku. Sifat tidak ksatria, yakni enggan bertanggung jawab di hadapan hukum ketika melakukan kesalahan, ini menjauhkan polisi dari kredibilitasnya sebagai penegak hukum. Proses hukum pun didesain agar berujung pada penjatuhan hukuman yang ringan atau sebisa mungkin membebaskan pelaku.

 

Perlu Terobosan

 

Sejauh ini, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang telah mengambil langkah signifikan, seperti membentuk tim khusus dan menonaktifkan sejumlah anggota Polri yang diduga terlibat dalam kasus Brigadir Yosua, seperti Ferdy Sambo, Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto, dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan. Akan tetapi, jika dilihat lebih utuh, rangkaian masalah ini muncul karena mekanisme koreksi dan evaluasi tak pernah benar-benar serius dilakukan. Berbagai bentuk ketidakprofesionalan polisi minim mendapat ganjaran hukuman yang memadai sehingga nihil efek jera.

 

Peristiwa penembakan di rumah Ferdy Sambo dan ketidakprofesionalan pengusutannya merupakan bukti konkret ada masalah besar di kepolisian. Hal ini mengemuka bahkan hanya selang beberapa hari setelah pidato Kepala Polri Jenderal Listyo di hadapan Presiden Joko Widodo. Pada momentum Hari Bhayangkara tersebut, Jenderal Listyo berjanji untuk memperbaiki dan mengevaluasi institusi kepolisian guna mewujudkan transformasi Polri yang presisi. Sayangnya, hal tersebut hanya lip service tanpa diikuti perbaikan nyata.

 

Kasus ini merupakan ujian serius bagi Korps Bhayangkara untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka dapat membenahi permasalahan dalam institusi mereka. Pengusutan dan investigasi harus dilakukan secara hati-hati karena kasus penembakan ini terkesan ditabrakkan dengan dugaan tindak kekerasan seksual yang diduga dilakukan Brigadir Yosua. Apresiasi akan otomatis didapatkan jika kepolisian berhasil menyelesaikan kasus ini hingga seluruh kejanggalannya dapat terjawab. Sebaliknya, kepercayaan masyarakat semakin turun apabila Polri masih mempertahankan kultur lama, yakni enggan menuntaskan kasus secara akuntabel dan berkeadilan.

 

Pertaruhan kasus ini tentu sangat besar dan ongkos yang akan dibayar akan sangat mahal jika Polri gagal. Untuk itu, terobosan yang berani perlu dilakukan Kepala Polri guna memastikan pengusutan dilakukan sesuai dengan rel dan terang benderang. Kasus ini hanya satu dari segudang tantangan Polri untuk menjawab rasa keadilan masyarakat. Lebih jauh, evaluasi internal secara menyeluruh harus dilakukan untuk memperbaiki institusi ini hingga ke akar-akarnya. ●

 

Sumber :   https://koran.tempo.co/read/opini/475289/apa-saja-kejanggalan-kasus-penembakan-brigadir-yosua-dan-bagaimana-polri-mengusutnya

 

 

Retrogresi Aktivisme Yudisial di Mahkamah Konstitusi

Idul Rishan: Anggota Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

KOMPAS, 25 Juli 2022

 

                                                

 

Jika membaca tren putusan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi dalam kurun tiga tahun terakhir, hakim konstitusi cenderung membatasi diri untuk tidak membangun penafsiran secara konfrontatif dengan pembentuk undang-undang (Presiden-DPR). Dalam perkara-perkara populis yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, MK lebih memilih menahan diri (self-restraint) untuk tidak melakukan penerobosan hukum atau yang dikenal dengan istilah aktivisme yudisial (judicial-activism).

 

Paling anyar putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yang untuk kesekian kali kembali ditolak MK. Melemahnya aktivisme yudisial MK kerap terekam dalam dua pola. Pertama, mempersempit ruang legal standing dalam praktik pengujian UU. Kedua, membatasi diri untuk tidak mengadili perkara yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk UU (open legal policy).

 

MK membangun persepsi konstitusionalnya sendiri dengan menyatakan bahwa perkara yang dimohonkan bukan merupakan problem konstitusionalitas UU, melainkan domain pembentuk UU (Presiden-DPR) yang tidak seharusnya dijangkau oleh MK.

 

”Legal standing”

 

Di awal berdirinya MK, hakim-hakim konstitusi berhasil memutus sekat antara institusi peradilan dan warga negara untuk beperkara di MK. MK menjadi institusi yang inklusif dengan membuka ruang legal standing yang cukup lebar bagi warga negara.

 

Kerugian konstitusional tidak harus dimaknai sebagai kerugian rill, tetapi juga kerugian potensial yang mungkin saja dialami oleh kelompok masyarakat ataupun perseorangan. Bahkan, melalui aktivisme yudisial para hakim konstitusi, sebagai pembayar pajak, kelompok perseorangan ataupun masyarakat bisa menjadi pihak yang mengalami kerugian konstitusional atas proses ataupun hasil kerja legislasi Presiden dan DPR.

 

Namun, harus diakui, perubahan komposisi hakim konstitusi bisa mengubah cara pandang MK dalam menilai kerugian konstitusional para pemohon. Pembayar pajak kemudian diterjemahkan ulang oleh hakim konstitusi hanya pada perkara-perkara tertentu. Saat ini, cara pandang MK kemudian kembali mengalami pergeseran. Dalam praktik pengujian UU di MK, ruang deliberasi itu kemudian dipersempit.

 

Legal standing kemudian dimaknai sebagai kerugian rill pemohon atas pembentukan dan keberlakuan sebuah undang-undang. Dalam Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 atas perkara pengujian perubahan ketiga UUMK, MK menolak permohonan uji materil karena kualifikasi pendidikan pemohon yang masih Strata-2 sehingga dianggap tidak mumpuni untuk menjadi hakim konstitusi.

 

Perkara yang berbeda, tetapi dengan alasan yang sama terjadi ketika mahkamah menguji ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu. MK menilai tidak ada kerugian rill bagi pemohon karena pemohon tidak memiliki potensi untuk dicalonkan sebagai seorang presiden. Pola penafsiran demikian, secara tidak langsung menjadikan MK sebagai institusi yang eksklusif, dengan memperlebar jarak antara masyarakat dan institusi MK sendiri.

 

”Open legal”

 

Kemudian, yang tak kalah serius, MK juga tidak pernah mencoba untuk melakukan aktivisme yudisial ketika perkara-perkara yang dimohonkan berada di wilayah kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Sifat open legal policy bisa menjadi ancaman dalam masa depan demokrasi konstitusional di Indonesia.

 

Kita bisa berkaca kepada materi muatan Perubahan UU KPK, Perubahan UU MK, Pembentukan UU Cipta Kerja, dan UU Pemilu. Semua itu merupakan pembentukan hukum negara yang sebagian pengaturannya tidak memiliki titik koordinat secara langsung dengan norma-norma yang ada di dalam konstitusi, tetapi berdampak secara luas bagi masyarakat.

 

Misalnya, ketentuan dewan pengawas dalam UU KPK, ketentuan syarat usia hakim konstitusi, penerapan metode omnibus law, dan ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan terbuka, tetapi mendapat resistensi dan penolakan karena dampaknya yang luas terhadap kepentingan masyarakat.

 

Ironisnya, Presiden dan DPR memilih mengedepankan jalur yuristokrasi. Delegitimasi sosial atas cara kerja pemerintah diharapkan bisa diselesaikan dengan cara-cara yang elegan, dalam hal ini pengujian di MK. Namun, kenyataannya, jalur yuristokrasi kita ternyata juga tumpul. MK menolak memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang seharusnya menjadi domain eksekutif dan legislatif.

 

Kondisi ketatanegaraan demikian melahirkan deadlock, bahkan saling lempar tanggung jawab antara pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan. Sebab, hakim-hakim di MK juga tidak memilih untuk melakukan aktivisme yudisial berupa penerobosan hukum atas kasus-kasus kompleks yang sifatnya open legal, tetapi memiliki dampak luas dan strategis di masyarakat.

 

Retrogresi

 

Pada 4 Juni 2021, Profesor Sulistiyowati Irianto menuliskan pesannya di kolom opini Kompas tentang pentingnya dimensi sosio-legal dalam putusan-putusan pengadilan. Aktivitas penemuan hukum di lembaga peradilan tentu tidak bisa hanya bersandar kepada norma teks dan bangunan-bangunan pasal yang ada dalam konstitusi, tetapi juga memperhatikan pentingnya konteks pemenuhan keadilan yang berkembang di masyarakat.

 

Tentu tidak bisa kami bayangkan ketika paradigma penafsiran MK menjadi relatif kaku akibat pembatasan aktivisme yudisial. Sifat self restraint para hakim konstitusi menjadikan mahkamah hanya sebagai institusi yang melegitimasi kebijakan-kebijakan yang tidak populer dan cenderung meningkatkan legitimasi pemerintah.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/retrogresi-aktivisme-yudisial-di-mahkamah-konstitusi

 

 

Membentengi Kebebasan Ekspresi

Herlambang P Wiratraman: Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

KOMPAS, 25 Juli 2022

 

                                                

 

Sistem hukum pidana haruslah beradaptasi dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Peradaban kemanusiaan itu diupayakan progresif, melalui pengembangan jaminan kebebasan dan hak-hak dasar yang sifatnya asasi dan universal. Gagasan dan semangat reformasi hukum pidana seharusnya merefleksikan sekaligus menuntun kita menuju negara hukum demokratis.

 

Di sisi lain, dinamika pembentukan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kita saat ini, perdebatan reflektif negara hukum demokratis justru absen. Sebaliknya, RKUHP terkesan mengingkari prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM), terutama jaminan kebebasan ekspresi. Hal ini tampak dari silang pendapat rumusan pasal penghinaan. Bagaimana membentuk hukum yang menjamin kebebasan ekspresi, khususnya berkaitan dengan masalah pasal penghinaan?

 

Di bawah standar

 

Ada sejumlah ”pasal penghinaan” yang dianggap mewakili karakter hukum represif dalam RKUHP, yakni Pasal 218 Ayat (1) dan (2) jis Pasal 219 jis Pasal 220. Pasal-pasal ini berkaitan dengan konsekuensi pemidanaan atas tindak penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

 

Pengecualiannya, disebutkan dalam Pasal 218 Ayat (2), bahwa tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Selain itu, Pasal 351 Ayat (1), (2), dan (3) RKUHP, berkaitan dengan tindak pidana terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.

 

Dalam tulisan di Kompas (7/7/2022) yang berjudul ”Penghinaan dan Hukum Pidana”, Eddy OS Hiariej sebagai Wamenkumham menyebut tiga alasan pasal penghinaan dipertahankan. Pertama, penghinaan berakibat pembunuhan karakter. Kedua, penghinaan dianggap tak sesuai tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya Timur. Ketiga, penghinaan adalah salah satu bentuk malaperse atau rechtsdelicten, bukan malaprohibita atau wetdelicten. Pendekatan hukum pidana menjadi argumen utamanya.

 

Berbeda dengan bantahannya, Zainal Arifin Mochtar melalui rubrik yang sama (Kompas, 13/7/2022), dengan judul ”Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi”, mengingatkan soal bahaya rumusan pasal-pasal penghinaan RKUHP tersebut dalam paradigma negara hukum dan demokrasi.

 

Satu hal yang paling mendasar dan patut dikhawatirkan dalam argumen hukum pendapat Hiariej adalah absennya pertimbangan HAM. Padahal, elemen hukum pidana begitu dekat terkait dengan begitu pesatnya perkembangan hukum HAM, sebagai instrumen standar internasional, doktrin, dan bahkan yurisprudensi yang begitu kuat mewarnai criminal justice system.

 

Jaminan kebebasan ekspresi dapat dibatasi (derogable rights). Perlu ingat bahwa Pemerintah Indonesia bersama DPR telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 19 Ayat (1) menegaskan kebebasan berpendapat yang sama sekali tak boleh dibatasi (non-derogable rights). Sementara pembatasan dimungkinkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Ayat (2) dan (3) KIHSP, terutama berkaitan dengan menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

 

Pembatasan-pembatasan harus dinyatakan tegas dalam hukum, mencerminkan alasan yang terlegitimasi (legitimate aim) dan diperlukan secara proporsional (necessary and proportional). Sayangnya, alasan Wamenkumham mempertahankan pasal-pasal penghinaan jelas tak memiliki basis legitimasi ini. Sebaliknya, dalam praktik akan susah diterapkan secara proporsional mengingat karakter represif hukum pidana selama ini yang praktiknya kerap mengancam kebebasan sipil.

 

Sekalipun bisa dibedakan, ekspresi berupa kritik bisa dikonstruksi menghina apabila rumusan RKUHP demikian. Ekspresi politik yang berbeda, debat politik, dengan artikulasi seni, seharusnya bisa dilindungi berdasarkan Pasal 19 KIHSP.

 

Figur publik, orang-orang dalam jabatan publik, adalah subyek yang sah untuk dikritik sehingga hukum-hukum yang melarang kritik kepada pejabat publik, misalnya penghinaan dan lese majeste, atau hukum-hukum yang memidanakan ketidakhormatan pada simbol negara, seperti bendera, seharusnya diatur secara lebih rinci dan menegaskan substansi legitimasinya (Komentar Umum PBB Nomor 34, para 38). Pembatasan ”penghinaan” yang memiliki basis legitimasi misalnya tindakan yang mengarah pada penghasutan untuk melakukan kekerasan dan propaganda perang.

 

Prinsip 7 dalam Prinsip Johannesburg, terkait ekspresi yang dilindungi, menyatakan bahwa ekspresi damai tidak boleh dianggap sebagai ancaman pada keamanan nasional atau sebagai bahan pembatasan atau hukuman, yang termasuk di antaranya adalah kritik atau ”penghinaan” kepada negara atau simbol-simbol negara. Seseorang juga tidak dapat dihukum atas kritik dan penghinaan terhadap negara dan simbol-simbol negara, kecuali bahwa kritik dan penghinaan tersebut dimaksudkan untuk menghasut kekerasan yang nyata (imminent violence) (Article 19 Prinsip-prinsip Johannesburg, 1 Oktober 1995).

 

Untuk membenarkan pembatasan berdasarkan keperluan keamanan nasional, pemerintah harus membuktikan bahwa ancaman berat dapat ditimbulkan, tetapi tidak perlu membuktikan kemungkinan bahwa ancaman itu mendesak atau sangat mungkin (Sandra Coliver, 1993, Buku Pedoman Article 19 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat, Hukum dan Perbandingan Hukum, Standar dan Prosedur Internasional, hlm 116). Bahkan, sekalipun penggunaan ketentuan pidana masih dimungkinkan, harus dibatasi penggunaannya dengan syarat-syarat, antara lain penegak hukum, termasuk polisi dan jaksa, tidak boleh menjadi pihak yang melaporkan kasus pidana penghinaan (Article 19, Defining Defamation: Principles on Freedom of Expression and Protection of Reputation, 2017, hlm 6).

 

Dari sisi hukum HAM internasional, ketidaklengkapan rumusan pasal penghinaan di RKUHP masih jauh di bawah standar, bahkan sebaliknya, tak koheren terhadap KIHSP yang telah diratifikasi Indonesia sendiri.

 

Efek meluas

 

RKUHP perlu mempertimbangkan prioritas penggunaan sanksi di luar sanksi denda ataupun sanksi pidana dalam kasus penghinaan. Penggunaan sanksi denda ataupun sanksi pidana hanya bisa dilakukan apabila hak untuk mengoreksi atau hak untuk menjawab tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan reputasi yang ditimbulkan.

 

Penerapan sanksi denda yang eksesif, bahkan pemenjaraan, sangat mungkin melahirkan efek meluas yang buruk (chilling effect) terhadap kebebasan berekspresi. Terlebih rumusan RKUHP dalam Pasal 598 dan 599 justru tegas memasukkan pers dan pencetak di dalamnya.

 

Kegiatan jurnalistik sepatutnya tak masuk dalam RKUHP, terlebih standar etika profesionalnya memberikan ”ruang kesalahan” (a breathing space for error). Pengecualian demikian telah menjadi doktrin dalam putusan pengadilan HAM Eropa, ketika kerja jurnalistik tak dianggap penghinaan atau tidak dapat dipersalahkan apabila tidak bisa menyampaikan pernyataan orang lain secara akurat (lihat: perkara Observer and Guardian v the United Kingdom, 1991, § 60).

 

Agar tak menjadi efek buruk yang meluas dan justru merusak elemen partisipasi publik dalam negara hukum demokratis, RKUHP perlu mempertimbangkan sejumlah hal.

 

Pertama, rumusan pasal perlu merujuk Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berekspresi. Kedua, pembatasan ekspresi dirumuskan lebih rinci nan terukur menyediakan landasan legitimasi atas tujuan dan proporsional sehingga sejalan dengan prinsip hukum HAM. Ketiga, RKUHP diupayakan mendorong keadilan dan progresivitas perlindungan kebebasan sipil.

 

Praktik peradilan yang memberikan landmark decisions, baik di lingkungan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, harus diperkuat.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/membentengi-kebebasan-ekspresi