Merawat Nilai - Nilai Luhur Sejarah Bangsa
Abd. A'la ;
Guru Besar dan Rektor Universitas Islam
Negeri
(UIN) Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA POS, 23 Mei
2016
SATU per satu cagar budaya yang dimiliki
bangsa ini hilang. Sebagiannya hancur bukan karena dimakan usia. Melainkan
sengaja dirobohkan seperti pembongkaran rumah eks radio perjuangan Bung Tomo
yang berlokasi di Jalan Mawar No 10, Surabaya. Sejak 3 Mei 2016, bangunan itu
tinggal puing-puing, rata dengan tanah.
Padahal, rumah itu memiliki nilai warisan
budaya yang sangat tinggi. Dari rumah tersebut, karena siaran di RRI waktu
itu tidak bisa, pada 10 November 1945 Bung Tomo menggelorakan semangat
arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan.
Karena itu, tidak heran pada Senin, 9 Mei 2016
(sebagaimana diberitakan beberapa media massa), puluhan komunitas pemerhati
cagar budaya -ada yang menyebutnya Arek Suroboyo Menggugat- melakukan unjuk
rasa damai di depan Gedung Grahadi Surabaya. Sejalan dengan itu, mereka
melaporkan perobohan aset budaya bangsa tersebut ke Polrestabes Surabaya.
Makna Warisan Budaya
Kita -sebagai bangsa yang memiliki jati diri-
tentu sangat berharap tidak ada kejadian serupa. Bahkan, warisan dan cagar
budaya yang sudah hancur bisa diselamatkan serta kembali dibangun. Minimal
dibuat replika di tempat artefak-artefak itu berada.
Dilihat dari perspektif mana pun, warisan
budaya mutlak dirawat dan dilestarikan. Bangunan dan benda bersejarah atau
artefak -memodifikasi ungkapan Randall Mason: 2002- memiliki nilai yang bukan
hanya given, tapi juga bersifat kontingen, yang dihasilkan dari interaksi
antara artefak tersebut dan konteksnya.
Nilai tidak sekadar muncul dari cagar budaya
itu sendiri. Karena itu, untuk memahaminya, kita perlu merujuk konteks sosial
dan sejarah, bahkan ruang di mana warisan tersebut hadir. Dari pendekatan
semacam itu, kita akan menemukan seabrek nilai yang tidak terhingga. Dari
nilai estetika, keagamaan, kebangsaan, ekonomi, dan sejenisnya.
Disadari atau tidak, nilai-nilai itu membentuk
jati diri suatu masyarakat atau dan bangsa. Bangsa Indonesia dengan jiwa
Pancasila secara umum, juga arek-arek Suroboyo dengan jiwa kepahlawanan yang
religius secara khusus, sama sekali tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa
lalu yang dilalui.
Jiwa luhur itu mengalami estafet terus-menerus
dari satu generasi ke generasi lain. Dari masa ke masa hingga saat ini
-sampai derajat tertentu- direkatkan dan diperkuat melalui warisan sejarah
semacam cagar budaya serta sejenisnya. Di rumah di Jalan Mawar itu,
bertengger kuat nilai-nilai heroisme, nasionalisme, dan sejenisnya yang
beramalgamasi dengan nilai keagamaan (khususnya Islam) Nusantara.
Dari sini, terlihat signifikansi warisan
budaya dalam bentuk bangunan, benda, atau lainnya dalam membentuk jati diri
suatu bangsa. Signifikansi itu kian kuat ketika saat ini dampak-dampak
negatif globalisasi dari hegemonisasi hingga penyeragaman budaya melibas
masyarakat serta anak-anak bangsa.
Untuk menyelamatkan mereka dari kehilangan
identitas, ketercerabutan jati diri, bahkan anomali kehidupan, warisan budaya
menjadi salah satu biduk yang akan melabuhkan mereka ke pulau keindonesiaan.
Melalui warisan sejarah itu, mereka diajak untuk merengkuh nilai-nilai luhur
yang ada di balik warisan tersebut.
Kebijakan Holistis
Melihat pentingnya warisan budaya dan urgensi
pelestariannya, kita -bangsa dan seluruh elemennya- harus memiliki visi yang
sama serta komitmen yang kuat untuk menyelamatkannya. Juga, menghadirkan
nilai-nilai agung yang intrinsik maupun ekstrinsik peninggalan itu. Konservasi
dan sejenisnya bukan hanya kewajiban pemerhati dan pencinta peninggalan masa
lalu, sebagaimana pula bukan tugas para arkeolog semata.
Terkait dengan itu, perlu segera ada dan
mendesak kebijakan holistis yang melibatkan semua pihak, mulai negara,
pemerintah, hingga masyarakat awam, untuk melestarikan semua peninggalan yang
ada. Semua unsur pemerintah -legislatif, eksekutif, dan yudikatif- mutlak
selalu hadir dalam menyelamatkan warisan berharga itu. Kewajiban itu pula
yang ada pada masyarakat luas dengan segala unsur-unsurnya. Demikian pula
holistis dari penyikapan hingga pe¬nyelamatan, bahkan pasca penyelamatan aset
budaya kita.
Setelah ini, jangan lagi kita kecolongan
sehingga terjadi lagi penghancuran warisan masa lalu. Jangan sampai generasi
mendatang kurang menghargai sejarah bangsa ini. Cukup kita saja yang
menanggung dosa kekurangpedulian terhadap nilai-nilai luhur yang diwariskan
pendahulu kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar