Rabu, 26 September 2018

Pajak Rokok

Pajak Rokok
Putu Setia (Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda) ;  Pengarang;  Pendeta;  Wartawan Senior Tempo
                                                  TEMPO.CO, 22 September 2018



                                                           
Kebenaran dan kebaikan bisa datang dari segala penjuru, termasuk dari tempat yang tak dikehendaki. Ungkapan ini bahkan termuat di berbagai ajaran tentang moral dan kebajikan. Kita diajarkan menerima kebaikan itu, meskipun datangnya dari sebuah tempat atau kebiasaan yang buruk.

Contoh teranyar soal kebiasaan merokok. Selama ini merokok disebut tidak sehat. Merusak paru-paru, memperpendek umur, dan seterusnya. Bahkan orang yang tidak merokok tapi mengisap asap rokok dari orang sekitarnya, juga ikut menanggung petaka. Pemerintah pun membatasi ruang merokok demi melindungi rakyatnya. Peraturan daerah dibuat untuk mempertegas adanya sanksi bagi pelanggar larangan merokok. Belum cukup, pemerintah menakut-nakuti pembeli rokok dengan slogan: Rokok Membunuhmu. Keburukan apa lagi yang lebih dahsyat dari kebiasaan merokok?

Tiba-tiba di hari belakangan ini, dari sebuah kawasan terburuk itu datang kebaikan. Pajak rokok menyelamatkan banyak orang karena bisa "menghidupkan kembali" Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mengalami "musibah nasional". Sejumlah rumah sakit lumpuh karena tak punya dana lagi untuk membeli obat, dokter dan perawat tertunda gajinya gara-gara pembayaran dari BPJS tak kunjung cair. Sejumlah pasien tak dapat obat gratis sebagaimana biasanya dan harus menebus sendiri di apotek, padahal mereka rajin membayar iuran BPJS. Badan ini setiap tahun selalu defisit triliunan rupiah dan tak tahu bagaimana cara menyelamatkannya. Sampai pada akhirnya Presiden Joko Widodo berbaik hati mengeluarkan peraturan presiden yang membolehkan pajak rokok daerah diambil dananya sampai 75 persen untuk membayar klaim BPJS. Rokok tak lagi membunuhmu, justru pajaknya membuat kamu sehat.

Bulan depan pemerintah siap mengucurkan Rp 4,9 triliun pajak rokok untuk menyelamatkan BPJS. Rumah sakit daerah akan sehat kembali setelah menerima bayaran. Pasien BPJS kembali antre dengan tertib dengan obat yang terjamin. Terima kasih para perokok yang dengan pajaknya menyelamatkan banyak orang.

Lalu, masihkah kita melarang jika ada orang yang merokok di halaman rumah ibadah? Bagaimana kalau orang itu berkata: "Pendeta, Anda yang dulu terkena serangan jantung sudah bisa kembali mendapat obat pengencer darah Brilinta yang mahal dengan gratis, gara-gara aku yang merokok, mbok sadar." Masihkah berani kita membentak orang yang merokok di bus umum? Bisa-bisa kita yang dibentak: "Karena rokokku ini sekian juta orang jadi sehat, mbok kamu ikutan merokok. Perokok itu pahlawan tanpa tanda jasa."

Alkisah, konon alam semesta memang menciptakan rwabhineda–dua hal berbeda saling berdampingan. Ada siang ada malam. Ada baik ada buruk. Ada suka ada duka. Leluhur kita memberi saran, rwabhineda tak bisa dihindari karena datangnya silih berganti. Tapi bagaimana kalau dua hal yang bertolak belakang itu tidak berdampingan? Dan datangnya bukan silih berganti tapi menyatu dalam suatu waktu? Ini bukan rwabhineda, melainkan kaliyuga–suatu masa yang kalut.

Rwabhineda bisa disikapi dengan tenang, melakukan evaluasi, menyadari mana yang harus diperbaiki sambil berharap hal yang buruk segera berlalu. Tapi kaliyuga adalah kekalutan yang sulit diurai karena tak jelas lagi mana baik dan mana buruk, keduanya punya alasan yang kuat. Maka, ibarat komputer, satu-satunya jalan adalah restart dan instal program baru. Seperti itulah yang harus dilakukan pada BPJS dan "politik pertembakauan" yang di dalamnya ada pajak rokok. Restart dan instal ulang secara nasional. Bukan cara lain.

Benih Diktator

Benih Diktator
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                              KORAN SINDO, 21 September 2018



                                                           
MELIHAT indeks demokrasi Indonesia (IDI), terdapat indikasi bahwa masyarakat kita masih belum siap hidup dalam alam demokrasi. Masih senang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal.

Ada dua macam potensi yang paradoksal, yang melekat pada setiap manusia, yaitu potensi untuk saling mengasihi, menyayangi, dan melindungi orang lain, sekaligus juga memiliki kecenderungan untuk menang sendiri dengan menindas orang lain yang dianggap mengganggu dan mengancam kepentingannya. Kedua kecenderungan ini volumenya relatif, tiap orang dan masyarakat berbeda-beda.

Faktor geografis, lingkungan sosial, pendidikan, status ekonomi dan budaya-politik sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi seseorang, apakah akan mendukung nalurinya sebagai diktator ataukah sebaliknya, yaitu pribadi demokrat yang senang menghargai hak dan martabat orang lain.

Belakangan ini, beberapa masyarakat dan negara yang senang melakukan kekerasan fisik dan senjata dalam memperjuangkan kepentingannya sudah pasti mengondisikan suburnya budaya diktator, budaya yang tidak menghargai jalan damai dan rasional dalam memecahkan masalah sosial-politik. Ketika kalah, mereka akan melakukan pemberontakan dan perlawanan fisik.

Kalau nantinya menang dan jadi penguasa akan menjadi penguasa tiran, diktator. Kita prihatin membaca laporan IDI bahwa kekerasan fisik masih tinggi terjadi di Indonesia.

Bahkan dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan mazhab dalam agama sekalipun, masih sering terjadi penindasan dan pengusiran secara fisik. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, prinsip dan jalan musyawarah secara damai, sikap saling menghargai keyakinan agama, masih jauh.

Di sini, entah disadari ataukah tidak, paham keagamaan yang mereka peluk lebih mendukung sikap diktator. Kelompok yang berbeda pantas, bahkan sah, dimusnahkan.

Keyakinan dan paham keagamaannya cenderung membuatnya bersikap tiran. Orang yang berbeda agama itu berarti berada di jalan sesat, menjadi sekutu setan dalam melawan Tuhan, sedangkan musuh Tuhan berarti juga musuh orang yang beriman.

Bayangkan, kalau logika dangkal ini dominan dalam masyarakat maka tidak terelakkan faktor agama akan jadi sumber konflik, sementara yang namanya keyakinan beragama itu selalu plural. Di muka bumi, terdapat ratusan keyakinan beragama. Identitas dan semangat beragama bukannya jadi pendorong peradaban damai dan rasional, melainkan pemicu konflik dan emosional.

Dalam masyarakat dan negara yang menganut sistem demokrasi, paham keagamaan sekelompok orang kadang merupakan kritik dan antitesis terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi berangkat dari pengakuan dan penghargaan terhadap hak, martabat, dan kemerdekaan individu (individual right and freedom).

Pemilu (yang sehat dan benar) adalah salah satu instrumen untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam upaya menciptakan tatanan sosial dan pemerintahan yang melayani dan melindungi setiap warga negara. Jadi, dalam alam demokrasi, sumber kekuasaan dan undang-undang bernegara itu datang dari bawah, dari aspirasi rakyat.

Namun, sekelompok orang beragama menentang prinsip di atas. Kekuasaan dan undang-undang yang benar dan mesti diperjuangkan itu yang bersumber dari Tuhan. Yang jadi juru bicara Tuhan bukan anggota legislatif hasil pemilu, melainkan mereka yang mendalami dan menguasai kitab suci dan ilmu keagamaan serta sudah teruji akhlaknya mulia, tanpa cacat.

Di setiap agama memang ditemukan sekelompok orang "suci" yang menjadi panutan moral dan keilmuan umatnya. Hanya, sikap mereka terhadap dunia politik beda-beda.

Ada yang mengambil jarak tegas dari politik praktis. Mereka fokus pada kepemimpinan moral-spiritual. Ada lagi yang aktif dan gigih terlibat dalam politik praktis, untuk mengubah dan meluruskan sistem demokrasi yang dianggap sesat. Hukum Tuhan di atas hukum bikinan manusia.

Sebatas penalaran deduktif, argumen di atas kedengarannya valid. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam dan lebih detail, banyak premis yang salah dan sangat tidak realistis.

Misalnya siapa yang memberi mandat bahwa seorang pendeta atau ulama adalah wakil paling otoritatif dari Tuhan? Bukankah musyawarah dan saling menghargai perbedaan dalam alam demokrasi itu juga ajaran Tuhan? Adakah dukungan best practise atau success story dalam sejarah bahwa jajaran ulama atau pendeta berhasil mengurus administrasi kenegaraan yang sedemikian kompleks?

Jadi, janganlah pemahaman keagamaan menambah suburnya budaya otoriter yang punya akar sejarah dalam perebutan kekuasaan di Nusantara ini. Paradigma Ken Arokisme mesti kita kubur dalam-dalam.

Mari kembangkan pendekatan damai, rasional, berorientasi pemecahan masalah bangsa, bukannya semata memenangkan pertarungan untuk meraih jabatan sesaat. Mari kita dewasakan kehidupan berdemokrasi, kecuali kita akan mengundang tampilnya diktator yang sangat bisa jadi akan mengantarkan hancurnya bangsa dan negara ini.

Problem Identitas Keagamaan

Problem Identitas Keagamaan
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                              KORAN SINDO, 14 September 2018



                                                           
SEMUA komunitas agama, menurut Yuval Noah Harari, dihadapkan pada tiga macam problem dan tantangan besar yang berkaitan, yaitu technical problems, policy problems, dan identity problems (21 Lessons for the 21st Century: 2018). Sekalipun dia seorang Yahudi, eksklusivisme komunitas agama Yahudi dia kritik dengan tajam. Termasuk kritiknya terhadap agama-agama lain yang kedengaran menyakitkan, tetapi argumentatif.

Menurutnya, saat ini seakan terjadi proses nasionalisasi kebertuhanan. God now serves the nation, tulisnya. Peran Tuhan dipersempit, diposisikan untuk membela kepentingan sebuah bangsa, tidak lagi membela dan melayani manusia seluruh jagat tanpa sekat ras, suku, dan bangsa. Bahkan dipersempit lagi, Tuhan dimonopoli mazhab atau kelompok politiknya.

Semasa abad pertengahan peran agama, ulama, dan pendeta sangat sentral. Tuhan dan titah-Nya yang dikandung agama menjadi rujukan masyarakat ketika mereka dilanda krisis.

Ketika panen rusak, mereka datang kepada tokoh agama, memohon pertolongan untuk membujuk dan mengiba kepada Tuhan agar tidak marah, menimpakan bencana. Begitu pun ketika sakit, masyarakat datang kepada tokoh agama minta kesembuhan. Pendeknya pada abad pertengahan Tuhan diyakini sebagai pengendali dan penjaga keseimbangan dan ketenteraman kosmik.

Namun itu semua sudah berlalu. Satu-satu kekuatan dan kekuasaan agama dirongrong dan digantikan oleh sains dan teknologi. Bahkan peristiwa kematian pun tak lagi dikaitkan dengan keyakinan teologis, tetapi semata masalah medis.

Ketika ada orang meninggal, pertanyaan yang muncul adalah: apa penyebab kematiannya? Ketika kebanyakan dikarenakan serangan jantung, riset dan pengobatan di bidang penyakit jantung digalakkan. Termasuk penyakit-penyakit lain yang menyebabkan kematian. Lalu mereka menyimpulkan bahwa panjang dan pendek umur seseorang itu semata karena masalah kesehatan. Urusan dokter.

Demikianlah, tantangan  yang dihadapi masyarakat modern itu adalah bagaimana memajukan teknologi untuk menciptakan kehidupan yang lebih ringan dan  nyaman dijalani. Sekaya apa pun sumber daya alam sebuah bangsa, jika teknologinya ketinggalan, bangsa itu akan kalah dan tergilas oleh bangsa lain yang lebih maju teknologinya sekalipun tidak beragama.

Tantangan kedua menyangkut policy problem, yaitu bagaimana umat beragama menyikapi dan membuat kebijakan publik dan politik untuk mengatasi berbagai soal kemanusiaan. Ini juga menyangkut manajemen politik sebuah bangsa dan negara tempat umat beragama berada. Krisis ekonomi yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, Venezuela, Argentina, dan Yunani  semuanya bermula dari kegagalan manajemen politik.

Gejala serupa juga mulai muncul di Turki. Jadi sekalipun sebuah negara kaya sumber alamnya, jika manajemen politiknya lemah, amburadul, tidak efektif, dan tidak visioner, tak ada jaminan rakyatnya makmur sejahtera.

Problem ketiga dan ini tidak enak didengar, semua bangsa itu pasti memerlukan identitas yang jelas dan kuat sebagai sebuah bangsa. Dalam hal ini identitas etnis dan agama sangat fenomenal. Disayangkan, penguatan identitas keagamaan itu memang berhasil membangun kohesi sosial bagi umat seiman, tetapi sekaligus menciptakan pemisahan dan bahkan konflik terhadap yang berbeda iman dan keyakinan.

Dengan eksplisit Harari mengatakan bahwa identitas agama bukannya memecahkan dua problem yang lain, yaitu technical dan policy problems, malah menciptakan problem baru. Ketika orang sudah berkelompok dan berhasil membangun kohesi serta solidaritas keagamaan, pertanyaan yang muncul adalah: problem bangsa dan kemanusiaan apa yang hendak diselesaikan?

Alih-alih menyelesaikan, malahan mereka bertengkar dan terlibat perang atas nama Tuhan dan agama. Ini sebuah kritik dan renungan yang mesti dijawab oleh pejuang agama.

Heboh Crazy Rich dan Impian Orang-Orang Miskin

Heboh Crazy Rich dan Impian Orang-Orang Miskin
Bagong Suyanto ;  Guru Besar, Dosen Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial FISIP Universitas Airlangga
                                          MEDIA INDONESIA, 22 September 2018



                                                           
MENENGOK kehidupan orang-orang yang tajir melintir, dengan jumlah kekayaan yang tidak terbayangkan banyaknya, ternyata tak kalah menarik jika dibandingkan dengan mempergunjingkan kehidupan para selebriti. Setelah sukses pemutaran film drama Crazy Rich Asians di Tanah Air, di dunia maya kini muncul tagar #CrazyRichSurabayan, #CrazyRichBekasians, dan lain-lain yang membahas cerita-cerita lucu, absurd, tetapi menakjubkan pikiran orang-orang kebanyakan.

Di berbagai screenshots yang beredar di media sosial, digambarkan dialog-dialog yang menggambarkan kisah orang-orang kaya di Tanah Air yang tidak masuk di akal. Cerita dan dialog yang menggambarkan orang-orang kaya yang merayakan ulang tahun anaknya di hotel berbintang. Mengundang ribuan orang dan memberi door price sejumlah barang mewah bagi undangan yang datang. Atau cerita orang kaya yang memberi kado anaknya mobil mewah yang harganya miliaran, mengundang artis-artis Ibu Kota di acara pernikahan. Dan cerita-cerita lain yang memperlihatkan betapa uang seolah-olah tidak masalah berapa pun mereka keluarkan.

Bagi orang-orang kebanyakan, jangankan merayakan ulang tahun di hotel bintang lima atau makan makanan yang harganya ratusan ribu rupiah sepiring. Sekadar untuk bisa tidur atau untuk makan dengan menu sederhana saja, mereka acap kali masih kesulitan. Alih-alih membeli baju ratusan juta rupiah atau membeli hadiah mobil anaknya yang ulang tahun yang harganya miliaran rupiah, dalam kenyataan keluarga-keluarga yang secara ekonomi tergolong papa mereka umumnya kerap kali kesulitan untuk membeli permen bagi anaknya. Dan sering pula tidak memiliki tabungan sepeser pun di rumahnya-–apalagi di rekening bank.

Bagi masyarakat yang hidupnya biasa-biasa saja, cerita kehidupan orang-orang kaya yang sulit di nalar akal sehat mereka itu, di satu sisi mungkin menimbulkan kekaguman, bahkan mungkin rasa iri. Akan tetapi, bagi orang-orang dari kelas menengah ke bawah yang sedang mengisi waktu luang, munculnya dialog-dialog yang menceritakan kehidupan orang kaya yang tajir melintir itu, tak jarang menjadi hiburan tersendiri.

Bagi orang-orang yang sehari-hari hidup sederhana, ketika mimpi menjadi kaya tidak juga kesampaian, pelampiasan yang dipilih seringkali ialah dengan cara menertawakan diri sendiri dan orang lain. Menjadikan kehidupan orang kaya sebagai bahan rerasan dan cemoohan, bagi orang-orang yang kurang beruntung ialah hiburan tersendiri.

Daripada frustasi karena taraf kehidupan tak kunjung membaik, menjadikan kehidupan orang kaya yang penuh pesona sebagai bahan bergunjing membuat masyarakat kebanyakan sejenak dapat melupakan kesengsaraan dan tekanan kebutuhan hidup sehari-hari yang mereka harus hadapi. Di masa sulit mencari kerja, menganggur, atau di sela-sela waktu istirahat, ngerumpi ialah subkultur dan bagian dari gaya hidup masyarakat miskin yang populer.

Di sela-sela waktu luang yang dimiliki, membuka sejenak informasi yang bertebaran di media sosial dan membaca kisah-kisah kelakuan orang kaya yang begitu gampang membuang uang untuk hal-hal yang remeh-temeh, bagi orang miskin ialah jeda sejenak meluangkan waktu untuk bermimpi.  

Bagi orang miskin, bermimpi ialah salah satu bentuk kemewahan yang masih mereka miliki. Daripada putus asa menghadapi kehidupan nyata yang acap kali kejam, sejenak membayangkan menjadi orang kaya yang bergelimang harta ialah hiburan tersendiri yang menyenangkan.

Kalau berbicara impian atau cita-cita, sebetulnya masyarakat kelas menengah ke bawah bukan tidak ingin dapat ikut menikmati dan mengembangkan gaya hidup orang kaya yang hanya bisa mereka lihat di layar televisi. Kemewahan yang ditampilkan di berbagai film sinetron, bagi masyarakat miskin ibaratnya ialah surga dunia yang ingin diraih, tetapi disadari hal itu cuma impian belaka. Menyaksikan rumah para artis dengan perabot yang serba wah, kolam renang, dan kamar-kamar yang luas ialah godaan, hiburan, tetapi sekaligus juga bisa memantik kekecewaan.

Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan orang-orang yang setiap bulan hanya bergaji 2 atau 3 juta menyaksikan rumah-rumah mewah yang harganya puluhan miliar? Bagaimana perasaan orang-orang yang setiap hari makan nasi bungkus seharga Rp5 ribu membaca sebuah dialog yang menceritakan harga sepiring makanan bisa mencapai ratusan ribu rupiah? Kalau untuk membayar SPP tiap bulan atau uang seragam sekolah saja sering kesulitan. Bagaimana perasaan keluarga-keluarga yang miskin itu menyaksikan sebuah keluarga kaya dengan enteng membeli waralaba sekolah yang bagus hanya untuk kepentingan memasukkan anaknya sendiri agar dapat memperoleh pendidikan yang diinginkan?

Berbagai pertanyaan di atas, saat ini niscaya tengah berkecamuk di benak warganet dan masyarakat umum ketika mereka membaca dialog-dialog dalam tagar #CrazyRichSurabayan, #CrazyRichBekasians, atau berita di media tentang ulah absurd orang-orang yang kaya raya. Perpaduan antara kekaguman, tidak percaya, frustasi, dan mungkin pula kemarahan niscaya akan campur aduk di benak orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung. Akan tetapi, di saat yang sama menjadikan kisah-kisah orang-orang kaya sebagai bahan tertawaan ialah cara yang lazim dikembangkan orang-orang miskin agar mereka tidak larut dalam rasa cemburu yang berkepanjangan.

Menjadikan kisah-kisah absurd orang kaya sebagai impian, hiburan sekaligus cara mereka melampiaskan kecemburuan sosialnya ialah bagian dari strategi masyarakat miskin untuk membiasakan diri menerima nasib. Seperti dikatakan Oscar Lewis (1959)-–seorang ahli kemiskinan yang puluhan tahun meneliti kehidupan orang miskin di Mexico--cara orang miskin agar tidak frustasi dalam menjalani kehidupan ialah dengan mengembangkan kultur kemiskinan, yakni bagaimana orang-orang miskin itu membiasakan diri untuk tidak memiliki aspirasi yang terlalu tinggi, menerima nasib, dan menjalani kehidupan apa adanya.

Seperti para pecandu yang selalu berburu barang haram untuk masuk dalam kehidupan simulacra yang memabukkan, mempergunjingkan kehidupan orang-orang kaya sekaligus menertawakan diri sendiri bagi orang-orang miskin ialah bentuk pelarian dan cara mereka melupakan tekanan kebutuhan hidup. Sejenak penderitaan dan beban kehidupannya mungkin terasa hilang. Akan tetapi, ketika mereka bangun kembali dari mimpinya, jangan kaget jika hidup kembali terasa berat dan tidak menyenangkan.

Muslim tanpa Masjid

Muslim tanpa Masjid
Asep Salahudin ;  Staf Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP);
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
                                          MEDIA INDONESIA, 21 September 2018



                                                           
JUDUL di atas dipakai Kuntowijoyo untuk menggambarkan fenomena kebangkitan generasi muslim perkotaan yang memiliki perhatian terhadap agamanya, tapi tidak sempat mempelajari Islam secara utuh (kafah). Mereka belajar Islam tidak lewat jalur konvensional, semisal, surau, madrasah, atau perguruan tinggi Islam. Namun, melalui media sosial yang serbaselintas, tergesa-gesa, dan cenderung reduktif, mendiskusikan tema-tema keagamaan bukan melalui kitab kuning dan pengkajian memadai, tapi cukup lewat status seorang ‘tokoh’ yang kemudian saling dikomentari satu dan lainnya.

Muslim tanpa masjid tidak lagi menganggap penting hadirnya seorang guru, tapi siapa pun yang dipandang cakap menjelaskan agama ala kadarnya ditunjang kemampuan retorika dan merangkai kata, sudah bisa ditahbiskan sebagai ‘ulama’. 

Kehebatan guru tidak diletakkan pada keberkahan dan karamah yang memancar dari wajah karismatiknya atau aktivisme sosialnya, tapi sejauh mana sosok itu memiliki followers yang banyak. Seberapa hebat statusnya tampil menjadi viral disebar ke banyak orang. Konsep jemaah digeser menjadi idola dan fan. Boleh jadi tradisi ‘cium tangan’ murid terhadap gurunya diganti dengan memijit tanda like dan kesediaan men-share ke banyak kawan. 

Tidak sampai di sana, ‘pengajian’ di dunia maya juga menghasilkan followers dengan fanatisme yang garang karena dialog nyaris tertutup dan tidak ada kesempatan melakukan pelacakan terhadap genealogi tradisi keagamaan (turats). Biasanya cara pandang keagamaannya serbadikotomi, bipolar, hitam putih, dan penuh pendakian. Siapa pun yang tidak sepaham pemikirannya dengan mudahnya dianggap kafir, sesat, dan bidah.

Sesuai dengan karakteristik media sosial, ‘pengajian’ itu dilakukan secara meloncat-loncat, bahkan nyaris setiap peristiwa yang berlangsung dikomentari. Termasuk, kejadian politik, sosial, ekonomi, resep makanan, bintang film porno, sinetron terbaru, atau perilaku rujuk dan cerai seorang  artis. 

Layaknya tema keagamaan, dalam domain politik, sosial, dan ekonomi pun tidak lagi dibutuhkan keahlian. Apalagi, ditopang akurasi data dan kajian ilmiah, yang terjadi lebih kepada gosip dan sisanya ialah hoaks lengkap dengan foto-fotonya yang sudah diedit dan diimani sebagai kebenaran.

Itulah fakta mengkhawatirkan semangat beragama tanpa diimbangi ilmu. Semacam Islam ideologis minus epistemologi. Beragama yang riuh dengan pekik provokasi, tapi miskin refleksi, gemuruh pengajiannya lebih kuat ketimbang ikhtiar pengkajiannya. Beragama yang semakin menghasilkan  militansi saling menghujat (hujatan) bukan membangun argumentasi diskursif yang kuat (hujah).

Islam tanpa masjid

Kuntowijoyo ketika menulis buku Muslim tanpa Masjid, belum dilengkapi data semarak penggunaan media sosial seperti sekarang, akan menjadi menarik lagi kalau potret hari ini yang diteropong. Mungkin bukan lagi muslim tanpa masjid, tapi Islam tanpa masjid. Kalau muslim tanpa masjid bisa jadi dari dahulu dengan intensitas berbeda sudah terjadi. Kelompok priayi dan abangan, dalam telaah trikotomi Geertz, sering kali ditandai sebagai kelompok beragama yang tidak ramah dengan rumah ibadat sebagai pembeda rumpun santri.

Tentu dalam nomenklatur Islam tanpa masjid, tidak merujuk kepada makna punahnya masjid. Tidak mustahil bangunan fisik masjid semakin banyak dan megah, tapi spirit kemasjidan yang hilang. Bahkan, fungsinya sudah melenceng dari garis roh kenabian. Hari ini kita menyaksikan, minimal terbaca melalui peristiwa pemilihan Gubernur Jakarta dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada pemilihan lainnya. Bagaimana masjid menjadi ajang mempropagandakan politik identitas yang sempit, eksklusif, dan diskriminatif. Naifnya lagi mendapatkan pembenaran dari konsultan politiknya.

Masjid menjadi mimbar untuk memobilisasi massa guna menentukan garis politik yang sesungguhnya bersifat jangka pendek dan transaksional. Bahkan, sengaja demo-demo yang dilakukan mengambil momentum selepas salat Jumat saat jemaah berkumpul menunaikan ibadah.

Kalau muslim tanpa masjid mencerminkan kebangkitan generasi muslim yang mempelajari ajaran agamanya serbatanggung, susulannya Islam tanpa masjid melambangkan keislaman yang terlepas dari spirit gen masjid. Islam yang telah dibajak untuk kepentingan politik.

Semacam ‘islamisme’ yang tak pernah lelah mengimajinasikan tatanan utopis politik Islam tanpa jelas formulasi, strategi, dan wujud eksistensialnya, kecuali sekadar semangat menghantam kelompok dan ideologi berbeda yang sejak awal telah dipandang tagut dan sisanya ialah fantasi menerapkan dongengan kejayaan khilafah masa silam.

Alih-alih mengembangkan konsep kewargaan multikultural yang inklusif, bahkan yang seagama karena berbeda mazhabnya juga dianggap umat munafik.

Dalam telaah Olivier Roy (1996), islamisme hanyalah perhimpunan orang-orang buangan dari modernisme yang gagal, dengan penggalangannya berdasarkan mitos kembali ke otentisitas Islam yang sebenarnya tak pernah ada.

Sebuah gerakan yang digulirkan tanpa model politik, ekonomi, sosial yang khas dan konkret, kecuali sekadar jargon untuk menerapkan ‘syariat’ tanpa penjelasan utuh bagaimana syariat itu dioperasionalkan secara teknis-sosiologis dalam birokrasi, industri perbankan, kepartaian, dan lain sebagainya.

Sebuah  model politik yang menuntut ketakwaan para anggotanya, tapi ketakwaan ini hanya bisa diperoleh lewat mimpi bila masyarakatnya benar-benar islami. Sementara itu, persoalan laten kemiskinan, sistem ekonomi, krisis nilai, kemerosotan mutu pendidikan tidak pernah tersentuh dan tentu hal ini semakin memperjelas ilusi ‘negara islam’ tersebut.

Ijtmak ulama dan post-islamisme

Baik muslim tanpa masjid maupun Islam tanpa masjid, sebenarnya semakin membenarkan isyarat kebenaran yang dengan menarik ditulis sastrawan AA Navis dalam Robohnya Surau Kami. Tentang orang beragama yang lebih mendahulukan aspek kesalehan individual ketimbang kebajikan sosial. Lebih memprioritaskan moralitas personal daripada struktural, ihwal ‘abu Islam’ yang mengalahkan ‘apinya’. Beragama yang didominasi ajaran bayangan metafisika surga-neraka, tapi defisit imajinasi cara mengelola negara yang akuntabel dan bertanggung jawab.

Mengembalikan Islam, muslim, dan masjid kepada khitahnya inilah yang selekasnya harus dilakukan sebelum terlalu jauh terombang-ambing badai politik yang tidak jelas. Sebelum konsep ‘umat’ tergerus masa mengambang followers lewat ‘ijtimak ulama’ ke-1 dan ke-2 yang  tak karuan. Ijtimak yang isinya tak lebih hanya pelintiran ayat-ayat Tuhan dan hadis Nabi untuk mendukung capresnya.

Langkah awal tentu saja belajar agama secara tenang. Tidak cukup hafiz Alquran, tapi juga harus ada penguasaan memadai ilmu-ilmu lainnya. Ulama-ulama pesantren yang tersebar di berbagai pelosok yang mengajar dengan ikhlas harus banyak dijadikan guru untuk menyerap keberkahan agar bisa  belajar ‘pintar merasa’ bukan ‘merasa pintar’.

Gerak seperti ini yang disebut Asef Bayat (2011) sebagai upaya menghidupkan spirit post-islamisme, sebuah upaya sadar membangun konsep rasionalitas dan moralitas secara strategis untuk membatasi gerakan islamisme di area sosial, politik, dan intelektual.

Post-islamisme mewakili upaya meleburkan keagamaan dan hak, iman dan pembebasan. Menegaskan kesejarahan kitab suci, menjunjung pluralitas dari dera suara otoritatif tunggal. Kebebasan individu, pengakuan akan yang sekuler, pembebasan dari rigiditas dan penghapusan monopoli kebenaran, penyatuan agama dan tanggung jawab.

Baik muslim maupun Islam tanpa masjid, kedua-duanya kurang bagus bagi masa depan agama itu sendiri atau hubungannya Islam dengan umat lain. Kurang sehat juga bagi pertumbuhan tubuh ke-Indonesiaan yang multikultural.

Balada Jambi, Pelaku sekaligus Korban

Balada Jambi, Pelaku sekaligus Korban
Seto Mulyadi ;  Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI);
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
                                          MEDIA INDONESIA, 20 September 2018



                                                           
SEJUMLAH lembaga negara mempertanyakan sikap jaksa dalam perkara anak korban perkosaan yang melakukan aborsi di Provinsi Jambi. Di tingkat Pengadilan Negeri, majelis hakim memvonis anak tersebut bersalah. Banyak kalangan langsung naik pitam. Hakim disebut tidak memiliki kepekaan.

Saat pengadilan tinggi menganulir vonis tersebut, kelegaan mengalir. Namun, begitu mengetahui bahwa jaksa mengajukan kasasi, protes bahkan kecaman pun berhamburan ke arah jaksa dari sekian banyak pihak. Intinya, kalangan tersebut memandang jaksa pada perkara tersebut seharusnya berhenti pada vonis bebas.

Andaikan harus dilakukan koreksi atas proses hukum kasus anak korban perkosaan yang mengaborsi janinnya itu, menurut saya, pada tataran dasar langkah pelurusan yang seharusnya diambil bukanlah pada kerja Kejaksaan (bahkan PN Jambi dan kepolisian). Masyarakat dan lembaga negara, semacam KPAI dan DPR sepatutnya fokus pada peraturan pemerintah terkait dengan dijadikan sebagai acuan kerja lembaga penegakan hukum untuk menangani kasus di Jambi tersebut.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tertera bahwa tindakan aborsi bagi korban perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia empat puluh hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Dengan demikian, kurang tepat apabila DPR dan KPAI mengarahkan kritik serta akan berkirim surat hanya kepada Kejaksaan. Yang lebih tepat, DPR dan KPAI, berlandaskan pada fungsi pengawasan yang keduanya miliki, sewajarnya mengevaluasi isi peraturan pemerintah dimaksud.    

Baru nantinya, apabila dibutuhkan, mendorong pemerintah untuk melakukan revisi terhadap PP tersebut. Terutama pada bagian yang mengatur ihwal empat puluh hari sebagai batas waktu diperbolehkannya aborsi oleh korban perkosaan.

Berbeda dengan merevisi undang-undang yang prosesnya pelik karena mengharuskan adanya titik temu antara Pemerintah dan DPR, mengoreksi Peraturan Pemerintah kiranya lebih sederhana. Tinggal lagi bagaimana KPAI dan DPR meyakinkan pemerintah akan pentingnya perubahan atas PP dimaksud.

Terkait dengan revisi PP tersebut, apabila ditanya kepada saya tentang berapa batasan hari yang ideal bagi pembenaran aborsi, selaku pegiat anak, sudah pasti saya menolak tegas dilakukannya aborsi. Aborsi ialah pembunuhan terhadap anak, baik anak yang sudah dilahirkan maupun anak yang belum dilahirkan. Keduanya semestinya diperlakukan sama: tidak boleh dibunuh. Itu prinsip yang harus ditegakkan secara universal terhadap seluruh anak. Mohon tidak ada diskriminasi.

Jadi, dengan nalar sedemikian rupa, aborsi bahkan yang dilakukan korban perkosaan sekali pun tetap harus dilarang. Apalagi mengacu temuan riset Holmes dkk (1996), saya melihat ada angka persentase yang cukup prospektif bagi peluang keberhasilan upaya untuk mencegah korban perkosaan--terutama yang masih berusia anak mengaborsi janin mereka.

Menurut Holmes, 32,2% korban perkosaan ingin merawat bayi mereka, 50% menjalani aborsi, 5,9% menyerahkan bayi mereka untuk diadopsi, dan 11,8% mengalami aborsi spontan. Tanpa menutup telinga terhadap kalangan feminis yang gencar menyuarakan kepiluan para korban perkosaan, penguatan bagi para penyintas agar menjaga kehamilan mereka justru jauh lebih penting untuk didorong.

Status ganda

Ingar bingar di Jambi sebagaimana tertulis di atas, bermula dari situasi ketika seorang abang (sebut saja: Abang) memerkosa adik kandungnya (sebut saja: Adik). Abang, sesuai bunyi putusan majelis hakim, melakukan perkosaan terhadap Adik setelah sebelumnya menonton tayangan pornografi. Naik syahwat si Abang, lalu ia tumpahkan ke orang dekat.

Jadi, dakwaan atas diri Abang sesungguhnya berawal dari situasi ketika ia sebagai korban pornografi. Selaku terdakwa, ia telah divonis bersalah. Namun, sebagai korban, hak-haknya tidak bisa dinihilkan. Undang-Undang Perlindungan Anak mencantumkan ketentuan bahwa anak korban pornografi berhak akan perlindungan khusus.

Perlindungan khusus diberikan kepada Abang dalam kedudukannya selaku korban agar ia memperoleh jaminan rasa aman dari ancaman yang berpotensi mengganggu proses tumbuh kembangnya. UU Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan khusus bagi anak korban pornografi diselenggarakan melalui pembinaan, pendampingan, kesehatan fisik dan mental, serta pemulihan sosial.

Perlakuan serupa semestinya juga berlaku bagi si Adik. Adik divonis bersalah karena menggugurkan bayi yang dikandungnya. Situasi pendahulunya ialah ia mengalami viktimisasi seksual. Anak korban kejahatan seksual, seperti yang Adik derita, juga berhak atas perlindungan khusus.

Perlindungan khusus bagi korban kanak-kanak dalam situasi traumatis tersebut diberikan dalam bentuk edukasi, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial selama pengobatan dan pemulihan, serta perlindungan dan pendampingan selama berlangsungnya proses hukum.

Jadi, perlu untuk dievaluasi, seberapa jauh perlindungan khusus telah diberikan kepada si Abang dan si Adik selaku korban? Negara siap menghukum, selayaknya juga siap untuk melindungi. Semoga.

Mahkamah Agung Pembela Caleg Narapidana Korupsi

Mahkamah Agung
Pembela Caleg Narapidana Korupsi
Agus Riewanto ;  Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
                                          MEDIA INDONESIA, 17 September 2018



                                                           
BELUM lama ini publik dikejutkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terkait dengan larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu Legislatif 2019. (Harian Media Indonesia, 15 September 2018).

Tidak sensitif

Dengan demikian, berarti kini para mantan narapidana korupsi dapat menjadi calon legislatif pada Pemilu 2019. Sesungguhnya putusan Mahkamah Agung ini telah nyata membela calon legislatif korupsi dan gagal membela aspirasi publik yang menghendaki agar wakil rakyat mendatang hanya diisi mereka yang berintegritas. Bahkan, putusan Mahkamah Agung ini bertentangan dengan hati nurani publik yang telah telanjur menempatkan koruptor sebagai musuh bersama (common enemy) sehingga sangat tidak pantas mereka menjadi wakil rakyat di DPR-RI dan DPRD.

Putusan Mahkamah Agung ini menegaskan hakim-hakim di lembaga tersebut berpandangan positivistik dalam menafsirkan teks undang-undang, dan tidak agung dengan cara menafsirkan undang-undang secara responsif (beyond the text) berdasarkan pada aspek sosiologis kehendak masyarakat dan politik hukum kenegaraan, yang menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan cara untuk melawannya secara luar biasa pula.

PKPU tidak salahi aturan

Peraturan PKPU No 20 Tahun 2018 yang melarang mantan koruptor menjadi calon legislatif ialah salah satu cara negara dalam bertindak luar biasa melawan koruptor agar tak lagi dapat mengelola negara melalui pintu lembaga perwakilan di DPR dan DPRD.

Karena itu, dalam batas penalaran hukum yang progresif-responsif, sesungguhnya peraturan Komisi Pemilihan Umum yang dibatalkan Mahkamah Agung ini tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No 4/PUU-VII/2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No 46/PUU-XIII/ dan Pasal 240 UU No 7/2017 tentang Pemilu. Peraturan KPU ini tidak melarang calon legislatif yang berstatus mantan narapidana korupsi secara eksplisit dalam ketentuan normanya. Namun, ketentuan Pasal 4 ayat (3) PKPU ini hanya mensyaratkan agar partai politik (parpol) dalam mengajukan bakal caleg ke KPU harus menandatangani pakta integritas yang isinya tidak akan mengajukan bakal calon legislatif yang tidak berintegritas.

Pakta integritas yang ditandatangani pimpinan partai politik ini bersifat mengikat karena jika bakal calon legislatif yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum tak berintegritas, secara otomatis akan ditolak KPU dan dikembalikan kepada parpol untuk diganti dengan yang berintegritas.

Hal ini menunjukkan PKPU ini sesungguhnya telah berada dalam jalur yang tepat dari aspek ketatanegaraan. Pengaturannya ditujukan kepada organisasi parpol bukan kepada calon legislatif secara langsung. Itu karena sesuai Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945 peserta pemilu ialah partai politik bukan caleg, maka yang diatur KPU ialah partai politik.

Implikasi negatif

Implikasi negatif dari putusan Mahkamah Agung yang membolehkan mantan narapidana korupsi dapat menjadi caleg, antara lain pertama, putusan Mahkamah Agung ini akan berpotensi menipu pemilih pada Pemilu 2019 mendatang karena akan disuguhi caleg-caleg yang mantan koruptor sehingga pemilih yang tak memiliki informasi cukup tentang calon legislatif tertentu akan cenderung memilih caleg koruptor. Itu karena mereka ini biasanya memiliki jaringan sosial serta modal uang yang cukup untuk memengaruhi dan membeli suara pemilih (vote buying).

Kedua, putusan Mahkamah Agung ini gagal dalam mendorong hadirnya lembaga partai politik yang bersih dan memiliki sensitivitas terhadap korupsi. Akibatnya, parpol akan cenderung mengabaikan soal moralitas dan takluk pada caleg koruptor untuk tetap diajukan menjadi caleg karena merasa memiliki legitimasi hukum melalui putusan Mahkamah Agung ini.

Ketiga, putusan Mahkamah Agung ini gagal menjadi benteng akhir untuk memotong jalan para mantan koruptor melalui mekanisme hukum untuk come back di lembaga perwakilan rakyat. Bahkan, tragisnya lagi, putusan Mahkamah Agung ini kelak akan berpotensi menjadikan lembaga legislatif menjadi tidak berwibawa karena ada anggota legislatif yang terpilih pada Pemilu 2019 yang masih tersandera kasus korupsi di masa lalu.