Terowongan Penetapan Tersangka
Reza Indragiri Amriel ;
Psikolog Forensik
|
KORAN SINDO, 23
Mei 2016
”Realitasnya,
ketidaksalahan [tersangka] sering kali terdeteksi paling akurat justru sebelum
maupun setelah persidangan.” (Robert J
Smith, Recalibrating Constitutional Innocence Protection)
Beberapa bulan silam
Mirna tewas setelah meminum kopi yang sudah dibubuhi sianida. Publik,
termasuk saya, menaruh harapan besar bahwa kepolisian akan mampu mengusut
kasus ini hingga tuntas dan pelaku-(pelaku)-nya dihukum setimpal. Namun,
sulit diingkari, perkembangan kasus kopi sianida berpotensi membawa
konsekuensi tidak ringan bagi kepolisian.
Pasalnya, setelah melalui tahapan-tahapan kerja yang dramatis, polisi
kemudian mantap menetapkan J sebagai tersangka dan menjebloskannya ke dalam
tahanan. Namun ketika masa penahanan J semakin mendekati akhir, kejaksaan
menilai berkas perkara J belum kunjung lengkap.
Kemampuan memecahkan
kasus kejahatan merupakan salah satu parameter kinerja kepolisian, khususnya
unit reserse dan kriminal.
Apalagi terhadap
kejadian-kejadian kriminalitas yang menyedot perhatian publik, polisi akan
memprioritaskan penuntasan investigasi atas kasus itu. Tujuannya, pertama,
memenuhi kebutuhan korban dan keluarganya akan keadilan. Kedua, menjawab
ekspektasi masyarakat bahwa polisi mampu bekerja sampai selesai sehingga
terbit rasa aman di khalayak luas. Ketiga, memenuhi instruksi atasan.
Keempat, menghasilkan portofolio yang berkontribusi bagi pengembangan karier
para personel yang menangani kasus dimaksud.
Tingginya atensi
khalayak luas terhadap suatu kasus pada gilirannya bisa memunculkan kerawanan
terhadap kerja polisi. Pada tataran individu personel polisi, tekanan hebat
yang datang dari kasus-kasus besar berpotensi memunculkan penyimpangan
berpikir (bias kognitif). Manakala proses berpikir jalan pintas (mental shortcut) sudah menjangkiti
satu-dua penyidik, apalagi pejabat yang mengendalikan unit kerja terkait,
situasi berisiko yang dapat terbentuk berikutnya adalah groupthink.
Cirinya, tindak-tanduk
unit kerja tersebut menjadi serbagegabah demi mengejar tenggat waktu
sekaligus memelihara momentum kepercayaan publik. Termasuk tindakan yang jauh
dari kehati-hatian adalah sulitnya polisi keluar dari keyakinan
intuitif—bukan objektif berdasarkan bukti— yang kadung terbangun bahwa orang
tertentu adalah pelaku kejahatan yang mereka cari.
Boleh jadi dibutuhkan
diskusi panjang untuk menyimpulkan apakah penetapan tersangka yang terlalu
dini, apalagi disusul dengan penahanan tersangka tersebut, merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi manusia. Persoalan kompleks ini berkutat pada mencari
keseimbangan antara dua kutub. Kutub pertama adalah kewenangan polisi untuk
melakukan investigasi serta mengemban amanah masyarakat. Adapun kutub
seberangnya adalah hak tersangka selaku orang yang tetap dipandang dengan
praduga tak bersalah serta tidak ingin diperlakukan secara semena-mena.
Selain itu, penetapan
tersangka yang dilakukan secara prematur akan memantik pertanyaan tentang
pertanggungjawaban kepolisian atas pengeluaran biaya investigasi kasus. Lebih
fundamental lagi, karena penersangkaan secara keliru membuat pelaku kriminal
tetap berkeliaran, maka itu berpeluang timbul kesan bahwa polisi membiarkan
masyarakat dalam posisi rentan menjadi korban kejahatan kembali.
Dukungan publik yang
sejatinya merupakan alasan polisi untuk menetapkan tersangka (secara
prematur) seketika berbalik arah menjadi skeptisisme. Atas dasar itu, kita
mesti kembali ke adagium bahwa membebaskan seribu orang bersalah jauh lebih
baik ketimbang memenjara satu orang yang tidak bersalah. Memang tidak mudah
bagi kepolisian untuk bertindak-tanduk sesuai dengan tamsil tersebut,
terlebih ketika polisi kadung memperlihatkan gestur sedemikian yakin akan
tangkapan mereka.
Di situlah kinerja
Kepolisian Federal Amerika Serikat (FBI) bisa menjadi kaca benggala.
Data mutakhir FBI
menunjukkan bahwa clearance rate dalam kasus-kasus pembunuhan hanya 64,1%.
Padahal, 50 tahun lalu, clearance rate untuk kasus serupa mencapai 90%.
Clearance rate di atas tidak menunjuk pada tuntasnya penanganan kasus yang
diabsahkan lewat jatuhnya putusan pengadilan. Clearance rate FBI adalah jumlah kasus yang berhasil ditangani
institusi tersebut hingga tersangka ditahan ataupun tanpa penahanan karena
faktor-faktor di luar hukum.
Sepintas lalu, clearance rate yang menurun
memperlihatkan anjloknya kinerja FBI. Tapi jika ditelisik mendalam, simpulan
atas kerja FBI tidaklah sesederhana itu. Di Negeri Paman Sam, kriteria
menersangkakan seseorang lalu menahannya kian ketat. Relasi antara polisi dan
masyarakat juga memengaruhi sikap kooperatif publik, khususnya kesediaan
masyarakat untuk menjadi saksi.
Tambahan lagi, kian
banyak kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, bukan sebagai aksi
individual. Bagaimana clearance rate
Polri? Tidak ada data yang tersedia. Yang jelas, tiga unsur di atas yang
menyebabkan turunnya clearance rate FBI menunjukkan bahwa keberhasilan
pengungkapan kasus–termasuk pemberkasannya hingga lengkap– tidak sebatas
ditentukan oleh unit reskrim. Secara spesifik, evaluasi terhadap ketaatan
polisi pada kriteria dan prosedur penetapan tersangka merupakan ranah kerja
divisi profesi kepolisian.
Ketika terjadi
pengabaian terhadap acuan baku kerja, kian relevan catatan kritis Rossmo
(2009) bahwa police misconduct
merupakan salah satu penyebab utama kelirunya penetapan seseorang sebagai
tersangka. Meski pada alinea terdahulu telah disinggung faktor individual
(bias kognitif penyidik) yang menyebabkan error dalam penetapan tersangka,
amat tidak memadai jika divisi profesi kepolisian berkutat pada sisi personel
semata.
Divisi profesi perlu
mengembangkan sistem reviu yang tidak melulu terarah pada mempersoalkan
penyidik, tetapi lebih luas lagi adalah dengan mendesain organizational accident model (Batts, deLone, Stephens, 2014)
guna menelaah faktor-faktor kelembagaan yang memengaruhi error dimaksud.
Berdasarkan model tersebut, penetapan tersangka secara keliru diasumsikan
terjadi akibat pengaruh dimensi-dimensi organisasi semisal penyeliaan yang
tidak tepat maupun kurang memadainya acuan kerja yang dipedomani penyidik.
Dengan organizational accident model,
penersangkaan yang keliru dipandang sebagai kulminasi akibat faktor
individual dan organisasi sekaligus serta diposisikan sebagai kesempatan
untuk belajar, alihalih sebagai dasar penjatuhan sanksi belaka. Area lain
yang juga relevan, walau bersifat tak langsung, dalam pengungkapan kasus
adalah hubungan masyarakat (humas).
Membangun hubungan
yang saling mendukung antara kepolisian dan masyarakat melekat sebagai tugas
seluruh insan kepolisian. Spesifik terkait dengan bagaimana kepolisian
mengomunikasikan perkembangan maupun kendala pengungkapan kasus ke publik,
ini adalah area kerja unit humas kepolisian.
Unit itulah, bukan
unit-unit kepolisian lainnya, yang sepatutnya bisa diandalkan untuk memenuhi
keingintahuan khalayak luas—sebagai prasyarat terbentuknya perasaan aman
masyarakat—seraya menjaga kerahasiaan kerja para penyidik dalam
menginvestigasi kasus. Allahu a’lam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar