Pesan Kasih Waisak di Tengah Kerusakan
Tom Saptaatmaja ; Teolog;
Aktivis Lintas Agama
|
MEDIA INDONESIA,
21 Mei 2016
SELAMAT kepada
saudara-saudara kita yang beragama Buddha yang merayakan Trisuci Waisak 2560,
Minggu (22/5). Disebut Trisuci Waisak karena menunjuk pada peristiwa
kelahiran, pencapaian pencerahan sempurna, dan wafat Sang Buddha Gautama. Tiga
peristiwa itu berlangsung pada hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun
berturut-turut 623 SM, 588 SM, dan 543 SM.
Bagi kita yang tidak
beragama Buddha, rasanya kita perlu menumbuhkan semangat menghargai
perbedaan, termasuk keberanian menghargai peran dan kontribusi umat Buddha,
baik pada masa lalu maupun sekarang di NKRI yang begitu majemuk.
Kesadaran menghargai
perbedaan sangat penting terus dikembangkan di tengah maraknya kecenderungan
politik identitas dan radikalisme agama akhir-akhir ini jelas bisa memecah
belah sesama anak bangsa.
Tulisan ini berangkat
dari ketulusan seorang penulis yang telah melintasi banyak agama, termasuk Buddha.
Jika kita jujur, kita juga harus menghargai kontribusi agama Buddha dan
kekayaan peradabannya yang telah terbukti memberikan warna tersendiri dalam
sejarah Nusantara.
Seperti kita tahu,
agama Buddha muncul ke dunia tidak lepas dari peran Pangeran Siddharta
Gautama, putra mahkota Kerajaan Kapilavastu di India Utara. Sang pangeran
pernah diramalkan, kalau tidak menjadi raja, dia akan menjadi pertapa. Sang
ayah tidak ingin anaknya jadi pertapa. Karena itu, ia membesarkan pangeran
dengan segala kesenangan dan kemewahan, menjauhkannya dari orang-orang yang
mengalami kesusahan. Pangeran dinikahkan dengan Putri Yasodhara yang
memberinya seorang putra. Namun, toh pangeran tetap menyaksikan bagaimana
orang menderita, ditelan usia tua, sakit, dan mati.
Dengan merenungkan
terus mengapa ada penderitaan, pada umur 29 tahun, pangeran meninggalkan
kemapanan kerajaan dan memilih menjadi rakyat jelata. Banyak guru ditemui
untuk menjawab pergolakan batinnya mengapa ada banyak penderitaan, tetapi
tidak satu pun mampu menunjukkan cara mengatasi penderitaan. Dia berpuasa
menahan lapar hingga maut hampir merenggutnya.
Akhirnya timbul
kesadaran untuk mengambil jalan tengah, menghindari dua bentuk ekstrem:
mengumbar nafsu dan menyiksa diri. Tepat pada usia 35 tahun, pangeran
berhasil mencapai penerangan sempurna di Bodhgaya sehingga disebut Buddha. Beliau
mangkat 'Pari-nibbana' di Kusinara, India.
Penderitaan dan kerusakan
Agama Buddha memang
memberikan perhatian amat besar pada masalah penderitaan. Penderitaan bisa disebabkan
banyak hal, tapi sebagian justru terjadi karena kerusakan perilaku manusia
sendiri.
Menurut Chris Hedges,
jurnalis senior New York Times sekaligus penulis The Death of Liberal Class (2011) dan War is a Force That Gives Us Meaning (2002), kita semua punya
andil dalam kerusakan yang sedang terjadi belakangan ini. "Kita tengah
hidup di sebuah zaman ketika para dokter merusak kesehatan, para pengacara
menghancurkan keadilan, pemerintah melumatkan kebebasan, pers mengaburkan
informasi, petinggi agama merusak moralitas bangsa, dan bankir menghancurkan
perekonomian." Jika kita tidak bernafsu membela diri, jelas apa yang
diungkapkan Hegdes juga terjadi di sekitar kita.
Syukurlah di tengah
kerusakan demikian, kita selalu bisa menggali pesan Waisak yang selalu
relevan untuk kita renungkan. Waisak mengajak penganut Buddha dan siapa pun
untuk mengasah kembali kesadaran dan pengendalian diri dari perbuatan jahat. Pesan
itu dilandasi konsep dhamma bahwa
pikiran menjadi lokomotif dari suatu tindakan.
Maraknya berbagai
kasus kekerasan belakangan ini, seperti kekerasan antarwarga, pembunuhan,
atau pemerkosaan jelas merupakan eksternalisasi pikiran jahat. Demikian juga
sebenarnya pikiran jahatlah yang mendorong bangsa ini untuk terus dirasuki
kebencian dan dendam antarsesama anak bangsa, seperti tampak dari isu
bangkitnya komunisme dan pembakaran buku dan diskusi berbau kiri.
Oleh karena itu, kita
perlu menghapus kejahatan dari pikiran dan menggantinya dengan belas kasih. Buddha
mengajarkan belas kasih universal kepada semua mahluk karena belas kasih
universal mampu meluaskan pikiran baik, menyingkap sekat pembatas, dan
menjadi kekuatan sejati dalam membina persaudaraan. Seperti sabda Sang
Buddha: "Kebencian tidak akan pernah usai jika dibalas dengan kebencian,
tapi kebencian akan berakhir dengan cinta kasih. Inilah hukum yang
abadi." (Dhammapada 5).
Selama ini hambatan
primordial untuk mencintai sesama ialah egoisme. Kepentingan diri membuat
orang memberi tanpa ketulusan. Kepentingan diri membuat kita melihat sesama
manusia sebagai 'yang lain'. Sering kita melihat ironi. Dengan dalih membela
kebenaran, menegakkan keadilan, membangun demokrasi, menjaga HAM atau
mencintai agama, justru orang tergoda melakukan tindak kekerasan.
Yang masih bernurani
pasti menangis menyaksikan perilaku kekerasan.
Bumi meronta menatap
kaum jelata kelaparan di tengah naiknya harga pangan. Bumi kerontang akibat
ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa henti. Banjir bandang dan tanah
longsor pun terjadi, seperti di Sibolangit, Sumatra Utara, baru-baru ini.
Introspeksi
Belum lagi penyerangan
kelompok lain yang berbeda pilihan politik atau penyerangan umat yang
dianggap sesat. Menurut Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, Kepala Vihara
Mendut, banyak sekali orang menganggap agama sama dengan Tuhan, padahal agama
bukan Tuhan.
Agama juga terlalu
rendah jika dipakai sebagai kendaraan politik, apalagi jika untuk membenarkan
segala bentuk kekerasan.
Karena itu, Waisak
harus mendorong kita untuk berani melakukan introspeksi diri, bahkan autokritik.
Ajaran Buddha bisa menjadi alternatif pembentukan sikap dan tingkah laku
masyarakat menjadi lebih manusiawi. Momentum Waisak ialah kesempatan bagi
umat Buddha untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan daripada sekadar
mempertahankan simbolisme agama yang kosong.
Apalagi, dalam teologi
Buddhis, agama hanyalah rakit. Orang beragama menggunakan rakit. Tidak harus
melekat. Kalau seseorang melekat pada apa pun, kemelekatan itu akan
merugikan. Tiap rakit punya keunikan, kecepatan, dan jenis yang berbeda. Meski
demikian, tujuannya sama, yakni ke pantai seberang. Oleh karena itu, ajaran
Buddha menegaskan bahwa mengorbankan manusia demi kepentingan agama hanya
akan menambah penderitaan dan kerusakan di dunia. Agama bukan tujuan.
Agama hanyalah jalan
menebarkan kasih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar