Lonceng Kematian
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 26 Mei
2016
Kalau Mahkamah Agung
tidak merasa ternista dan terganggu oleh kasus hukum yang mengguncang ranah
peradilan sekarang ini, tamatlah sudah hukum negeri ini. Masalahnya, bukan
orang biasa yang meruntuhkan benteng hukum, melainkan penegak hukum. Kasus
penangkapan dua hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, Janner
Purba dan Toton, adalah lonceng kematian hukum di negeri ini, setelah
bertubi-tubi penegak hukum digelandang ke jeruji besi karena suap.
Mendung hitam serasa
menutupi langit Indonesia. Sebab, hakim memiliki tugas mulia: pembawa
keadilan. Bayangkan hakim selalu digambarkan sebagai "wakil Tuhan".
Di ruang sidang dipanggil "Yang Mulia" meski tak sedikit "yang
tercela".
Jika dua hakim
Pengadilan Tipikor yang ditangkap, itu berarti problemnya ganda. Sebagai
hakim Pengadilan Tipikor, mereka tentulah "hakim pilihan" yang
punya keahlian khusus di atas rata-rata (baik pengetahuan teknis maupun
moralitas), karena harus melawan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa.
Dengan tugas berat
seperti itu, pastilah hukumannya tidak ringan. Sebab, merekalah penjaga
peradilan dan penyemai keadilan, bukan malah menghancurkan dari dalam. Namun,
yang terjadi justru membuat hati rakyat teriris-iris. Catatan Kompas (25/5),
vonis hakim yang tercela itu sangat ringan. Misalnya tiga hakim PTUN Medan
(Tripeni Irianto, Amir Fauzi, dan Dermawan Ginting) yang terjerat kasus suap
cuma diganjar masing-masing dua tahun penjara. Padahal, jaksa menuntut 4-4,5
tahun.
Sekarang ini MA juga
tengah tercoreng. Kasus terakhir adalah penangkapan panitera PN Jakarta Pusat
Edy Nasution oleh KPK terkait kasus suap, 20 April lalu. Kasus itu kemudian
merembet ke Sekretaris MA Nurhadi, yang saat rumah mewahnya digeledah KPK
ditemukan uang Rp 1,7 miliar. Saksi kunci yang diduga tahu kasus itu, yakni
sopir Nurhadi bernama Royani yang juga pegawai MA, seakan raib ditelan bumi.
Sudah dua kali panggilan KPK tidak digubris. Untuk posisi sopir, Royani hebat
sekali bisa mengabaikan panggilan KPK yang dikenal superbody, yang bahkan
bisa memanggil presiden/wakil presiden, menteri, bupati/wali kota itu.
Dan, sayangnya, MA
tidak proaktif mendorong Royani, baik sebagai "pegawai atau warga negara
yang baik" memenuhi panggilan KPK. Jangan salahkan muncul dugaan-dugaan:
MA melindungi mafia peradilan? Tentu saja di MA banyak orang baik, tetapi
mereka bisa tergilas oleh orang-orang tercela. Bukankah Martin Luther King Jr
bilang, kejahatan akan makin merajalela karena orang-orang baik diam saja.
Semua sistem hukum yang dibangun akan gagal, kata filsuf politik John Rawls
(1921-2002), jika tidak disertai sikap moral pribadi yang sejati.
Inilah problem penegak
hukum di negeri ini. Moralitas dan komitmen masih dikalahkan nafsu. Jangan
bermimpi memiliki hakim seadil Syuraih yang bahkan berani
"menghukum" Khalifah Umar bin Khatthab (memerintah 634-644) dan
Khalifah Ali bin Abi Thalib (memerintah 655-660) karena tanpa bukti
kuat. Filsuf Aristoteles
(384-322 SM) mengingatkan, hukum itu adalah kecerdasan yang tidak boleh
dipengaruhi oleh nafsu. Selama hakim dan penegak hukum masih merawat nafsu
dan kurang mengelola kecerdasannya, lonceng kematian hukum telah berbunyi: teng-teng-teng.
Lamat-lamat terdengar
sebait lagu "Lonceng Kematian" Black Brothers: Hey kau yang munafik/Kapan akhir sandiwaramu/Saling berlomba mengejar
kekayaan/takkan bawa mati nanti.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar