Jumat, 31 Januari 2014

Konspirasi Geng Berdasi

Konspirasi Geng Berdasi

Sunardi  ;   Doktor Ilmu Hukum PPS Unibraw, Lulusan Lemhannas,
Penulis buku ‘Supremasi Mafioso dan Kejahatan Terorisme’
MEDIA INDONESIA,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
FAKTA memprihatinkan bahwa kita sudah demikian sering jadi objek konspirasi para pencoleng (geng) berdasi yang mengumbar keserakahan melalui jaringan kejahatan terorganisasi mereka. Uang negara sudah tak terhitung banyaknya mengalir ke kantong-kantong atau pundi-pundi segelintir atau kelompok (geng) orang yang bernafsu menjadi orang kaya baru (OKB), orang kaya berkelanjutan dan berkeabadian (OKBB), atau orang kaya mendadak (OKM).

Dari pintu Nazaruddin, mulai Angelina, Andi Mallarangeng, hingga Anas Urbaningrum sudah terseret. Dari Akil Mochtar, ada banyak pihak yang harus memenuhi panggilan KPK (seperti Gubernur Jatim), dan dari Tubagus (suami Airin), mungkin banyak anggota dewan yang diperiksa KPK. Meski ada banyak pihak yang berkedudukan sebagai terperiksa, akan tetapi mereka tetaplah geng berdasi yang piawai dalam menjalankan konspirasi. Teoriteori hukum tidak cukup ampuh untuk mendekonstruksinya.

Dalam ranah itu, teori hukum seperti pisau tajam, tapi tumpul saat digunakan mengasah dan membelah. Teori hukum seolah mampu menembus batas kelas sosial, ekonomi, politik, dan edukasi, saat diduga ada di antara pelaku ‘berkelas’ itu yang menjadi pencoleng elite. Sayangnya, elite kriminal itu masih lebih sering menjadi pemenangnya. Komunitas pencoleng elite ini tetap saja lebih lihai dan ‘kreatif’ dalam menumpulkan kesakralan teori hukum.

Teori keadilan Aristoteles dalam bukunya, Nicomachean ethics, dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya, A Theory of Justice , menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan, keadilan harus dinomorsatukan, dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia. Keadilan tak boleh dilecehkan dan direndahkan derajatnya oleh para pelanggar moral dan hukum.

Apa yang disampaikan Aristoteles dan John Rawl tersebut menunjukkan bahwa keadilan harus ditegakkan dalam keadaan apa pun dan kepada siapa pun. Keadilan tak mengenal kasta, tidak memihak status sosial, apalagi memenangkan yang berpangkat. Yang benarlah yang wajib dimenangkan atau yang sejalan dengan hukumlah yang harus ditegakkan.

Dalam realitas, memang tidak selalu yang benar yang menjadi pemenang atau dimenangkan oleh kinerja elemen peradilan. Praktik hukum tidak selalu mengabdi kepada kebenaran dan keadilan hukum. Tidak jarang kebenaran dan keadilan hukum dikalahkan oleh kepentingan elitis politik dan ekonomi. Kebenaran hukum, yang idealnya mengantarkan pada terwujudnya wajah cantik keadilan, tidak mudah berlabuh (membumi). Tidak sedikit duri yang menghambat dan ‘menjegal’ kebenaran hukum, dan sebaliknya sangat banyak kekuatan pencoleng elite atau penjahat di ranah kejahatan berdasi yang mampu mencabik-cabik konstruksi sistem hukum dan moral para penegaknya.

Salah satu modus operandi yang dijalankan pencoleng berdasi itu ialah menciptakan atmosfer politik yang mampu menghadirkan terjadinya dan menguatnya amnesia di tengah masyarakat Penyakit amnesia ini bukan hanya menyerang dan mengidap kuat di dalam ingatan kaum selebritas politik dan pejabat negara, serta elemen penegak hukum, tetapi juga menyerang ingatan orang kecil atau golongan akar rumput.

Di suatu saat, kita dibawa pada opini publik tentang kasus yang sedang menimpa seseorang, geng elitis, atau korporasi berpengaruh, tapi kasus-kasus ini tidak terlalu lama mendiami wacana karena adanya kasus baru yang lebih aktual, yang nilai jual publisitasnya lebih tinggi atau komoditas gosip politiknya dapat lebih cepat dan dahsyat dalam memengaruhi dan membelokkan orientasi publik.

Sudah berjumlah-jumlah pendosa atau pelaku kejahatan istimewa berkategori extraordinary crime seperti korupsi dan sadisme global semacam ‘penjagalan nyawa manusia’ Indonesia di negara lain, tapi ingatan kita yang semula terfokus ini serta-merta buyar akibat ‘dilindas’ oleh kehadiran kejahatan-kejahatan penyalahgunaan kekuasaan kontemporer dan konflik-konflik (kriminalisasi) politik baru yang didesain oleh rezim atau para pemain kekuasaan.

Oleh geng pencoleng berdasi itu, masyarakat negeri ini dibuat lebih bergairah dalam menyukai kasus yang bersifat sensasional dan news, meski kondisi ini potensial melemahkan atau mendistorsi daya nalar dan ingatnya. Akibatnya, kasus lama dianggap sekadar sebagai bagian dari ‘ujian’ dan ‘kerikil’ yang mesti ia alami dan tidak harus diingatnya terusmenerus, di samping dalih lainnya, bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya itu dimungkinkan bisa menimpa setiap orang, masyarakat, dan bangsa mana pun di muka bumi.

Masyarakat dikondisikan oleh paradigma politik hukum rekayasa secara sistemis dan eskalatif supaya gampang sekali melupakan suatu peristiwa besar atau tragedi di jagat yuridis. Pikiran kita diaduk-aduk dan dibentuk supaya mengidap amnesia akut terhadap segala bentuk praktik pencolengan berdasi yang sudah berhasil menjarah kekayaan negeri ini dengan modus penyalahalamatan dalam penggunaan dan pengleptokrasian yang ‘diserasikan’ dengan kepentingan serbapalsunya.
Keterjerumusan dalam keterjangkitan amnesia akut itu jelas suatu kekeliruan atau kesalahan besar bagi bangsa ini. Pasalnya, keterjangkitan ini membuat mentalitas masyarakat semakin rapuh.

Masyarakat akhirnya kehilangan sikap kritis dan melawan. Semangat masyarakat tereduksi untuk menjadi pejuang dan termarginalisasi guna mengamini setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Politik penanganan kemiskinan bagi komunitas akar rumput, misalnya, menjadi terganjal atau sering gagal mengempirik akibat digagalkan oleh ‘militansi’ perilaku elitis yang mengidap ‘kemiskinan moral’, yang virus ini ibarat gayung bersambut: yakni bertemu dengan realitas sosial pasif yang sudah terjangkit amnesia.

Kadar amnesia paling akut jelas menimpa kalangan elemen negara, khususnya pilar-pilar penegakan hukum yang sudah menjadi instrumen dari sindikasi pencoleng berdasi. Manusia jenis ini bukan hanya piawai melupakan atau mengamnesiakan tanggung jawabnya terhadap kasus yang ditanganinya, semisal kasus-kasus besar. 

Tetapi juga secara eskalatif menciptakan dan menyuburkan akar kriminogen yang mengulturkan dan menstrukturisasi apa yang disebut AM Rahman (2011) sebagai ‘gempa sindikasi kekuasaan’ atau kolaborasi antarelite pencoleng di negeri ini.

Dalam lingkaran sindikasi pencoleng itu, dikondisikan adu argumen dan indikasi, yang mengklaim dirinya sudah menjalankan tugas sesuai dengan aturan main, tidak melakukan kesalahan, tidak memenuhi unsur tindak pidana, atau terdapat indikasi dan ditemukan bukti yang menunjukkan keterlibatan orang lain. Atau apa yang dikatakan pejuang kebenaran sebagai ketidakbenaran yang direkayasa dan dikomoditaskan untuk memengaruhi publik. Akibatnya, masyarakat tergiring dalam ranah kejenuhan, yang berakhir menikmati virus amnesia yang menjangkitinya.

Ketika sudah sampai pada ranah tersebut, kasus bertipe penyalahgunaan kekuasaan sebesar dan sespektakuler apa pun yang pernah atau sedang terjadi akhirnya hanya tinggal menjadi objek yang dikenang, atau setidaknya sebatas menjadi kasus sumir yang ditangani setengah hati hingga mati dengan sendirinya. Kasus hukum yang tergolong fundamental bisa dengan mudah dilupakan atau dikeluarkan dari ranah penegakan sistem peradilan atau jeratan hukum, bilamana elemen penegak hukumnya sudah dibuat mengidap penyakit gagap normatif dan diseret oleh bertumpuknya kasus lain yang ‘menindas’ dan mengebirinya terus-menerus.

Masyarakat yang idealitasnya diharapkan sebagai palang pintu pengawasan terhadap kinerja buruk peradilan yang sudah tergiring menjadi kelompok sosial yang secara gradualitas dan sistemis mengidap amnesia pun, tak ubahnya menjadi raga tak bernyawa. Mereka memang masih bisa mendengar dan melihat berbagai bentuk aksi geng pencoleng berdasi, tetapi mereka kehilangan gairah untuk menunjukkan sikap kritis dan membangun gerakan moralnya. Kalau masyarakat sudah demikian, jangan berharap banyak terjadi perubahan besar yang memanusiakan dan mencerahkan.

Imlek dan Keberagaman

Imlek dan Keberagaman

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Januari 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Sebaik-baiknya masyarakat berbudaya dan beragama adalah menghargai dan menghormati bahasa praktik beragama yang berbeda-beda dan bersifat sakral itu.”

TAHUN Baru Imlek atau Cap Go Meh ke2565 akan dirayakan etnik Tionghoa di seluruh Indonesia pada 31 Januari 2014. Di Jakarta, misalnya, tahun lalu pusat perayaan dialokasikan di sepanjang kawasan perdagangan (Jalan Jayakarta, Stasiun Kota, Hayam Wuruk, kawasan bisnis Mangga Dua dan Glodok). Saat itu terlihat heterogenitas budaya masyarakat berbaur, tak hanya budaya Tionghoa, bahkan juga lenong Betawi bercampur dengan kultur lokal ikut pula meramaikan karnaval.

Di tengah heterogenitas, masyarakat yang menikmatinya pun bercampur dan bergembira seraya tidak memedulikan partikularitas budaya yang semasa Orde Baru berkuasa mengancam kelestarian budaya multikultural Indonesia. Tarian barongsai dengan kecrek yang mengiringinya, lenong dan ondel-ondel Betawi yang berlenggak-lenggok, hingga nyanyian marawis meleburkan suasana tahun baru Gong Xi Fa Cai. Etnik Tionghoa, Betawi, Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya lebur dalam suasana cinta kasih dan damai.

Tahun Baru China (Imlek) di Indonesia baru dirayakan semenjak pemerintahan Abdurrahman Wahid membuka kebijakan baru bagi kebebasan beragama dan etnik. Asumsinya, tentu saja akibat perubahan budaya sejak rezim Orba mengekang kebebasan berkebudayaan. Dalam konteks itu, meski di Indonesia masih terbilang baru bagi umumnya masyarakat, perayaan Imlek patut dilestarikan sebagai kekayaan khazanah kebudayaan Indonesia. Tak hanya tradisi multikulturalisme yang harus dipelihara dalam rangka mengukuhkan akuntabilitas bangsa ini di panggung global seperti semboyan unity in diversity, tapi juga akan terasa lebih baik ketika harapan untuk mendirikan kampung global yang bernama Jakarta atau Indonesia, dengan beragam etnik budaya, selanjutnya dikreasi secara kultural atau tidak bersifat simbolis.

Meski secara umum dua etnik besar yang bermukim di Jakarta atau Indonesia seperti Tionghoa dan Arab telah memiliki geneologi sejarah yang kuat, yang telah tereunifi kasi dengan kultur lokal masyarakat kita, hal itu tidak menutup kemungkinan dilakukan pada kultur budaya yang lain seperti budaya India atau Eropa. Implikasi terpenting dengan adanya tradisi reunifikasi budaya juga dapat meningkatkan kedewasaan masyarakat, bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan beragam heterogenitas budaya dan etnik yang harus dikenal.

Kedewasaan masyarakat dalam menangkap fenomena itu sangat penting karena dapat memberi kontribusi ‘pelajaran budaya’, atau bahkan berimplikasi pada dimensi kedewasaan dalam beragama. Bagaimanapun, menurut Clifford Geertz (1987), agama merupakan salah satu hasil dari kreasi budaya. Dengan adanya pluralisme agama-agama baik yang datang dari semenanjung Tionghoa seperti Konfusianisme dan Buddha, dari Arab seperti Islam, dan India seperti Hindu, akan memberi kesadaran lebih tentang keberagamaan yang plural, meski terkadang puritanisme memegang warisan klasik agama tertentu dalam fenomena masyarakat sering terjadi. 

Seperti masyarakat muslim Jawa atau Betawi yang masih cenderung `diskriminatif ' 
pada agamaagama tertentu. Karena itulah, pentingnya memperkuat budaya dan pluralisme agama perlu mendapat perhatian bersama, baik didukung oleh negara maupun kesadaran kultural masyarakat sendiri.

Upaya-upaya itu tak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi memang harus berjalan secara linier.

Bahkan kita bisa belajar dari bangsa Amerika, yang terkenal dengan masyarakatnya yang heterogen dan plural, karena secara geneologisgeografis negeri itu hasil dari tanah temuan Columbus pada sekitar abad ke-14. Misalnya, pada dekade 40-an mantan Presiden Kennedy merasa perlu mendirikan lembaga kementerian negara yang secara khusus mengurusi masalah heterogenitas budaya dan pluralisme agama. Poin penting didirikannya lembaga itu bertujuan mendamaikan budaya dan agama yang sangat aneh dan berbeda-beda, yang datang dari bangsa-bangsa dunia yang ingin mengadu nasib di dunia baru (new world).

Lembaga itu dalam perkembangannya kemudian menghasilkan berbagai corak pemikiran untuk pembangunan negara kesatuan AS ke depan. Soal pluralisme agama, misalnya, terbukti dengan adanya lembaga itu akhirnya bisa menyatukan agama-agama di sana. Ideologi pluralisme diusung oleh negara, yang selain demi kepentingan kelangsungan perdamaian, juga untuk mengkreasi kesejahtera an bersama dengan tidak ada diskriminasi dan rasialitas. Akan tetapi, sejarah panjang heterogenitas dan pluralisme AS tak seperti yang semudah kita pikirkan. Gejolak sosial dan budaya tetap menjadi pelajaran penting sehingga menjadikan AS sebagai bangsa besar seperti terlihat kini.

Kasus-kasus kesenjangan telah banyak mewarnai masyarakat Indonesia dengan etniketnik lain, terutama Tionghoa. Sebagaimana tragedi yang terjadi pada Mei 1998, yang hanya karena sedikit urusan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Meski tragedi Mei bersifat politis yang dimainkan ‘kekuasaan’, sesungguhnya hal itu juga ada sentimentalitas dan obsesi negatif dari masyarakat kita yang melihat sisi negatif dari etnik lain.

Ketika bangsa ini hendak memadukan langkah memajukan budaya, faktor memperlakukan bahasa juga sangat penting, terutama ‘bahasa agama’. Seperti praktik-praktik peribadatan di tengah komunalisme agama masyarakat kita yang berbeda-beda. Dalam kasus di kawasan Kota (Glodok) ketika komunitas Konfusianisme dan Islam lebih banyak terlihat, maka `bahasa agama' yang sakral, yang terkadang memang aneh ketika praktik bahasa peribadatan itu dilaksanakan, akhirnya kembali lagi menjadi semacam kesenjangan sosial, meski hal itu tak teraktualisasi secara nyata.

`Bahasa agama' memang bersifat sakral sehingga praktik-praktik simbolis yang `membingungkan' dan irasionalitas itu, jika tidak dikelola ke dalam sebuah konstruksi penghargaan pluralisme, bisa menimbulkan konflik. Karena, sebagian masyarakat beragama akan menganggap sesat kepada masyarakat beragama lain. Hal itu disebabkan kedewasaan beragama yang belum mapan.

Di sini letak kedewasaan beragama dituntut untuk membangun konstruksi baru budaya di masyarakat. Bahwa bahasa praktik agama yang berbeda-beda itu merupakan sakralitas agama yang memang bersifat demikian, irasional dan untouchable, karena langsung berhubungan dengan Tuhan yang diyakininya masing-masing. Sebaik-baiknya masyarakat berbudaya dan beragama adalah menghargai dan menghormati bahasa praktik beragama yang berbeda-beda dan bersifat sakral itu.

Implikasi Hukum Putusan MK tentang Pemilu Serentak

Implikasi Hukum Putusan MK tentang Pemilu Serentak

Agust Riewanto  ;   Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
BARU saja Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan beberapa pasal dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945, baik dilihat dari aspek penafsiran semantik, gramatikal, maupun original intent. Oleh karena itu, MK memutuskan perlunya pemilu serentak, tetapi baru akan dilaksanakan pada Pemilu 2019 dan seterusnya (Media Indonesia, 25 Januari 2014).

Putusan MK ini melahirkan polemik di antara elite politik peserta pemilu dan pemerhati hukum tata negara karena terkesan putusan itu sangat politis. Bagi yang kontra berpendapat, jika MK menganggap UU No 42/2008 itu bertentangan dengan UUD 1945, seharusnya MK memerintahkan agar pemilu serentak berlaku pada 2014 ini dan tidak menundanya hingga lima tahun mendatang (2019). Sebaliknya, yang pro berpandangan bahwa putusan MK ini mencerminkan kenegarawan an MK karena berani menunda pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 mengingat tahapan Pemilu 2014 telah berlangsung. Bila dipaksakan, pemilu serentak akan dapat membuat kegaduhan politik dan kekacauan pelaksanaan Pemilu 2014.

Implikasi putusan MK

Tulisan ini tidak ingin larut dalam kubu pro dan kontra atas putusan MK ini, tetapi akan memperlihatkan sejumlah implikasi politik hukum yang akan segera menghadang sesaat setelah putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini diberlakukan.
Pertama, putusan MK ini akan berimplikasi pada lahirnya gerakan nasional menolak hasil Pemilu 2014 dari elite politik parpol peserta Pemilu 2014 yang gagal dalam kompetisi pemilu ini, karena merasa bahwa UU No 42/2008 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, tetapi realitasnya masih dijadikan dasar untuk pelaksanaan Pilpres 2014 mendatang. Lebih dari itu, Pemilu 2014 tidak dilaksanakan serentak. Padahal, amar putusan MK menyatakan bahwa pemilu yang dihendaki oleh UUD 1945 pascaamendemen ialah pemilu serentak bukan pemilu terpisah.

Kalau Pemilu 2014 pelaksanaannya dipisah antara pileg dan pilpres, secara otomatis kehilangan sandaran yuridisnya. Karena itu, bukan tidak mungkin kelak banyak pihak akan menganggap hasil produk Pemilu 2014 ialah inkonstitusional. Gerakan ini akan membahayakan stabilitas politik dan bahkan akan dapat memicu pada ketidakpercayaan rakyat pada lembaga-lembaga demokrasi.

Kedua, putusan MK ini akan berimplikasi pada perlunya segera DPR dan pemerintah untuk mempersiapkan aneka produk rancangan undang-undang (RUU) tentang pemilu serentak untuk Pemilu 2019 mendatang karena pemilu serentak menghendaki adanya regulasi tentang pileg dan pilpres yang terkodifikasi. Sementara hari ini kedua UU itu terpisah, UU Pilpres menggunakan UU No 42/2008, sedangkan pileg menggunakan UU No 12/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pengodifikasian kedua UU ini tidak cukup hanya menyinkronkan antarpasal, tetapi juga mengharmonisasikan substansi nilai dari proses penyelenggaraan dan sistem penyelenggaraannya.

Lebih dari sinkronisasi, harmonisasi dan juga korespondensi antara kedua UU ini dan UU organik lainnya yang mengatur bidang politik, yakni UU Partai Politik, UU Penyelenggara Pemilu, UU MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU tentang Pemerintahan Daerah. Jadi, putusan MK itu akan berakibat pada melebarnya ke dalam aneka revisi terhadap UU yang lain.

Ketiga, implikasi putusan MK ini juga akan memicu pada perlunya penyelenggaraan pemilu kada secara serentak di seluruh Indonesia. Sebab sistem pemilihan eksekutif nasional dan legislatif nasional harus sinkron dengan model pemilihan eksekutif dan legislatif lokal. Keinginan sinkronisasi model pemilihan serentak ini merupakan amanat dari sistem pemerintahan presidensial yang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pascaamendemen.

Jika pemilu serentak hanya diberlakukan untuk pileg dan pilpres, sedangkan pileg lokal dan pemilu kada tidak dilakukan serentak, maka akan dapat menimbulkan kerancuan sistem pemerintahan yang dianut dan akibatnya akan membahayakan jalannya roda pemerintahan yang efektif. Di titik ini diperlukan segera merevisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk segera dipecah menjadi tiga UU, yakni UU tentang Pemilu Kada, UU tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan UU tentang Keuangan Daerah.

Keempat, implikasi dari putusan MK ini juga akan mendorong pada perbaikan kinerja hakim Mahkamah Konstitusi (MK) karena pemilu dilaksanakan serentak, baik nasional maupun lokal. Akibatnya, sengketa hasil pemilu yang diajukan kepada MK pasti meningkat 100%. Di titik ini dapat dipastikan 9 hakim konstitusi akan kewalahan dalam menangani sengketa hasil pemilu. Padahal, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu dan hukum acara di MK, bahwa sengketa hasil pemilu penyelesaiannya dibatasi waktunya.

Karena itu, merupakan kewajiban untuk meninjau ulang UU No 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah menjadi UU No 8 /2011 tentang perubahan ketiga UU Mahkamah Konstitusi. Peninjuan ini ditujukan pada kemungkinan menambah jumlah m hakim konstitusi atau mendirikan h pengadilan khusus pemilu yang berada di bawah payung Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) dan dapat membuat perwakilannya di sejumlah provinsi sebagaimana pengadilan tindak pidana korupsi.

Kelima, implikasi dari putusan ini ialah perlunya meninjau kembali masa kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di semua tingkatan. Karena pemilu serentak akibat putusan MK itu akan diberlakukan, maka kelak pemilu di Indonesia hanya akan berlangsung dua kali dalam 5 tahun, yaitu pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden dan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu serentak untuk memilih kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota). Konsekuensinya ialah pekerjaan KPU dan Bawaslu menjadi ringan dan masa kerja lima tahun menjadi terlalu lama.

Di titik ini diperlukan gagasan untuk memperpendek masa kerja KPU dan Bawaslu menjadi 2-3 tahun saja, atau menjadikan institusi KPU dan Bawaslu menjadi badan ad hoc yang bekerja saat adanya event pemilu saja. Ini dimaksudkan semata-mata untuk menghemat biaya penyelenggaraan pemilu. Karena borosnya anggaran pemilu 60% di antaranya dipergunakan hanya untuk membayar honor penyelenggara pemilu dari pusat hingga di daerah dan di tempat pemungutan suara (TPS).

Di atas segalanya putusan MK tentang pemilu serentak ini bersifat final dan mengikat. Karena itu, putusan ini suka dan tidak suka harus dilaksanakan oleh semua pihak. Koreksi dan akibat dari putusan MK ini menjadi pembelajaran kita untuk kian memperbaiki dan menyiapkan regulasi yang lebih baik untuk Pemilu 2019 mendatang.

Pemilu Kada Asimetris Jadi Model Ideal

           Pemilu Kada Asimetris Jadi Model Ideal          

Ridwan Mukti  ;   Bupati Musi Rawas, Sumsel; Doktor pada FH Unsri
MEDIA INDONESIA,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KRITIK terhadap penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) kepala daerah (kada) secara langsung sangat sering disuarakan. Sebagai sebuah antitesis dari model pemilu kada dipilih DPRD, model pemilu kada langsung memiliki banyak kelemahan, sehingga mendorong banyak pihak untuk mencoba mencari model ideal bagi Indonesia yang memang sangat majemuk, dan memiliki karakteristik berbeda-beda. 

Di antara kritik yang sering diungkapkan mengenai pelaksanaan pemilu kada langsung karena seringnya berujung pada kerusuhan, yang disebabkan mulai dari politisasi birokrasi, politisasi anggaran, hingga pada masalah netralitas penyelenggara serta money politics. Pascapemilu kada pun banyak meninggalkan masalah, misalnya saja, politik berbiaya tinggi yang berujung pada korupsi, disharmoni dengan wakil, dan mayoritas berujung sengketa di pengadilan. Lihat saja kasus suap terhadap Ketua MK.

Dalam pemilu setidaknya setiap warga negara bisa 9 kali ke TPS, dengan asumsi pemilu presiden dua putaran, legislatif satu putaran, gubernur dua putaran, bupati/wali kota dua putaran, atau kepala desa dua putaran. Implikasi pemilihan langsung one man one vote dengan menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kesetaraan individu, mengakibatkan bangsa ini semakin sulit menemukan tokoh-tokoh anutan yang merupakan refleksi kesadaran hukum masyara kat adat yang gotong royong dan kekeluargaan. Bahkan, pemilu kada langsung juga telah menghasilkan kepemimpinan yang kurang bermutu, dan terbukti ada 295 dari 908 kepala daerah tersandung kasus hukum. Sejumlah kepala daerah itu melalui 961 kali pelaksanaan pemilu kada langsung hasil pemilihan Juni 2005Juni 2013.

Pergeseran perilaku `yang dipilih' atau `pemilih' dalam proses pemilihan langsung dapat juga diukur dengan munculnya gejala pelemahan terhadap sistem pemerintahan presidensial, bahkan mengancam keutuhan NKRI. Misalnya, pembangkangan gubernur terhadap presiden, bupati/ wali kota terhadap gubernur, para kepala desa terhadap bupati, kendati konstitusi dengan tegas mengatur mereka berada dalam hierarki pemerintahan tertinggi di bawah presiden. Belum lagi perilaku siap menang tidak siap kalah.

Tidak tepat

Dari hasil penelitian saya, pemilu kada seyogianya dilakukan secara beragam sesuai dengan karakter setiap daerah. Pemaksaan secara seragam hanya akan menuai konflik yang berkepanjangan. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 telah ditafsirkan secara tidak tepat, parsial, dan restriktif oleh UU No 32 Tahun 2004, sehingga konsekuensinya pemilu kada bermasalah, baik secara praktik atau perilaku, maupun norma, serta bentuk aturannya.

Ketidaktepatan UU No 32 Tahun 2004 ketika melakukan tafsir secara parsial terhadap Pasal 18 ayat (4), yaitu dengan tidak mempertimbangkan 16 pasal lain dalam UUD 1945 menjadi penyebab utama kenapa pemilu kada tersebut diselenggarakan secara langsung dan diseragamkan, karena dibentuk terburu-buru dan setengah diam-diam.

Sesuai latar belakang perumusannya, frasa `Dipilih secara demokratis' dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat, secara tidak langsung oleh DPRD maupun melalui sistem lainnya. Yang terpenting adalah pemilu kada dilakukan secara jujur dan adil, sesuai prinsip-prinsip demokratis. Karena itu, dalam putusan MK No 072 dan 073/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa wewenang pembentuk UU un tuk menentukan apakah pemilu kada dilakukan secara langsung atau tidak. Pembuat UU sesungguhnya juga dapat menentukan sistem pemilu kada berbeda-beda sesuai dengan daerah masing-masing.

Itu sebabnya model pemilu kada ke depan merupakan condition sine quanon harus beragam yang mencerminkan kebinekaan dalam kerangka NKRI. Implementasinya tergantung pada kesiapan tiap-tiap daerah untuk memilih salah satu model yang sesuai karakteristik tiap-tiap daerah yang diatur dalam UU tentang Pokok Pokok Penyelenggaraan Pilkada Indonesia. Konkretnya, pemilukada itu dapat dipilih DPRD, langsung, atau campuran, yakni a) pemilihan oleh DPRD diperluas, b) pemilihan langsung dipersempit (popular vote), atau c) pemilihan oleh adat.

Pemilu kada langsung paling tepat dilaksanakan di Jawa dan Sumatra, kecuali Kepulauan Riau yang cocok menggunakan sistem perwakilan diperluas. Bali, Sulawesi, dan Kalimantan semodel dengan Kepulauan Riau. Adapun model pemilu kada dengan sistem langsung di persempit, cocok diterapkan di NAD. Untuk model forum adat, cocok di Kabu paten Buleleng (Bali), Kabupaten Baubau (Pulau Buton), DIY, dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua. Untuk model pemilu kada dengan sistem perwakilan DPRD, cocok diterapkan di Sumatra Selatan termasuk untuk Provinsi Papua.

Aturan Hukum

Mengenai aturan hukumnya, ke depan dilakukan melalui UU yang bersifat umum dan dilaksanakan secara teknis oleh perda tiap-tiap daerah provinsi atau kabupaten/kota. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemilu kada di pusat atau daerah didesain efektif dan efisien. Selain itu, juga dirumuskan dalam kerangka pokok-pokok untuk men dukung penguatan sistem politik demokrasi Indonesia, mendukung penguatan negara hukum Pancasila, mendukung penguatan kekuasaan pemerintahan di bawah presiden, tujuan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembentukan masyarakat demokratis Pancasila, memantapkan konsensus bahwa NKRI adalah harga mati, menghasilkan akuntabilitas tertinggi dari sebuah legitimasi sosial di daerah, dan mengedepankan kearifan lokal, tetapi responsif terhadap perkembangan global.

Penempatan perda sebagai landasan hukum dapat dilihat dari perjalanan sejarah desentralisasi. Selanjutnya terjadi pergeseran paradigma dari desentralisasi administratif ke arah desentralisasi politik, dan lanjut mengarah ke desentralisasi hukum, yaitu pengaturan pemilu kada melalui perda.

Religions and capitalisms

Religions and capitalisms

Satrio Wahono  ;    A lecturer in the Faculty of Economics,
Pancasila University
JAKARTA POST,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Entering 2014, global citizens are still dumbfounded about the financial crisis. 

Far from being over, the crisis — rooted in the 2008 subprime mortgage crisis — is instead taking a more sinister form. This time, its repercussions are more wide-ranging, starting from the US, spreading to the European Union, India and China. 

Even Indonesia has seen its robust economy slump with a bout of discouraging economic indicators. The rupiah exchange rate against the US dollar has weakened to 12,000 and the Indonesian Composite Index (IHSG) has taken a nosedive to 4,200 from its record high of 5,214.98 on May 20, 2013. 

As a result, many people have been cursing capitalism as an immoral ideology. Some have dreamt about the death of capitalism amid predictions the world could face a bigger economic crisis this year. 

Capitalism, however, is an ideology that has absorbed the virtuous spirits of the world’s religions. There are at least four major world religions proven to provide capitalism with ethical energy, the first being Protestantism. 

Sociologist Max Weber (1864 – 1920) explained in his seminal book The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1904) that Protestantism gave birth to a rational and modern economic system. The reason behind this, Weber added, was the fact that Protestant ethics were the rational ethics of groups of Europeans and Americans that created a free enterprise system in its most modern and efficient form, a system we now know as capitalism. 

There had already been free exchanges of goods and services as well as profit-oriented activities, but a free enterprise system that operated rational mechanisms, such as bookkeeping, impersonal organization and others, had not existed prior to the Protestant Reformation.

The revolution believed a person’s success in his or her earthly affairs, including economic ones, reflected the manifestation of God’s will on earth. Therefore, working industriously, saving income and living an austere life were all considered virtuous deeds that had ethical and moral values, especially if accumulated wealth was later used to help the underprivileged. 

Second is Judaism. Again, quoting Weber from his other great work, Ancient Judaism (1921), Jews as “the men of reason” are instructed by their scripture to influence and even conquer nature (as well as its resources) in order to achieve a prosperous life on earth.

Third is Confucianism. Although Weber once criticized the religion as a key factor in curbing the progress of capitalism, the facts today prove otherwise. Instead, Confucianism has contributed significantly to attempts to revise crisis-torn capitalism. Just look at the present situation where China, the place where Confucius (551 BC – 479 BC) was born, enjoys a relatively impressive economic growth, thanks to the nation’s policy of applying state capitalism. This particular capitalism is driven by Confucianism, which teaches that a nation has to be based on the principle of state-family and be run in a hierarchical way under an autocratic social organization. 

Confucianism emphasizes collectivism and argues people must cooperate and prioritize other people’s needs above their personal wants. It is such a spirit of collectivism that, according to Ian Bremmer in The End of Free Market (2010), triggers the emergence of a Chinese capitalism that deploys state-owned enterprises and politically loyal private enterprises to dominate strategic sectors, such as telecommunications and aviation. 

Moreover, China uses SOEs as its vehicles to exploit natural resources (e.g. oil and gas) to create jobs for its people. Based on the scheme, therefore, the state guarantees individuals to pursue their own interests as long as the outcome of the enterprises will be beneficial to the collective interests.

Fourth, Islam. Often dismissed as a religion that despises capitalism, Islam is actually in sync with capitalism, especially with the latter’s principles of the acknowledgement of individual property, free enterprise, orientation for profit, a money-based economy, competition and rationality in business behavior.

Max Rodinson in Islam and Capitalism (1977) says Islam is not against capitalism. He argues the Koran pays great respect to reason. The term aqala (reason), for example, is mentioned around 50 times in the Koran. The scripture also repeats the words: “Why don’t you use your reason?” 13 times. 

Several sayings of the Prophet Muhammad further justify Islam’s great emphasis on reason. Islam, for instance, contains passages that read: “An honest trader will sit together with prophets, heroes and fair people on Judgment Day.” This indicates that Islam praises people who accumulate wealth — the capitalists — under a noble intention to help others.

So if capitalism contains religious spirit, why are we tangled in such a catastrophic, immoral financial crisis? The answer: because we have dismantled religious spirit from capitalism. As a result, capitalism undergoes a negative transformation from welfare capitalism founded on religious spirit into a version of capitalism that only accumulates capital and wealth for a few elite groups.

Quoting Michel Wieviorka, welfare capitalism has been betrayed by its prodigal son and shareholder super capitalism. In this kind of super capitalism, corporations are no longer limited by national borders and are able to control nearly all global economic sectors. 

The objective of corporations in the new capitalist system devoid of religious spirit is to satisfy the lust of corporate shareholders for the efficiency and the relentless streams of profit. As a consequence, they justify any means, such as deceiving people, destroying environment, forming unholy alliances with delinquent bureaucrats and using the services of thugs, to achieve their objective.

The current global crisis should not be hastily concluded as the death of capitalism. Instead, the crisis should be treated as an early warning for the global community to stop capitalism from heading in the direction of its more sinister version of shareholder capitalism and turn back to its original form that emphasized people’s welfare, was built on religious values and aspired to create prosperity for mankind. ●

The right to be different put to the test

The right to be different put to the test

Warief Djajanto Basorie  ;    The writer teaches journalism
at the Dr. Soetomo Press Institute (LPDS) in Jakarta
JAKARTA POST,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Dewi Kanti, an adherent of the Sunda Wiwitan faith native to Cigugur, Kuningan, in West Java, was denied an official marriage certificate. 

She wanted to put Sunda Wiwitan as her religion on her resident identity card (KTP). The authorities prevented her from doing so because it was not one of the six religions the Indonesian government officially recognizes: Islam, Catholicism, Protestantism, Hinduism, Buddhism and Confucianism.
Dewi left the religion section on her card blank and the consequence was she was refused the marriage certificate even though she had already taken matrimonial vows based on her faith, the reports said. 

Children of an unapproved faith are discriminated against in religious instruction in school. They are coerced to take a class in one of the six religions the government accepts or else receive a low mark. 

“These are all forms of state discrimination against followers of ancestral faiths indigenous to the archipelago. We should have the right to freedom to worship,” Dewi told a forum of the Coalition of Justice and Disclosure of the Truth (KKPK) at Jakarta’s National Library Nov. 27.   

The Jakarta-based Setara Institute, which researches intolerance, recorded 243 cases of freedom of worship violations in 23 provinces from January to November 2013. 

The late Nelson Mandela made South Africa a rainbow nation where people of different colors and creeds were meant to be treated equally. To be different but equal is not always the case in Indonesia. To be different and denied is.

Article 3 the 1999 Human Rights Law states “every person has the right to basic human rights protection and basic human freedom without discrimination.” 

Similar wording on religious freedom and respect for indigenous identity is found in Article 28I of the amended 1945 Constitution. 

However, discrimination, intolerance, intimidation, violence, racism and xenophobia are still found in the country. Indonesia still has to undo this social shackle around its neck that also has multi-layered rings of bias, prejudice and stereotyping. 

One move to break that bondage was a workshop on Teaching Respect for All (TRA) organized by the Indonesian National Commission for the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) last Dec. 5-7. The National Commission on Human Rights (Komnas HAM) joined as a resource partner. 

The workshop’s objective is to stream TRA in the curricular framework of the country’s education system to counter racism and violence and promote tolerance, said Arief Rahman, executive chair of the Indonesian National Commission for UNESCO.

The TRA leads to the four pillars of education: learning to know, learning to be, learning to do and learning to live together in harmony, Arief affirmed.

UNESCO launched TRA in January 2012 and designated Indonesia as one of five pilot countries to develop appropriate teaching tools based on good practices on how people can learn to live together with mutual respect and tolerance.
It is only through tolerance that people will be able to understand, appreciate and work with others, according to Hasnah Gasim, the national commission’s coordinator of the Associated Schools Program.

The three-day workshop in Jakarta brought in 20 school heads and teachers, 20 youth organization leaders and 20 journalists. They worked in their respective groups to produce ideas on good practices in a local context for a toolbox in curricular use for children in their formative years in the 8-16 age group. 

The youth NGOs discussed communal violence and religious conflicts. They recommended that religious leaders and local informal leaders should be engaged in TRAs particularly in addressing religious-based conflicts. 

In schools, the teachers noted inequality, student brawls, bullying and sexual abuse as concerns. They recommended that head teachers develop school policies to adopt TRA material to deal with those issues. The teachers group also recommended the Education and Culture Ministry make TRA national policy.

The journalists discussed peace journalism as a form of journalism that placed nonviolence at the forefront of the news. The group focused on discrimination in the health sector. Low-income patients do not receive proper medical care. 

Meanwhile, the government and legislators should review policies that deny Indonesians the right to be different and practices that only fan the flames of intolerance — the freedom to worship without being harassed being one such right. 

Deleting the religion section in the mandatory, government-issued resident ID cards could be considered. 

Perhaps the best practice in TRA came from Mandela, who died on Dec. 5 last year. After his release from 27 years in prison in 1990, he became South Africa’s first black president in 1994.  Mandela dismantled apartheid, South Africa’s policy of race-based separation. He then built an all-inclusive democracy with a great amount of forgiveness, where prisoner and jailer are equal. That is teaching respect for all. ●

Chinese New Year : New hope from the young generation

Chinese New Year :

New hope from the young generation

Sylvie Tanaga  ;    A writer and a member of doctorSHARE, a Jakarta-based NGO providing medical services for the disadvantaged
JAKARTA POST,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      

Chinese New Year really matters to the Chinese, including me and my family. 

I am a young Chinese- Indonesian, whose grandfather and grandmother were born in the southern part of mainland China. They fled to Indonesia and then lived in Bandung, West Java. When riots were breaking out, their children, including my mother, were born in Bandung. 

My father didn’t exactly know his origin because his parents died as a child, but he still speaks fluent Fujian, his parents’ native language. I was born the first of four siblings.

Since childhood, I was encouraged to learn Chinese and the Khe or Hakka dialects. Under the New Order regime, which banned all expressions of Chinese culture, it was a struggle to learn Chinese. Still, I was more proficient speaking Chinese than English but I had less understanding of Chinese traditions.

I was unaware that Chinese Indonesians were an ethnic minority until I went to private elementary school with other students from diverse backgrounds. This experience opened my eyes and made me aware of the danger of prejudice without knowing the facts. 

Up to high school, I hung out with my close, non-Chinese friends. Some are still among my best friends. Thankfully, my parents were very open minded. I experienced racism but I know whoever did it lacked knowledge and didn’t need to be taken seriously. Ethnicity is a gift from God.

In addition, it was common among ethnic Chinese that instead of working as government employees amid ethnic barriers, opening up businesses seemed the only opportunity during the New Order. I realized that doing business was not a natural talent of all ethnic Chinese people — a mistaken assumption that broadened to the misleading generalization that all ethnic Chinese were rich.

This presumption may have arisen because most Chinese Indonesians were entrepreneurs, but now I see more and more Chinese Indonesians taking different paths although their parents may have family businesses. 

I’m not bothered by such prejudices or presumptions, but I was stunned by the New Order policy that legalized discrimination. I remember that I was only able to celebrate Chinese New Year after school. When dealing with the bureaucracy, I got into trouble several times just because of my skin and slanted eyes.

Fortunately, that regime has now passed and I was grateful to know Bandung was excluded from the volatile areas of the May 1998 tragedy. But some of my friends, especially those living in Jakarta, fled abroad due to fear. Since the tragedy, I came to understand that prejudice could be a dangerous time bomb that could lead to unrest and conflict, even at unreasonable levels.

Fortunately I live in a pluralistic environment. I rebelled when the Chinese around me said most non-Chinese hated them. It was a fallacy. I am fine with my non-Chinese friends. Love and humanity rise above all differences. There’s something wrong with those who always have racist thoughts. 

I have learnt to understand that living as a minority is a grace. It can become a great reason to contribute something valuable to the country. Being part of a minority does not mean one can only do minor things.

I am grateful to be surrounded by my mentors, Chinese Indonesian figures who are proud of their ethnic identity but who are also role models for diverse people. 

They work in the spirit of pluralism. They never think about their own ethnicity or even about themselves. They may not be famous but they have already done real work for this country.

Examples are the physician Lie Dharmawan, the founder of the NGO doctorSHARE; Ester Jusuf, founder of Solidaritas Nasional Kebangsaan (Solidarity of the Nation-State); and William Kwan of the Institute of Indonesian Pluralism. These mentors formed my character as a Chinese Indonesian youth. 

I also have a lot of Chinese Indonesian friends who devote themselves to communities in need. I was very moved when I saw how they treated malnourished children in Southeast Maluku, holding their skinny hands and hugging them with love.

For me, this is the true meaning of Chinese New Year — when me and my Chinese Indonesian friends can make people happy. Celebrating Chinese New Year is celebrating new hopes for a better Indonesia that young Chinese Indonesians can be a part of. ●