Tampilkan postingan dengan label Suroto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suroto. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Maret 2016

Koperasi Pertanian Multipihak

Koperasi Pertanian Multipihak

Suroto  ;   Ketua Umum Akses; Ketua Umum Koperasi Trisakti
                                                       KOMPAS, 19 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap musim panen tiba, harga hasil pertanian pangan—baik padi maupun palawija—selalu jatuh. Akibatnya, petani kehilangan motivasi untuk bertani. Tak jarang harga jatuh seperti pada cabai dan tomat. Bukan hanya di bawah harga pokok produksi, ongkos panen pun bisa lebih mahal daripada harga jual. Secara politis pemerintah mungkin diuntungkan karena bisa meredam isu lain, terutama sosial politik, tetapi alangkah memprihatinkannya karena petani kecil yang menjadi korban.

Jatuhnya harga menandakan lemahnya kelembagaan petani. Para petani yang hanya bergerak di sektor produksi tunduk pada kekuatan para pemilik modal besar, sebut saja jaringan mafia pangan, yang biasanya bergerak di sektor seperti pembelian, perkreditan, pengolahan, pengepakan, dan pemasaran.

Para petani kecil dari sejak musim paceklik sudah dijerat oleh pengijon dan tengkulak. Saat panen tiba, mereka tidak lagi dapat menikmati panenannya.Apabila gagal panen, mereka juga tidak ditopang asuransi. Alhasil, mereka makin dalam terjerat utang dari para pengijon.

Rantai tata niaga yang panjang dari tingkat tengkulak hingga pedagang eceran di pasar kian memperparah nasib petani karena harus rela dibayar jauh di bawah harga di konsumen akhir.Sementara itu, kebijakan pemerintah yang masuk model paket input, seperti kebijakan subsidi harga pupuk, bantuan peralatan pertanian, dan akses kredit, semuanya justru menciptakan moral hazard. Subsidi pupuk bukan menguntungkan petani, melainkan justru jatuh ke tangan pedagang. Sementara akses kredit yang sudah terhubung baru rentenir/pengijon.

Subsidi pupuk, dalam setiap musim tanam, jadi bahan permainan para pedagang. Disparitas harga dibandingkan dengan pupuk nonsubsidi justru menyebabkan kelangkaan dan akhirnya petani terpaksa membeli dengan harga yang sama dengan pupuk nonsubsidi, bahkan lebih tinggi.Pasar bebas ternyata menjadi sasaran empuk mafia pupuk.Pengawasan oleh polisi semakin membuat ruwet jalur distribusi.

Sementara itu, akses kredit, seperti kredit usaha rakyat (KUR), malah sama sekali tidak menyentuh mereka karena bank penyalurnya lebih suka mendanai sektor perdagangan. Kebijakan KUR yang harusnya dapat menjadi alternatif pembiayaan tidak diikuti sistem kuota sektor.Pernah menjadi wacana, tetapi langsung diprotes para bankir.

Peran KUD

Dulu, kita pernah punya kelembagaan petani di awal 1970- an,namanya badan usaha unit desa (BUUD). Tujuannya untuk mendorong sektor pertanian di desa, terutama dalam rangka mencapai target swasembada pangan, dengan mengintegrasikan koperasi-koperasi pertanian yang sudah ada sebelumnya.

Fungsi BUUD untuk menyalurkan sarana produksi pertanian dan pemasaran serta pengolahan hasil pertanian yang sebelumnya diusahakan pihak swasta dan Perusahaan Negara (PN) Pertani.Melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1973, BUUD ini diganti dengan istilah KUD dan didudukkan sebagai koperasi pertanian yang multifungsi. Melalui Inpres No 4/1984, KUD memperoleh kedudukan tunggal di desa sebagai koperasi desa.

Proyek tersebut secara pragmatis memang berhasil mencapai target program nasional swasembada pangan pada 1983-1984. Namun, karena konsepnya serba top-down dan lupa membangun kelembagaan koperasi dengan benar, akhirnya pamor KUD turun sejak reformasi dengan dicabutnya Inpres No 4/1984 dan dikeluarkanyaInpres No 18/1998.

KUD yang menjadi primadona pada masa Orde Baru telah gagal secara kelembagaan. Penyebab utamanya, aspek otonomi organisasi dan kemandiriannya kurang diperhatikan dengan benar.

Kepengurusan KUD yang kurang demokratis juga menjadi sumber masalah tersendiri. Kesannya, para petani justru menjadi korban KUD, bukannya tertolong oleh keberadaannya. Orang sering melafalkan KUD sebagai Ketua Untung Duluan. Jadilah kuasi koperasi yang turut merusak citra koperasi.

Upaya revitalisasi kelembagaan KUD yang sering diprogramkan pemerintah belum masuk ke dalam substansi persoalan, masih sebatas formalitas ”proyek”. Revitalisasi sama sekali tidak menyentuh persoalan mendasar agar KUD dapat bekerja efektif. Bahkan, kalaupun direvitalisasi,dengan tanpa mengabaikan beberapa KUD yang mampu mereformasi dirinya sendiri, peran KUD ini tetap saja kehilangan makna karena hanya menghidupkan puing-puing organisasi yang gagal di masa lalu.

Koperasi multipihak

KUD adalah masa lalu, produk gagal yang mesti diganti dengan inovasi baru untuk memperkuat kelembagaan petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Kita harus berani membangun sesuatu yang baru untuk memperkuat organisasi petani melalui konsep koperasi pertanian basis multipihak. Koperasi ini melibatkan berbagai pihak, baik produsen, pekerja, konsumen, maupun investor, menghubungkan kepentingan seluruh pendukung kedaulatan pangan dalam satu organisasi. Koperasi diharapkan dapat mengintegrasikan seluruh bisnis pertanian baik di sektor on farm maupun off farm.

Agar tak mengulangi kesalahan masa lalu, kita mesti memberdayakan koperasi pertanian multipihak ini dalam kerangka pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat yang mengedepankan partisipasi dan prakarsa masyarakat. Mereka tidak boleh hanya menjadi obyek program, tetapi juga harus diperkuat kapasitasnya untuk turut mengawasi berjalannya usaha dari koperasi.

Program pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan mesti jadi landasan kekuatan koperasi pertanian multipihak. Program pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan tidak hanya menyangkut teknikal manajemen, tetapi juga aspek substansial nilai-nilai dan prinsip yang jadi landasan operasional koperasi.

Secara operasional, manfaat ekonomi koperasi harus dihitung dan didistribusikan secara jelas sesuai dengan besaran partisipasi setiap pihak. Hal ini penting untuk menjaga prinsip resiprokatif koperasi. Model bisnis koperasi mesti menggunakan asas subsidiaritas.

Peran pemerintah pada masa lalu koperasi mesti dihilangkan. Struktur organisasi koperasi pertanian yang baru tidak boleh mengandung beban ”politik” dan mampu merepresentasikan kepentingan multipihak. Peranan pemerintah hanya sebagai katalisator dan fasilitator agar proses persenyawaan bisnis terjadi.

Dalam konsep teknis operasional bisnisnya, pendekatan pengembangan koperasi bisa meng- gunakan skema penyertaan modal pemerintah (PMN/D), tetapi tidak dominan. Semangatnya juga tetap keswadayaan dan fungsinya mengakselerasi bisnis di masyarakat.Subsidi pupuk Rp 35 triliun pada 2016 akan lebih baik kalau dijadikan stimulan modal kerja koperasi multipihak ini dalam skema PMN. Demikian juga dengan subsidi yang diberikan kepada bank melalui program KUR, lebih baik dijadikan modal awal untuk membangun bank milik petani yang dimiliki secara kolektif oleh koperasi-koperasi.

Konsep baru koperasi pertanian multipihak ini, ke depan, juga dapat dikembangkan ke dalam basis bisnis yang lebih luas. Seperti perkulakan/pasar kebutuhan sehari-hari, simpan pinjam, perasuransian, dan pemasaran produk bersama.

Koperasi ini juga dapat beroperasi menyalurkan saprotan (sarana produksi pertanian) di tiap-tiap desa. Melalui koperasi pertanian multipihak, jalur distribusi kepemilikan dan pengawasannya dapat dilakukan anggota secara dinamis.

Akhirnya, koperasi sebagai bagian dari gerakan ekonomi rakyat yang masifdapat menjadi basis ketahanan ekonomi rakyat. ●

Minggu, 12 Oktober 2014

Badan Usaha Desa dan Koperasi

Badan Usaha Desa dan Koperasi 

Suroto   ;   Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES);
Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi;
Wakil Ketua Induk Koperasi Konsumsi Indonesia (IKKI)
KOMPAS,  11 Oktober 2014




SEJAK UU Desa diterbitkan, muncul wacana pengembangan badan usaha milik desa. Ide ini menjadi bagian penting dari bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di tingkat desa sejak dimasukkan dalam klausul penting UU Desa.
Badan usaha milik desa (BUMDes) adalah terobosan baru yang patut diapresiasi. Setidaknya ide ini bisa jadi bentuk baru kepemilikan bisnis masyarakat dan mendorong proses pemerataan ekonomi sampai ke desa-desa yang selama ini terabaikan. Namun, nasibnya jangan sampai seperti badan usaha unit desa (BUUD) yang bermetamorfosa menjadi koperasi unit desa (KUD) yang kini mati suri.

BUMDes ini mirip badan usaha milik negara (BUMN) di tingkat pemerintah pusat atau badan usaha milik daerah (BUMD) di tingkat pemerintahan daerah. Sebagaimana diatur dalam UU, BUMDes adalah badan usaha yang dimiliki pemerintah dan masyarakat di tingkat desa atau kerja sama antardesa yang mekanisme pembentukannya melalui musyawarah desa.

Sebelum ide BUMDes muncul, sebetulnya pada 1971 pernah ada BUUD. Ini dibentuk pertama kali sebagai proyek percontohan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terintegrasi dalam program Bimbingan Masyarakat (Bimas), bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Tujuan awal BUUD adalah untuk mendorong sektor pertanian di desa, terutama dalam rangka mencapai target swasembada pangan, dengan mengintegrasikan koperasi-koperasi pertanian yang sudah ada sebelumnya. Fungsi BUUD untuk menyalurkan sarana produksi pertanian dan pemasaran serta pengolahan hasil pertanian yang sebelumnya diusahakan pihak swasta dan Perusahaan Negara (PN) Pertani.

Berangkat dari kegiatan proyek percontohan di DIY ini kemudian dikembangkanlah proyek KUD yang kekuatannya lebih banyak ditopang pemerintah.

BUUD kemudian diperjelas oleh pemerintah dalam konsep KUD dengan Inpres No 4/1973, di mana KUD didudukkan sebagai koperasi pertanian yang multifungsi. Meski demikian, dengan semakin menguatnya politik birokrasi pemerintahan Orde Baru, dengan Inpres No 4/1984, KUD memperoleh kedudukan tunggal di desa sebagai koperasi desa.

Proyek ini secara pragmatis memang telah berhasil mencapai target program nasional swasembada pangan yang diraih pada 1980-an. Namun, karena konsepsinya semua serba atas-bawah dan lupa membangun kelembagaan koperasi dengan benar, pada akhirnya pamor KUD turun sejak reformasi dan dicabutnya Inpres No 4/1984.

Masa lalu KUD

KUD yang menjadi primadona pada masa Orde Baru memang telah gagal sebagai kelembagaan. Penyebabnya: aspek otonomi organisasi kurang diperhatikan.  Pemerintah lupa bahwa organisasi koperasi adalah organisasi otonom yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Ambisi besar untuk meraih predikat swasembada pangan nasional telah menutup agenda anggota koperasi. Manfaat dari koperasi kemudian hanya dirasakan oleh segelintir elite penguasa dan pengurusnya.  

Namun, diakui atau tidak, KUD setidaknya telah memberikan bentuk layanan masyarakat petani secara jelas dibandingkan dengan pada masa sekarang. Mereka masih mendapatkan kepastian tentang harga dan persediaan pupuk serta masih dapat pinjaman melalui unit simpan pinjam yang diselenggarakan KUD. Mereka masih mendapatkan bentuk-bentuk penyuluhan yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian mereka.

Saat ini, pemerintah seperti absen untuk melayani petani di desa. Bahkan, untuk mendapatkan pupuk pun banyak yang harus mencarinya dari rumah polisi yang turut diberikan otoritas untuk mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi dengan harga yang jauh melambung di atas harga seharusnya. Sementara untuk pendanaan, mereka harus menyerah kepada para pengijon.

Banyak petani yang kemudian jatuh miskin dan kehilangan motivasi. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari jumlah rata-rata kepemilikan lahan petani yang rata-rata hanya tinggal  0,23 hektar per keluarga. Jumlah petani gurem alias hanya buruh tani yang tak punya lahan juga tak sebanyak sekarang, yang jumlahnya sampai 73 persen dari jumlah petani yang ada.

Masa depan BUMDes

Sejak UU Desa diterbitkan, setiap desa akan mendapat dana alokasi yang cukup besar setiap tahun. Dengan simulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 saja akan mengalir dana ke desa rata-rata Rp 1 miliar. Sebagian tentu akan digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat desa yang jumlahnya 77.548 desa (BPS, 2010) melalui BUMDes.

Sebagian dana alokasi APBN tersebut, ditambah skema model modal penyertaan dari pemerintah, dana bantuan sosial, hibah, dan lain-lain, BUMDes akan memiliki sumber permodalan yang besar untuk pengembangan usaha. Namun, agar tak mengulangi kesalahan masa lalu dari model BUUD/KUD, kita mesti memberdayakan BUMDes ini dalam kerangka pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat yang baik dengan mengedepankan partisipasi dan prakarsa masyarakat.

Mereka tidak boleh hanya jadi obyek program, tetapi harus diperkuat kapasitasnya untuk turut mengawasi berjalannya usaha dari BUMDes. Program pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang tidak bernilai ekonomis perlu jadi prioritas. Sementara pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang bernilai ekonomis dapat dilakukan oleh internal manajemen BUMDes sendiri.

Manfaat BUMDes harus dihitung dan didistribusikan secara jelas. Agar terus berkelanjutan, perlu disusun dalam pola bisnis perlindungan dana kembali (economic patrone refund) yang berbasis partisipasi ekonomi masyarakat. Program ini dapat dijalankan seiring dengan penggunaan basis teknologi informasi desa.

Struktur organisasi BUMDes yang menunjukkan peranan kuat dari pemerintah desa harus dikurangi. Kita dapat belajar dari kesalahan pola struktur organisasi KUD masa lalu yang kuat dipengaruhi birokrasi, di mana camat atau kepala desa begitu kuat peranannya karena mereka berada di dalam struktur organisasi. Peranan pemerintah harus ditempatkan sebagai katalisator dan fasilitator agar proses persenyawaan bisnis dapat berjalan secara natural, tidak dipaksakan.

Kita juga dapat belajar dari keberhasilan model Koperasi Moshav, koperasi desa yang ada di Israel. Koperasi Moshav yang keanggotaannya meliputi semua warga desa ini bisa dicontoh dalam  mengintegrasikan pemerintahan desa yang berfungsi sebagai layanan sosial-ekonomi dan pelayanan dalam bidang pelayanan publik. Dengan begitu, pada suatu saat apa yang dikatakan Bung Hatta benar adanya: bahwa apabila pemerintah desa telah beririsan dengan baik dan tanpa jarak dengan koperasinya, makmurlah desa dan negara itu.

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pembatalan UU Perkoperasian

                                 Pembatalan UU Perkoperasian

Suroto  ;   Anggota Penguji Materi UU Perkoperasian dari Koalisi Ornop untuk
Demokratisasi Ekonomi; Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis;
Alumnus Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah
KOMPAS, 15 Agustus 2014



Andaikan para pemimpin dunia paham ekonomi koperasi, gerakan koperasi, dan perusahaan koperasi, dunia tidak akan seburuk ini. (Paus Fransiscus, 2014) Teman saya seorang pengamat politik tiba-tiba menjadi sangat tertarik membicarakan koperasi. Dia mengaku kaget mendengar Mahkamah Konstitusi membatalkan sepenuhnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengenai Perkoperasian tanggal 28 Mei 2014. Mengapa UU itu dibatalkan? Apa UU itu bermasalah secara konstitusional dan fundamental?

Saya menjawab persis seperti jawaban saya atas pertanyaan Dawam Rahardjo ketika berdiskusi dengan beberapa teman Koalisi Ornop untuk Demokratisasi Ekonomi.

Ada dua pertanyaan Dawam, pertama, apakah UU No 17/2012 itu melanggar jati diri koperasi? Apakah UU yang melanggar jati diri koperasi tersebut melanggar UUD 1945? Saya menjawab tegas: ya!

Pertama, UU perkoperasian tersebut sudah melanggar jati diri koperasi karena pengertian koperasi menjadi kabur.

Koperasi adalah sebagai perkumpulan orang (people based association), sedangkan pengertian koperasi menurut UU No 17/2012 adalah asosiasi berbasis modal (capital based association) yang berarti tidak ada bedanya dengan model perusahaan swasta kapitalistik.

Dalam berbagai pasal, saya juga tunjukkan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi telah direduksi dengan berbagai pasal yang mengerdilkan posisi koperasi secara substantif.

Jadi jelas, UU tersebut memang melanggar jati diri koperasi, menyimpang dari dasar alasan adanya (raison d’etre) koperasi dan cacat secara epistemologis.
Kedua, UU yang melanggar jati diri koperasi jelas melanggar UUD 1945 karena secara tegas disebut oleh terutama Bung Hatta (1952) bahwa yang dia maksud dengan sistem ekonomi kekeluargaan adalah koperasi!

Pasca-putusan

Kita bersyukur hakim konstitusi telah membatalkan UU tersebut. Kita jadi tahu, pembuatan UU yang memakan waktu lebih kurang 12 tahun dan menghabiskan ratusan miliar itu ternyata memang syarat kepentingan kolutif.

Kita jadi tahu kualitas para pembentuk UU tersebut. Kita juga jadi tahu bagaimana orang-orang di Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) tidak bisa menjaga amanat anggaran dasar organisasi untuk menjaga jati diri koperasi.

Meski demikian, kita perlu cermat dan hati-hati karena hakim konstitusi memutuskan bahwa untuk mengisi kekosongan hukum, untuk sementara waktu diberlakukanlah UU No 25/1992 tentang Perkoperasian yang substansi dan pemikirannya sama dengan UU yang dibatalkan.

Kita mesti bersama mengawal penyusunan UU baru melalui proses uji legislasi baru sebab kita tidak memiliki mekanisme perwakilan representatif dari gerakan koperasi secara khusus. Kita pada akhirnya harus kembali berharap kepada orang yang sama di pemerintahan.

Perlu menjadi catatan, upaya pembaruan UU Perkoperasian memang dimotori oleh lembaga yang pernah saya pimpin, Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia, pada 2000 yang kemudian ditunjuk oleh pemerintah untuk menyusun draf dan kajian akademiknya.

Dasarnya adalah karena UU No 25/1992 dianggap telah menyimpang dari UUD 1945 dan filosofi dasar koperasi. Namun, dalam perjalanannya banyak sekali yang memotong di jalan, terutama ketika masuk dalam agenda legislasi di parlemen.

Harapan baru

Harapan saya, ketika nanti terbentuk satu UU yang baru, setidaknya memenuhi tiga syarat penting.

Pertama, UU tersebut mau memberikan pengakuan/rekognisi terhadap praktik terbaik (best practices) dari apa yang telah dilakukan koperasi dan dasar aturan apa yang membuat mereka berkembang dan memberikan manfaat bagi anggotanya. Satu contoh adalah koperasi perempuan yang berbasis di Jawa Timur yang telah menjadi penguji materi dan gerakan koperasi kredit (credit union).

Kedua, UU yang baru tersebut juga harus mampu memberikan perlindungan dan menghargai jati diri koperasi sebagai organisasi otonom dan mandiri dengan tidak banyak intervensi terhadap kepentingan anggota. Perlindungan ini juga mesti disertai dengan sifat UU yang sanksinya harus jelas sehingga UU yang baru nanti tidak hanya jadi macan kertas dan tidak imperatif (memerintah).

Ketiga, UU yang baru harus mampu memberikan distingsi dan perlakuan yang berbeda dengan tidak memaksakan agar semua dikompabilitaskan dengan aturan permainan korporasi yang liberal kapitalistik.

Koperasi diberikan distingsi karena di dalam koperasi itu terdapat dimensi luas, baik secara ideologis maupun mikro-organisasi.

Koperasi perlu diberikan distingsi karena di dalamnya inheren sebagai urusan publik (res-publik) dan bukan urusan privat (res-privat) yang mengejar keuntungan semata.

Sebagaimana jadi pertimbangan majelis hakim konstitusi, koperasi dianggap sebagai bangun demokrasi ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, dan ini tidak bisa diabaikan.

Maka, demokrasi ekonomi itu juga berarti harus bekerja dalam diktum pemerataan akses ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan. Fungsinya menjadi luas menyangkut aspek keamanan ekonomi, keseimbangan ekologikal, keadilan sosial, dan stabilitas politik.

Selasa, 08 April 2014

Kemiskinan dan Ketergantungan

Kemiskinan dan Ketergantungan

Suroto  ;   Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES),
Wakil Ketua Induk Koperasi Konsumsi Indonesia
KOMPAS, 08 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
AKAR kemiskinan itu adalah ketergantungan pada tiga hal, yaitu ketergantungan pada derma/sedekah, politik, dan rentenir. Inilah pandangan Friedrich Wilhelm Raiffeisen (1818-1888), yang menjabat sebagai Wali Kota Flammersfeld/ Westerwald, Jerman, pada 1848.
Raiffeisen adalah tokoh sosialis utopis yang kurang kondang pada masa Revolusi Industri waktu itu. Raiffeisen, yang kebetulan tahun kelahiran dan juga kematiannya sama dengan Karl Marx (1818-1888) ini, pernah membuat satu uji coba untuk membantu rakyatnya lepas dari kemiskinan akut akibat sistem kapitalisme di masa Revolusi Industri pada waktu itu.

Awalnya dia mendirikan kumpulan para penderma (filantropi) dan mendirikan bread society. Ia mengumpulkan uang dari para penderma guna mendirikan pabrik roti untuk diberikan kepada orang miskin dengan maksud agar mereka lepas dari kemiskinannya.

Namun, Raiffeisen menemukan hal yang membuat dia hampir putus asa dengan proyeknya itu. Kemiskinan yang diderita rakyatnya tidak kunjung berkurang. Yang terjadi justru antrean yang semakin panjang dari orang-orang miskin untuk berebut sedekah. Alhasil, dia kemudian menemukan satu konsep bahwa kemiskinan itu tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara karitatif atau sedekah. Dia mengambil kesimpulan bahwa orang miskin akan lepas dari kemiskinannya dengan solidaritas di antara orang miskin tersebut untuk saling membantu.

Melengkapi konsepnya, Raiffeisen menyarankan agar orang-orang miskin itu coba melepaskan ketergantungan tersebut dengan konsep menolong diri sendiri (self help), mengelola sendiri (self-governance), dan tanggung jawab sendiri (self-responsibility). Konsep itu kemudian diwujudnyatakan salah satunya dengan gagasan koperasi kredit atau credit union, lembaga perbankan yang dimiliki para nasabahnya yang saat ini beranggotakan hampir setengah miliar penduduk dunia.

Kemiskinan kita

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2013, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang atau 11,47 persen dari jumlah total penduduk. Jika ditambah mereka yang rentan miskin, lebih kurang 70 juta, jumlahnya hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia.

Setiap tahun, pemerintah selalu mengalokasikan dana ratusan triliun rupiah untuk menangani kemiskinan ini. Baik dalam program subsidi, dana program pengentasan dari kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi, hingga bantuan langsung. Hasilnya, mereka tetap saja berada dalam jerat kemiskinan dan hidup serba dalam kesulitan.

Angka pertumbuhan ekonomi kita yang rata-rata dalam satu dekade ini mencapai 5,6 persen dan menjadikan posisi nomor dua di dunia setelah Tiongkok pada 2013 ternyata tidak mampu mengubah kondisi si miskin. Bahkan, peringkat kesenjangan sosial-ekonomi yang ditandai dengan angka indeks gini 0,41 telah memperlihatkan secara gamblang bahwa segelintir orang menjadi semakin kaya dan rakyat banyak semakin terpuruk.

Bila kita analisis secara mendalam, apa yang dilakukan pemerintah ataupun politisi di Senayan sepertinya abai terhadap masalah mendasar dari ketergantungan yang disampaikan Raiffeisen. Mereka malah terlihat berupaya keras untuk melanggengkan ketergantungan tersebut demi memenuhi hasrat kekuasaan dan hasrat ekonomistik dengan program-program populis.

Sebut saja, misalnya, pemerintah ternyata lebih gemar menggelontorkan program semacam bantuan langsung tunai, subsidi untuk si miskin, dan program dermatif  lainnya. Tak heran bila kemudian setiap upaya pemberdayaan hasilnya adalah ketidakberdayaan dan setiap pembinaan telah menjadikan rakyat terbinasa pelan-pelan.

Mereka juga gemar menciptakan regulasi yang tak jelas menyelesaikan akar ketergantungan  masyarakat. Para petani kita tetap dibiarkan gurem, di mana fakta di lapangan menunjukkan 75 persen petani tidak punya lahan dan 24 persen lainnya hanya memiliki lahan seluas 0,3 hektar. UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU PA) yang seharusnya bisa jadi pintu  masuk bagi proses redistribusi lahan bukannya dijalankan, justru dipereteli dengan berbagai UU sektoral lainnya.

Jerat ketergantungan

Hasilnya dapat kita lihat. Menurut data BPS, saat ini 87 persen daratan kita dikuasai hanya oleh 0,2 persen jumlah penduduk.  Masyarakat kita tidak saja telah terpisahkan dari tanah tempat mereka bercocok tanam untuk sekadar bertahan hidup (subsisten), tapi telah masuk dalam  jerat ketergantungan pada mafia kartel pangan yang serba diimpor. Puncaknya, pada 2013, kita didera defisit perdagangan dan pembayaran, yang sepertinya masih akan menjadi ancaman di 2014 karena penanganan semu pemerintah dengan hanya berkutat pada indikator-indikator ekonomi makro.

Buruh miskin perkotaan juga dibiarkan setiap akhir tahun berdemo demi menuntut kenaikan gaji yang sebetulnya secara riil kenaikannya selalu saja tergerus inflasi. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda pemerintah dan para elite politik di negeri ini ingin mengadakan reformasi mendasar terhadap persoalan regulasi korporasi.

Undang-undang pembagian saham bagi buruh tidak pernah muncul, bahkan sekadar sebagai isu. Pembatasan rasio gaji antara mereka yang di level top management dan buruh terendah juga tidak pernah dibahas. Persoalan ketidakadilan dalam redistribusi kekayaan dan pendapatan hampir tak terbahas. Padahal, jelas bahwa perintah konstitusi kita mengharuskan dilakukannya proses demokratisasi ekonomi.

Seperti mekanisme kerja tembolok, kemiskinan di negeri ini sepertinya selalu ditaruh untuk penanganan sementara dan kemudian akan dikunyah terus dari waktu ke waktu tanpa henti. Kemiskinan akan terus dikritik. Akan tetapi, itu dilakukan demi pelanggengan kemiskinan itu sendiri, dan semua itu bermuara dari hasrat untuk berkuasa dan keserakahan.

Kamis, 03 Oktober 2013

Membangun Koperasi Pasar Tradisional

Membangun Koperasi Pasar Tradisional
Suroto  ;  Wakil Ketua Induk Koperasi Konsumsi Indonesia;
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis;
Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia
KOMPAS, 02 Oktober 2013


Perkembangan pasar dan toko tradisional di Indonesia dalam satu dekade ini mundur signifikan. Bukan saja akibat persaingan, melainkan juga karena perilaku dan selera belanja masyarakat yang mulai berubah.

Keberadaannya semakin terjepit ketika pemerintah dan DPR mulai merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan, yang isinya dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk liberalisasi ekonomi dengan membuka karpet merah bagi investor asing untuk berinvestasi dan melakukan penetrasi pasar.
Walaupun belum ada angka statistik pasti, kehadiran pasar swalayan yang dianggap lebih bersih, lebih prima pelayanannya, dan lebih nyaman, yang menjamur di mana-mana, menjadi ancaman nyata pasar dan toko kelontong tradisional yang telah hidup berpuluh tahun. Merek-merek pasar swalayan luar negeri masuk tanpa kendali.

Pangsa pasar swalayan terus meningkat, menguasai 41 persen pasar ritel yang ada dan terus menggerus pangsa pasar tradisional hingga tinggal 59 persen (AC Neilsen, 2012).
Dengan perkembangan jumlah outlet lebih dari 150 persen dalam 5 tahun terakhir, tanpa transformasi, keberadaan pasar tradisional akan habis dalam satu dekade mendatang.

Kongsi ke koperasi

Padahal, kalau dikelola serius, pasar tradisional yang diintegrasikan dengan toko-toko tradisional bisa menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Apalagi, pasar tradisional ini menjadi salah satu mata rantai perdagangan produk pertanian, kerajinan, dan pangan olahan rumah tangga yang berbasis di desa-desa mewakili kehidupan ekonomi rakyat.
Pasar tradisional dan toko-toko tradisional tentu tak dapat menyalahkan perubahan perilaku konsumen.
Merekalah yang justru harus berubah dan berkolaborasi dari pola kongsi menuju koperasi dan mengubah struktur pelaku pasar tradisional yang ada selama ini.

Keberadaan pasar tradisional sebetulnya banyak menghidupi masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari menjadi pedagang lapak, blantik, bakul candak kulak, kuli panggul, tukang parkir, buruh toko dan warung makan kecil, hingga menjadi pemiliknya. Namun, tak dapat disangkal, selama ini mereka juga tak lepas dari cengkeraman pedagang besar, preman, rentenir, serta jaringan pemasok produk pabrikan besar.

Kalau pasar tradisional ingin tetap bertahan, model kongsi para pedagang harus ditransformasi ke arah koperasi yang pemiliknya meliputi seluruh pelaku pasar. Baik itu pedagang, pemasok, pekerja, maupun konsumen dalam konsep koperasi multistakeholder.

Melalui model koperasi pasar tradisional tersebut, pedagang kecil-kecil dapat mengadakan pembelian bersama untuk produk-produk yang akan mereka jual sehingga bisa mendapatkan nilai rabat yang besar.
Para pengusaha toko tradisional yang terintegrasi dalam koperasi dapat memperluas kekuatan koperasi pasar tradisional ini.

Dengan pola koperasi, gaji para buruhnya juga bisa distandardisasi sehingga pola hubungan kerja para pekerja toko menjadi jelas. Mereka tidak dapat lagi diperlakukan semena-mena oleh pedagang, yang kebanyakan masih menggaji mereka di bawah upah minimum dan tanpa jaminan sosial apa pun.

Nilai tambah

Pola koperasi juga memberikan nilai tambah kepada para pemasok karena melalui kerja sama yang dimediasi koperasi pasar, pemasok rumah tangga yang selama ini di bawah kendali harga mafia kartel besar bisa mendapatkan harga layak.

Pola koperasi dapat menutup praktik pungutan liar dari retribusi informal, yang selama ini berjalan di bawah kendali preman, dan kemudian dana yang ada dapat dikumpulkan untuk menopang biaya perawatan serta pengembangan pasar secara mandiri.

Melalui koperasi, para konsumen loyal yang hubungannya telah terbina dapat menjadi anggota dan 
mendapatkan rabat khusus yang menguntungkan mereka.

Bukan tidak mungkin mereka dapat juga menjadi kekuatan bersama membangun bentuk-bentuk perusahaan pendukung, misalnya lembaga keuangan, asuransi, bahkan pabrikan.

Dengan demikian, pasar tradisional dapat menciptakan sistem pendukung yang memungkinkan untuk berkembang secara berkelanjutan tanpa harus takut menghadapi penetrasi dari pasar swalayan, baik milik perorangan lokal maupun luar negeri.

Untuk mengerem dan mengoposisi minimarket modern yang telah merangsek masuk dengan kepemilikan asing, toko-toko tradisional yang ada, dengan inisiasi pemerintah, dapat membentuk model koperasi konsumen yang menjadi bagian dari jejaring pasar tradisional sebagai induknya.

Konsumen daerah permukiman dapat pula mendirikan toko-toko koperasi di wilayahnya sehingga menjadi bagian penting pengembangan koperasi pasar tradisional.

Seperti Singapura, ada satu jaringan ritel koperasi NTUC Fair Price yang dimiliki oleh 500.000 warga Singapura.

Jaringan ini mampu memoderasi biaya hidup warga Singapura dan bahkan menjadi jaringan masif yang menguasai 61 persen dari pasar ritel modern di sana.

Pada akhirnya, pemerintah dan DPR sebagai aktor pembentuk regulasi dan kebijakan harus memberikan batasan regulasi serta keberpihakan kebijakan untuk melindungi yang kecil.


RUU Perdagangan yang disusun harus menunjukkan political will bagi perlindungan kepentingan nasional serta distingsi yang memadai bagi masyarakat secara umum. Kecuali kalau mau menggadaikan pasar kita kepada bangsa lain.  ●

Senin, 22 Juli 2013

Dekade Koperasi 2020

Dekade Koperasi 2020
Suroto ;  Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I);
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
KOMPAS, 17 Juli 2013


Peringatan Hari Koperasi berlangsung dalam bulan Juli ini, setelah sepanjang tahun 2012 ditetapkan sebagai tahun koperasi dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setidaknya ada empat hal penting dari kontribusi gerakan koperasi yang diakui PBB, yaitu efektif mengurangi kemiskinan, mengkreasi pekerjaan, mendorong integrasi sosial, dan mewujudkan globalisasi.
Koperasi dianggap turut mengurangi kemiskinan karena memampukan orang-orang di sektor informal, seperti petani, nelayan, dan perajin, untuk hidup lebih sejahtera. Mereka dapat menjadi pemilik dari perusahaan koperasi dengan mudah.
Koperasi setidaknya telah melayani 3 miliar orang di seluruh dunia dan beranggotakan lebih dari 1 miliar orang. Gerakan koperasi secara keseluruhan telah menciptakan lapangan kerja bagi 100 juta orang lebih, berarti 20 persen di atas perusahaan multinasional.
Dekade koperasi
Tidak ingin kehilangan momentum, organisasi koperasi dunia International Co- operative Alliance (ICA) menyusun kertas kebijakan untuk pengembangan koperasi selanjutnya dalam proyek Cetak Biru Dekade Koperasi. Dalam cetak biru itu, koperasi ingin membuktikan diri sebagai perusahaan dengan pertumbuhan tercepat dunia pada tahun 2020.
Empat pilar penting dari proyek kebijakan tersebut adalah menumbuhkan partisipasi dan pengendalian anggota di koperasi, menumbuhkan kekuatan permodalan anggota dengan swadaya, mendorong kerangka hukum yang baik, dan menjamin keberlanjutan dari koperasi.
Dengan kebijakan Dekade Koperasi, koperasi di seluruh dunia dapat segera menumbuhkan pengertian masyarakat tentang koperasi yang benar dan membangun kesadaran akan manfaat koperasi sebagai bentuk dari demokrasi ekonomi.
Kesadaran tinggi tersebut juga diharapkan akan mampu mendorong partisipasi swadaya anggota untuk berbagi risiko bersama dan membangun kekuatan modal dalam model bisnis kolektif koperasi. Sementara itu perjuangan yang tak kalah penting adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya ruang lingkup hukum yang memadai.
Kondisi Indonesia
Secara statistik, koperasi di Indonesia terlihat hebat, meliputi jumlah anggota kurang lebih 192.000 dan jumlah anggota 33 juta orang (Menegkop dan UKM, 2012). Namun, kontras dengan kenyataan, hasil penelitian Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I)menunjukkan, 70 persennya adalah koperasi fiktif, 23 persen koperasi mati suri, dan hanya kurang lebih 7 persen yang mandiri dan tak mengandalkan bantuan pihak luar.
Kenyataan yang tidak dapat disangkal, selain kehidupan sehari-hari masyarakat yang kembang kempis menghadapi tekanan ekonomi, Indeks Rasio Gini kita 0,43 tercatat sebagai terburuk setelah Indonesia merdeka, adalah sinyal kuat bahwa kesenjangan sosial-ekonomi itu semakin menganga lebar. Artinya, koperasi juga belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini sinyal bahwa ada yang salah dengan pembangunan koperasi kita.
Salah satu bentuk misalnya adalah produk regulasi kita. Pada 30 November 2012, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Namun, seperti mengulang kesalahan, UU ini ternyata tidak menangkap aspirasi sehingga susunannya tidak menciptakan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan koperasi yang baik. Bahkan oleh sebagian pihak saat ini sedang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena isinya merusak tatanan demokrasi koperasi.
Isi dari UU Perkoperasian yang baru bukan saja telah cacat secara epistimologi, melainkan juga merusak jati diri koperasi dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara mendasar UU ini juga telah mengubah kaidah dasar koperasi sebagaimana kesepakatan gerakan koperasi dunia. Sebut saja, misalnya, pasal mengenai definisi yang ngawur (pasal 1 ayat (1)), mengenai intervensi kekuatan modal penyertaan dari luar (pasal 1 angka 11, pasal 66 ayat (2) huruf b, pasal 75, pasal 76, pasal 77), struktur kepengurusan yang dirancang secara tidak demokratis (pasal 50 ayat (1) huruf a, pasal 50 ayat (2) huruf e, pasal 55 ayat (1), pasal 56 ayat (1), pasal 63, pasal 65), dan juga subordinasi gerakan koperasi terhadap pemerintah dengan penegasan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal (pasal 1 angka 18, pasal 115, pasal 16, pasal 117, pasal 118, pasal 119).

Sepertinya, kebijakan Dekade Koperasi yang telah ditetapkan oleh International Cooperative Alliance tidak bergaung karena pembangunan koperasi di Indonesia justru akan menjadi perjuangan keras masyarakat. Bukan karena koperasi tidak dibutuhkan, melainkan karena pemerintah dan parlemen kelihatan lebih dominan sebagai perusak otonomi koperasi. Satu doa untuk mereka yang sedang berjuang ke MK, semoga kebenaran yang menang. ● 

Sabtu, 24 November 2012

UU Perkoperasian Warisan Kolonial


UU Perkoperasian Warisan Kolonial
Suroto ;  Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I); Peserta proyek penyusunan Sejarah Koperasi Dunia; Tinggal di Jakarta
KOMPAS, 24 November 2012


Sejak koperasi pemula dideklarasikan sebagai organisasi modern pada pertengahan abad ke-19 di Eropa, selalu ada penjegalan, baik secara represif maupun terselubung, oleh kaum kapitalis ataupun fasis.
Kaum borjuis kapitalis tidak ingin koperasi itu berkembang karena akan mengancam tujuan akumulasi kapital mereka. Bagi kepentingan rezim fasis, hasil pendidikan demokrasi koperasi ditakutkan akan mengancam kekuasaannya. Mereka menyatukan kekuatan untuk menggagalkan koperasi.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda hingga sekarang. Upaya penjegalan selalu saja terjadi, baik dalam bentuk produk regulasi maupun kebijakan.
Koperasi di Indonesia diperkenalkan oleh de Wolf van Westerrode, Asisten Residen Purwokerto. Orang muda idealis yang mati muda ini ingin memperkenalkan koperasi kredit (kopdit) model Raiffisien yang berkembang di Jerman dan Belanda karena melihat potensi budaya serupa di masyarakat Purwokerto, misalnya sistem lumbung dan tradisi gotong royong.
Namun, karena koperasi yang akan dikembangkan melalui tabungan masyarakat itu berpotensi memandirikan masyarakat pribumi dan menjadi ancaman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda, sejak dini ide koperasi dijegal oleh Residen Purwokerto pada masa itu dengan kebijakan yang berseberangan.
Sistem tabungan dan lumbung yang ingin dikembangkan tanpa banyak campur tangan pemerintah itu dioposisi dengan model Hulp Spaarken Bank (bank berbantuan) melalui basis pembiayaan dari kas negara.
Warisan Kolonialisme
Dalam bidang perkoperasian, sampai saat ini kebijakan dan produk-produk regulasi yang disusun ternyata masih juga mewarisi budaya kolonialisme Belanda yang pada akhirnya melumpuhkan prakarsa dan kemandirian gerakan koperasi sebagaimana kita saksikan saat ini.
Mengikuti konstruksi kebijakan pemerintahan kolonial, koperasi menjadi hilang kemandiriannya dan tersubordinasi oleh kepentingan kapitalisme dan negara.
Menurut hasil penelitian Lembaga Studi dan Pengembangan Perkoperasian Indonesia, 70 persen koperasi di Indonesia saat ini tinggal papan nama, 23 persen koperasi mati suri dan selebihnya koperasi-koperasi mandiri yang mengandalkan dari kekuatan mereka sendiri.
Koperasi selalu diidentikkan dengan program pembinaan dan perlu diberdayakan. Kementerian koperasi selalu saja disandingkan dengan usaha kecil menengah. Dengan demikian, koperasi selalu dikategorikan sebagai bentuk usaha yang mengurusi skala bisnis kecil, mikro, dan patut dibina. Sebaliknya, usaha besar yang dikerjakan banyak dirampok oleh bentuk badan usaha lain.
Warisan Kolonial
Sayang, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang baru saja diundangkan 30 Oktober lalu masih mewarisi tradisi kolonial.
UU tersebut tidak disusun dengan melihat praktik terbaik dari anggaran dasar dan rumah tangga koperasi yang berhasil dan mandiri, kemudian membuat perlindungan bagi mereka. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar masih terlihat kental.
Per definisi yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1), koperasi diterjemahkan sebagai badan hukum sebagai subyek yang tidak ada bedanya dengan badan-badan usaha lainnya. Sehingga landasan dari UU ini adalah asas perseorangan yang terjemahannya tidak ada bedanya dengan perusahaan seperti persero.
Penyertaan modal dari luar (Pasal 75) yang tidak ada pembatasnya tentu mengancam kemandirian koperasi dan menjadikan anggota sebagai obyek pinjaman pemilik modal besar.
Pengurus yang dapat dari luar anggota sepenuhnya (Pasal 55) dan pengawas yang berfungsi sebagai lembaga super body (Pasal 48) bisa dengan mudah mendorong swastanisasi koperasi dan kepentingan koperasi keluar dari aspirasi anggotanya.
UU ini juga tidak jelas apakah bersifat lex generalist (umum) atau lex spesialist (khusus)karena mengatur hal-hal secara rigid dalam jenis koperasi simpan pinjam (Bab X Pasal 80-95) dan justru meniadakan pasal penting seperti sanksi bagi pelanggaran prinsip koperasi. Hal ini jelas membuat undang-undang ini tidak imperatif dan mengarah kepada potensi munculnya perusakan jati diri koperasi dan mendorong kegagalan koperasi seperti saat ini.
Kerdilkan Koperasi
Undang-undang ini secara sistemik juga akan mengerdilkan gerakan koperasi karena gerakan koperasi hanya semata-mata menjadi alat pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar. Di antaranya Pasal 118 tentang pembiayaan gerakan koperasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasal yang ada juga banyak yang kontra, nilai-nilai koperasi yang luhur dicantumkan dalam pasal, tetapi dalam pasal selanjutnya justru nilai itu dilawan. Seperti nilai demokrasi (Pasal 5 Ayat (1) poin d yang kemudian dioposisi dengan pencantuman Dewan Koperasi Indonesia sebagai ”wadah tunggal aspirasi” yang melanggar konstitusi seperti disebut dalam Pasal 115.
Dalam adagium koperasi, bilamana UU koperasi di satu negara itu buruk, akan lebih baik bila mana tidak punya UU. Akankah kita biarkan UU ini menjegal koperasi? ●