Jumat, 31 Agustus 2018

Jihadis Literasi

Jihadis Literasi
Said Aqil Siraj  ;  Ketua Umum PBNU
                                                      KOMPAS, 29 Agustus 2018



                                                           
Deradikalisasi kerap diibaratkan sebagai upaya diagnostik terhadap ”penyakit” radikal yang diidap seseorang dan kemudian mencari pengobatan yang tepat.

Ketepatan bisa berkait jenis obatnya, takarannya, dan juga cara pengobatannya.  Namun, tahapan  deradikalisasi  yang dilalui secara sistemis ini sering kali masih saja ”terpental” oleh ganasnya ”virus” radikal yang melilit seseorang, padahal sudah melibatkan para pakar yang jawara mendiagnosis, diperkuat tim peneliti dan penindak berpengalaman serta didukung dana besar. Faktanya, radikalisme terus bertumbuh dan terorisme masih jadi ancaman.

Ada yang berceloteh mungkin hal ini karena militansi pegiat deradikalisasinya yang masih ”loyo”. Tak sekuat militansi kalangan radikal yang siap bekerja atas nama jihad. Entah kenapa mereka ini mudah tersihir oleh paham radikal sehingga tanpa pakai ”ransum”  yang menggiurkan mereka siap berjihad untuk menggalang kekuatan. Mereka mau dibodohi pakai dalil-dalil keagamaan yang disampaikan secara picik, tanpa pendidikan literasi yang sesuai standar (mu’tabar). Dan, nyatanya, mampu membakar semangat dan militansi yang menyala tiada padam.

Sungguh ini seakan membalik-balik logika mapan. Lagi-lagi kisah satu keluarga yang bersedia melakukan aksi bom bunuh diri di gereja di Surabaya, serta sederet cerita tentang tindakan melawan akal sehat lainnya, membuat kita terus mengaduk-aduk pikir sembari mencari jalan terbaik untuk deradikalisasi dan pencegahan dari paham radikal. Ternyata kita juga tidak lantas boleh ”kalap” dengan melakukan kegiatan deradikalisasi dan pencegahan radikal secara masif, yang akhirnya tampak bersifat ”seremonial” dan ”selebrasi”.

Merintis yang tercecer

Saya dibuat terkagum saat bertemu seorang pegiat deradikalisasi ”partikelir”. Dia bekerja sendirian dan dengan pendanaan mandiri. Istilahnya, ini ”gerakan klandestin” (tandzim sirri). Ya, layaklah saya sebut dia ”beraksi” secara ”lone wolf”. Dari keheningan dan semak-semak rimbun tak terlihat mata khalayak, tiba-tiba dia bergerak begitu gesit sehingga menghasilkan amaliyat yang bermanfaat. Saya berharap gerakannya ini kelak bisa lebih berkembang menembus batas sekaligus mampu membobol kebuntuan dalam program deradikalisasi dan pencegahan radikalisme.

Ceritanya, dia mendirikan sebuah komunitas baca dengan nama ”Rumah Daulat Buku” (Rudalku) yang punya tagline: ”Banyak Baca Jadi Terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran”. Rumah baca ini khusus diampu oleh eks narapidana teroris (napiter). Dengan militansi yang tinggi, dia berusaha mendorong eks napiter untuk mau mendirikan rumah buku, cukup di rumahnya. Tidak perlu buat tempat khusus yang hanya akan memakan biaya besar. Rumah bisa dijadikan tempat yang cocok untuk taman baca dan membangun kreasi serta ikhtiar yang bermanfaat secara nyata bagi penghuni dan masyarakat sekitarnya.

Saat ini sudah terbentuk beberapa rumah daulat buku di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara (Medan), dan Sumatera Selatan (Palembang). Jumlah ini masih akan terus berkembang berkat semangat, ketelatenan, dan kegigihannya mendekati serta mendorong eks napiter untuk mendirikan rumah baca tersebut.

Sepaket itu, dia juga mengadakan pengajian bulanan khusus bagi eks napiter secara berkala. Dalam pengajian ini dikumpulkan sekitar 10 eks napiter. Penceramahnya dari kalangan yang punya basis keilmuan keagamaan yang memadai. Dalam pengajian itu juga digunakan rujukan buku atau kitab untuk mendukung dan membuktikan kebenaran sikap moderat (wasathiyah).

Konsepnya sederhana.  Eks napiter ini dulunya adalah orang-orang biasa yang menjalankan kehidupan keagamaannya secara normal. Bahkan tak jarang di antara mereka yang tadinya aktif di ormas keagamaan moderat dan kemudian ”hijrah” ke jemaah radikal. Setelah mereka mengikuti pengajian dari para mentor yang keras, akhirnya mereka beralih wajah menjadi keras pula.

Pengajian yang mereka ikuti sifatnya kecil-kecilan, cukup di masjid atau juga di rumah. Bentuknya seperti lazim dipakai kalangan radikal adalah halaqoh, tarbiyah, atau usroh. Sebenarnya bukan semata ”bentuk” indoktrinasinya, tetapi yang menarik adalah semangat dan ketelatenan dari mentornya untuk menanamkan pandangan-pandangan radikal keagamaannya. Dengan sikap mental seperti ini membuahkan hasil. Maka, tidak sedikit yang terbuai oleh doktrin keras mereka dan jadilah militan-militan yang tangguh yang siap berkorban demi cita-cita utopia.

Di sinilah model pengajian kelompok radikal ini dicoba copy paste. Lalu dibuatlah pengajian secara rutin dengan metode yang tidak jauh beda dengan yang dilakukan jemaah radikal. Tentu saja bedanya pengajian yang ini tujuannya untuk mengindoktrinasi moderasi keagamaan. Melalui pengajian moderasi dalam lingkup kecil ini, ternyata lebih tepat sasaran dan tepat metode.

Hasilnya cukup mengagetkan. Para eks napiter yang mengikuti pengajian tersebut merasa mendapat ilmu baru. Misalnya, mereka menjadi sadar ternyata tidak semudah itu menafsirkan ayat Al Quran dan hadis. Perlu metodologi dan rujukan ulama yang benar-benar tepercaya. Tidak seperti sebelumnya, mereka hanya mendapatkan informasi soal ayat yang disajikan secara ”instan” seperti tentang jihad, tanpa ada penelaahan secara menyeluruh dengan berbasiskan metode penafsiran yang mendalam.

Pengajian ini satu paket dengan pendirian rumah buku, yang sesungguhnya menjadi landasan awal untuk moderasi bagi eks napiter dan juga pencegahan. Konsep literasi ini berdasar pada tesis bahwa radikalisme bisa menjangkiti seseorang karena kurangnya membaca. Sebaliknya, semakin seseorang banyak membaca, dia akan terbuka wawasan dan pengetahuannya sehingga tidak mudah terpengaruh paham radikal.

Agenda terpenting dalam pendirian rumah buku ini sejatinya hendak mendorong para eks napiter yang mendirikannya menjadi ”agen perubahan” bagi masyarakat, minimal masyarakat sekitar rumah tinggalnya. Dengan rumah buku ini, mereka didorong untuk mampu menebarkan budaya baca dan menaburkan pikiran moderat kepada warga sekitar. Tujuan ini sekaligus bermanfaat di dua ranah, yaitu deradikalisasi dan pencegahan masyarakat dari bujuk rayu radikalisme.

Jihad baru

Upaya deradikalisasi selama ini belum merambah pada literasi untuk eks napiter. Gerakan literasi yang ada lebih banyak menyasar masyarakat umum dalam rangka pencegahan radikalisme, seperti pelatihan anti-hoaks atau mengelola media sosial yang sehat.

Komunitas pecinta buku dan taman bacaan memang sudah cukup bertumbuh di sejumlah daerah. Ini tentu fakta yang menggembirakan. Hanya saja, komunitas buku yang terbentuk hampir semuanya tidak menjamah para eks napiter. Artinya, para eks napiter belum diposisikan sebagai figur yang mampu mengelola taman baca. Mereka masih lebih banyak dijadikan sebagai ”komoditas” yang ujungnya menjadikan mereka ”anak manja” dan ”matre”, yang bila tidak ada bantuan materi mereka enggan untuk mengikuti program seperti deradikalisasi. Selain itu, mereka belum dipandang sebagai insan-insan yang bisa diubah haluannya dari ”jihadis teror” ke ”jihadis literasi”  sebagai rintisan mewujudkan ”jihad baru”.

Kita perlu melahirkan lebih banyak ”jihadis literasi” yang punya militansi tinggi, bekerja tanpa iming-iming, serta ditempa kegigihan dan ketelatenan. Radikalisme yang akarnya juga bersumber dari akibat kurang baca sudah seharusnya ditandingi dengan menggalakkan gerakan literasi untuk moderasi dan membentengi masyarakat dari pengaruh radikalisme. Kita yakin, literasi bisa mengikis radikalisasi. ●

Meiliana dan Martir Kordoba

Meiliana dan Martir Kordoba
Hilmi Amin Sobari ;  Esais, bermukim di Kota Bekasi, Jawa Barat
                                                   DETIKNEWS, 23 Agustus 2018



                                                           
Titimangsa 850 Masehi. Saat itu di tengah musim panas yang hangat. Seorang biarawan alim sedang menikmati hiruk-pikuk kehidupan urban di kota Kordoba (Cordova), Andalusia. Kota yang saat ini merupakan bagian dari Spanyol modern itu adalah pusat kerajaan Islam dari Dinasti Umayyah di negeri barat lama. Kerajaan ini diinisiasi oleh Abdurrahman Ad-Dakhil, sang pewaris takhta terakhir Dinasti Umayyah di timur yang ambruk karena digerogoti oleh Keluarga Abbasiyah.

Biarawan itu bernama Perfectus. Ketika sedang berada di pusat perdagangan dan menikmati aktivitas belanjanya, ia didekati sekelompok anak muda bertampang Arab. Entah iseng atau memang serius, anak-anak muda itu menggoda Perfectus dengan sebuah pertanyaan provokatif. Siapakah di antara dua Nabi yang statusnya terbesar, mana lebih mulia: Yesus atau Muhammad?

Untuk diketahui, sebagai pusat kerajaan Islam, Kordoba menerapkan kebijakan terbuka mengenai heterogenitas agama. Pemeluk Kristen dan Yahudi bebas menganut keyakinan. Aktivitas beribadahnya dilindungi. Kemajemukan merupakan bagian dari karakter Kordoba dan kota-kota lain di bawah Kerajaan Umayyah di barat lama itu. Sangat mengherankan pertanyaan provokatif seperti itu bisa menyeruak ke permukaan.

Sayang nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaan sudah diajukan. Harga diri dan keimanan tak bisa lagi ditawar. Sebagai seorang biarawan alim, Perfectus seorang yang jujur. Tapi, ia menyadari posisinya. Maka disampaikan keyakinannya secara sangat berhati-hati. Sayang seribu kali sayang kisah ini tak berakhir bahagia. Entah karena tak mampu menahan amarah atau bisa jadi karena pemicu lain, Perfectus meledak. Ia tiba-tiba membentak dan berteriak-teriak sambil menyebut Nabi Muhammad sebagai dukun klenik, orang sesat dan anti-Kristus.

Karuan saja perkara ini menarik atensi khalayak. Aturannya jelas. Menghina Nabi Muhammad di wilayah kerajaan Islam adalah kejahatan kriminal saat itu. Segera Perfectus dibawa aparat dan dijebloskan ke dalam gaol (penjara). Awalnya hakim memutus bebas. Hakim berpendapat, ucapannya itu bukan timbul dari kesadaran melainkan buah provokasi. Kata-kata dari bibir seringkali tak terkendali saat seseorang diselimuti amarah tidak dapat dijadikan landasan vonis. Sebuah keputusan hukum yang sangat bijak dan berhati-hati.

Namun, entah kenapa Perfectus malah berulah. Setelah bebas ia mengulangi lagi perbuatannya. Kali ini tanpa provokasi. Perfectus dengan sadar dan tanpa tedeng aling-aling menyebut Nabi Muhammad dengan istilah-istilah yang sangat kasar. Akibatnya, hakim tidak punya pilihan selain menghukumnya. Perfectus dieksekusi mati.

Ishaq, biarawan lain tersulut. Ia memprotes keras eksekusi itu. Di depan hakim ia menyerang Nabi Muhammad dan Islam sedemikian rupa. Hakim menamparnya karena mengira Ishaq sedang mabuk. Tapi, Ishaq bergeming. Ia terus-menerus melakukan penghinaan itu sehingga hakim tak punya pilihan selain mengeksekusinya juga. Ishaq menjadi korban kedua.

Kedua peristiwa itu menyulut amarah besar dari umat Kristiani dan menginspirasi mereka untuk melawan. Perfectus dan Ishaq disemati gelar pahlawan atau martir. Berturut-turut, para martir baru hadir. Sejarah mencatat, hanya di musim panas itu saja paling tidak terdapat 50 martir mati dieksekusi. Mereka dalam sejarah dikenal sebagai Martir Kordoba. Peristiwa yang kemudian menggerogoti kerajaan dan menjadi cikal bakal runtuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia.

                                                      ***

Titimangsa 1888 Masehi. Indonesia belum lahir. Banten masa itu masih hidup di bawah kekangan dan penjajahan kolonial Belanda. Satu waktu tersiar kabar di bawah tanah bahwa pejabat pemerintah Belanda bertindak zalim kepada umat Islam. Larangan mengumandangkan azan yang diperbincangkan dengan riuh. Penyebabnya karena istri Johan Hendrik Hubbert Gubbels bernama Anna Elizabeth van Zutphen menderita sakit kepala kronis.

Suara azan yang dikumandangkan dari masjid yang terletak di tanah pribumi tak jauh dari tempat tinggalnya semakin mengusik sakitnya. Gubbels adalah asisten residen di Anyer, pejabat yang berwenang. Tapi, larangan azan ternyata hanya awalan. Desas-desus lain muncul. Kabarnya selain azan juga muncul larangan untuk jenis ibadah lain yang aktivitasnya bersuara keras seperti zikir, pesta perkawinan dan khitanan dengan arak-arakan, hingga takbiran.

Sontak saja hal itu membakar amarah umat Islam. Emosi yang selama ini terpendam akibat larangan azan kini semakin menguat dan dampaknya meluas. Ketegangan yang dimotori oleh ketidaksepahaman keyakinan pribumi dengan pejabat kolonial yang berkuasa itu kemudian meletus menjadi pemberontakan yang dikenal sebagai Geger 1888. Pada peristiwa itu, Gubbels dan anak-istrinya terbunuh. Jumlah korban jiwa dari pribumi jauh lebih banyak.

                                                        ***

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dikenai pasal penistaan agama karena kalimat sensitif dalam pidatonya di Kepulauan Seribu saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Peristiwa "Al Maidah 51" yang kemudian melahirkan gelombang protes hingga demo yang dikenal dengan "212". Hal itu mengejutkan banyak pihak. Para pendemo berasal dari lintas kalangan dan ormas. Harga diri umat tercolek. Ahok kemudian divonis bersalah. Hingga saat ini Ahok masih menjalani hukumannya.

Berbeda dengan Ahok, Meiliana bukanlah seorang pejabat. Bila Ahok diyakini terkena efek politisasi menjelang pilgub, Meiliana dianggap korban dari ketidakadilan sistem hukum di negara ini. Persoalan lama yang masih belum terpecahkan. Meiliana, seperti Gubbels dan Ahok, menjadi korban konfrontasi yang lahir dari isu primordial antara "pribumi" versus "orang yang dianggap liyan".

Meiliana sebagai penganut Buddha dan warga negara keturunan China, seperti ungkapan para saksi di pengadilannya, dianggap telah melecehkan azan yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Meiliana pada satu siang mendatangi tetangganya yang muslim dan memprotes, "Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu, Kak sakit kupingku, ribut." Meiliana divonis 18 bulan penjara oleh hakim, melengkapi 147 vonis penistaan agama sejak 2004.

Meiliana bukan Perfectus yang hidup di bawah naungan kerajaan Islam. Meiliana juga bukan Gubbels yang diperangi karena melarang azan dikumandangkan. Kasus Meiliana mirip Ahok. Terjadi karena kesalahpahaman yang tidak bisa diselesaikan secara damai. Lalu dibawa ke pengadilan. Sayangnya, aturan hukum yang menangani persoalan seperti ini masih gagal menghadirkan solusi yang adil bagi para pihak yang bersengketa.

Persoalan ini bukanlah remeh-temeh seperti dianggap beberapa pihak. Menuding lemahnya rasionalitas jamaah masjid dalam menerima kritik agama dan juga arogansi mayoritas sebagai dalang di balik kasus-kasus serupa tidak akan membawa kasus ini ke arah yang lebih baik. Yang semestinya perlu dihadirkan adalah saling pengertian di antara para pihak.

Kasus Perfectus menggambarkan suasana kebatinan umat Islam. Menghina ajaran berkonsekuensi berat. Hal ini bisa jadi tidak terdapat di agama lain. Sehingga kasus Meiliana menjadi masuk akal. Meiliana yang merasa tidak sedang menghina ajaran agama tetapi sedang mengkritik perilaku penganut itu dipahami berbeda karena sejarahnya yang berbeda. Ucapan Meiliana yang sebenarnya rasional itu menjadi tak lagi bisa diterima karena suasana kebatinan yang sifatnya sakral itu.

Di internal umat Islam perlu ada otokritik. Doktrin keagamaan harus dipisahkan dengan realitas. Kritik terhadap perilaku umatnya tidaklah sama dengan kritik terhadap agama itu sendiri. Tak kalah pentingnya adalah peneladanan atas sikap hakim yang memilih membebaskan Perfectus pada peristiwa provokasi itu. Kebijaksanaan dan kehati-hatian perlu dikedepankan.

Memahami bahwa mereka yang berbeda keyakinan memiliki pengalaman yang tidak sama terhadap ajaran agama juga penting untuk dilakukan. Namun, yang terpenting persoalan seperti ini sebaiknya diselesaikan lewat jalur damai, bukan melalui jalur pengadilan. Kehidupan saling bersinergi antarumat beragama harus menjadi tujuan bersama. Saya berharap pihak-pihak terkait mau duduk bersama membahas mekanismenya.

Jika pun harus lewat pengadilan maka pasal-pasalnya perlu direvisi agar pengenaan pidana hanya diterapkan pada penghinaan yang sifatnya tafsir-tunggal. Kita bisa ambil contoh yaitu sengaja membakar atau menginjak kitab suci dengan maksud melecehkan. Atau, perilaku lain yang serupa.

Semoga tidak ada Meiliana lain esok hari, lusa, atau kapan pun nanti. Itu demi masa depan bangsa ini agar tidak runtuh seperti halnya Dinasti Umayyah di Andalusia. ●

Meiliana dan 55 Kultwit Investigasi Rusuh Tanjung Balai

Meiliana dan
55 Kultwit Investigasi Rusuh Tanjung Balai
Iswandi Syahputra  ;  Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
                                                   REPUBLIKA, 27 Agustus 2018



                                                           
Seperti mendadak--kasus Meiliana yang divonis 1,5 tahun oleh PN Medan karena diputuskan melakukan penistaan terhadap agama (Islam)--tiba-tiba menjadi viral. Telisik singkat menunjukkan viralitas tersebut berasal dari satu cluster netizen.

Saya kemudian diminta banyak pihak untuk menyampaikan pandangan soal itu karena, seminggu setelah kerusuhan pembakaran delapan vihara di Tanjung Balai karena tersulut oleh sikap Meiliana, saya langsung terjun ke lokasi untuk riset lapangan. Hasilnya berupa artikel, Insya Allah minggu depan publish di jurnal terakreditasi nasional.

Mengingat cepat dan liarnya laju isu Meiliana ini, kemarin (25/8) saya membuat kuliah twitter (kultwit) untuk menyampaikan apa yang saya lakukan dan temukan dalam riset lapangan tersebut. Semoga berkenan membacanya:

1) Bismillahirrohmanirrohim: Banyak pihak yang japri dan mention saya di media sosial. Mereka bertanya soal bagaimana sebenarnya kasus Meiliana dalam kerusuhan di Tanjung Balai? Mereka ingin tau hasil riset yang saya lakukan terkait kerusuhan tersebut #TanjungBalai #Meiliana

2) Saya memang melakukan riset lapangan terkait kerusuhan yang terjadi tanggal 29 Juli 2016 tersebut. Seminggu setelah kerusuhan, saya tiba di Tanjung Balai, Sumatera Utara untuk melakukan riset lapangan. #TanjungBalai #Meiliana

3).  Sebagai peneliti media dengan minat Media Sosial dan Gerakan Sosial, saya tertarik meneliti kerusuhan tersebut karena Kapolri @DivHumas_Polri Bpk. Tito langsung turun ke lapangan dan menyatakan kerusuhan dipicu oleh media sosial. Lihat https://t.co/fsBLY3L4dI

#TanjungBalai

4). Sebelum terjun ke lapangan untuk meneliti, saya lakukan tahap pra-riset dengan mencari calon narasumber yang kompeten dan mendisain rumusan awal masalah yang akan diteliti sbb: Bagaimana penggunaan medsos dapat memicu kerusuhan rasial di Tanjung Balai? lihat: #Meiliana

5). Untuk menyegarkan ingatan, sedikit dan ringkas saya review kerusuhan di Tanjung Balai tersebut:

a. Meiliana keberatan dengan suara azan di mesjid depan rumahnya.

b.Takmir mesjid meminta klarifikasi.

c. Aparat memediasi.

d. Warga berkerumun

e. Mediasi buntu.

f. Warga marah.

g. Rusuh.

6). Saya termasuk yang tidak mudah percaya hanya karena #Meiliana keberatan dengan suara azan kemudian ratusan atau ribuan warga berkerumun marah dan meluapkan kemarahannya dengan membakar 8 vihara di #TanjungBalai Apa yang sebenarnya sedang terjadi hingga warga mudah tersulut?

7). Seminggu setelah kerusuhan di #TanjungBalai saya tiba di lokasi dan mencari akses untuk dapat mewawancarai #Meiliana Tapi gagal karena menurut informan saya di kepolisian, selain masih shock, Meiliana sementara diamankan di tempat yang dirahasiakan.

8). Di lapangan, data penelitian saya peroleh dengan wawancara mendalam terhadap sejumlah narasumber yang memiliki kompetensi. Di antarnya adalah Kapolres #TanjungBalai saat itu Bpk. AKBP Ayep Wahyu G https://t.co/uFTVEpobvo

9). Selain Kapolres #TanjungBalai saya juga melakukan wawancara dengan Ketua MUI Tanjung Balai, aktivis, pemuda,  seniman, dosen, politisi dan penggiat media sosial di Tanjung Balai. Secara umum informasi yang saya peroleh dari informan tersebut sangat mengagetkan. ADA KONFLIK LATEN.

10). Karena wawancara terpisah, satu informasi dari informan akan saya konfrontir dengan informan lain. Itu dimaksudkan untuk mendapatkan data lapangan yang otentik. Data otentik kembali saya cek silang dengan sejumlah literatur terkait. Misalnya, seorang informan menyebut #TanjungBalai

11). TanjungBalai sebagai kota religius. Saya cek data BPS 2015 terdapat 54 mesjid, 98 musholla, 26 gereja & 9 vihara di Tanjung Balai. Berbagai literatur yang saya rujuk juga menjelaskan posisi #TanjungBalai sebagai kota Kesultanan Melayu, Asahan yang sejak lama dikelola dengan nuansa religi.

12). Dari semua proses tersebut saya menemukan benang merah sebagai petunjuk awal untuk dianalisis, kerusuhan terkait dengan:

a. Politik Pilkada karena keberpihakan kekuasaan pada kelompok etnik tertentu.

b. Kontroversi penggunaan lahan kompleks vihara hasil reklamasi sungai.

13). c. Keberadaan patung Buddha di atas vihara, secara imajiner segaris dengan arah kiblat. Ada perasaan warga muslim saat sholat seperti menyembah patung.

d. Sikap arogansi #Meiliana saat dikonfirmasi soal keberatanya terhadap suara azan.

e. Ada dukungan moril karena sebelumnya Wapres @Pak_JK

14). .... pernah keberatan dengan suara dari speaker mesjid

https://t.co/91W2fCgFbT

e. Sebagai etnis Tionghoa, #Meiliana dinilai warga bersikap arogan karena adanya pengaruh Ahok @basuki_btp yang saat itu sudah mulai menjadi kontroversi.

15). Dari informasi sebagai petunjuk awal tersebut, sejak awal saya menduga 'ada sesuatu' dibalik kasus #Meiliana yang menimbulkan kerusuhan di #TanjungBalai Sementara aktivitas di media sosial hanya medium untuk mencurahkan 'sesuatu' tersebut.

 16). Saya akan ulas sedikit beberapa hal laten yang saya sebut sebagai 'sesuatu'. Informasi saya olah dari informan saya.

Pertama, terkait lahan komplek vihara tempat patung Buddha berdiri. Lahan tersebut hasil reklamasi sungai Asahan yang awalnya untuk tempat wisata. Tapi...

17). .... dijadikan kompleks ibadah. Padahal tidak jauh dari situ ada situs 'Balai' semacam rumah panggung besar sebagai titik kumpul warga saat Sultan sejumlah Kerajaan Melayu melintasi sungai pada masa lalu. Ada nilai historis, religi dan budaya di titik tsb.

18). Warga #TanjungBalai menilai pembangunan kompleks vihara tersebut bermasalah tapi dapat berjalan karena mendapat dukungan dari incumbent yang akan maju dan terpilih kembali sebagai Walikota.

19). Namun demikian, awalnya warga #TanjungBalai juga tidak perduli dengan pembangunana vihara tersebut hingga berdiri patung Buddha yang secara imajiner segaris dengan arah kiblat. Posisi patung ini meresahkan karena dianggap mengganggu ibadah warga muslim.

20). Menurut riset Irwansyah (2013) yang saya rujuk, sedikitnya ada 12 kali masyarakat berkirim surat pada Pemda yang meminta agar patung Buddha tersebut diubah posisinya (bukan diturunkan apalagi dirobohkan). Pada sisi lain baik Pemda atau pemuka agama Buddha mungkin...

21). .... kurang dapat menjelaskan atau tidak dapat menjelaskan mengapa patung Buddha tersebut berada pada posisi tersebut. Sikap ini menjadi masalah laten bagi warga yang seharusnya tidak terjadi jika dari awal antar umat beragama diajak kordinasi oleh pemerintah setempat.

22). Demikian seterusnya kekecewaan warga tersimpan jauh di dalam dasar perasaan terdalam, semua diam. Hingga beberapa tahun kemudian muncul kasus #Meiliana yang keberatan dengan suara #azan dari mesjid yang berada di depan rumahnya @lukmansaifuddin


23). Semua informan saya dalam riset ini menjelaskan hal yang sama tentang sikap arogan #Meiliana saat Takmir Mesjid mendatangi baik-baik rumahnya untuk meminta penjelasan mengapa dirinya keberatan dengan suara azan. Langkah itu dilakukan karema Takmir Mesjid memahami dengan... https://t.co/vmHj5u8ErM

24). .... dengan baik suasana kebatinan umat muslim di #TanjungBalai sebagai umat mayoritas yang dalam kasus pembangunan vihara dan patung Buddha memilih banyak diam saat berhadapan dengan #Meiliana yang dinilai dari kelompok minoritas tapi arogan.

25). Bagaimana bentuk sikap arogan #Meiliana tersebut? Dari sejumlah informan yang saya wawancarai menjelaskan mulai bahasa tubuh hingga lisan yang tidak mungkin saya sampaikan disini. Suami Meiliana termasuk yang ikut meredakan sikap arogan isterinya.

26). Saat itu saya sempat terlintas fikiran, apakah #Meiliana lagi stress, depresi atau mengalami gangguan jiwa/psikis lainnya hingga berani sekali melakukan hal itu di depan kerumunan massa? Hingga saat ini saya tidak dapat mengkonfirmasi dugaan tersebut karena....

27). ..... saya tidak diberi akses oleh aparat untuk mewawancarainya. Padahal saat itu saya sudah meyakinkan aparat bahwa saya peneliti. Hasil penelitian kasus ini akan sangat membantu @Kemenag_RI @lukmansaifuddin dalam mendisain hubungan antar umat beragama yang harmonis/toleran.

28). Karena itu saya perlu perspektif dari #Meiliana Sebab pada posisi berbeda, saya pribadi juga merasa terganggu dengan suara keras apa saja di ruang publik di luar aturan. Seperti suara:

1. Orkes tunggal

2. Knalpot bising

3. Mercon

4. Sirine pengawal

5. Mercon

6. Pentas musik

dll

29). Mengapa #Meiliana keberatan dengan suara #Azan dari pengeras suara mesjid? Bagaimana aturan pengeras suara saat azan di sejumlah negara? Inilah yang saya sebut sebagai antropologi azan, cultural sound, acoustic artefact, atau soundscape.

30). Bagaimana menjelaskan antropologi azan tersebut? Simak kulwit saya selanjutnya siang jelang sore nanti. Saya harus berhenti dulu mau pergi kondangan mantenan anak almarhum maha guru saya Prof. Kuntowijoyo di Prambanan, Yogya. @muhammadiyah

31). Saya lanjutkan kultwit tenyang Azan dan #Meiliana dalam kerusuhan #TanjungBalai Saat itu, beberapa temuan awal tersebut tidak sabar ingin saya ungkap agar publik memahami apa yang sebenarnya terjadi. Saya tulis artikel tentang kerusuhan itu dan dimuat oleh @MNCkoranSINDO https://t.co/3vtxbO62dZ

32). Dari perspektif penggunaan media sosial, harusnya kasus kerusuhan #TanjungBalai menjadi pelajaran betapa mudahnya netizen saling menstimulasi untuk aksi dan berbuat anarki karena simptum religius dan rasa kehormatan mereka sebagai warga asli terusik.

33). Dari perspektif ini, semua pihak terutama pemerintah harus tunduk pada hukum umum toleransi: "Mayoritas melindungi minoritas. Minoritas menghormati mayoritas." Jangan bermain politik pada isu toleransi. Dalam kasus #TanjungBalai saya melihatnya seperti itu.

34). Dengan alasan toleransi, menjelang Pilkada ijin mendirikan kompleks vihara mengabaikan aspirasi umat muslim mayoritas di #TanjungBalai Beberapa aksi masyarakat tentang legalitas lahan dan agar patung Buddha dipindah, diabaikan Pemda. Ini berlangsung cukup lama...

35). Dalam suasana kebatinan sosial demikian, muncul protes #Meiliana terhadap suara azan yang sudah berabad lamanya berkumandang di #TanjungBalai Sebagai masyarakat pesisir, warga #TanjungBalai sebenarnya sangat terbuka dan toleran terhadap semua etnis pendatang.

36). Informan saya menyebutkan, bukan soal menolak suara azan tetapi faktor cara #Meiliana melakukan protes terhadap suara azan itu yang menyakiti batin umat muslim #TanjungBalai Tanpa jawaban lisan, saya merasakan sendiri kegeraman mereka juga dipengaruhi oleh...

37). ... berbagai kondisi umat muslim Indonesia yang agak terpojok terutama di media sosial oleh narasi yang dimainkan netizen misalnya:

- Narasi tentang bulan Ramadan orang yang berpuasa hormati yang tidak berpuasa.

- Larangan takbir keliling.

- Tekanan larangan berpoltik di mesjid.

- dll

38). Narasi itu tersimpan dalam memori dan kognisi sosial masyarakat di #TanjungBalai Berkat media sosial, mereka juga tidak terlalu sulit memahami siapa aktor atau pada siapa atau pada etnis apa arah narasi tersebut dapat dipersonifikasi. Sampai sini persoalan semakin pelik.

39). Jadi mohon jangan disimplifikasi atau disederhanakan ini hanya persoalan linier: Ada azan--ada minoritas yang protes--mayoritas marah--minoritas dihukum=Tegakkan Toleransi.

Akar masalahnya bukan soal toleransi tapi praktik politik kepentingan yang menyimpang.

40). Kalau hanya suara azan, dengan jumlah tercatat 54 mesjid 98 musholla di #TanjungBalai sudah dikepung suara azan 5 waktu sehari/semalam selama ratusan tahun tidak pernah ada masalah. Saya kemudian mencari literatur untuk temukan bagaimana antropologi azan di sejumlah negara.


41). Pertama, artikel Fannes (2012) berjudul Sounds in Changing Context The Muslim Call to Prayer in Vienna. Fannes menilai azan sebagai cultural sounds, sama dengan lonceng gereja di Wina. Karena itu suara azan memiliki kehormatan dan harus dilindungi.

42).  Azan juga miliki konteks sosial religius. Riset Schafer (2003) sebut istilah soundscape. Dengan mendengar suara lonceng gereja, bahkan dengan mata tertutup, kita segera tau secara sosial ada saudara kita dari umat Kristiani di sana. Seharusnya dengan suara saja sudah cukup alasan bikin kita bersaudara dalam perbedaan.

43). Oleh sebab itu, menurut Bender (2006), Howes (2006), dan Thomas (1996), azan (seperti halnya lonceng gereja) bersifat PUBLIK bukam PRIVAT. Maaf Pak @lukmansaifuddin ini sangat penting untuk diketahui. Karen itu dalam pandangan saya...

44) Azan sebagai soundscape atau acoustic artefact (sama halnya dengan lonceng gereja) yang bersifat PUBLIK tidak boleh dihentikan karena alasan PRIVAT. @Kemenag_RI @detikcom @kompascom @hariankompas @RILISonline @tribunnews @merdekadotcom @SINDOnews

45). Namun karena itu pula kedudukan azan menjadi sangat antropologis. Mengacu pada Watt (1992) pada abad 7-8 saat Andalusia (Spanyol) dikuasi Islam azan beraifat PUBLIK. Namun saat ini azan menjadi urusan PRIVAT.

46). Bull (2000) berpendapat lain, dikatakannya suara tidak mengenal sifat. Asal suara terdengar di ruang publik, dia menjadi urusan publik. Suara azan dalam pandangan ini sama dengan suara:

- Sirene

- Knalpot

- Mercon

- Orkes tunggal

- dll.

47). Mungkin karena menggunakan pandangan Bull tersebut, pemerintah Jerman membolehkan azan menggunakan pengeras suara (Allievi, 2010). Hanya saja Pengawas Gereja Protestan di Jerman berpendapat panggilan azan bertentangan dengan keimanan Trinitas. Menarik didiskusikan ya...

48). Karena keberatan tersebut, umat muslim di Jerman sebagai minoritas memilih menghormati umat Kristiani yang mayoritas dengan kumandang #Azan tanpa pengeras suara. Hal serupa terjadi di Belanda. Walau umat muslim punya hak hukum sama dengam gereja untuk...

49). .... kumandangkan azan gunakan pengeras suara, namun memilih tidak menggunakan pengeras suara karena alasan menghormati umat Kristiani yang mayoritas. Sementara umat Kriatiani melalui sistem pemerintah memberi keleluasaan penggunaan pengeras suara saat #Azan

50). Dalam konteks azan, umat muslim minoritas di Eropa sangat toleran. Mereka paham dengan baik kapan FIQH MAYORITAS dipakai, dimana FIQH MINORITAS diterapkan. Relasi penganut agama mayoritas dan minoritas itu yang saya sebut hukum umum toleransi:

51). MAYORITAS LINDUNGI MINORITAS, MINORITAS HORMATI MAYORITAS. Jadi hukum toleransi tidak buta dan membabibuta, sama rasa sama rata. Di sinilah seharusnya kaum cerdik pandai memberi pencerahan dan pemerintah berpihak pada keadilan dan kebenaran pengetahuan, bukan kekuasaan.

52). Sementara di Swedia pemerintah membolehkan #Azan dengan pengeras suara tapi dibatasi hanya 2 KM. Sedangkan di Malaysia, kendati azan dibolehkan gunakan pengeras suara namun, mengacu pada riser Mohad, dkk (2015), ada sebanyak 5,1% umat Kristiani yang terganggu dengan suara #Azan

53). Di Indonesia sendiri penolakan suara #Azan sudah lama terjadi. Menurut catatan Buya Hamka (1982) pemberontakan terhadap penjajahan Belanda oleh Haji Wasith di Cilegon, Banten tahun 1888 bukan karena penjajahan tapi karena larangan sholawat dan kamamdang #Azan

54). Jauh sebelum itu, pada abad 15  Kesultanan Demak pernah keberatan dengan suara #Azan yang muncul secara aneh dari mesjid Gala, di Bukit Jabalkat, Bayat, Klaten (Imansyah, 2013). Mesjid kramat itu kemudian dipindah

55). Jadi sebelum kasus #Meiliana sudah sejak lama ada kasus terkait #Azan Di Aceh seorang warga juga nyaris dikroyok massa karena keberatan dengan suara azan dari pengeras suara. Keberatan, protes, dan menghina #Azan menjadi hal penting lain yang harus dipahami.

56). Dalam kasus #Meiliana berdasarkan informasi dari narasumber yang saya wawancarai awalnya memang keberatan dengan suara #Azan tapi saat dikonfirmasi justru menunjukkan arogansi. Arogansi ini yang dinilai warga merupakan 'penghinaan' terhadap #Azan https://t.co/wo3NigFX6K

57). Aparat kepolisian @HumasTjBalai sendiri sangat sigap dalam mengantisipasi situasi saat itu. Karena lokasi rumah #Meiliana dan mesjid tidak jauh dari pusat keramaian kota #TanjungBalai  warga dengan sangat mudah berkerumun. Seandainya saat itu ketika aparat berinisiatif...

58). memediasi antara Takmir Mesjid dan #Meiliana bersikap sedikit lembut, saya yakin aparat mampu meyakinkan takmir agar dapat menyesuaikan suara #Azan Sikap arogan dalam sekam terpendam warga mayoritas yang suaranya diabaikan dalam pembangunam rumah ibadah dan patung Budhha....

59). pada kultur siber di media sosial yang liar tak terkendali berakumulasi saling menstimulasi menjadi kerusuhan rasial. Saya bersyukur Kapolri @DivHumas_Polri cepat bertindak langsung ke TKP dan mengerahkan pengamanan hingga situasi dapat cepat dikendalikan.

60). Saat ini setelah 2 tahun berlalu, #Meiliana sudah divonis hukuman 1,5 tahun. Kehidupan masyarakat #TanjungBalai juga sudah normal dan membaik. Adil atau tidak hukuman tsb, saya berharap, jika #Meiliana merasa tidak adil tempuhlah jalur hukum.

61). Sementara bagi warga lainnya yang merasa hukuman itu tidak adil dan ancaman bagi toleransi, jangan memperjuangkan tegaknya toleransi dengan cara intoleran. Caranya: Pahami situasi dan konteksnya dengan meneliti dan kembangkan dengan membandingkannya pada literatur. Setiap kasus pasti spesifik sesuai konteks.

62). Dengan demikian kehidupan sosial religius kita dapat berjalan normal dalam bingkai NKRI yang saling menghormati dan menghargai. Pemerintah juga sebaiknya bertindak bijak sebagai regulator kerukunan kehidupan keagamaan kita. Sudah #Azan Maghrib.

SELESAI.  

Ancaman Modernitas

Ancaman Modernitas
Trisno S Sutanto  ;  Periset Independen di PARITAS Institute
                                                      KOMPAS, 30 Agustus 2018



                                                           
Apa itu modern? Pertanyaan itu tidak lahir dari mahasiswa filsafat atau sosiologi. Pertanyaan itu terlahir dari pergulatan eksistensial yang amat konkret.

Halim baru saja disunat dan dengan itu ia jadi ”orang Bajau dewasa yang modern”. Namun, bagi Andar, ayahnya, peristiwa itu justru menghadirkan persoalan yang pelik. Sebab, ia sadar, dunia modern yang akan dimasuki Halim sesungguhnya menantang seluruh cara berada maupun perikehidupan suku Bajau yang selama ini dijalani.

Itulah alasannya mengapa Andar menanyakan pertanyaan tadi: apa itu modern? Bagi Andar, dunia modern hadir dengan membawa batasan-batasan imajiner yang sesungguhnya tidak ada, tetapi dipercayai oleh banyak orang.

Mulanya batasan yang sangat konkret: teritori yang memisahkan wilayah kedaulatan satu negara dengan negara lain. Batasan itu jelas imajiner, tak kasatmata, tetapi sekaligus sangat riil. Orang tidak dapat menyeberangi batasan yang ada tanpa segala macam surat atau dokumen lain yang diperlukan. Di atas batas-batas teritorial negara-bangsa itulah, seperti kita tahu sejak Perjanjian Westphalia, perikehidupan dunia modern didirikan.

Namun, seperti dikatakan Andar, batasan-batasan yang dibawa dunia modern itu makin abstrak. Itulah batasan-batasan yang memisahkan ”agama dengan tradisi”, ”leluhur dengan keturunan”, dan ”masyarakat dengan lingkungan”. Dunia modern membawa pembatasan dan pemisahan itu, yang mengancam eksistensi orang Bajau. Karena itu, kata Andar berharap, jika batasan-batasan ini merupakan ”roh kepercayaan modern, aku berharap anakku memilih kepercayaan Bajau”.

Domestikasi Bajau

Harapan yang diucapkan Andar merupakan adegan yang menutup film Our Land is the Sea, sebuah film dokumenter etnografis memukau yang digarap oleh Kelli Swazey dan Matt Colaciello, hasil kerja sama CRCS-UGM, CSEAS Hawaii, dan The Global Workshop. Film berdurasi kurang dari setengah jam itu tak saja menyajikan pengambilan gambar yang ciamik, yang membuat orang mengenal ”air tanah” Bajau, tetapi sekaligus pergulatan dan ambiguitas kehidupan mereka.

Soal harapan Andar tadi, misalnya. Apakah harapan itu bisa dipenuhi bahwa Halim akan tetap memilih kepercayaan Bajau di tengah terpaan angin modernitas? Itu juga yang diharapkan Saipa, istri Andar. Ia berharap Halim akan menempuh pendidikan tinggi dan sukses, lalu kembali ke Sampela dan ”percaya pada Sandro”, si ahli waris dan penjaga tradisi turun- temurun dari nenek moyang orang Bajau.

Baik Andar maupun Saipa sadar bahwa harapan mereka terlalu naif. Perikehidupan orang Bajau, yang menganggap laut lepas tanpa batas merupakan wilayah ”kerajaan” mereka—setidaknya itulah anggapan Andar—akan makin hilang digangsir oleh dunia modern yang hadir melalui banyak perangkat. Salah satunya lewat institusi sekolah, yang tentu saja harus berdiri di daratan dengan seluruh kultur dan nilai-nilai yang kerap kali bertentangan dengan perikehidupan Bajau.

”Pertarungan” itu berlangsung di dalam keluarga Andar dan Saipa. Lisa, ibu Saipa, merasa sedih karena tidak mewarisi tradisi ayah-ibunya sehingga tidak bisa mengajarkan tradisi itu kepada anak-anaknya yang sudah mengecap bangku sekolah. Soal yang sama berulang pada generasi berikutnya. Salma, putri Andar dan Saipa, misalnya. Ia sudah bersekolah di daratan dan belajar agama Islam. Karena itu, ia ”tidak percaya Sandro”. Begitu juga Tarsan, adik Saipa, yang sudah belajar sampai perguruan tinggi. Ia malah menuduh orang-orang di desanya yang masih berpegang pada cerita-cerita lama sebagai ”belum move on”.

Akan tetapi, sesungguhnya, kehidupan komunitas Bajau, paling tidak mereka yang tinggal di Sampela—daerah sekitar Taman Nasional Waikatobi yang dipotret Kelli dan Matt— sudah lama mengalami domestikasi oleh negara. Jauh sebelum konsep negara-bangsa ada, komunitas ini merupakan pengembara yang hidup nomaden, sebagai pengelana laut yang hidup dan menyusuri laut lepas di sekitar kepulauan barat daya Filipina, Sulawesi, Timor Leste, Papua, dan Salomon.

Lautan lepas itulah ”kerajaan” mereka. Di situ, mereka tinggal dan hidup mengikuti irama laut, bergantung sepenuhnya pada sumber daya
laut yang melimpah bagi kehidupan mereka. Laut pula yang menjadi landasan keberadaan mereka.

Perikehidupan nomaden seperti itu sama sekali bertentangan dengan konsep negara- bangsa yang punya batas-batas teritori yang jelas. Sejak Indonesia merdeka, orang Bajau yang berada di wilayah Indonesia dipaksa harus menetap pada suatu wilayah tertentu demi tertib administrasi sebagai ”warga negara”. Dan, perlahan-lahan, perikehidupan mereka pun berubah.

Cerita orang kalah

Film dokumenter ini, yang dipersiapkan untuk Konferensi Internasional Our Ocean di Bali, Oktober nanti, berhasil memotret pergulatan yang kompleks tersebut dengan nada lirih. Juga melankolis.

Sebab, yang disajikan sesungguhnya adalah cerita tentang orang-orang yang kalah, rekaman tentang perikehidupan yang suatu waktu akan lenyap disapu arus modernitas. Andar sadar itu. Dalam 14 tahun terakhir hidupnya, ia menyaksikan perubahan yang begitu dahsyat. Apalagi kini laut tak lagi mampu menghidupi orang- orang Bajau. Untuk mencari ikan, mereka harus pergi ke wilayah yang lebih jauh. Begitu juga karang-karang yang kini hancur dan ancaman perubahan iklim yang makin mendekat.

Pada suatu titik, mungkin mereka harus sama sekali meninggalkan laut, mencari kerja di daratan yang dirasa lebih menjanjikan. Namun, hal itu juga berarti kepunahan tradisi Bajau dengan seluruh kekayaannya, termasuk ”pengetahuan rahasia” yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.

Dalam banyak hal, cerita tentang keluarga Andar ini mencerminkan cerita kita sebagai bangsa yang tertatih-tatih berhadapan dengan ancaman modernitas. Cerita mereka patut dikenang di tengah perayaan gegap gempita Proklamasi Kemerdekaan negara ini. ●