Usul Geram Impor Hakim
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 28
Mei 2016
Selasa lalu sahabat
saya Elman Saragih mengusulkan agar Indonesia mengimpor hakim dari luar
negeri saja. Melalui dialog interaktif di sebuah televisi, Elman mengusulkan
itu dengan alasan hakim-hakim di Indonesia sudah sangat bobrok dan tidak bisa
diharapkan untuk menegakkan hukum.
Jauh sebelum ini, pada
awal-awal reformasi, saya pernah mendengar juga Faisal Basri mengusulkan hal
yang sama: sebaiknya Indonesia mengimpor hakim saja. Ada yang menertawai
usulan tersebut sebagai usul yang konyol karena jelas-jelas bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tapi kita tak perlu menilai Elman dan
Faisal tidak tahu hukum Indonesia.
Mereka tahu pasti
bahwa hakim di Indonesia berdasarkan UU yang berlaku haruslah warga negara
Indonesia, tak mungkin diimpor. Usul itu dikemukakan hanya untuk menunjukkan
betapa mereka geram terhadap dunia peradilan dan banyak hakimnya yang sangat
korup. Meski begitu, apa yang diusulkan oleh keduanya bukan tidak ada
contohnya dalam teori dan dunia hukum.
Guru besar hukum pidana
dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengakui ada pengalaman negara
lain yang benar-benar mengimpor hakim, yakni Georgia. Negara Georgia pernah
melakukan kebijakan lustrasi yang disusul dengan mengimpor hakim dari luar
negeri. Tak lama setelah lepas dari Uni Soviet, untuk mengakhiri mafia dan
korupsi yang sangat parah di lembaga peradilan, Georgia membuat kebijakan
lustrasi, yakni memberhentikan para hakim dengan kriteria tertentu secara
serentak.
Istilah populernya,
kalau di Indonesia, adalah potong generasi dan menggantinya dengan generasi
baru: semua hakim diberhentikan untuk kemudian diangkat hakim baru yang
bersih. Langkah Georgia yang memberhentikan para hakimnya secara serentak itu
tentu menimbulkan masalah terkait dengan perkara yang penanganannya sedang
berjalan.
Kalau hanya untuk
menangani perkara-perkara baru tentu bisa diselesaikan oleh hakim-hakim baru
pula. Tapi bagaimana menyelesaikan perkara yang sedang ditangani oleh
hakim-hakim yang sudah diberhentikan karena lustrasi? Itulah problem serius
yang dihadapi Georgia pada saat itu. Georgia kemudian mengambil langkah
mengimpor hakim.
Georgia mengimpor
hakim-hakim dari Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat dengan tugas khusus
menangani perkara-perkara yang sedang ditangani hakim yang diberhentikan
dengan kebijakan lustrasi itu. Keadaan menjadi beres, kebijakan itu cukup
berhasil, dan Georgia sekarang mempunyai lembaga peradilan yang lebih
kredibel.
Jadi usul mengimpor
hakim itu sudah ada rujukannya dalam pengalaman berhukum di negara lain yang
ternyata cukup berhasil. Meski mungkin tidak serius untuk benar-benar
mengusulkan dilakukannya impor hakim, ekspresi kemarahan Elman dan Faisal
mewakili kemarahan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia sekarang.
Reformasi peradilan termasuk salah satu yang paling gagal, padahal paling
diharapkan keberhasilannya.
Sebenarnya untuk
membenahi dunia peradilan yang di era Orde Baru banyak diwarnai mafia dan
berada di bawah ketiak eksekutif, proses reformasi sudah memilih cara yang
baik. Mula-mula, melalui UU No 35 Tahun 1999, dilakukan kebijakan
penyatuatapan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung (MA) dengan maksud
agar hakim-hakim bisa bebas dalam melaksanakan tugasnya di bawah pembinaan MA
tanpa bisa diintervensi pemerintah.
Tapi pemberian
kebebasan itu malah menjadi pukulan balik karena dalam banyak kasus para
hakim menjadi lebih bebas pula untuk menjualbelikan perkara. Mafia peradilan
makin banyak terjadi dan banyak hakim serta pegawai pengadilan yang ditangkap
dan dipenjarakan karena menjualbelikan kasus. Langkah lain yang juga agak
gagal adalah pembentukan Komisi Yudisial (KY).
KY dibentuk sebagai
lembaga negara dengan maksud bisa mengawasi hakim-hakim dari tindakan
tercela. UU tentang KY sudah dibentuk sedemikian rupa agar KY bisa menjadi
mitra MA dalam mengawasi para hakimnya. Tapi kemudian banyak hakim agung yang
mengeroyok KY ini sehingga kewenangan-kewenangannya dikurangi sedikit demi
sedikit sampai akhirnya seperti sekarang, lebih banyak berfungsi sebagai
administrator dalam perekrutan hakim agung saja.
Pelemahan terhadap KY
dilakukan melalui pengujianpengujian yudisial (judicial review) ke Mahkamah
Konstitusi (MK) dan revisi atas UU KY di legislatif. Sebelum menjadi hakim MK
saya menyatakan protes keras atas putusan MK yang memereteli kewenangan KY
itu.
Begitu pula setelah
selesai tugas di MK saya sudah memberikan masukan dalam sidang resmi agar MK
tidak memasuki ranah opened legal policy dengan melarang-larang KY ikut
menyeleksi calon hakim yang kewenangannya sudah diberikan UU secara benar.
Tapi tetap saja MK memereteli kewenangan KY sehingga hakim-hakim malah bisa
bersimaharajalela.
Melihat perkembangan
yang semakin buruk kiranya semua pihak harus segera sadar, sekarang
diperlukan langkah radikal untuk membenahi lembaga peradilan. Kalau keadaan
terus-menerus begini, atau, kalau misalnya grand corruption seperti yang
dikatakan oleh komisioner KPK dibiarkan berlanjut, maka masa depan negara ini
sangat terancam dan negara bisa hancur.
Kalau hukum (baik
pembuatannya maupun penegakannya) bisa dibeli oleh cukong-cukong, tidak ada
seorang pun yang bisa merasa aman, termasuk cukong-cukong itu sendiri. Sebab
jika ada pergantian pejabat dan hakim dan mereka bermain dengan cukong baru,
cukong lama akan juga terancam. Sekurangnya akan terjadi perang antarcukong yang
akan membuat kacau dunia penegakan hukum.
Kalau hukum sudah
dikuasai cukong, rakyat akan jadi korban dan jika rakyat jadi korban, masa
depan eksistensi negara pun menjadi pertaruhan. Jadi kebijakan hukum yang
radikal memang diperlukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar