Birokrasi Rente di Perguruan Tinggi
Fathorrahman Ghufron ;
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
|
JAWA POS, 25 Mei
2016
DEWASA ini, kebijakan tentang pengelolaan
perguruan tinggi yang diambil pemerintah mulai lepas dari jangkar
rasionalitasnya. Salah satu contoh, di satu sisi, pemerintah mengharuskan
kalangan dosen mampu mengkristalisasi imaji produktivitasnya dalam berkarya.
Namun, di sisi lain, mereka dibenturkan dengan berbagai aturan yang mengekang
fleksibilitas dalam merancang dan melaksanakan waktu berkaryanya.
Menjadi wajar bila kadar kecendekiaan dosen di
perguruan tinggi Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Bahkan, dalam
catatan beberapa sumber yang mengukur tingkat produktivitas perguruan tinggi,
Indonesia mengalami tingkat prematur kecendekiaan -sebagai tolok ukur
kerendahan dalam berkarya- yang cukup tinggi.
Belum lagi dalam hal aturan kekaryaan seperti
penelitian dan pengabdian yang dibenturkan dengan model pertanggungjawaban
keuangan yang sangat detail dan rigid. Mencermati hal ini, ada semacam
seloroh di kalangan dosen bahwa menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan
penelitian dan pengabdian jauh lebih rumit dan sulit dibandingkan menyusun
hasil penelitian dan pengabdian itu sendiri.
Untuk menyiasati laporan administrasi keuangan
tersebut, akhirnya tidak sedikit kalangan dosen terjebak dalam kegiatan
pendampingan penyusunan laporan oleh pihak-pihak tertentu. Secara empiris,
kegiatan itu sebenarnya sekadar memetamorfosiskan bahasa lain dari meminta
bantuan kepada pihak-pihak tertentu yang secara administratif sangat paham
penyusunannya.
Pada titik ini, dosen di perguruan tinggi
berada di jalur dilematis. Dosen yang harus menjalankan fungsi utama sebagai
agen produksi pengetahuan melalui pengajaran, penelitian, dan pengabdian yang
proses penyiapan dan pelaksanaannya tak kenal waktu dan ruang juga harus
menampilkan diri sebagai pegawai negeri yang rajin ke kampus dengan rancangan
jam kerja yang sangat ketat.
Mencermati kondisi kerja dosen yang sangat
birokratis tersebut, tentu dosen akan berada dalam wilayah kerangkeng besi (iron cage) -meminjam istilah Max
Weber. Sebab, semua yang terkait dengan kerja akademik dosen harus dijalankan
berdasar jadwal yang rigid dan segala sesuatunya harus merujuk beberapa
aturan yang sangat normatif. Implikasinya, segala tindakan pengajaran,
penelitian, dan pengabdian harus dirancang di kampus. Dosen tidak memiliki
waktu yang leluasa di luar kampus. Bahkan, untuk terlibat aktif dalam
pelaksanaan penelitian dan pengabdian, dosen harus melewati jalur-jalur
birokrasi yang sangat melelahkan.
Bangunan realitas akademik dosen yang dibatasi
berbagai aturan birokratis yang rigid dan normatif tersebut sungguh
mencerminkan adanya birokrasi rente. Disebut demikian karena keberadaan
birokrasi yang sebenarnya harus memberikan kemudahan administratif bagi
masing-masing penggunanya justru menjadi sistem super-ordinasi atas nama
aturan yang memengaruhi cara kerja dosen yang sebenarnya memiliki
karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan tenaga administrasi lainnya.
Pola Rente
Dalam dimensi ekonomi, pola rente banyak
menghiasi pelaku usaha informal di mana utang piutang menjadi arena kuasa
kaum pemodal yang memanfaatkan momen kelemahan pedagang kecil untuk meminjam
modal kepada pihak yang berpunya. Kaum pemodal menebar jaringan
keterpengaruhannya ke setiap sendi usaha informal melalui aturan peminjaman
modal yang memudahkan, tetapi praktik pengembaliannya sangat memberatkan.
Dalam situasi seperti itu, banyak pedagang kecil yang tak kuasa menghindar
dan memilih pasrah terhadap aturan main yang digunakan kaum pemodal, meski
hasil yang diperoleh dari usaha informalnya terkadang lebih besar pasak
daripada tiang (Heru Nugroho, 2001, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang).
Gambaran pola rente yang berkembang dalam
dimensi ekonomi memiliki keserupaan modus operandi dengan dimensi birokrasi.
Di sana, rezim administrasi merepresentasikan dirinya sebagai sistem
kepemerintahan yang paling besar. Mereka kerap menggunakan jaringan
keterpengaruhannya untuk menjerat ruang gerak dosen sebagai representasi
kelompok yang paling kecil dalam merancang berbagai aturan kelembagaan.
Banyak dosen di berbagai perguruan tinggi
sering kali harus menyerah dengan keadaan lantaran aturan administratif yang
dirumuskan pemerintah kurang memberikan ruang gerak akademik yang memadai.
Ironisnya, kepatuhan dosen dalam melaksanakan aturan administratif tersebut
dijadikan sebuah keniscayaan yang sejatinya berlaku sejak dulu. Apa yang
dilakukan pemerintah dianggap sebagai kebenaran, bahkan terobosan dalam
menata pegawai.
Dengan alasan ketertiban, dosen pun tak lepas
dari kendali pemerintah yang lebih mengedepankan aturan administratif dan
tanpa mempertimbangkan apakah kebijakan yang diambil sesungguhnya merugikan
banyak pihak di perguruan tinggi. Tak heran bila sementara ini banyak dosen
yang mengalami impotensi kecendekiaan lantaran asupan gizi intelektual dalam
bentuk penelitian dan kekaryaan lain dibatasi aturan-aturan administratif dan
teknis.
Padahal, dosen memiliki amanah yang besar
sebagai instrumen penting dalam memberikan pencerahan pengetahuan, wawasan
berpikir, dan ketajaman menalar dalam merespons berbagai persoalan terhadap
peserta didik. Instrumen ini bisa bekerja dengan baik bila ada penyegaran dan
peremajaan akademik melalui penelitian dan proses kekaryaan yang substansial
dan memadai. Menelisik tantangan yang harus dilakukan dosen dan harapan yang
diberikan peserta didik agar ada pengembangan proses belajar mengajar yang
progresif, masihkah model birokrasi rente patut dipertahankan dengan alasan
penertiban pegawai? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar