Jumat, 28 Juni 2013

Keadilan dalam Peradilan Cebongan

Keadilan dalam Peradilan Cebongan
Heru Susetyo ;  Staf Pengajar Viktimologi dan Hak Asasi Manusia,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 28 Juni 2013


Kasus penyerangan prajurit Kopassus ke LP Kelas IIA Cebongan Sleman yang menewaskan empat tahanan Polda DIY asal NTT, Sleman pada 23 Maret 2013 kini sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Militer Yogyakarta yang dimulai pada 20 Juni 2013.

Kasus ini menarik karena mendapat perhatian masyarakat luas dan media. Baru kali ini persidangan di peradilan militer mendapat perhatian publik yang luar biasa, setelah yang terakhir pengadilan militer di Jakarta terhadap kasus penculikan aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998.

Beberapa kelompok bahkan mendukung secara eksesif tersangka prajurit Kopassus dalam kasus Cebongan. Sebelum pengadilan dimulai, ada beberapa warga yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Indonesia Baru menggelar aksi mendukung pemberantasan premanisme. Mereka juga meneriakkan kata-kata, "Hidup Kopassus".

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Sipil menyerukan agar seluruh pihak yang berkepentingan dalam masalah ini wajib hukumnya untuk tidak melakukan intervensi dan mendikte proses hukum di pengadilan militer, dengan tidak menyeret persoalan ini kepada pelanggaran HAM berat, tidak memojokkan institusi TNI, khususnya Kopassus, serta menolak keras segala bentuk terobosan hukum yang nyeleneh dan absurd (SHNews.co/ 20/06/2013). Jelas yang dimaksud adalah Komnas HAM dan LSM-LSM pembela HAM.

Beberapa pihak juga menolak upaya pengadilan memfasilitasi para calon saksi dengan video conference. Alasannya, keselamatan para saksi tak terancam dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sementara itu, para saksi dan juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersikeras keselamatan mereka terancam sehingga harus mendapatkan perlindungan dalam setiap tahapan persidangan. Termasuk permintaan untuk memberikan kesaksian melalui teleconference.

Nah, satu pertanyaan yang layak diajukan. Bagaimana sebenarnya duduk permasalahan kasus Cebongan dan bagaimana peradilan yang berlangsung dapat memberikan keadilan bagi semua pihak?

Pertama, harus ditegaskan bahwa kasus Cebongan ini adalah kejahatan berupa pembunuhan ataupun pembunuhan berencana. Hal ini sudah ditegaskan sejak awal oleh tim investigasi TNI AD untuk kasus Cebongan yang berasal dari penyidik Polisi Militer TNI AD; juga mengacu dakwaan kepada prajurit Kopassus tersebut, yaitu pasal pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Kedua, kasus pembunuhan itu adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hal ini penting karena ketika kasus ini pertama bergulir, banyak pernyataan yang mengatakan bahwa kasus Cebongan bukan pelanggaran HAM sehingga tidak menjadi subjek Pengadilan HAM. Pernyataan yang keliru ini bahkan datang dari Kementerian Pertahanan.

Tapi, betul kalau kasus Cebongan bukan pelanggaran HAM berat sehingga bukan menjadi subjek Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud UU No 26 Tahun 2000. Ini karena pelanggaran HAM berat yang dimaksud UU itu memang terbatas pada genosida (genocide) dan kejahatan kepada kemanusiaan (crime against humanity).

Namun, keliru kalau menyatakan kasus Cebongan bukan pelanggaran HAM (UU No 39 Tahun 1999). Bagaimana bisa perbuatan yang menyebabkan hilangnya empat nyawa manusia bukan pelanggaran HAM?

Ketiga, ada kesan dan pembenaran kalau apa yang dilakukan prajurit Kopassus itu beralasan karena sedang membasmi premanisme sehingga tindakan tersebut, walaupun bersifat main hakim sendiri, harus didukung. 
Sejatinya, ini suatu logika false negative. Seolah-olah mereka tidak bersalah, padahal bersalah.
Apakah benar bahwa prajurit Kopassus tersebut sedang membasmi premanisme? Tidak. Mereka membunuh para tahanan karena balas dendam atas kematian dan penganiayaan terhadap sejawat. Kebetulan saja empat tahanan tersebut diindikasikan sebagai “preman”. Kalau bukan preman? Tetap saja akan dihabisi, karena niat utamanya adalah balas dendam terhadap pembunuh sejawatnya dan bukan dalam rangka membasmi premanisme.

Namun, sikap sebagian masyarakat yang mendukung prajurit Kopassus ini juga pada tingkatan tertentu dapat dipahami. Ini karena mereka telah muak dan putus asa dengan merebaknya preman dan premanisme.
Apalagi, tidak sedikit aparat yang malah berkolusi dan berkolaborasi dengan preman; sehingga cukup wajar apabila prajurit Kopassus tersebut memperoleh glorifikasi, seolah menjadi pahlawan karena membasmi premanisme.

Keempat, ada semacam penghakiman dari publik terhadap premanisme dan bahwasanya para preman tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada yang kurang pas di sini karena premanisme dan preman adalah suatu kategori yang absurd dan subjektif.

Tak ada definisi dan klausul hukum yang dapat menjelaskan apa itu preman dan premanisme maka ia adalah suatu konstruksi sosial terhadap realitas. Siapa, apa dan kapan seseorang disebut preman, tergantung dari masyarakat ataupun aparat yang memberikan label.

Terjadi juga semacam generalisasi dalam bentuk prasangka terhadap kelompok tertentu sebagai preman (guilt by association). Seolah-olah preman hanya berasal dari NTT dan seolah-olah orang NTT adalah preman. Prasangka ini kurang sehat karena sejatinya tidak semua preman berasal dari NTT dan tidak semua orang NTT adalah preman.

Kelima, kesatria dan jiwa korsa. Ada sinyalemen para prajurit Kopassus tersebut telah secara kesatria mengakui perbuatannya. Mereka melakukan balas dendam atas dasar semangat l’esprit de corps (jiwa korsa). Ini juga bagian dari sesat pikir. Kalau betul kesatria tak perlu melakukan penganiayaan kepada petugas LP, menghancurkan CCTV, apalagi sampai membunuh tahanan.

Keterbukaan Penting

Sesungguhnya bukan sekali dua kali aparat melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Ini sudah jadi rahasia umum. Namun, harus diakui aparat TNI dan Polri kini sudah berbeda dibandingkan pada masa orde baru. Kini, aparat semakin terbuka. Berani minta maaf kalau berbuat salah dan berani mengadili anggota yang melakukan kesalahan.

Pengadilan militer yang dulu amat misterius, kini mulai membuka diri untuk ikut dipantau publik. Dulu, seolah ada sekat antara masyarakat dengan pengadilan militer. Apalagi, pengadilan militer amat eksklusif. Hakim, oditur (jaksa) dan penasihat hukumnya adalah militer; juga peran dari komandan amat luas selaku Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Pepera).

Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa tidak banyak publik yang mengetahui adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan UU Pengadilan Militer (No 31 Tahun 1997). Ini karena materi hukum acara peradilan militer memang tidak banyak diajarkan di perguruan tinggi hukum umum.

Jalan terbaik untuk memantau peradilan militer kasus Cebongan adalah dengan memahami hukum pidana dan hukum acara peradilan militer secara komprehensif. Untuk keperluan ini, keterbukaan institusi dan peradilan militer menjadi amat penting. Jangan ada sekat dan ketertutupan yang membuat laju peradilan kasus ini sulit dipantau.


Terakhir, keadilan juga harus diberikan untuk semua. Aparat TNI dan Polri juga berhak mendapatkan keadilan. Pelaku pembunuhan dan penganiayaan prajurit Kopassus sejawat mereka juga harus diproses hukum dan diadili dengan serius. Karena itu juga kejahatan dan pelanggaran HAM. Hukum harus berlaku sama untuk semua orang tanpa memandang status, profesi, harta dan akses politik; karena Indonesia masih negara hukum. 

Politisi dan Etika Berdemokrasi

Politisi dan Etika Berdemokrasi
Salahudin ;  Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Penulis Buku “Korupsi Demokrasi dan Pembangunan Daerah”
SUAR OKEZONE, 28 Juni 2013



Akhir-akhir ini terdapat fenomena menarik ditunjukkan oleh politisi yang ikut berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Politisi yang kalah di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) beralih untuk coba berkompetisi di dalam pemilihan legislatif (Pileg) dan atau ikut berkompetisi pada Pilkada di daerah lain. Selain itu, tidak sedikit politisi yang sedang menjabat sebagai menteri, kepala daerah, dan kepala desa ikut berkompetisi di dalam Pileg.  

Pemilihan umum hanya dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Karena itu, bagi politisi, momen pemilihan umum adalah kesempatan berharga untuk diikuti guna mendapatkan kekuasaan. Politisi menentukan strategi dan langkah politik yang dianggap dan dinilai jitu untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak jarang politisi melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan seperti mengabaikan peraturan hukum dan etika politik. Sulit bagi politisi menerima kekalahan dalam pemilihan umum. Ketika politisi kalah dalam kompetisi beragam reaksi yang ditunjukkan seperti ikut kompetisi politik pada tempat lain dan beralih untuk ikut kompetisi pada  bentuk pemilihan umum lain (Pilkada ke Pileg).

Beberapa nama berikut ini adalah sedikit dari banyak nama mantan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kalah pada Pilkada beralih maju pada Pileg, yaitu Mantan calon kepala daerah Tebo Yopi, mantan calon kepala daerah Tanjung Jabung Barat Syafrial, mantan calon kepala daerah Kerinci Ami Taher, mantan calon kepala daerah Pasuruan, Dade Angga, mantan calon wakil kepala daerah Pasuruan Anwar Sadad, mantan calon gubernur NTB, Surya Jaya Purnama ST, mantan calon wakil gubernur NTB Johan Rosihan ST. 

Langkah para politisi di atas tidak ada yang salah karena bagian dari kebebasan individu (politisi) yang dijamin demokrasi. Kebebasan berpolitik, memilih dan dipilih serta menentukan sikap politik adalah hak politisi yang tidak dapat dibatasi dan dihalangi oleh siapapun. Karena itu, syah-syah saja bagi politisi bersikap politik seperti tersebut. 
  
Selain itu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 Tahun 2013 memperbolehkan para politisi yang sedang ikut kompetisi pada Pilkada atau sedang menjabat sebagai kepala daerah untuk ikut mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (Caleg). Jaminan demokrasi akan kebebasan memberikan peluang kepada siapapun untuk berkompetisi dalam politik. Pertauran hukum dikeluarkan memperkuat eksistensi politisi dalam mencari dan meraih kekuasaan politik. Pemahaman akan demokrasi seperti ini sangat memungkinkan terciptanya politik aristokrasi. 
  
Menurut Carlton Clymer, politik aristokrasi adalah kekuasaan yang dikuasi oleh sekelompok elit  masyarakat yang mempunyai status sosial, kekayaan dan kekuasaan politik yang besar. Didalam politik Aristokrasi, kekuasaan politik hanya dinikmati oleh satu generasi ke generasi aristokrat yang lain. Bukan tidak mungkin, di tengah sikap politisi yang seperti ini, Indonesia sebagai negara demokrasi beralih menjadi negara aristokrasi seperti yang didefinisikan Carlton tersebut. Secara langsung, aristokrasi adalah politik yang diharamkan di dalam demokrasi. Karena itu, untuk membangun demokrasi sebaiknya sikap politisi dalam berpolitik perlu dibatasi di dalam memanfaatkan momen politik. 
  
Kebebasan demokrasi bukan dalam arti memberikan kebebasan politisi untuk memanfaatkan segala momentum politik. Sikap politisi yang memanfaatkan segala momentum politik dalam waktu yang sama adalah bentuk arogansi politik politisi yang tidak diajarkan di dalam demokrasi. Di dalam demokrasi, kebebasan politik terikat oleh etika politik yang dilandasi nilai keadilan. Nilai keadilan dalam etika politik demokrasi adalah nilai yang mengharuskan politisi untuk mengedepankan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan dengan baik sehingga regenerasi politik dapat dipertanggung jawabkan secara nyata. Kegagalan politik politisi dalam Pilkada kemudian dalam waktu yang sama beralih kepada Pileg memungkinkan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan ditempat. Kekuasaan hanya dapat dikuasi oleh sekolompok elit masyarakat.
  
Dalam perspektif etika politik demokrasi, langkah pemerintah memberi legitimasi hukum kepada politisi untuk memanfaatkan kompetisi politik dalam waktu yang sama, adalah bentuk upaya pemerintah menghancurkan demokrasi. Pemerintah berupaya menghidupkan oligarki, aristokrasi dan dinasti politik dalam negara demokrasi. Selain itu, politisi yang berkuasa di dalam legislatif pusat dan daerah sengaja membentuk aturan hukum untuk memperlancar dan mempertahankan kekuasaan pada lingkaran sekelompok elit. Pemerintah (KPU) dan politisi sedang berselingkuh untuk menghianati demokrasi. Pemerintah dan politisi menjadikan demokrasi sekadar retorika dan wacana untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Sebaiknya, pemerintah dan politisi berintropeksi diri untuk memahami dosa-dosa politik akan demokrasi. Sudah saatnya politisi menempatkan demokrasi pada tempat yang sebenarnya guna mencapai nilai-nilai ideal yang terkandung didalamnya. 
  
Politisi harus menjaga kewibawaan, integritas, etika dan moralitas berdemokrasi dengan cara menghindari arogansi dalam mencari kekuasaan. Kekalahan pada Pilkada harus diterima baik dengan menunjukkan sikap kedewasaan dan pengormatan terhadap segala nilai ideal demokrasi. Kekalahan harus dipandang sebagai kesempatan untuk menentukan strategi dalam meraih kemenangan Pilkada pada periode berikutnya. Para politisi yang sedang menjabat kekuasaan politik baik sebagai kepala dan wakil kepala daerah, anggota legislatif, dan sebagai kepala desa harus bersabar untuk menjalankan amanah hingga tuntas masa periode kepemimpinan. Beralih meraih kekuasaan lain di tengah menjabat adalah penghianatan terhadap kepercayaan rakyat. Amanah rakyat harus dijalankan dengan tuntas dan penuh tanggung jawab sesuai masa periode yang ditentukan. Dengan seperti ini, demokrasi akan terwujud dengan baik dan dapat dirasakan oleh masyarakat akan eksistensinya sebagai sistem politik dan pemerintahan. 
  
Pada sisi lain, masyarakat sebagai pemilih harus mengedepankan sikap kritis obyektif dalam politik. Masyarakat harus menghidari politisi-politisi yang hanya mencari kekuasaan tanpa tujuan untuk memberdayakan kehidupan rakyat. Tanpa langkah aktif dan kritis obyektif dari masyarakat, demokrasi tetap menjadi simbol politik bagi negara tanpa makna politik berkeadaban untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Selain itu, demokrasi hanya menjadi sarana bagi sekelompok elit dalam mempertahankan kemapanan politik untuk kepentingan pragmatis tanpa makna baik bagi kehidupan rakyat seutuhnya. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk berperan aktif dan kritis obyektif dalam memilih politisi sehingga lahir pemimpin yang bertanggungjawab, profesional, visioner, dan berbudaya untuk masa depan bangsa dan negara yang lebih baik. 

PPDB yang Ramah Sosial

PPDB yang Ramah Sosial
Adi Prasetyo ;  Ketua PGRI Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 28 Juni 2013


Menjelang tahun pelajaran baru, masyarakat pendidikan disibukkan oleh penyiapan penerimaan peserta didik baru (PPDB), diikuti ’’kesibukan’’ orang tua calon peserta didik mencari informasi pendaftaran sekolah. Jenjang SD/sekolah yang sederajat wajib menerima anak usia 7-12 tahun sebagai peserta didik sesuai batas daya tampungnya.

Penerimaan peserta didik baru untuk kelas I SD/ sederajat tak boleh mendasarkan hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (biasa disebut calistung) atau bentuk tes lain. Bila jumlah peserta didik melebihi daya tampung sekolah maka pemilihan peserta didik harus berdasarkan usia, dengan memprioritaskan yang paling tua.

Seandainya berumur sama, pihak sekolah harus memprioritaskan menerima calon yang jarak tempat tinggalnya terdekat dengan sekolah tersebut. Jika usia dan jarak tempat tinggal sama maka peserta yang mendaftar paling awal harus diprioritaskan. Untuk jenjang SMP/ sekolah yang sederajat, pihak sekolah wajib menerima anak berusia 13-15 tahun, sesuai dengan daya tampung sekolah. Seleksi PPDB  hanya mendasarkan hasil ujian nasional (UN), selain boleh melakukan tes bakat skolastik. Seleksi PPDB pada SMA/ SMK juga mendasarkan hasil UN, di samping tes bakat skolastik.

Pada prinsipnya, PPDB untuk semua jenjang wajib dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Selain itu, tanpa diskriminasi atas dasar pertimbangan gender, agama, etnis, status sosial, atau kemampuan ekonomi. Pada tingkat eksekusi, pola dan waktu pelaksanaan PPDB antardaerah bervariasi. Ada yang menyelenggarakan lewat cara online, tapi ada yang memilih secara manual, dan ada yang menerapkan rayonisasi. Sejatinya cara online dapat memaksimalkan prinsip transparansi dan objektivitas karena masyarakat bisa  memantau langsung semua tahapan.

Melalui sistem itu, masyarakat bisa mengetahui jumlah pendaftar di satu sekolah dan nilai ujian nasional para pendaftar. Pola ini menguntungkan orang tua calon peserta didik karena bisa segera memindahkan berkas pendaftaran bila melihat kemenipisan peluang anak mereka diterima di sekolah itu.

Selain lebih objektif, pola online juga lebih efektif dan efisien. Namun hal itu tidak berarti penerimaan peserta didik baru yang masih mengandalkan cara manual tak dapat dipertanggungjawabkan. Kendati proses dilakukan manual, pola itu tetap mengedepankan objektivitas dan transparansi. Tiap hari, biasanya siang, sekolah wajib menginformasikan data pendaftar lewat jurnal.

Kewibawaan Sekolah

Jurnal itu memberikan gambaran lengkap kepada calon pendaftar. Sejatinya kewibawaan sekolah ikut terjaga karena melalui jurnal masyarakat akan mengetahui nilai terendah yang bisa diterima di sekolah itu. Dengan demikian, secara otomatis sekolah tak mempunyai keberanian untuk melakukan penyimpangan.
Dinamika yang sering mewarnai pelaksanaan PPDB adalah mobilisasi dana dari masyarakat kepada sekolah. Namun pemerintah telah menetapkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Regulasi itu mengatur larangan sekolah melakukan pungutan kepada peserta didik.

Pada sisi lain pemerintah masih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan sumbangan untuk sekolah anak mereka. Khusus untuk satuan pendidikan SMA/ SMK diharapkan memanfaatkan sebaik mungkin dana yang diterima dari pemerintah untuk membantu pembiayaan siswa yang direkrut dari keluarga miskin. Sekolah juga harus menerapkan mekanisme subsidi silang untuk membantu pembiayaan siswa miskin.


Penerapannya pun harus ditempuh lewat proses musyawarah yang objektif, adil, dan demokratis antara sekolah dan orang tua siswa, serta dilaksanakan dengan manajemen yang transparan dan akuntabel. Yang tidak boleh dilupakan, sekolah wajib menerapkan langkah afirmasi lain yang diperlukan guna menjamin pemenuhan hak siswa dari keluarga miskin untuk memperoleh pendidikan tanpa menghambat upaya sekolah itu meningkatkan mutu. ●

Hizbullah dalam Krisis Suriah

Hizbullah dalam Krisis Suriah
Ibnu Burdah ;  Pemerhati Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Penulis buku “Segi Tiga Tragedi Tanah Palestina”
SUARA MERDEKA, 28 Juni 2013


"Kejatuhan Suriah bisa berarti terpotongnya distribusi jalur darat dari Iran, Irak, menuju Hizbullah di Lebanon"

SECARA mengejutkan, Presiden Lebanon Michel Suleiman mengeluarkan pernyataan sangat keras, baru-baru ini. Ia mengutuk keterlibatan Hizbullah dalam konflik Suriah yang makin masif dalam dua bulan terakhir. Ia bahkan menyeru pejuang Hizbullah supaya keluar dari negara tersebut.

Pernyataan Suleiman yang berasal dari Kristen Maronit ini tergolong sangat berani mengingat secara de facto Lebanon, terutama di wilayah selatan, dikuasai Hizbullah. Kekuatan milisi Hizbullah jauh lebih kuat dari kekuatan militer negara itu. Persenjataan, pengalaman tempur, dan mental mereka dipastikan lebih unggul ketimbang tentara Lebanon.

Hizbullah lahir dari rahim perlawanan dan untuk tujuan perlawanan. Sasarannya adalah pendudukan Israel. Itulah prinsip dasar kelompok gerakan Syiah di Lebanon yang saat ini dipimpin tokoh karismatik Sayyid Hassan Nasrallah. Hingga 2012, kelompok ini menampakkan konsistensi tinggi terhadap prinsip itu. Mereka seperti kurang tertarik dengan agenda di luar perlawanan terhadap Israel. Mereka fokus pada tujuan dasar, mempersiapkan perlawanan terhadap Israel melalui senjata.

Bahkan, ketika kelompok-kelompok keagamaan garis keras Sunni menceburkan diri ke dalam konflik sektarian di Irak, mereka tidak begitu tertarik melibatkan diri membela kelompok Syiah. Mereka sepertinya juga tidak ada agenda khusus untuk terlibat secara langsung dalam perjuangan rakyat Bahrain yang mayoritas Syiah untuk meruntuhkan monarki padahal militer Arab Saudi dan beberapa negara Teluk terang-terangan melibatkan diri.

Namun kenapa kelompok ini kemudian bersikukuh pasang badan membela rezim Assad melawan oposisi padahal kecaman terhadap langkah mereka datang dari banyak pemimpin Arab dan dunia Islam? Bahkan Sekjen Hizbullah menyatakan kesiapan kelompok itu untuk bertempur hingga titik penghabisan. 

Mencermati pidato pimpinan tertinggi Hizbullah pada acara peringatan 13 tahun kemunduran Israel dari Lebanon Selatan beberapa waktu lalu, mereka mengklaim memiliki sikap tidak berubah, tetap konsisten pada jalur perlawanan. Bagi mereka, keterlibatan di Suriah adalah bagian dari agenda besar perlawanan terhadap Israel. Nasrallah menyebut Suriah (rezim) sebagai benteng belakang bagi gerakan perlawanan.

Kehancuran rezim Suriah berarti petaka bagi kekuatan perlawanan dan kemenangan bagi Israel, negara-negara Barat, dan sekutu Arab, termasuk kelompok radikal Sunni yang disebutnya irhabiy-takfiry (teroris dan mengafirkan). Dalam konteks perimbangan kekuatan di sekitar Israel, arti Suriah memang sangat signifikan bagi ìporosî perlawanan yang terdiri atas Iran, Hizbullah, Suriah, dan pada konteks tertentu Hamas dan jihad Islami. Kejatuhan Suriah bisa berarti kemelemahan Hizbullah secara signifikan. 

Bagaimanapun, sebagian bantuan logistik dan persenjataan Hizbullah berasal dari Suriah. Bahkan, dalam perkembangannya, banyak laporan menyebut Suriah masih terus berupaya mentransfer senjata canggih kepada kelompok itu untuk mengubah perimbangan kekuatan di kawasan.

Tidak Populer

Kejatuhan Suriah juga bisa berarti terpotongnya distribusi jalur darat dari Iran, Irak, menuju Hizbullah di Lebanon. Ini bisa berarti bencana besar bagi kelompok yang disebut musuh-musuhnya di dalam negeri sebagai antek Iran. Hizbullah sejak awal memang mengidolakan revolusi Islam Iran dan hingga saat ini berkiblat ke negara tersebut.

Kelompok-kelompok Sunni memiliki pandangan sebaliknya mengenai keterlibatan kelompok itu dalam perang Suriah. Saad al-Hariri dan Fuad Seniora (keduanya pucuk pimpinan partai dari kelompok Sunni di Lebanon) mengkritik keras keterlibatan Hizbullah sebagai  membuka wajah asli Hizbullah, yakni agen Iran di Lebanon.

Sedikit mengejutkan, komentar sangat sarkastis dilontarkan Erdogan, PM Turki yang menyatakan, kelompok itu tidak pantas lagi menyandang nama hizbullah (partai/ kelompok Allah) akibat keterlibatannya membantu rezim Assad untuk ’’membunuh’’ rakyat Suriah yang memperjuangkan kebebasan.

Menurutnya, kelompok itu lebih pantas disebut hizb al-syaithan (partai setan). Bahkan, pertemuan ulama yang dipimpin al-Qadhawi menyebut langkah mereka sebagai perang melawan seluruh umat Islam. Secara umum, negara dan kelompok  Sunni di kawasan, termasuk al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir, mengecam keterlibatan Hizbullah membela Assad sebagai laku tidak konsisten, kekejian besar terhadap rakyat Suriah, dan bunuh diri secara sia-sia.


Kelompok itu sepertinya menyadari keterlibatan di Suriah membuatnya tidak populer pada kalangan luas. Ini sangat berbeda dari tahun 2006, ketika mereka mampu menahan serangan lengkap Israel selama lebih dari sebulan. Mereka menjadi pahlawan dan simbol kebanggaan bagi Lebanon, dunia Arab, bahkan dunia Islam baik kalangan Sunni maupun Syiah. Hal itu mungkin yang melatari Hizbullah untuk sangat berhati-hati melangkah di Suriah. ●

Kontroversi RUU Ormas

Kontroversi RUU Ormas
Din Syamsuddin ;  Ketua Umum PP Muhammadiyah 
SUARA KARYA, 28 Juni 2013


RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tidak diperlukan di tengah masyarakat sipil yang makin menguat. Justru, keberadaan UU Ormas itu nanti akan mengganggu hubungan rakyat dan negara. Pada era sekarang hubungan negara dan rakyat merupakan kemitraan strategis.

Ada beberapa alasan yang mendasari penolakan itu. Muhammadiyah menilai RUU Ormas inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 karena membatasi dan mempersempit ruang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat 3, Pasal 28C ayat 2 UUD 1945 serta International Covernant on Civil and Political Right yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005.

Hal itu ditandai dengan sejumlah ketentuan dalam RUU Ormas yang mengatur persyaratan administratif hingga kian ketat, prosedur pendaftaran yang rumit, serta ancaman sanksi administratif yang berat. Ketentuan itu berpotensi membatasi kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah ketatnya kontrol pemerintah dalam mengawasi keberadaan ormas.

Kedua, ada kerancuan mengenai definisi ormas, yang kemudian akan mengatur semua bentuk organisasi tanpa memandang jenis, kriteria, skala, dan kegiatan. Padahal, setiap organisasi dinilai memiliki kompleksitas masing-masing.

Ketiga, tidak ada kebutuhan mendesak dengan RUU Ormas. Beberapa ketentuan utama dalam RUU Ormas telah diatur dalam sejumlah UU lain. Seperti tentang perkumpulan yayasan yang telah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 dan kemudian diubah menjadi UU Nomor 28 Tahun 2004.

Mengenai transparansi dan akuntabilitas telah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sementara tentang sumbangan dana asing yang diterima LSM dan lembaga-lembaga dalam negeri sudah dalam UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Terakhir, RUU Ormas berpotensi menimbulkan kemunduran dan kerugian masyarakat, bangsa dan negara, serta dinilai kontraproduktif dengan alam kehidupan demokrasi.

Muhammadiyah memandang alam pikiran yang sejalan dengan jiwa kemerdekaan dan konstitusional harus jadi dasar kandungan isi RUU Ormas sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan Universal Declaration of Human Rights.

Muhammadiyah sendiri bukan ormas, tapi community organization, gerakan kebudayaan, yang muncul sebelum kemerdekaan dan diperlukan di masa yang akan datang. Keberadaannya lebih dari sekadar ormas, ketika ditarik sebagai ormas, ini menjadi reduksionis. Pansus RUU Ormas tentang peran ormas dalam negara dan masa depan bangsa beralasan ormas merupakan gerakan kebudayaan. Ada disharmoni dengan beberapa UU lain. Sejatinya Muhammadiyah, NU dan lain-lain adalah gerakan kebudayaan dan berperan dalam menegakkan negara, diperlukan oleh negara pada masa yang akan datang.

Secara khusus, UU Ormas tidak boleh memproduksi kembali segala bentuk pengaturan atau regulasi yang secara langsung maupun tidak langsung mengandung semangat dan isi yang bersifat monolitik dan represif, baik secara parsial maupun keseluruhan. Oleh sebab itu, RUU Ormas tidak diperlukan karena aturan-aturan yang tertuang di dalamnya sudah ada di dalam perundang-undangan lainnya. Yang dikhawatirkan, UU Ormas akan mendatangkan lebih banyak kerugian bangsa ketimbang manfaatnya. 

Positivisme Pemimpin

Positivisme Pemimpin
Latif S Kusaeri ;  Sejarawan Universitas Airlangga, Mahasiswa Pasca Sarjana UGM
SUARA KARYA, 28 Juni 2013 


Dalam perjalanan sejarah Indonesia, bulan Juni ini merupakan bulan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh nasionalis. Sebagai contohnya adalah dua mantan presiden Soekarno dan Soeharto. Soekarno (Bung Karno), dilahirkan di Jalan Pandean IV/406 pada tanggal 6 Juni 1901. Sedangkan Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921. Wajarlah, bila kemudian beberapa daerah memperingati hari kelahiran mereka sebagai salah satu agenda tahunan untuk mengaca pada sosok-sosok ini.

Di Blitar, misalnya, rangkaian kegiatan untuk memperingati sang proklamator Soekarno merupakan acara tahunan yang dikemas bebarengan dengan rangkaian acara Grebek Pancasila. Sedangkan fenomena untuk mengenang hari lahirnya Soeharto juga diperingai warga Solo dengan ritual Haul Suharto. Bila dilihat dari sosok-sosok pemimpin ini, mereka merupakan buah dari apa yang disebut determinant of leader, di mana pada sosok pemimpin selalu meninggalkan sisi-sisi positifnya dalam memimpin.

Soekarno sebagai Bapak Prokamator adalah sosok yang sangat giat mempropagandakan arti nation dalam ranah kebangsaan untuk menumbuhkan semangat rakyat di negeri ini. Semangat itu kemudian menumbuhkan kemerdekaan dan bangunan kemandirian bangsa hingga kita ditakuti negara lain sebagai bangsa yang besar dan kuat. Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur, sebagai bapak yang menumbuhkan kemandirian ekonomi di atas segalanya. Maka, dalam setiap fenomena ini kita harus berterima kasih kepada pemimpin yang telah membangun kebesaran ini.

Para pemimpin telah melakukan pendidikan politik yang kadang kala terlalu jenuh dan terlalu mendewakan kepemimpinannya. Yang jelas, Soekarno dan Soeharto juga manusia biasa yang kadang harus melakukan kesalahan demi membangun fondasi yang diinginkan. Apa yang terjadi kini bukan lagi mengecam kesalahan dengan menyingkirkan atau mendewakan kebenarannya sebagai kitab suci. Kebijakan perlu ditinggikan dalam fenomena historis. Apa yang terjadi kemudian historisitas ini bisa digunakan untuk pendidikan. 
Karena, seyogianya pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Ketika ada kehidupan manusia, di situ terdapat pendidikan. Pendidikan diselenggarakan untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia.

Karakteristik yang disuguhkan pemimpin kita saat ini juga banyak yang tidak telah banyak menjadi pergunjingan di antara banyak rakyatnya. Akan tetapi, polarisasi yang dimaksud bukan saja pembualan konjungtivitas yang perlu diperiolokkan. Pemimpin setidaknya punya gaya dan ambisiusitas tersendiri dalam gaya memimpinnya.

Tanggung Jawab

Dalam kaitan pemimpin, Max Weber mendefinisikan bahwa upaya untuk meraih kepemimpinan adalah melalui sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa. Pemimpin itu setidaknya telah menancapkan sisi keberaniannya untuk menggurui rakyat banyak dengan agenda sosial yang jelas. Tanggung jawab pemimpin merupakan embrio yang perlu ditekankan untuk menjadikan bahwa pemimpin adalah suatu jabatan yang tidak mudah, suatu sifat tertentu dari seseorang.

Maka, apabila pemimpin melakukan kesalahan, kadang bisa diwajarkan. Akan tetapi, pemimpin ini punya sisi positif yang bisa dijadikan bahan edukatif yang jelas. Gaya inilah yang sebisanya perlu ditiru generasi penerusnya. Aura heroisme yang dikumandangkan pemimpin pada waktu itu bisa diambil dengan sisi positifnya.

Apa yang melatar belakangi kemudian adalah, adanya rasa cipta yang telah ada dalam kaitannya dengan pemimpin waktu itu. Kita bisa melihat bahwa gaungan Soekarno pada waktu itu bisa membius warganya untuk rela bersatu dalam ranah nasionalisme. Pun, dengan Soeharto yang telah menciptakan perekonomian yang stabil dan menggalakkan arti hidup dengan bekerja keras. Elaboratif itu kemudian menciptakan gaya pemimpin yang perlu kita resapi jasanya, meski di balik itu sisi negatif pemimpin pasti ada di tengah manifesto gaya leader-nya. Kelebihan gaya kepemimpinan ini ada di penempatan perspektifnya.

Banyak orang seringkali melihat dari satu sisi, yaitu sisi keuntungan dirinya. Sisanya, melihat dari sisi keuntungan lawannya. Hanya pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa melihat kedua sisi, dengan jelas, apa yang menguntungkan dirinya, dan juga menguntungkan lawannya. Namun, gaya pemimpin ini bisa dinarasikan dengan otentivitas atas nilai-nilai yang ditawarkan pada masanya.

Peranan kaum intelektual dan para generasi penerus kini harus memamnggil sejarah untuk melihat masa lalu yang menaunginya. Ketika politik sebagai seni kini telah banyak berdimensi kelompok saja., maka pemimpin harus mengedepankan kebijakan kolektif dibalik apa yang disebutkan Machiavelli sebagai kebijakan parokial (reason of state), yang menipu kepentingan rakyat.

Pemimpin yang telah ada dalam pendahulu kita setidaknya bisa menjadi cerminan sisi positif dengan modal historis. Apa yang disebutkan bahwa pemimpin setidaknya bisa dikaca oleh generasi selanjutnya dengan disain sebagai kebangkitan. Sehingga, kita bisa melakukan pembebasan bangsa ini dari kekerdilan mentalitas budak , yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut dengan isi dan arah kebangsaan. 

Merindukan Pemimpin Peduli Rakyat

Merindukan Pemimpin Peduli Rakyat
Hendra Sugiantoro ;  Pegiat Transform Institute Yogyakarta
SUARA KARYA, 28 Juni 2013


Betapa sering kita mendengar soal krisis kepemimpinan. Tak cuma terkait dengan kaderisasi kepemimpinan, tetapi juga karakter kepemimpinan. Pemimpin-pemimpin di negeri ini acapkali diragukan integritasnya meski kita tentu saja tak bisa melakukan generalisasi. Di tengah adanya pemimpin-pemimpin yang dinilai buruk, masih ada pemimpin-pemimpin yang terpuji. Di negeri ini masih terdapat pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab membangun kehidupan masyarakatnya.


Yang perlu disadari, menjadi pemimpin sebenarnya merupakan tanggung jawab yang tak ringan. Pemimpin harus mampu membawa masyarakatnya pada kehidupan yang baik, adil, sejahtera, dan senantiasa dalam limpahan berkah Ilahi. Mungkin adakalanya pemimpin itu lupa dengan tanggung jawabnya. Kekuasaan acapkali melenakan, sehingga lalai mengurusi masyarakatnya. Maka, sesungguhnya pemimpin itu harus terus-menerus melakukan evaluasi diri. Sebagai manusia, kekurangan memang bisa dimaklumi, namun pemimpin yang baik harus senantiasa memperbaiki sikap dan perilaku kepemimpinannya. Pemimpin yang rendah hati pun harus menerima teguran dan kritik masyarakat agar lebih bisa mengaca diri untuk melakukan perbaikan.

Di sisi lain, tak salah apabila kita juga dituntut memotivasi, memberikan inspirasi, dan membangun spirit kepada pemimpin agar bekerja secara baik dan bertanggung jawab. Yang namanya manusia itu mudah lupa, maka kita mengingatkan pemimpin untuk memegang teguh janji setianya sebagai pemimpin untuk membangun kemaslahatan kehidupan masyarakat. Pemimpin tak hanya pada lingkup negara, tetapi juga daerah, seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan ketua RT. Begitu juga anggota DPR/ DPRD adalah pemimpin yang bertanggung jawab memperhatikan kehidupan masyarakat.

Ada pelajaran berharga dari sebuah kisah kha zanah literatur Islam, yang bisa dijadikan cermin oleh para pemimpin di negeri ini.

Khalifah Umar bin Khaththab berkeliling Madinah dan menjumpai anak-anak menangis di malam hari karena perutnya kosong. Agar anak-anaknya terdiam dan tertidur, sang ibu berpura-pura membuatkan makanan, padahal tungku yang dipanasi hanya berisi air dan batu. Umar bin Khaththab pun bertanya dan bercakap-cakap dengan sang ibu yang tak tahu kalau yang berbicara itu adalah sang khalifah. Jawaban menyentuh sang ibu sungguh menghentak ketika Umar bin Khaththab bertanya, "Engkau tak memberi tahu Khalifah Umar?"

Apakah jawaban sang ibu yang anak-anaknya menangis karena kelaparan itu? "Dialah yang seharusnya mengetahui keadaan kami. Dia memiliki kuda dan juga ribuan pegawai dan tentara. Dia seharusnya tak tidur nyenyak di rumahnya, sementara ada rakyatnya seperti kami yang kedinginan dan kelaparan," jawab sang ibu. Siapa pun pemimpin memang seyogianya menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya mengandung kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat. Seperti dikemukakan Umar bin Khaththab yang tersentuh dengan jawaban sang ibu, pemimpin tak bisa begitu saja melihat penderitaan rakyatnya tanpa tindakan nyata. 

Tanpa menunggu esok hari, Umar bin Khaththab yang menyadari amanah kepemimpinan langsung bertindak cepat mengambil bahan makanan. Ketika pembantunya mencegahnya membawa sendiri bahan makanan itu di pundaknya, Umar bin Khaththab berucap, "Apakah kamu juga akan memanggul dosaku di hari kiamat kelak!" Dialah Umar bin Khaththab yang tetap membingkai kepemimpinannya dengan nafas akhirat.

Diakui atau tidak, kehidupan sebagian masyarakat di negeri ini belum sepenuhnya terjamin secara layak. Kemiskinan dan kelaparan masih dirasakan sebagian masyarakat. Ketika menjumpai seorang ibu yang anak-anaknya kelaparan, Umar bin Khaththab tak mengabaikan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Ia menyadari amanah kepemimpinannya dan ingin hidup bersama masyarakat sehingga beliau berkeliling Madinah. Tak sekadar mengandalkan laporan, Umar bin Khaththab terjun sendiri menyaksikan kehidupan masyarakatnya meskipun larut malam.

Memang, pemimpin seharusnya merasa takut kepada Allah SWT ketika mendengar kasus gizi buruk dan busung lapar. Bertindak nyata bagi kehidupan masyarakat perlu ditunjukkan oleh pemimpin yang tak membiarkan kasus kelaparan di negeri ini mencuat setiap tahunnya. Pemimpin dengan kekuasaannya seharusnya bisa melindungi masyarakatnya dari keterpurukan dan ketidakberdayaan. Tentu saja, sebagian masyarakat yang hidupnya kurang layak di negeri ini membutuhkan kepedulian dan tindakan nyata dari pemimpinnya.

Pernah Aisyah berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda dalam rumahku. Ya Allah, barang siapa menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku kemudian ia membuat kesengsaraan pada mereka, maka berilah kesengsaraan kepada orang itu sendiri, sedangkan barang siapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku kemudian ia menunjukkan kasih-sayang kepada mereka, baik ucapan ataupun perbuatannya, maka kasih sayangilah orang itu." (HR Muslim) Dari apa yang dituturkan Rasulullah SAW, pemimpin hendaknya mengurusi masyarakatnya secara baik. Pemimpin harus memberikan kasih sayangnya kepada masyarakat yang dipimpinnya.

Pungkasnya, tanggung jawab pemimpin amatlah berat. Pemimpin adalah pemelihara kehidupan masyarakatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait kehidupan masyarakatnya secara vertikal moral di hadapan Allah SWT. Seorang pemimpin bukanlah dinilai dari retorika yang diucapkan, tetapi tindakan nyata untuk menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat. Selain memajukan kesejahteraan masyarakat, pemimpin bertanggung jawab mencerdaskan masyarakatnya. Pemimpin bertanggung jawab menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang senantiasa diselimuti keberkahan Ilahi. 

Wallahu a'lam. 

Jokowi dan Tantangan PDIP

Jokowi dan Tantangan PDIP
Ridho Imawan Hanafi ;  Peneliti Politik di Soegeng Sarjadi Syndicate
KORAN TEMPO, 28 Juni 2013


Sebuah dilema bagi PDIP jika kemudian masih berpendirian kukuh untuk nantinya tetap mengusung Megawati sebagai capres, sementara terdapat kadernya yang memiliki potensi besar untuk meraih kursi presiden.
Perkabaran hasil survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) baru-baru ini menempatkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai figur yang memiliki tingkat elektabilitas lebih tinggi dibanding figur lainnya. Tingkat elektabilitas Jokowi sebesar 28,6 persen. Prabowo Subianto mendapat 15,6 persen. Adapun Aburizal Bakrie 7 persen, Megawati Soekarnoputri 5,4 persen, Jusuf Kalla 3,7 persen, Mahfud Md. 2,4 persen, dan Hatta Rajasa 2,2 persen. Sedangkan 28 persen responden belum memiliki pilihan.
Posisi elektabilitas seperti itu membuat Jokowi kini menjadi figur yang semakin diperhitungkan untuk diusung sebagai calon presiden. Terutama oleh partai tempat Jokowi bernaung, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Muncul bentangan tantangan PDIP: apakah Jokowi nanti akan diusung sebagai calon presiden 2014? 
Sinyal politik yang mencalonkan Jokowi memang masih belum begitu kuat denyutnya. Kalaupun ada, baru sebatas sinyalemen peluang awal tokoh-tokoh PDIP. Dari pernyataan Puan Maharani, misalnya. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP tersebut, seperti dilansir Koran Tempo (31 Mei 2013), mengisyaratkan kemungkinan pencalonan Jokowi. Dia, menurut Puan, dinilai sebagai kader partai yang elektabilitasnya terus meroket. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sendiri, kata Puan, tidak menutup peluang kader muda sebagai calon presiden.
Memang, menyangkut persoalan siapa calon presiden untuk pilpres 2014, kondisi internal PDIP ke depan akan dinamis. Ada semacam dua kamar "batiniah" yang akan mereka rasakan. Kamar pertama, kenyataan bahwa figur Jokowi memiliki elektabilitas tinggi bukan perkara mudah bagi PDIP. Kamar ini berisi arus kuat yang menyatakan bahwa pos untuk calon presiden masih tertuju pada nama Megawati. Sebagai ketua umum dengan segala wibawa kekuasaannya, Megawati adalah figur pokok. Untuk itu, ihwal siapa nama calon presiden dari PDIP, sejauh ini baru satu nama: Megawati, yang satu-satunya bisa disebut. 
Kamar ini juga didukung oleh alasan bahwa Jokowi baru saja memimpin Jakarta. Di tangannya, Jakarta diharapkan berubah. Kurang-lebih setahun memimpin, arah perubahan sudah banyak dirasakan. Hal itu juga untuk menghindari penilaian bahwa Jokowi bukan tipe figur yang mudah mengubah komitmen, sementara janji jabatannya belum selesai ditunaikan. Dengan kata lain, Jokowi akan lebih baik tetap memimpin Jakarta sehingga bisa mengawal program perubahannya, karena masih ada waktu yang lebih tepat, yakni 2019 nanti. Jika sukses memimpin Jakarta, tiket calon presiden 2019 tidak lagi terbendung. 
Kamar kedua adalah kamar yang diisi pertimbangan bahwa Jokowi memiliki modal elektabilitas paling tinggi di antara tokoh lain. Ini adalah momentum Jokowi, saat di mana pemimpin seperti Jokowi dilihat sebagai figur alternatif yang bisa menghadirkan perubahan. Dalam berbagai potret survei, sebagian besar rakyat Indonesia menginginkan figur baru dibanding figur lama. Dalam bahasa lain, muncul kondisi di mana masyarakat selama ini dihadapkan pada situasi kejenuhan terhadap figur lama yang dinilai tidak bisa memberi harapan yang lebih baik untuk perbaikan nasib bangsa. Sebaliknya, figur baru lebih dinilai akan dapat menghadirkan perubahan.
Terhadap Megawati, mereka yang menghuni kamar ini berharap Megawati menempatkan dirinya pada posisi sebagai king maker (pihak yang memiliki peranan penting terhadap terpilihnya seorang calon presiden). Megawati selama ini menjadi figur yang dijadikan rujukan. Selama ini, Megawati juga berhasil menjadi solidarity maker di partai, sehingga nyaris tidak terjadi gejolak berarti di partai selama kepemimpinannya. Tetapi, dalam menghadapi 2014 nanti, suara arus kamar ini menginginkan perlunya sebuah lompatan besar dari Megawati untuk mengajukan figur internal di luar dirinya maju sebagai calon presiden. 
Dua suasana "batiniah" seperti itu memang belum terlalu nyaring terdengar saat ini. Tetapi bukan tidak mungkin perlahan akan terus muncul ke permukaan. Jokowi sendiri sampai saat ini belum menanggapi serius ihwal peluangnya maju sebagai calon presiden. Mantan Wali Kota Surakarta tersebut masih berupaya fokus bekerja untuk Jakarta. Jokowi juga melihat wacana mengenai pemilihan presiden masih terlalu dini. Namun, melihat rekam jejaknya selama ini, Jokowi tampaknya juga akan selalu siap jika diperintahkan oleh partainya. Selain itu, Jokowi juga tidak tertarik pada segala undangan dari partai politik lain untuk mendapatkan tiket calon presiden. 
Dengan segala kepatuhan Jokowi seperti itu, di situlah posisi PDIP dan Megawati diuji. Megawati sendiri pernah mengikuti pemilihan presiden dua kali, pada 2004 dan 2009. Pada dua kompetisi tersebut, Megawati kalah oleh SBY. Sebuah dilema bagi PDIP jika kemudian masih berpendirian kukuh untuk nantinya tetap mengusung Megawati sebagai capres, sementara terdapat kadernya yang memiliki potensi besar untuk meraih kursi presiden. Tidak hanya itu, posisi elektabilitas Megawati sementara ini juga tertinggal oleh calon presiden populer lain. Jika pertimbangannya ingin meraih kursi presiden, kekuatan calon presiden dari partai lain perlu dihitung. 
PDIP barangkali masih terlalu rikuh dengan wacana siapa calon presidennya. Selain faktor Megawati, juga tampak keinginan untuk tidak mengganggu Jokowi, yang harus berkonsentrasi penuh pada Jakarta. Sebenarnya, ketika muncul suara penolakan akan pencalonan Jokowi hanya lantaran faktor dirinya baru menjabat di Jakarta, sebagian besar publik ternyata tidak mempersoalkannya. Survei CSIS juga menunjukkan bahwa 53,9 persen responden setuju Jokowi maju sebagai calon presiden meskipun masih menjabat gubernur. Dari survei tersebut bisa diartikan bahwa publik melihat kepentingan yang lebih besar, yakni memimpin sebuah negara. Psikologi publik inilah yang membuat Jokowi tidak menemui banyak resistansi. 

Yang diperlukan PDIP saat ini adalah bagaimana menjawab tantangan pertama, yakni menghadapi pemilihan legislatif 2014. Syarat mencalonkan presiden bagi partai politik adalah harus memperoleh minimal 20 persen suara. Jika PDIP memperoleh suara sebesar itu, mereka akan leluasa bermanuver dalam pilpres. Bukan hal yang sulit bagi PDIP untuk mendekati harapan tersebut. Bagi PDIP, bahkan ada semacam keyakinan politik, 2014 adalah milik mereka. Melihat semangat, kerja, dan integritas partai yang mereka rawat sejauh ini, terutama melalui pertarungan di beberapa pemilihan kepala daerah, impian 2014 memang bukan sebuah hal yang mustahil. Dan Jokowi, bukan tidak mungkin, bisa membantu PDIP meraihnya. 

Mau Wakili, tapi Ogah Dikenali

Mau Wakili, tapi Ogah Dikenali
SL Harjanto ;  Wartawan Radar Bekasi,
Magister administrasi publik (MAP) dari UGM 
JAWA POS, 28 Juni 2013



KPU pusat merilis daftar riwayat hidup calon legislator (caleg) sementara DPR yang masuk dalam daftar calon legislator sementara (DCS) sejak pekan lalu. Daftar riwayat hidup caleg itu bisa diakses melalui situs kpu.go.id. Publikasi profil caleg sementara tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat mengenal calon wakilnya. Selain itu, dengan pembeberan data caleg sementara tersebut, KPU berkepentingan untuk mendapat masukan dari masyarakat. KPU berharap tidak ada caleg yang masuk daftar calon legislator tetap (DCT) yang cacat hukum, moral, maupun sosial.

Namun, saat saya mengumpulkan data tentang caleg sementara DPR dari Provinsi Jawa Barat Dapil VI yang berasal dari Kota Bekasi, ternyata tidak semua data bisa diakses. Misalnya, data riwayat hidup (curriculum vitae/CV) dua caleg PPP yang tidak bisa dibuka. Caleg tersebut adalah Bambang Hernawan dan Kinkin Mulyati. Ketika diklik, muncul keterangan ''Tidak Bersedia Dipublikasikan''.

Tidak ada kecurigaan yang mengarah pada caleg yang bersangkutan yang memang enggan membeberkan data dirinya. Dugaan awal saat itu, mungkin petugas KPU luput saat meng-input data, sehingga data sebagian caleg tidak bisa diakses.

Namun, saat membaca sejumlah koran nasional kemarin, ditemukan jawaban mengapa data CV caleg tidak bisa diakses. KPU mengakui tidak semua caleg DPR yang masuk DCS berkenan dibeber datanya. Setidaknya terdapat 140 caleg yang menolak data riwayat hidupnya dibuka (Jawa Pos, 25/6).

Lantas, alasan apa yang sebenarnya mendasari para caleg enggan datanya diketahui publik? Kalau disimak, format CV caleg yang dibeber KPU sangat bersifat umum. Misalnya, soal nama, alamat, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, organisasi, aktivitas dalam parpol, dan penghargaan yang pernah didapat. Bukankah itu data yang bersifat umum? Sebab, tidak menyinggung data jumlah kekayaan atau mungkin jumlah istri yang kerap disembunyikan pejabat publik.

Padahal, antusiasme publik untuk mengetahui data diri caleg yang masuk DCS cukup tinggi. Dengan demikian, sebenarnya caleg yang enggan CV-nya diketahui publik mendapat kerugian. Sebab, mereka gagal memanfaatkan peluang dirinya diketahui publik. Kecenderungan pemilih tentunya akan memilih caleg yang dikenal. Atau, setidaknya riwayat hidupnya diketahui. 

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi caleg untuk takut datanya diketahui publik. Budaya tidak transparan yang dibawa para caleg akan berbahaya jika mereka berhasil melenggang ke Senayan. Bagaimana jika sikap tidak terbuka itu dibawa dan diterapkan dalam aktivitas mereka sebagai politikus Senayan? Padahal, saat ini adalah era transparansi. Calon pejabat publik harus terbiasa transparan sebelum mereka benar-benar menjadi pejabat.

Partai politik memiliki andil juga dalam masalah ini. Kultur parpol selama ini memang terkesan menyuburkan praktik ketertutupan. Masih kuatnya budaya oligarki secara tidak langsung melanggengkan sikap tertutup dalam tubuh partai politik. Hal itu pun diikuti kader, termasuk caleg. 

Selain sikap caleg atau parpol yang enggan terbuka, sikap KPU juga perlu disorot. Sebenarnya KPU telah menggambil langkah maju dengan membeber profil caleg yang masuk DCS. Hal itu tidak dilakukan menjelang Pileg 2009. Namun, ketika keterbukaan tersebut tidak dilakukan seluruh caleg, ada kesan KPU melakukannya setengah hati.

Langkah KPU itu mudah ditembus jika ada yang memerkarakan. Menggunakan ''senjata'' UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), profil 140 caleg akan terungkap. Pasal 7 ayat 1 Badan Publik menyebutkan, wajib menyediakan, memberikan, dan atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Dan profil caleg bukanlah masuk dalam jenis informasi yang dikecualikan.

Agar hal itu tidak terulang, sebaiknya regulasi penyelenggaraan pemilu secara jelas mencantumkan asas transparansi. Dalam UU Nomor 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, transparansi tidak termasuk dalam asas penyelenggaraan pemilu.

Dalam pasal 2 disebutkan, pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Semestinya, selain efektif dan efisien, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara transparan. Meskipun, kalau legislator mau transparan, sebenarnya bisa jadi ''kampanye'' bagi dirinya karena membawa kesan tidak ada sesuatu yang perlu ditutupi. 

Dengan transparansi, perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu bisa terus meningkat. Selain itu, produk pemilu menjadi berkualitas. Yakni, wakil rakyat yang berkompeten, berintegritas, amanah, dan jujur. Memang banyak kata indah yang diangankan untuk para wakil dan pemimpin kita.  

Menutup Aurat atau Aib

Menutup Aurat atau Aib
Umi Chaidaroh ;  Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel
dan STAI Bahrul Ulum Tambakberas
JAWA POS, 28 Juni 2013



''One thing you can't hide is when you are crippled inside.'' (John Lennon) 

 soal jilbab kembali meramaikan publik, kadang mengiringi isu lain seperti korupsi. Memang banyak pemaknaan atas fenomena penggunaan jilbab. Sedikit kita ingat nama-nama yang sempat menghiasi beberapa media massa, mulai tokoh politik hingga peristiwa kriminal yang berujung pada kematian (pidana).

Sebut saja, ada Neneng Sri Wahyuni yang terdakwa korupsi seperti suaminya, M. Nazaruddin. Juga Afriyani Susanti, pengemudi mobil Xenia yang menewaskan sembilan orang di Halte Tugu Tani, Jakarta. Bahkan, termasuk kasus terbaru, mucikari yang masih siswi SMP di Surabaya yang digiring ke kantor polisi menyelinapkan raut muka di balik kerudung/slayer yang dibawanya. 

Jilbab pada kasus-kasus tersebut bisa jadi dimaknai sebagai pelindung wajah dari aib yang sedang menimpa dirinya. Atau, bisa dimaknai bahwa si pemakai jilbab itu mengharapkan masyarakat memandang bahwa dirinya bukanlah perempuan yang jelek amat, buktinya masih berjilbab.

Tidak tertinggal Nunun Nurbaeti, Yulianis, dan Wa Ode Nurhayati dengan kasus yang sedang menjeratnya. Mereka semua berjilbab. Pada poin seperti ini, tentu ada masyarakat yang memaknai bahwa wanita-wanita itu secara tidak langsung memberikan citra buruk terhadap jilbab (Islam). Terbukti, mereka berjilbab, tapi terseret perbuatan tercela.

Ada yang berbeda. Polwan melakukan pilihan dengan keinginan berjilbab. Sudah jamak diketahui, kecuali di Aceh, tidak ada polwan (berani) yang berjilbab. Tentu fenomena itu sangat mungkin akan dimaknai sebagai kesadaran beragama yang datang dari nurani yang dimiliki, bukan karena model fashion belaka maupun karena aib yang menimpanya.

Menariknya, pada satu sisi, salah satu pemimpin atasan korps seragam cokelat itu menyerukan mundur bagi sang polwan tersebut. Sedangkan pada sisi lain, terdengar berita bahwa sang polwan siap mengundurkan diri. Tidak tertinggal, mulai pengurus MUI, anggota DPR, kalangan akademis, hingga komnas HAM ikut berbicara. Suatu hal yang sebenarnya gampang dan tidak perlu diributkan akhirnya menjadi rumit atau mungkin dirumitkan karena pikiran rancu. 

Pada tingkat remaja, terkadang jilbab mengalami pergeseran makna. Jilbab yang semestinya dipakai sebagai pengontrol atas perilaku yang over bagi remaja perempuan seolah telah keluar dari pakem tersebut. Sering kita jumpai segala aktivitas (termasuk hiburan, konser, panggung rakyat) tidak pernah luput dari pengunjung remaja perempuan berjilbab yang mengekspresikan euforianya yang terkadang terasa janggal.

Belum lagi terkadang remaja pengguna jilbab dalam memilih busana kurang sesuai dengan pakem-pakem syariat. Mudah dilihat, remaja perempuan berjilbab tapi lengan terbuka atau pakaian dan celana ketat hingga ke atas. Saya sendiri menganggap itu adalah gejala awal menuju kesempurnaan berjilbab. Di sini, fungsi edukasi orang tua dan tokoh panutan sangat diperlukan.

Dalam Islam, kewajiban menutup aurat adalah hal yang esensial dan tidak banyak pertentangan. Mayoritas ulama Islam menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig, kecuali muka dan telapak tangan, adalah aurat yang harus ditutup. Sarana menutup aurat tersebut adalah dengan jilbab sebagaimana dalam QS An-Nur (24:31). Ada juga istilah himar yang banyak diartikan dengan kerudung panjang. Jilbab dan himar itu berfungsi sebagai pelindung perempuan (hijab) dari terlihatnya aurat maupun gangguan dari luar. 

Perintah Allah untuk menutup aurat di dalam Alquran selalu diawali dengan kata-kata perempuan yang beriman, yang menunjukkan betapa asasinya kedudukan hijab (jilbab/himar) bagi perempuan-perempuan mukminah. Jilbab/himar dalam kamus Arab disebut penutup aurat yang mengikat kepada perempuan untuk dikenakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika beraktivitas di ruang publik. Jilbab memberikan sinyal kepada makhluk jenis lain (kaum maskulin) bahwa yang mengenakannya (kaum feminin) mempunyai kontrol atau kendali dalam berperilaku, baik secara verbal maupun tindakan, agar terhindar dari perilaku yang menyimpang.

Itulah esensi makna jilbab dalam Islam. Jilbab memang bukan segala-galanya. Tapi, jilbab hanya salah satu cara agama Islam untuk menjadikan perempuan lebih terkendali. Harapan kita, semoga perempuan yang berjilbab tidak sekadar menutupi aib atas perilaku mereka. Perlu disadari, suatu aib atau cacat perilaku itu suatu saat pasti akan terbuka. Menyitir ucapan John Lennon di atas, satu hal yang tidak bisa kamu tutupi adalah ketika kamu mengalami kecacatan dalam dirimu.

Agama memang jangan sekadar simbol belaka, tetapi menjadi fondasi kebaikan. 

Berhenti Membakar Hutan

Berhenti Membakar Hutan
Ali Masykur Musa ;  Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI
bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup  
KORAN SINDO, 28 Juni 2013



Penyakit tahunan hutan Indonesia baru-baru ini kambuh: kebakaran hutan. Data titik api (hotspot) dari satelit Landsat pada 11–18 Juni 2013 terpantau 1.210 titik api dan 1.180 atau 98% berada di Riau, Sumatera, sisanya tersebar termasuk di Kalimantan. 

Tidak tanggung-tanggung, luas hutan dan lahan yang mengakibatkan asap tebal diperkirakan mencapai 3.709 hektare (ha). Luas tersebut meliputi hutan dan lahan di enam kabupaten/ kota di Riau yakni Kota Pekanbaru, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Kota Dumai. 

Akibatnya ratusan warga yang tinggal dekat dengan titik api mengungsi karena tidak kuat menghirup udara yang tercemar, jadwal penerbangan dan transportasi lain terganggu, satwa liar berhamburan kehilangan habitatnya. Tak hanya itu, kabut asap juga mengepung negara tetangga; Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan dan lahan bukanlah masalah yang baru di Indonesia, namun penanganannya selalu menjadi permasalahan laten. 

Kebakaran hutan dan lahan yang semula bersifat bencana lokal telah berkembang menjadi bencana nasional bahkan internasional, khususnya yang terjadi pada tahun 1997/1998, tahun 2005/2006, dan kini di tahun 2013. Kebakaran hutan harus disikapi sebagai tragedi lingkungan, karena aspeknya tidak hanya terkait dengan hutan maupun lahan, tetapi telah merembet ke seluruh aspek kehidupan. 

Pengalaman mencatat bahwa krisis lingkungan sering kali pada penggundulan hutan, khususnya pembakaran hutan. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) laju deforestation atau pengurangan hutan di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 1,3 ha dalam dua tahun terakhir. Akibatnya, luas kawasan hutan yang semula 130.509.671 ha, kini kawasan yang tergolong masih hutan alam hanya tersisa 60 juta ha saja. 

Kebakaran hutan kali ini juga mengandung pelajaran serupa, bahwa manusia masih belum juga belajar untuk mengelola alam dengan cara arif dan bersahabat. Ditambah lagi, pemerintah kerap abai terhadap perilaku para pembakar hutan yang keberadaannya selalu datang dan pergi seiring dengan perubahan musim. 

Pemeriksaan BPK 

Sebenarnya sebelum terjadinya peristiwa ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada 2007. Audit ini meliputi tujuh pemerintah provinsi sekaligus kota/kabupaten di dalamnya, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. 

Hasil pemeriksaan atas kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan adanya ketidakpatuhan para pengelola kawasan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, maupun masyarakat terhadap peraturan perundangan. Selain itu, ditemukan kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan dan penanganan pasca kebakaran. 

Hasilnya dapat disimpulkan, antara lain; pertama, kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan belum optimal. Hal ini tampak dari organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang belum berfungsi secara maksimal, bahkan di sebagian daerah belum terbentuk organisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan pemerintah daerah dalam masalah izin usaha perkebunan tidak selaras dengan kebijakan nasional. 

Wewenang pemerintah untuk menunjuk kawasan hutan sering kali dianggap tumpang tindih dan tidak memperhatikan keadaan yang sesungguhnya di areal yang ditunjuk. Kedua, kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tidak optimal karena personel dan peralatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan belum memadai, dan tidak sebanding dengan luas areal yang harus ditangani. Ketiga, kegiatan penanganan pascakebakaran hutan dan lahan serta dampak lingkungan belum optimal. 

Hal ini tampak dari penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran masih lemah, penetapan ganti kerugian lingkungan kerap tidak jelas dasar perhitungannya dan tidak didukung dengan dokumen perhitungan. Ada juga kecenderungan bahwa pelaku dan aktor intelektual kejahatan kehutanan justru bebas dari jeratan hukum. Selain itu, ada temuan bahwa belum ada izin perusahaan yang dicabut akibat pelanggaran membakar hutan untuk membuka lahan baru atau kepentingan yang lain. 

Zero Deforestation 

Menanggapi permasalahan di atas, sudah saatnya pemerintah mulai fokus untuk mengevaluasi bencana asap yang kerap tahun merugikan masyarakat. Sesungguhnya bukan hal yang sulit untuk melakukannya apabila para pengambil kebijakan serius dan tegas untuk itu. Setidaknya solusi untuk penanggulangan kebakaran hutan bisa dikelompokkan ke dalam empat hal. Pertama, terkait pencegahan, harus ada grand designyang baik dan jelas dalam pengelolaan dan perlindungan hutan. Adanya sistem informasi manajemen kebakaran hutan dan lahan yang update dan akurat wajib terpenuhi. 

Kedua, perlunya penguatan sistem peringatan dini yang mampu memantau dan menganalisa perubahan cuaca (kemarau) dengan rentang waktu yang panjang sehingga kebakaran hutan bisa dideteksi lebih awal. Sebagai upaya pemantauan ini, pemerintah wajib memberdayakan masyarakat dan lembaga masyarakat adat terutama yang berada di sekitar kawasan hutan untuk mengawasi kinerja aparat dalam melakukan pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan. 

Pemerintah bisa memperkuat partisipasi warga dengan program peningkatan pendapatannya dengan berbagai pola seperti pola hutan rakyat dengan sistem kerja sama, sekaligus membekali masyarakat dengan wawasan penegakan hukum lingkungan. Ketiga, pemerintah harus transparan dalam memberikan izin dan mampu bersikap tegas kepada perusahaan yang menggunakan hutan dan lahan. 

Perusahaan juga harus bertanggung jawab memastikan rantai suplai mereka, berkomitmen kepada zero deforestation dan menghentikan praktik-praktik melanggar hukum seperti pembukaan lahan dengan membakar yang merusak hutan dan udara kita. Jika perusahaan masih saja membakar hutan untuk membuka lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang setimpal baik berupa pencabutan izin usaha bagi perusahaan maupun sanksi yang lain. 

Keempat, upaya jangka pendek yang harus segera dilakukan adalah merancang peraturan perundangan yang melarang dengan tegas metode bakar dalam melakukan land clearing. Kebakaran hutan di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sangat perlu diperhatikan dan harus ditanggulangi secara serius karena sudah menjadi masalah global. 

Pemerintah mempunyai peran yang tidak kecil dalam mengatasi tragedi lingkungan ini. Namun, pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat tidak akan bisa mengatasinya sendiri. Koordinasi serta sinergi antar-stakeholderadalah sebuah keniscayaan untuk mengatasi masalah laten ini. Melakukan langkah bersama adalah jawabannya. Bukankah begitu? 

Tahun (Pendidikan) Politik

Tahun (Pendidikan) Politik
Sam Abede Pareno ;  Guru Besar Unitomo, Penasihat Dewan Pendidikan Jatim 
KORAN SINDO, 28 Juni 2013


Tahun 2013 disebut ”tahun politik”. Alasannya, tahun ini sampai 2014 terjadi banyak peristiwa politik, mulai pemilihan bupati/walikota/gubernur hingga pemilihan legislatif (termasuk DPD, Dewan Perwakilan Daerah) dan presiden/wakil presiden. 

Penyebutan ”tahun politik” hanya dipandang dari perspektif kekuasaan, apa dan siapa yang menang, yang bakal meraih kekuasaan di republik ini. Maka, berbondong-bondonglah manusia yang oleh Aristoteles (384–322 SM) diistilahkan sebagai ”binatang politik” itu— dalam hal ini sejumlah manusia Indonesia—menyiapkan diri untuk mendapatkan kekuasaan dengan membangun citra positif, di antaranya melalui media massa, media sosial, spanduk, baliho, banner, bahkan tidak segan mengucurkan hadiah kepada anggota masyarakat. 

Kekuasaan memang menggiurkan, dan bagi yang sudah menikmatinya, pasti mengasyikkan. Karena itu, berbagai cara ditempuh sebagaimana anjuran Niccolo Machiavelli dalam buku legendarisnya The Prince (dipublikasikan pada 1532) yang menyatakan ”the end justifies the means” (tujuan menghalalkan segala cara). Filosofi Machiavelli ini berkembang sampai saat ini, baik oleh aktor dan institusi politik yang sekuler (non-agamis) maupun yang agamis, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. 

Nuansa Machiavellisme nampak dalam ”merayakan” tahun politik yang disebut-sebut sebagai pesta demokrasi, ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” meskipun kenyataannya ”dari rakyat, oleh dan untuk individu/kelompok tertentu”. Tahun politik telah identik dengan tahun korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, pencucian uang. 

Di tahun ini kasus-kasus tersebut terkuak secara masif, mulai kasus ”teri” sampai ”kakap”. Tindak kejahatan tersebut menjadi wacana yang ”murah” dan meriah, karena para pelakunya dapat dengan mudah menggerogoti uang rakyat dengan risiko yang murah, yaitu masa tahanannya tidak sebanding dengan kejahatannya, bahkan tampil dengan gagah, senyum, melambaikan tangan, dan membela diri dengan seribu alasan. 

Meriah, karena melibatkan segala lapisan masyarakat, ada menteri, ketua parpol, pengelola perusahaan, juga bupati/walikota/gubernur, anggota DPR, polisi, hakim, jaksa, pengacara, akademisi, dan lain sebagainya. Beginikah yang disebut tahun politik itu? 

Pendidikan Politik 

Pertanyaan besar tersebut merupakan keniscayaan. Rakyat— sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia— sampai saat ini selalu menjadi objek politik yang dikumandangkan terus menerus. ”Demokrasi”, mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, sampai ”demokrasi transaksional” kini, bagi rakyat adalah jargon-jargon yang membanggakan dan menjanjikan, karena dikemas dan disosialisasikan dengan retorika yang atraktif dan atentif. 

Rakyat merasa berdaulat, namun sejatinya tidak berdaya. Pro-rakyat dan amanat penderitaan rakyat hanya abang-abang lambe sebagai gincu para aktor politik dan kekuatan-kekuatan politik. Rakyat tidak melihat aktoraktor politik dan suprastruktur ataupun infrastruktur politik melakukan pendidikan politik, meskipun salah satu fungsi mereka adalah melakukan pendidikan politik. Tidak ada penanaman nilai-nilai politik yang normatif dan ideal, kecuali di fakultas-fakultas ilmu politik dan buku-buku tentang teoriteori politik. 

Opini yang terbentuk bukan politik sebagai art (seni) untuk meraih kekuasaan dengan cara-cara yang indah, elok, santun, dan beretika, melainkan politik sebagai trick (tipuan) melalui praktik-praktik kotor, di antaranya money politics     (politik uang) dan public lies (kebohongan publik), serta penggalangan dana lewat caracara haram terutama bagi yang berharta dan yang ingin mempertahankan kekuasaan (incumbent), juga bagi yang berambisi mendapatkan kekuasaan. 

Fenomena yang tampak pada tahun politik boleh jadi karena pragmatisme dalam praktik politik, dan boleh jadi pula tiadanya keteladanan yang biasanya dicontohkan oleh para negarawan. Pragmatisme dalam ungkapan yang lebih populer ialah ”budaya instan”. Yaitu, yang penting segera menikmati kekuasaan, tanpa proses yang berbelit-belit, bagai menyantap makanan cepat saji. Keteladanan sebagaimana anjuran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (1889–1959), ”Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi kekuatan). 

Ketiga hal tersebut biasanya melekat dalam diri mereka yang tergolong negarawan. Filsuf kenamaan yang lahir di masa Yunani Kuno, Plato (428–348 SM) mendefinisikan negarawan versi Sokrates, gurunya, yang berdialog dengan seorang matematikus Theodorus. Dalam bukunya yang terkenal The Statesman, Plato mengutip ucapan Sokrates yang kemudian dideskripsikan oleh John M.Cooper antara lain sebagai berikut: The statesman was one who possesses this special knowledge of how to rule justify and well and to have the best interests of the citizens at heart. It is presented that politics should be run by this knowledge, or gnosis. (WIKIPEDIA the Free Encyclopedia). 

Bahwa seorang negarawan harus memiliki pengetahuan khusus bagaimana memerintah secara adil dan baik, dan memiliki kepedulian yang terbaik atas warga negara di hatinya. Politik harus dijalankan dengan pengetahuan tersebut. Dalam artikel di harian Duta Masyarakat, Senin 11 Juni 2012, Fajar Kurnianto menulis di bawah judul Merindukan Politikus Negarawan. Ia berpendapat, sebagian politikus kita tidak fokus dan serius mengurus negara. Mereka disibukkan masalah-masalah yang tidak urgen bagi kemajuan bangsa. 

”Misalnya, sibuk menganggarkan uang negara untuk jalanjalan ke luar negeri dengan berbagai dalih yang dibuatbuat, sibuk menganggarkan dana untuk pembangunan gedung- gedung baru, padahal gedung lama masih layak, sibuk melakukan rencana-rencana penaikan gaji dan tunjangan, dan seterusnya. Selain boros, juga sangat rawan korupsi,” tulis Fajar Kurnianto. 

Tentang negarawan, Fajar menyatakan bahwa negarawan sejati adalah mereka yang memikirkan Indonesia dengan segala isinya yang bermacam-macam. Lebih daripada itu, negarawan juga tahu masalah-masalah internal dan eksternal yang dihadapi, lalu merumuskan dalam roadmap yang jelas dan komprehensif.
”Pertanyaan mendasarnya adalah, mau diapakan Indonesia sekarang? Atau, mau dibawa ke mana? Fondasi dasarnya sudah ada, Pancasila. Tinggal diterjemahkan dalam konteks saat ini. Tapi, jika fondasi dasarnya saja sudah dilupakan dan diremehkan, bagaimana bisa menjadi negarawan? Atau memang para politikus saat ini bersikap masa bodo dengan negarawan? Menyedihkan,” tulisnya.

Pendidikan politik seharusnya menyertai tahun politik, dan itu semestinya dilakukan oleh para aktor politik dan institusi politik dengan semangat kenegarawanan agar rakyat melek politik sehingga mampu memilih ”penguasa” atau ”wakilnya” dengan tepat dan benar. 

Pendidikan politik pada hakikatnya adalah memberi contoh atau keteladanan dalam bermasyarakat dan bernegara, bukan dengan perbuatan-perbuatan yang memalukan atau hanya merupakan pembangunan citra positif melalui retorika, kemudian ribut satu sama lain di depan publik melalui media massa, yang justru kontraproduktif. 

Penyertaan pendidikan politik di tahun politik merupakan juga filter untuk menyaring mana yang bersih dan mana yang kotor, mana yang dapat dijadikan ikon bagi clean government and clean governence. Sayang, hal itu telah diabaikan.