Parlemen dan
Keberimbangan Representasi Perempuan
Nining Indrashaleh ; Sekjen DPP Partai NasDem;
Sekjen DPR RI Periode 2008-2013
|
MEDIA INDONESIA,
26 Mei 2016
BUKAN menggugat
dominasi pria. Bukan pula tidak percaya kepada kaum pria dalam menjalankan
tugas menyuarakan kepentingan perempuan. Itulah sikap politik kaum hawa
sehingga menggelorakan keinginan kuat untuk realisasi kuota 30% di wadah
politik yang terhormat itu (parlemen). Kini, bagaimana mewujudkan komitmen
politik properempuan yang sudah terlegalisasi dalam undang-undang (UU)
politik dan pemilu itu?
Keinginan perempuan
terkait dengan kuotanya–-secara eksplisit sudah terakomodasi jelas (Pasal 55
UU No 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD, dan
DPRD). Pasal itu menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik
memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Bahkan, pasal 56 ayat 2
menyebutkan, dalam setiap 3 bakal calon terdapat minimal 1 perempuan.
Ketentuan tersebut diperkuat dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Nomor 7 Tahun 2013 pada Pasal 11b,11d, 24 ayat 1c-d, dan ayat 2.
Yang menarik ialah,
parpol mana pun terancam gugur ikut serta dalam pentas pemilu jika daftar
perempuan kurang dari kuota yang ditentukan UU itu. Sekali lagi, spirit
artikulatif terhadap kepentingan perempuan sudah demikian jelas. Namun, dan
inilah yang masih menimbulkan keprihatinan mendalam bagi kepentingan
perempuan, ketentuan UU Pemilu yang sudah prokaum hawa masih belum cukup.
Fakta menunjukkan
tingkat representasi kalangan perempuan yang masuk ke lembah politik
(parlemen) masih jauh dari kuota yang telah diamanatkan UU. Pemilu Legislatif
2014 ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif
sebanyak 97 kursi (17,32%) di DPR, 35 kursi (26,51%) di DPD, dan rata-rata
16,14% di DPRD provinsi serta 14% di DPRD kabupaten/kota.
Pada Pemilu Legislatif
2014--khususnya untuk DPR RI--terjadi penurunan, dari 18,2% pada 2009 menjadi
17,3% di 2014. Padahal, kandidat perempuan yang masuk daftar pemilih dari
partai politik mengalami peningkatan dari 33,6% di 2009 menjadi 37% pada
2014.
Sebuah potret
ketidakmampuan perempuan dalam mengarungi kontestasi politik terbuka? Tidak sepenuhnya
benar dan atau salah penilaian itu. Fakta menunjukkan, hanya kaum perempuan
yang terkategori 'super' (punya modalitas sosial yang cukup kuat sebelumnya
dan atau punya keunggulan finansial) itulah yang mampu menerobos persaingan
hegemonik pria.
Sebuah renungan,
berapa banyak kaum hawa yang terkategori super itu? Ada, tapi tetap terbatas
kuantitasnya. Keterbatasannya–-bisa jadi karena terkait dengan kodrat
perempuan yang harus berbagi dengan kepentingan rumah tangganya (urus suami
dan anak-anaknya). Jika ia lajang, kodrat perempuan secara fisik juga sering
menjadi persoalan tersendiri, padahal medan tempur yang dihadapi mutlak
memerlukan energi dan stamina yang prima. Maka, front terbuka (perang
langsung perempuan versus pria) menjadi faktor krusial keterbatasan kaum hawa
memasuki lembah parlemen.
Karena itu, ketentuan
UU yang masih memperhadapkan perempuan secara head to head antara perempuan dan pria perlu direkonstruksi.
Arahnya, pertempuran hanya bersaing dengan entitas kandidat berunsur perempuan,
bukan lagi dengan para calon anggota legislatif kaum pria. Andai model
persaingan terbuka sesama jenis, kuota perempuan 30% pasti terisi, bukan
khayali. Kini, bagaimana mewujudkan sekaligus merumuskan keinginan kuota
perempuan itu?
Urgensi keberimbangan
Amanat UU tentang
representasi perempuan bukan sekadar bicara keadilan berbagi peran di lembaga
dewan. Urgensinya memang tak lepas dari kualitas komitmen bahkan daya juang
ketika urusannya terkait dengan kepentingan perempuan. Terdapat nurani bahkan
empati yang begitu kuat ketika subjeknya sama sebagai perempuan. Bahkan,
tidak tertutup kemungkinan akan muncul rasa gerah atau tak rela ketika
melihat persoalan perempuan yang mendera, baik saat ini maupun masa lalu dan
akhirnya menatap masa depan.
Keterpanggilan sesama
perempuan inilah yang mendorong kuat bagaimana persoalan perempuan yang
mengemuka dari berbagai aspek kehidupan harus dicari kerangka solusinya
secara konstruktif-permanen, setidaknya berjangka panjang. Komitmen seperti
ini-–secara prediktif akan membuahkan peta perubahan kepentingan kaum hawa.
Bahkan, tidak tertutup
kemungkinan bagi kepentingan seluruh anak-bangsa ini. Hal itu sejalan dengan
populasi jumlah perempuan yang –-menurut data statistik lebih banyak daripada
kaum pria. Untuk usia di bawah 15 tahun, perempuan Indonesia sebanyak
35.298.880 jiwa, sedangkan pria 33.034.383 jiwa. Untuk usia 15–64 tahun,
jumlah perempuan Indonesia sebanyak 78.969.160 jiwa, sedangkan pria
78.083.952 juta. Secara kuantitatif, jumlah kaum perempuan lebih besar.
Dengan mencermati
kuantitas jumlah perempuan, apalagi dikaitkan dengan kualitas persoalannya,
maka urgensi pemenuhan kuota 30% perempuan tidak hanya sangat kuat, tapi juga
memang wajib hukumnya. Bahkan, cukuplah rasional jika persentasenya dinaikkan
lagi. Hal itu sejalan dengan faktualitas kuantitas data perempuan di Tanah
Air. Analisis komparatif gender ini tidaklah mengada-ada atau berlebihan,
tapi demi konstruksi tatanan sosial dan sektor lainnya yang lebih baik. Untuk
kepentingan Indonesia dan inilah dimensi holistik perempuan untuk negeri ini.
Jika perjuangan
properempuan ini dihadang kalangan pria karena persoalkan gender, resistensi
itu sesungguhnya tidak mencerminkan keberpihakan untuk perubahan Indonesia
yang lebih baik. Karena itu, tidaklah berlebihan jika kita selaku perempuan
harus menggalang aksi dan opini publik guna menyadarkan kaum perempuan itu
sendiri, juga untuk menghindari kesalahpahaman kaum pria terhadap gerakan
restorasi properempuan di parlemen ini. Atas nama perubahan nasib bangsa
Indonesia yang lebih baik haruslah didahului dengan mengubah potret
keterwakilan perempuan di parlemen sebagai pijakan rekonstruksi tatanan
kebijakan.
Akhir kata, tuntutan
pemenuhan kuota 30% perempuan bukanlah hanya persoalan ketidakadilan pembagian
peran politik di lembaga parlemen, melainkan jauh lebih substansial;
perbaikan kepentingan kaum hawa untuk Indonesia. Karena itu, tuntutan kuota
perempuan yang harus dipenuhi merupakan sikap nasionalisme yang sesungguhnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar