Mengembalikan Mahkota yang Hilang
Fritz Siregar ;
Pengajar pada Sekolah Tinggi
Hukum Indonesia Jentera
|
KOMPAS, 23 Mei
2016
Pada 15 Maret 2016,
Dewan Etik Hakim Konstitusi (”Dewan Etik”) menyatakan Ketua Mahkamah
Konstitusi Arief Hidayat melakukan pelanggaran kode etik ringan dan diberikan
sanksi ”teguran lisan”. Putusan tersebut, yang dikemas dalam Berita Acara
Pemeriksaan Nomor 13/info-III/BAP/DE/2016 merupakan perjalanan panjang sejak
terungkapnya katebelece Ketua Mahkamah Konstitusi yang dimuat berbagai media
pada Januari 2016.
Dewan Etik adalah
salah satu perangkat bersifat tetap yang dibentuk Mahkamah Konstitusi dengan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi. Setelah proses seleksi oleh panitia seleksi yang
dipimpin mantan Wakil Ketua MK Laica Marzuki, Ketua MK Hamdan Zoelva
meresmikan Dewan Etik dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi No 15/2013
tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi Periode 2013-2016. Mukhtie Fadjar, mantan
hakim konstitusi, terpilih sebagai Ketua Dewan Etik.
Putusan Dewan Etik
bertanggal 15 Maret 2016 tersebut bukan putusan pertama. Sejak Dewan Etik
bertugas Januari 2014, Dewan Etik telah menerbitkan 12 putusan. Berbagai
laporan disampaikan masyarakat terhadap perilaku hakim konstitusi, seperti
ketidakhadiran dalam sidang yang menyebabkan sidang tidak memenuhi syarat
kuorum, putusan yang tak cermat, ucapan dalam sidang pemeriksaan yang
dianggap melecehkan, bahkan permintaan agar hakim konstitusi untuk tidak memeriksa
suatu perkara dikarenakan adanya potensi konflik kepentingan. Dari berbagai
laporan pelanggaran etika tersebut, baru kali inilah Dewan Etik menjatuhkan
sanksi terhadap hakim konstitusi.
Dewan Etik dapat
melakukan pemeriksaan terhadap hakim konstitusi baik karena laporan
masyarakat ataupun inisiatif sendiri. Putusan terhadap Ketua MK ini merupakan
pemeriksaan yang dilaksanakan Dewan Etik dengan inisiatif sendiri. Bahkan,
apabila Dewan Etik berpendapat bahwa pelanggaran yang diduga terhadap seorang
hakim konstitusi merupakan pelanggaran berat, Dewan Etik dapat mengusulkan
kepada MK untuk membentuk Majelis Kehormatan (Pasal 2 PMK No 2/2014).
Enggan diawasi
Berbagai putusan MK
terkait pengawasan terhadap hakim konstitusi menegaskan posisi MK yang enggan
untuk diawasi lembaga di luar MK. Hakim MK menolak jadi subyek dari
pengawasan Komisi Yudisial (Putusan 5/PUU-III/2006). Melalui UU No 8/2011
tentang Perubahan Pertama UU No 24/2003 tentang MK, pemerintah dan DPR
berusaha untuk melakukan pengawasan melalui pembentukan Majelis Kehormatan
MK. Pasal-pasal dalam UU No 8/2011 yang mengatur mengenai pengawasan ini juga
dibatalkan MK (Putusan 49/PUU-IX/2011).
Pasca tertangkap
tangan Akil Mochtar, kembali konsep pengawasan yang diperkenalkan melalui UU
No 4/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No
1/2013 tentang Perubahan Kedua UU No 24/2003 tentang MK juga dibatalkan MK
(Putusan 1-2/PUU-XII/2014). MK lebih memilih membentuk Dewan Etik yang
keanggotaannya dipilih dan ditetapkan Ketua MK.
Hasil pemeriksaan
Dewan Etik itu sendiri memiliki beberapa hal yang dapat dipertanyakan.
Sebagaimana yang beredar di berbagai media massa, Ketua MK Arief Hidayat
diduga menyampaikan memo katebelece kepada Widyo Pramono, yang pada saat itu
adalah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Menurut Arief
Hidayat, memo tersebut ditujukan tidak untuk mempromosikansi pembawa memo (M
Zainur Rochman), tetapi sebagai surat pengantar terhadap penilaian karya
ilmiah Widyo Pramono sebagai prasyarat untuk menjadi profesor di Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Akan tetapi, Jaksa
Agung Muda Widyo Pramono menolak mengaku pernah menerima memo katebelece
tersebut, bahkan tidak bertemu dengan si pembawa memo.Dewan Etik tidak mampu
untuk membuktikan bantahan yang diberikan Widyo Pramono. Namun, pengakuan
dari Ketua MK mempermudah beban pembuktian Dewan Etik. Dengan membuat memo
katebelece tersebut, Dewan Etik menyatakan Ketua MK telah melanggar kode
etik, prinsip keempat ”kepantasan dan kesopanan”, dan menjatuhkan sanksi
”teguran lisan”.
Bagi para pemerhati
hukum, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ”teguran lisan” tersebut
cukup? Dengan konteks pada saat ini, di mana kita saling ”texting” dan
mengirimkan pesan melalui ”tulisan”, menyampaikan sesuatu secara ”lisan”
adalah sesuatu yang jarang dilakukan. Teguran lisan merupakan sesuatu yang
lebih sulit dilakukan karena Dewan Etik akan berhadapan dengan Ketua MK di
mana kedua belah pihak dapat mengamati ekspresi muka dan emosi saat ”teguran”
disampaikan. Atmosfer tersebut tidak akan ditemukan apabila teguran yang
disampaikan secara tertulis, yang mungkin saja dapat langsung disimpan di
balik laci.
Apakah ”teguran” yang
disampaikan secara lisan tersebut cukup? Mungkin dapat diperdebatkan bahwa
dalam budaya Indonesia memberikan rekomendasi kepada orang lain adalah hal
yang lumrah dilakukan. Pada saat kita mengetahui bahwa seseorang yang kita
kenal memiliki potensi, kita akan memberikan rekomendasi agar seseorang dapat
menduduki jabatan sesuatu. Bukankah sistem rekomendasi adalah hal yang biasa
lakukan?
Akan tetapi, hal
penting yang kita tidak boleh lupa bahwa sistem etika yang dimiliki Ketua MK
berbeda dengan sistem etika yang—katakanlah—saya miliki. Hal-hal yang dapat
saya dapat lakukan sebagai warga negara biasa tidak akan dapat dilakukan
Ketua MK karena jabatan dan tanggung jawab yang dimilikinya. Apalagi MK
menyatakan dirinya sebagai penjaga konstitusi, tetapi pimpinan MK memiliki
standar etika melebihi kita semua.
Semakin kelabu
Putusan Dewan Etika
menambah kelam kelabunya lembaga yudisial kita. Masih segar dalam ingatan
kita tertangkapnya panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pencekalan
terhadap Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung. Dunia peradilan semakin menuju
kekelamannya.
MK yang diharapkan
dapat memberikan satu kebanggaan kepada para pencari keadilan juga tidak
lepas dari permasalahan etika. Sejak kasus etika Akil Mochtar pada 2012,
Arsyad Sanusi, tertangkap tangan Akil Mochtar dan berbagai laporan yang
disampaikan masyarakat kepada Dewan Etik, seharusnya MK mulai berkaca: apakah
MK masih menjaga mahkota keadilan yang selama ini dipercayakan kepada para
hakim konstitusi?
Ketua MK Arief Hidayat
memiliki kesempatan untuk mengembalikan mahkota lembaga yudisial yang makin
hari makin hilang sinarnya. Kesempatan tersebut telah tercoreng dengan
putusan Dewan Etik. Meskipun berbagai pihak menyatakan bahwa Arief Hidayat
tidak perlu mundur sebagai hakim konstitusi, tetapi perlu dipertimbangkan
apakah Arief Hidayat masih memiliki marwah untuk menjadi Ketua Mahkamah
Konstitusi?
Tulisan ini tidak
bertujuan untuk mempersolkan lebih jauh sanksi yang diberikan Dewan Etik
kepada Ketua MK. Saya hanya ingin mengetuk hati nurani Profesor Arief Hidayat
untuk melihat masa depan dunia peradilan di Indonesia. Apabila ada kesempatan
untuk menegakkan sistem etika yang semakin luntur dan bertindak kesatria
untuk turun dari takhta demi kepentingan masa depan hukum Indonesia, tidakkah
seharusnya kesempatan itu dipergunakan? Sayang sekali, kesempatan berharga
tersebut dilepaskan begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar