Pendidikan Menegasikan Kekerasan
Ari Kristianawati ;
Guru SMAN 1 Sragen
|
JAWA POS, 25 Mei
2016
ISU kriminalisasi guru menjadi diskursus
publik saat Nurmayani, guru SMPN 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan, ditahan polisi
dengan tuduhan melakukan kekerasan terhadap seorang siswanya. Nurmayani
dilaporkan orang tua siswa yang seorang anggota kepolisian dengan tuduhan
mencubit anaknya. Penahanan Nurmayani memicu gelombang protes di jejaring
media sosial dan mendorong advokasi hukum dari pelbagai kalangan. Akhirnya,
Bu Guru Nurmayani dibebaskan dari tahanan.
Kasus penahanan atau pengadilan terhadap guru
karena sangkaan kekerasan terhadap siswa semakin sering terjadi. Ada beberapa
kasus yang terbukti sebagai tindakan pelanggaran hak asasi anak dan melawan
hukum, dalam hal ini Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Di sisi lain,
tidak sedikit kasus kekerasan yang sebenarnya lebih bermakna
"hukuman" (punishment) guru terhadap kenakalan anak (siswa).
Kasus kekerasan guru yang bermotif mendidik
dengan memberikan hukuman fisik memang tidak dibenarkan dalam UUPA dan etika
pendidikan. Namun, faktor psikososial yang menstimulasi guru untuk melakukan
tindakan hukuman fisik, misalnya beban mengajar yang berat dan persoalan
subjektif, menjadikan guru lepas kontrol emosi.
Perlu dicatat, hukuman fisik guru terhadap
siswa pada hakikatnya bertentangan dengan filosofi pendidikan. Pendidikan
yang mengedepankan nilai humaniora mengharamkan segala praktik kekerasan
dengan motif dan tujuan apa pun. Kekerasan terhadap siswa oleh guru menjadi
cermin ketidakdewasaan emosional guru sebagai saka guru pendidikan yang
seharusnya bisa menjadi teladan dalam dimensi moralitas sosial.
Masalah besar dunia pendidikan di Indonesia
sebenarnya bukan hanya korupsi anggaran, buruknya mutu pendidikan, maupun
kesenjangan pemerataan fasilitas pendidikan. Lebih jauh adalah masih kuatnya
habitus kekerasan di lingkungan sekolah. Habitus kekerasan adalah paradigma,
perilaku, tindakan, dan kebiasaan menggunakan modus operandi kekerasan untuk
melapangkan tujuan subjektif. Kekerasan dijadikan sarana unjuk eksistensi
personal atau kelompok sosial. Kekerasan dijadikan instrumen memperkuat
hegemoni kekuasaan di lingkungan tertentu.
Kekerasan di sekolah dalam wujud kekerasan
seksual, hukuman fisik, bully, serta intimidasi psikologis yang aktor
pelakunya adalah siswa, guru, penjaga sekolah, kepala sekolah, dan sebagainya
adalah wujud kegagalan pendidikan. Pendidikan menjadi "ruang" bagi
tumbuhnya perbuatan dehumanis yang dijustifikasi dengan klaim kebenaran subjektif.
Pendidikan yang idealnya menginternalisasikan nilai kasih sayang,
penghormatan hak asasi, serta pengembangan kecakapan intelektual (IQ) dan
emosional (EQ) justru sebaliknya menjadi lokus terjadinya kekerasan yang
simultan.
Johan Galtung (1987) mengatakan,
"Kekerasan di dunia pendidikan adalah ekspresi budaya barbar yang
antidemokrasi dan melanggengkan kepentingan struktur kuasa." Kekerasan
di sekolah juga menjadi cermin budaya kekerasan dalam jagat politik yang
mengabaikan nilai kemanusiaan yang substansial. Kekerasan di sekolah
melanggar asas dan filosofi pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang
mengutamakan penghargaan kebebasan liberatif yang humanistis.
Kekerasan di sekolah terjadi di tengah kultur
pendidikan yang apartisipatif dan kuatnya budaya feodalisme. Kekerasan
menjadi tindakan sosial yang melanggar marwah pendidikan sebagai media
transformasi keadaban publik. Kekerasan melahirkan spiral kekerasan yang
berulang-ulang tanpa bisa dikendalikan kearifan budaya yang telah
terkontaminasi dengan hasrat korupsi dan kuasa.
Ki Hajar Dewantara dalam buku Kebudayaan dan
Pendidikan (1972) memberikan resep agar pendidikan mampu menghasilkan
karakter anak didik yang penuh kebajikan. Menurut filsuf pendidikan dan
pendiri Taman Siswa tersebut, "Pengajaran harus selaras dengan
kebudayaan.
Kebudayaan sangat erat dengan humanitet dan sikap saling
menghargai. Pengajaran yang berbudaya akan meningkatkan kemajuan
bangsa."
Untuk itulah, segala kekerasan di sekolah
harus dinegasikan agar sekolah menjadi lokomotif penggerak marwah
kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Kekerasan dalam bentuk apa pun dan
tujuan apa pun harus disingkirkan dalam pendidikan.
Komunitas guru saat ini hendaknya menghindari
praktik hukuman fisik kepada siswa. Hukuman fisik tidak akan mampu mendisiplinkan
siswa dan tidak bakal manjur menjadi media menghentikan kenakalan siswa atau
anak didik. Guru lebih bijak mengembangkan kemampuan pedagogis terapan yang
mampu mengatasi persoalan kenakalan siswa. Guru mematangkan kecakapan
emosional (EQ) agar mampu menahan diri dari hasrat melakukan perbuatan
kekerasan.
Banyak formula pengajaran yang memiliki
standar psikokonseling untuk mengatasi problem ketidakdisiplinan siswa dan
kenakalan anak didik. Guru harus belajar menjadi teladan dalam wawasan ilmu dan
kematangan emosional dalam relasi kegiatan belajar-mengajar.
Perlu dicatat, negara-negara yang maju dalam
sektor pendidikan seperti Finlandia dan Kuba sangat keras melawan praktik
kekerasan di sekolah. Kekerasan akan mendorong merosotnya orientasi dan mutu
pendidikan. Hanya satu kata: stop kekerasan di sekolah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar