Kekayaan itu Bernama Tradisi
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
23 Mei 2016
TRADISI atau adat
istiadat serta kebiasaan turun-temurun yang telah dipraktikkan masyarakat di
seluruh Nusantara saat ini sedang menghadapi tantangan serius, yaitu
hilangnya generasi penerus yang mencintai tradisi lokal mereka. Memang tak
pernah dilakukan penelitian secara saksama berapa banyak tradisi lokal yang
telah punah karena habisnya para pelaku. Namun, dapat dipastikan, ada ribuan
tradisi lokal yang seakan artefaknya saja tak kelihatan di dalam museum kita,
bahkan penutur dan pelakunya mengalami keterputusan generasi.
Penyebabnya tidak
sederhana. Selain karena arus urban perdesaan yang menggerus nilai-nilai
lokal, berkembangnya informasi dan teknologi juga menyebabkan anak-anak kita
tak lagi mencintai bangunan tradisi lokal yang kalah bersaing dengan IT. Jika
kita berkhidmat pada hasil penelusuran banyak lembaga, lebih dari 3.000
tradisi budaya di Indonesia baik lisan maupun tulisan kini mulai dilupakan.
Kearifan tradisional
Indonesia terancam jika tidak ada perlindungan dari pemerintah untuk mencatat
dan melestarikannya. Perlu ada undang-undang untuk melindungi pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya yang bertujuan mengembangkan budaya,
memanfaatkan pengetahuan tradisional, melestarikan budaya, mempromosikan
serta melindungi budaya, dan pengetahuan tradisional, seperti dengan
penyebutan asal usul dan menghargai aspek religius yang berlaku di masyarakat
adat.
Tiga lapisan
Inisiatif dan upaya
melindungi tradisi dan budaya masyarakat sebenarnya sudah mulai muncul.
Beberapa pemuka dan tokoh masyarakat adat mulai berpikir untuk melindungi
budaya serta adat dan tradisi mereka melalui pendekatan legal-formal dengan
cara mendaftarkan seluruh aspek kekayaan intelektual dari tradisi dan budaya
menjadi hak kekayaan intelektual (HKI).
Cara ini bisa jadi
sebuah permulaan yang baik, tetapi menurut saya masih salah kamar karena HKI
lebih bersifat individual, komersial, dan dibangun untuk memonopoli hak
intelektual tertentu. Sementara itu, budaya, tradisi, dan adat istiadat serta
kearifan lokal bersifat komunal, tidak komersial. Jadi, kalau menerapkan HKI
untuk melindungi pengetahuan tradisional, tentu saja masih salah alamat,
kecuali untuk melindungi produk berbasis pengetahuan tradisional.
Karena penerapan HKI
yang berlaku saat ini tidak menjangkau kearifan tradisional lantaran memiliki
konsep property atau kepemilikan
yang berbeda, peran lembaga pendidikan menjadi sangat penting. Jika lapisan
legal/formal dibutuhkan hanya untuk pencatatan struktur budaya yang bersifat
akademik, pada lapisan kedua, sesungguhnya kita berharap banyak jika sebuah
budaya, tradisi, dan adat-istiadat dipelajari dan diujicobakan kembali ke
sebuah proses belajar-mengajar yang bersifat holistis. Seluruh warna budaya
dan tradisi sesungguhnya bisa dimasukkan ke bidang studi sosial, termasuk dan
tidak hanya terbatas pada seni, agama, dan sejarah. Dengan memasukkan
pengetahuan tentang budaya dan tradisi lokal Indonesia ke skema bidang studi
terapan minimal di sekolah menengah, kita dapat mempertahankan sifat dasar
tradisi, budaya, dan kearifan lokal, yaitu turun-temurun dan memiliki sumber
daya genetik.
Lapisan ketiga dari
setiap tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang sudah dimasukkan ke katalog
bidang studi setidaknya dapat menyimpan informasi tentang latar belakang
historis, kondisi geografis, dan jenis keterbukaan terhadap budaya luar. Jika
hal ini secara terus-menerus diobservasi melalui pendekatan pembelajaran, itu
setidaknya akan menguntungkan dan melanggengkan sebuah tradisi dari sergapan
budaya luar secara liar dan serampangan. Pentingnya menganalisis sistem
budaya, tradisi, dan kearifan lokal dari interaksi dengan budaya luar justru
akan membuat sebuah tradisi dan budaya tetap dicintai anak-anak kita.
Proses interaksi
antara budaya dan tradisi kita dengan budaya luar saat ini tidak bisa
dihindari. Perbedaan tampak dari adanya jenis budaya, adaptasi terhadap
lingkungan, dan perkembangan teknologi. Walaupun berbeda, Indonesia mempunyai
persamaan, yaitu pada umumnya berasal dari satu nenek moyang, bahasa yang
dipergunakan berasal dari satu rumpun, dan dari sudut budaya menunjukkan
adanya persamaan, yaitu berdasarkan tradisi dan ikatan keluarga. Keuntungan
ini, jika diselisik lebih lanjut, sesungguhnya dapat menghindari terjadinya
kegoncangan budaya (cultural shock)
karena skemanya diperkenalkan melalui sebuah proses belajar-mengajar.
Sarana adaptasi
Proses belajar juga
dapat menghindari anak-anak kita yang mengenali dengan baik budaya dan
tradisi lokal ketika beradaptasi dengan budaya luar yang terkadang dapat
menimbulkan ketimpangan budaya (cultural
lag). Gejala ini sangat umum terjadi karena kebanyakan anak-anak kita
mengenal lebih dahulu kebudayaan luar daripada mengenali terlebih dahulu
tradisi dan budaya kita. Oleh karena itu, dalam proses arus interaksi dengan
kebudayaan luar, diharapkan budaya dan tradisi kita dapat menjadi pengukuh
kekuatan bangsa, yaitu kebudayaan daerah yang merupakan jati diri kebudayaan
nasional.
Pada akhirnya, kita
masih berharap bahwa Kemendikbud dapat mengembangkan skenario pengenalan
tradisi, budaya, dan kearifan lokal sedini mungkin dalam rangka mencegah
terjadinya cultural shock dan cultural lag secara cepat dan merata
di lingkungan anak-anak kita. Kita juga berharap dapat mengembangkan
kebebasan berkreasi dalam berkesenian sebagai sarana adaptasi tradisi dan
budaya lokal dengan budaya luar dalam rangka mencapai sasaran sebagai pemberi
inspirasi bagi tumbuhnya kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Dengan tumbuhnya
kesadaran keanekaragaman budaya dan tradisi di lingkungan anak-anak sekolah,
di masa depan, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang maju dan bangga
dalam mengembangkan bidang kebudayaan dengan tetap menjunjung tinggi
kebudayaan daerah yang dipertahankan keasliannya tanpa mencampuradukkannya
dengan budaya asing. Wallahualam
bissawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar