Sabtu, 31 Maret 2012

Apa yang Salah dengan G30S/PKI?


Apa yang Salah dengan G30S/PKI?
Sulastomo, Ketua Umum PB HMI 1963-1966
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012



Pada 17 Oktober 1965, dua minggu setelah peristiwa itu, kami berkeliling di Jawa Tengah. Di Klaten, di tepi sebuah sungai, hati kami tersayat melihat mayat bergelimpangan.

Itulah dampak peristiwa politik yang diawali dengan penculikan dan kemudian pembunuhan pemimpin teras Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 dini hari.

G30S ternyata sebuah gerakan kudeta, terbukti dari berbagai pengumuman pemimpin gerakan itu yang membentuk Dewan Revolusi dan menyatakan kabinet demisioner. Dewan Revolusi di pusat akan ditindaklanjuti dengan pembentukan Dewan Revolusi Daerah.

Di Yogyakarta, pembentukan Dewan Revolusi juga disertai pembunuhan Komandan Korem Yogya Kolonel Katamso dan Letkol Soegiono. Di belakang G30S adalah Biro Khusus PKI yang dibentuk Ketua CC PKI DN Aidit. Pengumuman G30S/Dewan Revolusi dipersiapkan oleh Biro Khusus PKI. Wajar jika kemudian G30S diperkenalkan sebagai G30S/PKI meski kemudian dika- takan gerakan itu tak sepenuhnya menjadi kebijakan CC PKI.

CC PKI tidak pernah mengutuk gerakan itu. Begitulah sifat kepemimpinan partai komunis bahwa Ketua CC PKI DN Aidit memiliki wewenang melakukan semua itu. Kalau berhasil, mungkin akan diakui juga sebagai kebijakan semua CC PKI.

Pasca-G30S/PKI sebagaimana kita ketahui terjadi gontok- gontokan, bahkan pembunuhan terhadap saudara-saudara kita yang dianggap anggota PKI atau simpatisannya. Ribuan orang terbunuh atau dibunuh, mayat mereka dibuang ke sungai sebagaimana dikemukakan di atas.

Bung Karno sebenarnya berusaha melerai, antara lain, dengan mengharapkan peran Himpunan Mahasiswa Islam. Beberapa kali Pengurus Besar HMI melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno membicarakan upaya melerai suasana gontok-gontokan ini. HMI mengirim tim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, harus diakui, upaya melerai ini gagal. Masyarakat sudah telanjur terbius suasana membunuh atau dibunuh. Mengapa?

Tidak berlebihan jika peristiwa itu merupakan kelanjutan dari berbagai peristiwa sebelumnya. Suasana politik nasional yang panas mengawali peristiwa G30S/PKI antara yang pro-PKI dan anti-PKI. Kekuatan anti-PKI satu demi satu dibubarkan, mulai dari Partai Masyumi/PSI, Partai Murba, Gerakan Kebudayaan Manifes Kebudayaan, hingga Badan Pendukung Soekarnoisme yang terdiri atas kalangan pers. Puncaknya tuntutan terhadap pembubaran HMI yang hendak dipaksakan DN Aidit hanya dua hari sebelum G30S/PKI pada rapat umum CGMI yang dihadiri sekitar 10.000 mahasiswa di Istora Senayan di hadapan Bung Karno dan Waperdam Leimena.

Baik Bung Karno maupun Pak Leimena menolak tuntutan pembubaran HMI. Suasana politik bertumpu pada Bung Karno, PKI, dan juga Angkatan Darat. Kondisi politik pada waktu itu oleh PKI digambarkan telah ”hamil tua” yang mengindikasikan suatu kejadian luar biasa akan terjadi.

Pada 4 Agustus ada berita Bung Karno sakit. Dikabarkan, Bung Karno kemungkinan tak mampu lagi melaksanakan tugas sehari-hari. Siapa yang akan menggantikan Bung Karno? Rumor politik yang beredar, wajar kalau ada spekulasi antara PKI atau Angkatan Darat. Siapa yang mendahului mengambil inisiatif, dialah yang akan memenangi pertarungan politik nasional. Dengan timbulnya peristiwa G30S/PKI, bisa saja DN Aidit mengambil prakarsa mendahului meski justru berdampak fatal bagi PKI.

Sifat gerakan komunis, antara lain, radikal. Demikian juga di Indonesia. Korban berjatuhan dalam jumlah besar dan sering disertai kebiadaban sebagaimana peristiwa Madiun 1948. G30S/PKI juga dimulai dengan penculikan dan pembunuhan keji. Fenomena inilah yang mewarnai kejiwaan rakyat Indonesia pasca-G30S/PKI sehingga suasana membunuh atau dibunuh muncul di masyarakat.

Korbannya, ribuan anggota dan simpatisan PKI terbunuh atau termarjinalkan di masyarakat. Kalau mereka mahasiswa, kuliahnya dihentikan; kalau pekerja, bisa kehilangan pekerjaannya dan KTP-nya ditandai khusus sehingga kehilangan hak sipilnya. Hukum karma seolah-olah berlaku meski bisa juga dianggap sebagai pelanggaran HAM sehingga niat Presiden SBY meminta maaf, menurut Romo Magnis, perlu didukung.

Secara Budaya

Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun 1948? Haruskah Presiden SBY juga minta maaf kepada mereka? Bukankah semua itu juga bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM?

Beberapa tahun lalu Ketua CGMI di tahun 1965, Mas Hardoyo, meninggal dunia. Kami dapat pemberitahuan melalui SMS. Di rumah duka banyak perhatian ditujukan kepada kami. Sebagian dari pelayat adalah para bekas tahanan politik PKI atau anggota dan simpatisan PKI. Tanpa kami duga, kami diundang memberi sambutan dan diperkenalkan sebagai ”sahabat” Mas Hardoyo.

Di depan jenazah Mas Hardoyo, kami sampaikan bahwa Mas Hardoyo adalah teman diskusi yang sering panas disebabkan kami saling berbeda pendapat. Mas Hardoyo memimpin gerakan pembubaran HMI di kalangan mahasiswa. Namun, sebagai manusia, kami ada persamaan: akan menghadap Tuhan dan pada saat seperti inilah kita harus memaafkan siapa saja yang mendahului kita. Mas Hardoyo ternyata juga dikebumikan sesuai dengan ajaran agamanya.

Beberapa tahun lalu Presiden SBY menganugerahkan kepada Pak Syafrudin Prawiranegara pahlawan nasional. Dapat dikatakan, Pak Syafrudin bisa mereprentasikan pemimpin Masyumi yang hak-hak sipilnya pernah direnggut. Kebijakan Presiden SBY itu bisa dianggap sebagai penyelesaian dengan pendekatan budaya terhadap pelanggaran HAM yang dialami tokoh Masyumi dan anggotanya yang banyak dipenjarakan tanpa diadili.

Demikian juga langkah anak-anak eks Darul Islam, anak-anak pahlawan revolusi, dan juga anak-anak eks PKI yang berhimpun dalam satu organisasi merupakan pendekatan budaya penyelesaian pelanggaran HAM yang dipelopori anak-anak kita.
Dengan pendekatan budaya seperti ini dendam di antara sesama warga bangsa dengan sendirinya terkubur. Sebaliknya, minta maaf pada salah satu golongan saja lebih politis sehingga masih meninggalkan implikasi politik. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden SBY tak perlu minta maaf atas kejadian 1965. Pendekatan budaya justru akan lebih memperkukuh upaya rekonsiliasi nasional. ●

Etika Berdemokrasi


Etika Berdemokrasi
James Luhulima, Wartawan Kompas
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012



Kita terheran-heran melihat 21 kepala daerah ikut berunjuk rasa menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak, Selasa (27/3). Bukan hanya itu, di Jakarta, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Maruarar Sirait dan Ribka Tjiptaning, juga mengikuti unjuk rasa menolak rencana kenaikan harga BBM di depan Istana Merdeka, Selasa.

Kepada wartawan, Maruarar Sirait, yang juga anggota Komisi XI DPR, mengatakan, dirinya ikut berunjuk rasa karena ingin menjelaskan alasan mengapa partainya menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Ketua DPRD Kabupaten Madiun Yohanes Ristu Nugroho, Selasa, menyatakan, DPRD Madiun juga mendukung penolakan rencana kenaikan harga BBM. Namun, ia memilih tidak ikut berunjuk rasa, tetapi membuat surat pernyataan yang akan dikirimkan kepada pemerintah pusat.

Pada saat sama, kita juga mengamati mengapa di dalam sistem pemilihan umum kepala daerah mudah sekali terjadi ”pecah kongsi” antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, juga ramainya fenomena ”kutu loncat”. Yang dimaksud dengan ”kutu loncat” adalah orang berpindah partai politik hanya dengan maksud agar dirinya dicalonkan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Alpa

Demokrasi bukanlah tradisi Indonesia yang lebih akrab dengan sistem kerajaan yang totaliter. Walaupun para pendiri bangsa memperkenalkan demokrasi dengan menerapkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada 18 Agustus 1945, dalam kenyataannya sistem demokrasi tidak pernah dijalankan sepenuhnya. Sistem demokrasi yang dijalankan lebih mengarah ke sistem totaliter.

Keadaan mulai berubah setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Diawali di bawah kekuasaan Presiden BJ Habibie yang relatif singkat, secara berangsung-angsur sistem demokrasi yang murni mulai dikembangkan. Sayangnya, pengembangan sistem demokrasi itu tidak dibarengi dengan pengembangan tata cara dan etika berdemokrasi.

Kealpaan dalam mengembangkan tata cara dan etika berdemokrasi itu menjadikan banyak orang menjalankan demokrasi tanpa dilandasi tata cara dan etika berdemokrasi yang benar.

Keikutsertaan kepala daerah yang merupakan unsur eksekutif dan ketua DPRD yang merupakan unsur legislatif di dalam aksi unjuk rasa menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM adalah hal yang aneh dan tak lazim. Demikian juga dengan keikutsertaan anggota DPR di dalam aksi unjuk rasa yang sama serta terjadinya ”pecah kongsi” dan ”kutu loncat”.

Ke-21 kepala daerah itu mungkin bisa mencontoh sikap yang ditunjukkan Ketua DPRD Kabupaten Madiun Yohanes Ristu Nugroho yang memilih membuat surat pernyataan dan mengirimnya kepada pemerintah pusat.

Sementara anggota DPR seharusnya menggunakan forum-forum di DPR untuk menyampaikan pendapat, baik itu pendapat pribadi maupun pendapat partainya. Aksi-aksi turun ke jalan atau parlemen jalanan hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang yang tak memiliki saluran untuk menyampaikan pendapatnya atau pendapat kelompoknya.

Adapun persoalan ”pecah kongsi” dan ”kutu loncat” lebih serius. Sebab, ”pecah kongsi” dan ”kutu loncat” tidak dilatarbelakangi oleh ketidakmengertian, tetapi dilatarbelakangi oleh sikap hidup seseorang yang dapat disebut sebagai tujuan menghalalkan segala cara.

Politik mempersyaratkan adanya komitmen dan loyalitas terhadap partai dan konstituen yang diwakili. Itu sebabnya tidak mengherankan jika Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengomentari ”pecah kongsi” dan ”kutu loncat” itu dengan mengatakan, cara berpolitik demikian tidak ideologis dan amoral.

Sesungguhnya, dalam sejarah bangsa ini pernah tercatat ada seseorang yang melakukan hal yang lebih kurang sama dan akhirnya menjadi Raja Majapahit. Dikisahkan bahwa pada tahun 1292 Raja Singasari Kertanegara diserang dan dibunuh oleh Raja Kediri Jayakatwang.

Raden Wijaya, yang merupakan salah seorang pemimpin pasukan Kertanegara, kemudian melarikan diri hingga ke Pulau Madura. Di Madura, Raden Wijaya bertemu dengan Arya Wiraraja, penguasa Sumenep. Oleh Arya Wiraraja, Raden Wijaya diajak bertemu dengan Raja Jayakatwang dan menyatakan menyerah. Raja Jayakatwang kemudian memberikan tanah di Hutan Tarik di timur Kediri sebagai hadiah. Namun, Raden Wijaya kemudian secara diam-diam menggunakan tanah di Hutan Tarik untuk membangun kekuatan guna mengalahkan Raja Jayakatwang.
Sebelum diserang oleh Jayakatwang, Kertanegara mencederai utusan Khubilai Khan dan mengusirnya pulang. Khubilai Khan berang dan segera mengirimkan bala tentara untuk menghukum Kertanegara.

Tahun 1293, bala tentara Khubilai Khan tiba. Mereka tidak mengetahui bahwa Kertanegara telah dibunuh Jayakatwang. Raden Wijaya memanfaatkan ketidaktahuan itu dan bergabung dengan bala tentara Kubilai Khan menyerang Jayakatwang yang telah menerima dirinya dan memberikan tanah di Hutan Tarik.

Setelah Raja Jayakatwang dibunuh, bala tentara Kubilai Khan pulang ke negaranya. Namun, tentara yang masih tersisa diserang dan dibunuh oleh Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit.

Sayangnya, tidak ada pesan moral yang menyertai cerita tersebut. Sama sekali tidak diajarkan bahwa tindakan seperti itu salah dan sebaiknya tidak ditiru. ●

Pilkada DKI dan Pemilu 2014


Pilkada DKI dan Pemilu 2014
Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012



Meskipun berhasil menjadikan masyarakat bergairah—berkat keberhasilan menyediakan sejumlah pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang beragam—proses penentuan calon gubernur dan wakil gubernur oleh partai-partai politik dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012 masih sangat kental beraroma oligarkis.

Kecuali calon-calon independen, proses penentuan calon gubernur dari partai politik miskin suasana demokrasi dan keterbukaan. Banyak orang partai politik sendiri terkejut dengan calon-calon gubernur yang tiba-tiba muncul atau dimunculkan. Suasana oligarkis semacam ini janganlah sampai terulang pada Pemilu Presiden 2014 yang akan datang.

Memang benar bahwa seperti disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 6A, calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan dalam satu pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Walhasil, menurut konstitusi, hanya partai politik yang berhak mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden (selanjutnya disebut capres) dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Di luar partai politik, sebagaimana ketentuan dalam konstitusi, sama sekali tidak ada pintu yang lain untuk pengajuan capres.

Namun, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Pasal 10 Ayat (1) menegaskan bahwa ”Partai-partai politik dalam penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden harus dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.”

Walhasil, meski partai-partai politik memiliki otonomi dalam proses penentuan capres sesuai dengan mekanisme internal masing-masing partai, proses dan mekanisme itu sendiri tetaplah harus dilakukan secara demokratis dan terbuka.
Apa pengertian kata ”demokratis” dan ”terbuka” dalam UU No 42/2008 tersebut memang tidak dijelaskan, bahkan dalam bagian penjelasan sekalipun. Namun, saya rasa kita tahu bahwa proses penentuan capres dikatakan demokratis manakala melibatkan para anggota partai politik yang bersangkutan, atau setidaknya meminta pendapat dan memperhatikan aspirasi dari para pengurus partai politik sampai kepada eselon yang paling bawah.

Dan dikatakan ”terbuka” apabila proses, tata cara, dan mekanisme pemilihan sampai kepada penentuan capres yang dimaksud dapat diikuti secara transparan oleh seluruh masyarakat, terlebih lagi para anggota dari partai politik tersebut.

Semangat Keterbukaan

Apabila kita memahami undang-undang tersebut secara mafhum mukhalafah (logika terbalik), proses penentuan capres secara sembunyi-sembunyi, tertutup, dan hanya melibatkan sekelompok kecil pimpinan parpol adalah tidak bisa dibenarkan. Proses penentuan capres yang bersifat oligarkis seperti inilah yang sejatinya membuka peluang terjadinya politik transaksional.

Pasalnya, politik transaksional selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh para oligark dan pasti bermula dari tidak adanya keterbukaan. Cara-cara ini bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan.
Ketentuan yang berisi keharusan bagi partai-partai politik untuk mempraktikkan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam UU No 42/2008 ini pada hakikatnya sangat sejalan dengan semangat UUD 1945 Pasal 6A itu. Jika kita membaca risalah atau notulensi pembahasan amandemen UUD 1945 Pasal 6A akan sangat terasa adanya semangat demokrasi dan keterbukaan.

Bahwa partai politik memang memiliki privilese politik yang sangat istimewa dalam pengajuan capres adalah benar belaka. Namun, partai-partai politik harus membuka dirinya secara demokratis. Kata demokratis berarti berkaitan dengan bukan hanya kebebasan, melainkan juga hak memilih dan dipilih bagi setiap orang.

Maka, mekanisme internal dalam suatu partai politik haruslah mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keterbukaan. Bukannya justru sebaliknya, mengokohkan semangat oligarkisme yang eksklusif. Lebih fatal lagi jika yang berkembang adalah oligarkisme dalam semangat politik transaksional yang materialistis dan plutokratis.

Pada waktu pembahasan amandemen UUD 1945, MPR tidak pernah membayangkan sama sekali bahwa partai-partai politik setelah era reformasi akan membaca UUD 1945 dalam semangat eksklusif seperti itu.

MPR sangat yakin partai politik setelah reformasi akan menjadi partai politik dalam pengertian yang sebenarnya dan karena itu tidak waswas untuk memberikan hak istimewa kepada partai politik sebagai satu-satunya institusi politik yang berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

Menghindari Apatisme Politik

Partai politik akhirnya memang diberi hak eksklusif untuk mengajukan calon presiden. Syaratnya adalah partai politik harus demokratis dan membuka diri.
Sayangnya, hal ini tidak pernah terjadi. Partai-partai politik belum bersedia membuka akses yang luas bagi calon perorangan untuk ikut dalam proses penentuan calon dalam dan atau melalui partai-partai politik. Partai Golkar adalah satu-satunya partai politik yang pernah melaksanakan prinsip demokrasi dan keterbukaan ini melalui mekanisme konvensi calon presiden pada tahun 2004 untuk pertama kalinya—dan sekaligus yang terakhir kalinya—dalam sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia. Pasca-kepemimpinan Akbar Tandjung, konvensi tidak pernah diselenggarakan.

M Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar 2004-2009, menolak secara kategoris penyelenggaraan konvensi capres. Sementara Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar 2009-2015, juga kurang antusias dengan konvensi. Sementara tidak ada satu pun partai-partai politik lain yang pernah melaksanakannya.

Ironisnya, dan sekaligus anehnya, para pengamat dan masyarakat politik Indonesia hanya mendesak dilakukannya penyelenggaraan konvensi capres kepada Partai Golkar semata. Tak heran jika Partai Golkar kemudian juga tidak bersemangat untuk merespons desakan tersebut. Desakan hanya kepada Golkar adalah tidak adil dan sulit untuk dimengerti. Pasalnya, keharusan demokrasi dan keterbukaan adalah kewajiban bagi semua partai politik.

Jika suasana seperti ini yang nanti akan terjadi dikhawatirkan partisipasi rakyat dalam Pilpres 2014 akan rendah. Pasalnya, tidak banyak alternatif yang akan ditawarkan oleh partai-partai politik itu. Maka, partai-partai politik sebagai pilar demokrasi dan pelaku tunggal dalam Pilpres 2014 harus mengambil langkah yang cerdik dan cerdas untuk menjadikan rakyat bergairah.

Jangan biarkan rakyat bersikap pesimistis dan apatis yang kemudian akan menghukum partai-partai politik dengan tidak hadir di tempat-tempat pemungutan suara. Ingatlah, kepercayaan rakyat kepada partai politik sekarang ini sudah sangat rendah. Percayalah. ●

Kebijakan Baru Luar Negeri China


Kebijakan Baru Luar Negeri China
Christine Susanna Tjhin, Peneliti di CSIS Jakarta;
Mahasiswa Program Doktor di Sekolah Studi Internasional, Universitas Peking
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012



Di hadapan Kongres Rakyat Nasional ke-11 awal Maret lalu, Perdana Menteri Wen Jiabao menyisipkan sinyal halus mengenai perubahan gagasan kebijakan luar negeri China.
Sebelum pidato itu, gagasan kebijakan luar negeri China bertumpu pada pandangan bahwa hubungan dengan negara adidaya/kekuatan utama adalah prioritas utama perumus kebijakan China. Berikutnya negara tetangga, lalu negara berkembang, kemudian organisasi internasional/regional. Dalam pidatonya PM Wen justru menempatkan negara tetangga dulu lalu negara berkembang baru kemudian negara kekuatan utama.
Sinyal halus itu telah ditangkap dan sedang diperdebatkan di China. Perdebatan intelektual seputar gagasan baru itu sudah mengindikasikan bahwa ini bukan berarti negara kekuatan utama tak lagi penting bagi China, tetapi di saat bersamaan, China akan menyisihkan perhatian yang lebih besar ke kawasan sekitarnya.
Ada sejumlah motivasi yang tampaknya mendorong gagasan baru ini. Pertama, adanya keinginan mengelola hubungan dengan kawasan secara lebih strategis. ”Abad Asia” kian mengambil bentuk dan peran China yang dominan di dalamnya mengundang reaksi beragam di kawasan.
Kedua, adanya keinginan mengantisipasi ”kembalinya” AS ke dalam kawasan yang oleh banyak pihak di China dipandang sebagai upaya membendung China. Respons AS terhadap situasi di Laut China Selatan serta penempatan personel militer di Australia telah memicu reaksi kuat di China. Jika dulu ada semacam sikap mafhum terhadap kehadiran AS di kawasan (berguna untuk mencegah Jepang atau Korea Utara menjadi agresif lagi), sekarang ini penolakan justru dominan dan hampir tak ada lagi diskusi mengenai menerima kehadiran militer AS.
Ketiga, melemahnya interaksi ekonomi dengan dunia Barat akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan di AS dan Eropa telah mendorong China memikirkan alternatif kebijakan luar negerinya, yang merupakan kepanjangan tangan kepentingan dalam negeri: secara umum, reformasi dan modernisasi; secara khusus, restrukturisasi ekonomi dari ekonomi yang berorientasi ekspor menjadi ekonomi yang berbasis pada konsumsi domestik.
Keempat, adanya keinginan mengakomodasi perubahan dinamika di dalam negeri China. Kebangkitan China di arena global sangat dibanggakan masyarakat China. Salah satu mentalitas yang mengemuka saat ini adalah bagaimana publik di China merespons rasa tak percaya atau resistansi yang muncul dari negara tetangga. Ada peningkatan rasa percaya diri di kalangan generasi muda. Ada tuntutan supaya Pemerintah China lebih bersuara tegas dan bertindak proaktif menjernihkan kesan negatif di benak negara tetangga. Publik menginginkan China tak lagi korban dominasi media atau kekuatan lunak negara Barat.
Punya Andil
Musim gugur di China tahun ini akan mengiringi peralihan kepemimpinan tertinggi dari generasi keempat ke generasi kelima. Terlepas dari isu keguncangan politik yang bertebaran pasca-pemecatan figur karismatik di Chongqing, Bo Xilai, tampaknya tak akan ada perubahan drastis dalam perumusan kebijakan China secara umum. Dengan kata lain, sinyal halus yang dilontarkan PM Wen bisa jadi pertanda awal kebijakan ”mendekati Asia” dari China yang lebih dinamis.
Sebagai negara mitra strategis pertama dan terbesar China di Asia Tenggara dan sebagai negara yang juga menjalin kemitraan komprehensif dengan AS, kita punya andil yang unik mengan- tisipasi dinamika ini demi keamanan dan stabilitas regional.
Yang paling hangat dewasa ini adalah persoalan keamanan regional. Selama ini kita melihat sikap China di Laut China Selatan sebagai sikap agresif, bukan sekadar bersuara tegas dan bertindak proaktif sebab kita melihat adanya inkonsistensi sikap, terutama, antara pejabat Kemenlu China dan pejabat militer yang kini kian kerap bersuara di arena hubungan luar negeri.
Kemunculan aktor baru dalam perumusan kebijakan luar negeri adalah gejala baru yang cukup bikin pening perumus kebijakan di China. Sejumlah diplomat China sudah mengutarakan kekhawatiran mengenai pergesekan antara aktor-aktor yang ada dalam proses kebijakan luar negeri. Gejala ini tak akan hilang dalam waktu dekat, apalagi persaingan politik kian intens menjelang transisi kepemimpinan tahun ini.
Sementara berharap perdebatan internal di China bisa menghasilkan iklim kondusif dan kebijakan konstruktif, kita harus konsisten dan tegas dengan prinsip bebas aktif. Terlepas dari semboyan andalan Presiden SBY ”sejuta teman, nol musuh”, ada sejumlah pengamat di China yang menafsirkan responsnya atas penempatan tentara AS di Australia (untuk membendung China) sebagai indikasi keberpihakan.
Kita berharap hasil kunjungan SBY ke China kemarin bisa mulai mengikis misinterpretasi itu dan supaya Pemerintah China bisa paham bahwa kita tak ingin berpihak, juga tak ingin Perang Dingin terulang di kawasan ini. ●

Langkah Menuju KTT G-20


Langkah Menuju KTT G-20
Lourdes Aranda, Duta Besar; Sherpa Meksiko untuk G-20
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012



Lebih kurang 100 hari telah berlalu sejak Meksiko memangku jabatan sebagai pimpinan G-20. Masih tersisa sejumlah pertemuan penting pada kurun waktu kepemimpinan di G-20 ini, di antaranya konferensi tingkat tinggi yang akan dilangsungkan di Los Cabos, 18-19 Juni 2012.

Sekarang ini momentum yang tepat untuk berhenti sejenak dan merefleksikan perkembangan yang telah dicapai selama ini serta sejumlah tugas yang masih harus diselesaikan demi tercapainya kesuksesan pada konferensi tingkat tinggi (KTT) di Los Cabos mendatang.

Pentingnya pertemuan tingkat tinggi di Los Cabos tersebut tidak perlu diragukan lagi. Meksiko menerima jabatan pimpinan G-20 di tengah situasi ekonomi global yang kompleks. Peluang untuk mengatasi tahap sulit ini tergantung pada kemampuan komunitas internasional untuk menerapkan tindakan-tindakan unilateral dan untuk bertindak secara teratur. Untuk mewujudkan ini, dibutuhkan kepemimpinan dan untuk itulah G-20 memiliki peranan sangat penting.

Dalam waktu singkat, G-20 telah berubah menjadi mekanisme yang unggul untuk mengoordinasikan kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi, mendorong perbaikan di sektor arsitektur keuangan internasional, serta memberikan kontribusi dalam lingkup yang stabil dengan harapan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan semua negara. Ini adalah sarana terbaik yang dapat kita persiapkan untuk mengatasi tantangan ekonomi global yang sedang kita hadapi dengan cara yang tertata.

Meksiko mengambil peran aktif dan konstruktif dalam proses ini. Pertemuan para Sherpa, menteri dan wakil menteri keuangan, serta pimpinan Bank Sentral telah membuka sebuah diskusi yang terperinci mengenai prioritas selama kepemimpinan Meksiko dalam G-20. Demikian juga dengan pertemuan para menteri luar negeri yang baru saja berlangsung.

Dalam rapat-rapat kelompok kerja, seminar, dan pelatihan, tema-tema mengenai pertumbuhan, arsitektur keuangan internasional, dan regulasi keuangan semakin dimantapkan.

Pertemuan pertama para menteri luar negeri G-20, di mana sembilan negara non-anggota juga diundang, telah memberikan manfaat yang besar dalam upaya menganalisis secara kritis dan konstruktif target-target paling penting dalam pemerintahan global. Dalam pertemuan ini juga didiskusikan tema-tema mendasar, seperti legitimasi dan efisiensi G-20, selain juga interaksi antara kepentingan-kepentingan nasional dan tantangan global.

Para menteri luar negeri merekomendasikan beberapa langkah, di antaranya untuk memanfaatkan dengan lebih baik institusi-institusi sistem multilateral dan mengikuti secara ketat perkembangan komitmen yang telah diambil dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi sebelumnya. Digarisbawahi juga peran lebih besar yang harus diambil oleh kementerian-kementerian luar negeri untuk menghubungkan tugas dari departemen yang berbeda dan badan-badan yang turut ambil bagian dalam upaya pencapaian target global tersebut.

Para menteri keuangan mencapai beberapa kesepakatan yang signifikan. Kesepakatan itu, di antaranya, menekankan komitmen untuk mewujudkan pemulihan ekonomi dan peningkatan lapangan pekerjaan, mengevaluasi sejauh mana kemampuan Eropa mengerahkan sumber daya yang lebih besar dan efektif dalam mengatasi masalah mereka, mengadopsi sebuah agenda pencatatan dan pendidikan keuangan, membuat laporan mengenai akibat dari ketidakstabilan harga-harga bahan pokok, serta meminta laporan mengenai pertumbuhan hijau.

”Think20”

Para Sherpa juga telah menyetujui pedoman spesifik untuk kegiatan di bidang pertanian, lapangan kerja dan perdagangan, serta memberikan perhatian pada perkembangan yang telah diwujudkan dalam pertemuan-pertemuan tingkat menteri dan kelompok kerja.

Untuk pertama kali dalam kerangka kerja G-20, pendekatan terhadap institusi investigatif diwujudkan melalui pertemuan yang disebut ”Think20” yang merupakan tambahan dari pendekatan terhadap sektor sosial: pengusaha (B20), kaum muda (Y20), serikat kerja (L20), dan lembaga swadaya masyarakat yang semuanya telah memperkaya diskusi para pejabat tinggi di Los Cabos.

Isu Struktural

Masa 100 hari berikutnya akan difokuskan pada agenda yang akan mengantar G-20 pada tema-tema lebih luas di luar hal-hal yang mendesak tanpa mengabaikan masalah-masalah yang harus segera dituntaskan. Agenda ini menyangkut tema-tema struktural yang akan menjadi kunci dalam penapaian target jangka menengah.

Untuk mewujudkannya, akan dilangsungkan beberapa pertemuan Sherpa, para menteri keuangan, dan ekonomi. Pertemuan-pertemuan ini akan membantu G-20 mempertajam tema-tema dalam agenda pertumbuhan, pembangunan, energi, dan kebutuhan pokok, termasuk masalah keuangan dan lapangan kerja. Targetnya, mewujudkan kemampuan G-20 dalam mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapi dunia.

Karya G-20 harus tecermin dalam pertumbuhan yang berkesinambungan dan pembangunan yang lebih seimbang. Untuk itu, hasil yang diperoleh harus mengarah bukan hanya pada tata ekonomi global yang lebih baik, melainkan juga perbaikan nyata dalam lingkup sosial.

Keuangan yang solid dan pengalaman dalam mengatasi berbagai krisis ekonomi pada masa lalu—ditambah lagi dengan prestasi-prestasi sebagai panitia penyelenggara dan pimpinan di COP 16—telah membuat Meksiko tidak hanya memiliki kemampuan untuk memimpin forum yang sangat penting dalam pemerintahan global ini, tetapi juga memperoleh pengakuan dunia internasional dalam keberhasilan mentransformasikan target-target global yang sedang kita hadapi.

Saya yakin, pada pertemuan tingkat tinggi Los Cabos, Meksiko akan mampu menyelesaikan tugas yang diemban sebagai aktor penanggung jawab yang konstruktif dan disegani di panggung internasional. ●