Sabtu, 27 Februari 2021

 

Ambisi Arab Saudi Menjadi Raksasa Ekonomi Regional

 Musthafa Abd Rahman  ;  Wartawan Kompas

                                                     KOMPAS, 26 Februari 2021

 

 

                                                           

Ambisi Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) melalui proyek visi Arab Saudi 2030 ternyata tidak hanya sebatas melakukan revolusi perubahan di sektor sosial, budaya, dan ekonomi di dalam negeri, tetapi juga ingin mengantarkan negaranya menjadi kekuatan raksasa ekonomi di kawasan.

 

Produk domestik bruto (PDB) Arab Saudi kini mencapai 779.289 miliar dollar AS dan menduduki urutan ke-18 kekuatan ekonomi dunia. Dengan kekuatan ekonomi tersebut, tentu Arab Saudi menjadi anggota 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di muka bumi ini (G-20).

 

Di Timur Tengah, Arab Saudi kini merupakan kekuatan ekonomi terbesar. Namun, MBS ternyata tidak puas jika negaranya hanya menduduki posisi urutan ke-18 kekuatan ekonomi di dunia. Dia berambisi hendak membawa Arab Saudi menduduki urutan ke-10 atau masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia.

 

Tentu jalan masih panjang dan terjal bagi MBS untuk bisa membawa Arab Saudi masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia. Arab Saudi dengan PDB  779.289 miliar dollar AS saat ini harus berjuang keras melipatgandakan PDB tersebut menjadi minimal memiliki PDB 1.558.578 miliar dollar AS atau bahkan harus lebih lagi.

 

Urutan ke-10 dalam G-20 versi IMF saat ini diduduki Korea Selatan dengan PDB 1.586.786 miliar dollar AS. Artinya, Arab Saudi harus mampu melampaui PDB Korea Selatan untuk bisa masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia. Ini tentu sangat tidak mudah.

 

Bahkan sebenarnya posisi urutan ke-18 dalam G-20 membuat posisi Arab Saudi tidak aman, yang bisa setiap saat negara pengekspor minyak mentah terbesar itu terpental dari keanggotaan G-20.

 

Alih-alih mau masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia, tetapi sebaliknya justru malah terancam terdepak dari keanggotaan G-20. Sesungguhnya ancaman terdepak dari anggota G-20 jauh lebih dekat bagi Arab Saudi daripada mencapai posisi 10 besar G-20.

 

Arab Saudi kini hanya di atas Turki dan Swiss secara PDB dalam G-20. PDB Arab Saudi, Turki, dan Swiss sangat berdekatan, yang setiap saat bisa bergeser posisi dalam urutan di internal G-20. Versi Bank Dunia, Turki memiliki PDB 754.412 miliar dollar AS dan PDB Swiss 703.082 miliar dollar AS.

 

Maka, ada persaingan cukup ketat antara Arab Saudi, Turki, dan Swiss untuk bisa bertahan menjadi anggota G-20 atau tidak terpental dari keanggotaan G-20 itu. Oleh karena itu, MBS harus mencari solusi terobosan untuk meningkatkan PDB Arab Saudi agar bisa naik kelas dalam peringkat di G-20 dan sekaligus bisa menyelamatkan negaranya agar tidak terdepak dari keanggotaan G-20.

 

Sebagai ikhtiar untuk menaikkan peringkat ekonomi Arab Saudi tersebut, Pemerintah Arab Saudi secara mengejutkan pada 15 Februari lalu memutuskan, perusahaan multinasional yang telah atau ingin menjalin kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi terhitung mulai 1 Januari 2024.

 

Artinya, Pemerintah Arab Saudi memberi tenggat sekitar tiga tahun kepada semua perusahaan multinasional yang kini punya kontrak bisnis dengan Arab Saudi untuk menyiapkan secara logistik dan lain-lain untuk pindah ke wilayah Arab Saudi.

 

Arab Saudi mengancam akan membatalkan kontrak bisnis dengan perusahaan multinasional yang menolak memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi. Selama ini, sebagian besar kantor pusat regional perusahaan multinasional yang beroperasi di kawasan Arab Teluk dan Timur Tengah berada di Dubai.

 

Kota Dubai menjadi daya tarik sebagian besar perusahaan multinasional karena kemudahan birokrasi, keringanan pajak, dan kehidupan liberal di kota itu. Kota-kota di Arab Saudi masih jauh kalah pamor dibandingkan kota Dubai untuk dijadikan tempat kantor pusat regional perusahaan multinasional.

 

Meski MBS telah menggulirkan revolusi sosial dan budaya di Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini, hal itu belum cukup menjadi magnet bagi perusahaan multinasional untuk memindahkan kantor pusat regionalnya dari Dubai ke kota-kota di Arab Saudi. Revolusi sosial dan budaya yang sudah dijalankan antara lain bioskop diperbolehkan beroperasi, konser musik, kaum wanita dibebaskan menyetir mobil, dan penyelenggaraan aktivitas olahraga untuk umum, baik pria maupun wanita.

 

Akhirnya tidak ada pilihan bagi Arab Saudi kecuali menerbitkan peraturan yang memaksa perusahan multinasional yang telah dan akan memiliki kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi. Menurut kantor berita Arab Saudi, SPA, sebanyak 24 perusahaan multinasional telah menyampaikan rencana mereka akan memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi.

 

Pakar ekonomi Arab Saudi, Amal Abdulaziz Al-Hazzani, dalam artikelnya di harian Asharq Al-Awsat edisi Selasa, 23 Februari 2021, mengatakan, tujuan dari keputusan Arab Saudi bahwa perusahaan multinasional yang punya kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi adalah upaya menarik investasi asing dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penanaman investasi asing di negara itu.

 

Ada dua langkah besar yang dilakukan Arab Saudi untuk menciptakan lingkungan yang  kondusif bagi penanaman modal asing di negara itu, yaitu terkait regulasi dan proyek investasi.

 

Pertama, terkait regulasi, Pemerintah Arab Saudi telah membebaskan dari pajak pendapatan atas perusahaan multinasional yang masuk pasar Arab Saudi. Kedua, proyek investasi, yaitu Arab Saudi tengah membuat sejumlah megaproyek yang membuka peluang besar kepada investor asing menanamkan investasinya.

 

Proyek investasi itu seperti megaproyek kota Neom yang menempati wilayah seluas 26.500 km persegi dengan nilai investasi sekitar 500 milliar dollar AS, proyek kota wisata Coral Bloom di Laut Merah, serta proyek kota metropolitan ibu kota Riyadh. Bagian dari megaproyek Neom, MBS pada 10 Januari lalu mengumumkan akan membangun kota masa depan bebas karbon The Line yang memiliki panjang 170 km.

 

Kota The Line di dalamnya tidak ada kendaraan, tidak ada jalan, dan bebas karbon, yang akan dimulai pembangunannya pada kuartal pertama tahun 2021. MBS pada 10 Februari lalu juga mengumumkan pembangunan proyek kota wisata kepulauan Coral Bloom di Laut Merah. Menurut CEO proyek Coral Bloom, John Pagano, megaproyek tersebut menelan biaya 3,7 miliar dollar AS.

 

Di Coral Bloom akan dibangun 11 hotel berbentuk resort yang dioperasikan oleh manajemen perhotelan internasional. Proyek Coral Bloom disebut terinspirasi dari model wisata kepulauan di Maladewa yang sangat populer. Maka, Coral Bloom di Laut Merah dirancang mirip seperti kepulauan wisata Maladewa.

 

MBS pada 28 Januari lalu mengumumkan pula pengembangan ibu kota Riyadh untuk bisa menjadi 10 kota terbesar ekonomi di muka bumi ini. Ibu kota Riyadh, yang kini berpenduduk sekitar 7,5 juta jiwa, dilaporkan berhasil menarik investasi mencapai 220 miliar dollar AS selama tiga tahun terakhir ini.

 

Ibu kota Riyadh kini dirancang bisa menyaingi kota Dubai sebagai magnet investasi asing. Direktur eksekutif pengembangan kota Riyadh, Fahad al-Rashid, mengungkapkan, metro bawah tanah kota Riyadh yang memiliki jalur sepanjang 178 km dan 85 halte akan mulai beroperasi pada kuartal ketiga tahun 2021.

 

Arab Saudi juga telah mendeklarasikan secara resmi memasuki era kecerdasan buatan (AI) di negara itu, bersamaan dengan digelarnya konferensi puncak global tentang kecerdasan buatan atau The Global Artificial Intelligence Summit di kota Riyadh pada 21-22 Oktober 2020.

 

Semua megaproyek di Arab Saudi tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan visi 2030 yang diluncurkan MBS sejak tahun 2016 dengan tujuan melakukan diversifikasi sumber ekonomi negara yang selama ini sangat bergantung pada minyak. Megaproyek itu sekaligus sebagai lokomotif untuk mewujudkan ambisi MBS membawa Arab Saudi masuk 10 besar ekonomi dunia. ●

 

 

Memperkuat Relevansi Program Studi untuk Menjawab Tantangan Bangsa

 Suyoto  ;  Pemerhati Pendidikan; Mantan Bupati Bojonegoro Periode 2008-2013 dan 2013-2018; Politisi Partai Nasdem

                                                     KOMPAS, 26 Februari 2021

 

 

                                                           

Sebuah bangsa dan masyarakat akan  tumbuh  berkembang bila mampu beradaptasi dan berinovasi dalam setiap perubahan.  Dengan menghadirkan berbagai  produk dan jasa  baru  dalam sistem dan struktur kehidupan yang berfungsi dengan baik pula.  Untuk inilah pendidikan tinggi hadir.

 

Dalam buku terbarunya Universities as  Engines of wconomic development, making Knowledge  Exchange Work (2020), Edward Clewley mengungkapkan,  studi yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan perguruan tinggi (PT) selalu diiringi dengan pertumbuhan ekonomi regional.

 

Kontribusi MIT pada PDB Amerika digambarkan mencapai 10 persen, terutama lewat berbagai perusahaan yang didirikan alumninya.

 

Meskipun fokus PT pada bidang pendidikan dan pengajaran,  penciptaan ilmu pengetahuan baru, dan  penyebaran inovasi mutakhir pada pihak yang berkepentingan, dalam praktiknya dilakukan dalam relasi yang melibatkan multipihak, seperti mahasiswa, akademisi, pelaku bisnis, masyarakat, dan pemerintah.

 

Kerja sama bahu-membahu antarkomponen bangsa ini yang dalam dunia pendidikan tinggi kita diwadahi dalam Tri Dharma perguruan tinggi. PT berkontribusi pada perkenomian lewat pertukaran pengetahuan dan alumni PT. Sebuah sinergitas yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi berbasis prinsip-prinsip keberlanjutan.

 

Masalahnya, apakah semua program studi (prodi) PT  mampu berkontribusi menjawab tantangan kebangsaan yang semakin besar terkait ketahanan, kemandirian dan keunggulan bangsa. Sebagai gambaran, jumlah total prodi di PTN dan PTS tercatat mencapai 26.886 prodi, yang terdiri 5.700-an prodi bidang pendidikan, teknik 4.800, sosial 4.100, kesehatan 3.300, ekonomi 3.300, pertanian 1.800, agama 1.700, MIPA 1.000, Humaniora 719 dan seni 385. (Sumber: Dirjen Dikti).

 

Pertanyaan ini normal ditanyakan, mengingat banyak program studi didirikan  sekadar mengikuti tren sesaat, bukan dilandasi semangat untuk memberi kontribusi nyata dan sesuai dengan strategi pembangunan.

 

Pada 80-an dan awal 90-an, prodi bidang pertanian dan pendidikan sempat booming peminat. Lalu prodi ekonomi dan teknik informatika. Prodi pendidikan mengalami kenaikan peminat sejak pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi guru.

 

Pilihan program studi para calon mahasiswa umumnya sekadar didasarkan pada pertimbangan sesaat, apa yang sedang terjadi saat ini, bukan 5 atau 10 tahun ke depan. Di sisi lain para penyelenggara pendidikan umumnya berlomba mendirikan program studi yang sedang banyak peminat.

 

Kecenderungan  mendirikan prodi yang sedang tren, atau banyak diminati calon mahasiswa tidak sepenuhnya kesalahan mereka. Setiap PT apalagi swasta hanya bisa hidup jika memiliki mahasiswa. Di lain pihak persyaratan pendirian prodi mengharuskan adanya dosen dengan kualifikasi sarjana S-1 dan S-2 yang sesuai atau linier bidang prodi. Sehingga sulit sekali melahirkan prodi yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.

 

Contoh prodi logistik dan rantai pasok, meskipun sangat dibutuhkan tidak mudah mendapatkan calon dosen yang berijazah linier S-1 dan S-2 di bidangnya. Maka, relevan sekali peringatan Presiden Jokowi tentang perlunya dunia pendidikan adaptif dan antisipatif dalam mendirikan program studi. Nama prodi jangan itu-itu saja.

 

Terobosan Mendikbud Nabiel Makarim untuk mendorong mahasiswa mendapatkan mengalaman nyata dari perusahaan global (micro credential), matching funds yang mendorong para akademisi dan pelaku industri menemukan inovasi dan competitive fund yang mendorong  revitalisasi dan terobosan prodi baru berkelas global layak mendapat apresiasi dan dukungan.

 

Kebijakan merdeka belajar dan insentif fund dapat menjadi momentun sinergitas dunia pendidikan tinggi dengan pelaku ekonomi. Untuk ini diperlukan sebuah kerangka kerja yang dapat memandunya.

 

Penulis belum lama ini terlibat proses desain sebuah prodi atas inisiatif United In Diversity (UID) dalam merespons kebutuhan transformasi teknologi informasi untuk mewujudkan SDGs bagi kota dan kabupaten yang membahagiakan.

 

Proses desain dipimpin Prof Edwad Crawley, Guru Besar MIT, ahli roket dan berpengalaman mendirikan prodi, pendiri dan rektor pertama Scoltech Russia, dan melibatkan berbagai ahli global, Tsinghua University China, dan tiga orang lain dari Indonesia, termasuk penulis.

 

Program ini diberi nama Happy Digital X: Cities, System, Service dan Product. Saat ini telah teregistrasi di Tsinghua sebagai program TSEA kerja sama dengan UID dan mulai dibuka untuk publik. Dalan proses itulah penulis mencatat mekanisme penting untuk menjamin prodi berkontribusi nyata pada kebutuhan pemangku kepentingan. Berikut beberapa langkah yang menggambarkan dialektika pendidikan  dengan pemangku kepentingan.

 

Pertama, sebelum memutuskan pilihan program studi yang akan dikembangkan tim kerja mendiskusikan  tantangan besar, mendesak dan bidang apa yang diperlukan. Hingga mendapatkan beberapa alternatif. Saat itu, tim  mempertimbangkan beberapa isu, yaitu transformasi pembangunan perkotaan, sustainable finance atau blended finance, technopreneur, dan sustainable low.

 

Kedua, untuk mendapatkan gambaran tim mengecek harapan dan kenyataan di pemangku kepentingan. Dari sinilah keluar Happy Digital Cities. Ketiga, mengecek apa yang sudah diberikan oleh berbagai prodi terkemuka di dunia. Apa yang masih kurang sehingga tampak jelas kesenjangannya.

 

Keempat, mempelajari siapa para ahli terkemuka yang terkait dengan bidang ini. Kelima, mendiskusikan semua temuan dan merumuskan konsep akademik prodi terpilih dan value proposition-nya. Keenam, mengundang berbagai pihak yang relevan untuk memberikan masukan. Ketujuh, penyusunan draf awal desain kurikulum, dan mempertimbangkan siapa yang akan dilayani oleh prodi dan bagaimana aspek pedagogisnya.

 

Kedelapan, melakukan advisory meeting dengan mengundang para ahli dan representasi pemangku kepentingan untuk memberi masukan atas draf yang telah tersusun.

 

Kesembilan, penulisan draf baru kurikulum dan mulai mendiskusikanya dengan para ahli yang dimungkinkan sekaligus akan menjadi pengajarnya.

 

Kesepuluh, terus berproses melakukan perbaikan dengan mengecek di pemangku kepentingan dan senyampang  penyusunan silabus, proyek dan modul. Kesebelas, pemasaran program ke kalangan terbatas sambil menguji rancangan yang sedang berjalan. Langkah terakhir, atau keduabelas, pelaksanaan dan  evaluasi untuk perbaikan kembali apa yang telah dilaksanakan terkait efektivitas dan relevansinya pada pemangku kepentingan. Perbaikan inilah yang akan ditawarkan untuk angkatan kedua.

 

Seluruh aktivitas bersifat  sirkular, mirip seperti yang kerap diungkapkan mantan Mendiknas A Malik Fadjar almarhum: ”Start from beginning and the end to beginning” untuk saling melayani antara penyedia jasa pendidikan dengan pemangku kepentingan.

 

Sebuah proses  yang terus-menerus mengharuskan pelipatgandaan energi hidup, pengetahuan, inovasi, dan kearifan untuk menghadirkan dunia yang lebih baik. Senantiasa open mind, heart, dan will atas kehendak bersama, untuk better business for better world. ●

 

 

Demokrasi dan Polarisasi Politik

 Moch Nurhasim  ;  Pusat Penelitian Politik LIPI

                                                     KOMPAS, 26 Februari 2021

 

 

                                                           

Demokrasi Indonesia saat ini mengalami tantangan yang tidak ringan. Pilpres 2014 telah menanam embrio polarisasi politik akibat kontestasi politik yang antagonis. Polarisasi politik, seperti juga konflik dalam masyarakat adalah sesuatu yang melekat (inhern) dalam proses demokrasi.

 

Fenomena polarisasi politik akibat perbedaan pilihan politik justru tidak memudar tatkala pemilu sudah usai, sebaliknya tumbuh semakin subur dalam demokrasi di tingkat nasional dan lokal.

 

Pertengkaran simbolik ”cebong” versus ”kampret” yang berkembang subur di tengah kompetisi politik pada saat Pilpres 2019 bertransformasi menjadi ”kadrun” versus ”togog”. Langkah Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin yang ingin memupus pertarungan simbolik itu pun kurang berdampak.

 

Masuknya Prabowo Subianto dan Partai Gerindra dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju (KIM) ternyata tidak bisa memupus pertengkaran simbolik di aras bawah (grass roots).

 

Seperti hukum alam, sekali menanam angin, kita akan menuai badai. Demikian pula dengan fenomena polarisasi politik dalam demokrasi kita, tidak luntur dan rasanya sulit hilang karena fenomena pertengkaran politik akibat perbedaan pilihan masih saja terjadi dan semakin meluas dengan melibatkan dua aras sekaligus, aras elite politik dan aras arus bawah.

 

Polarisasi dan pembelahan politik

 

Salah satu bahaya dari polarisasi politik yang bertransformasi melalui beragam bentuk yang senantiasa berlawan (antagonis) bagi demokrasi kita ialah munculnya pembelahan politik (political cleavage) yang ekstrem.

 

Pembelahan politik seperti itu bisa menyebabkan pembusukan politik (political decay) bagi demokrasi karena institusi-institusi demokrasi yang penting justru tidak bisa berfungsi sebagai jembatan bagi terwujudnya perbedaan politik dalam ruang demokrasi yang damai dan berkeadaban (civility).

 

Pembelahan politik pada dasarnya hampir tumbuh dalam sebagian besar sistem demokrasi, khususnya bagi negara yang menerapkan sistem multipartai. Pendirian partai-partai politik di sebagian besar negara muncul dan lahir dari konsekuensi logis perbedaan ideologi, representasi dan kepentingan yang berbeda.

 

Perbedaan itu termanifestasikan dalam bentuk organisasi partai politik sebagai wujud perkumpulan para anggota yang memiliki ideologi yang sama untuk membentuk organisasi politik agar bisa terlibat dalam proses politik dan akumulasi kekuasaan.

 

Secara alamiah, pembelahan politik (political cleavage) merupakan dampak dari kehadiran parpol sebagai representasi politik kepentingan warga negara yang berbeda atau tidak sama.

 

Persoalannya bukan pada pembelahan politik sebagai akar sekaligus basis pendirian partai-partai politik di Indonesia pascareformasi. Problem utamanya terletak pada bagaimana transformasi ideologi partai untuk memperoleh kekuasaan dengan mempertentangkan ideologi yang terus-menerus antagonis.

 

Pemilu langsung sebenarnya memberikan ruang bagi tumbuhnya pertentangan ideologis secara sistemik sehingga setiap calon bisa menunjukkan perbedaan ideologis sesuai dengan sifat ideologi yang tecermin dari garis perjuangan (platform) partai.

 

Namun, dalam praktinya, ideologi politik yang dibangun oleh partai cenderung didorong ke arah ideologi yang sifatnya propaganda, berseberangan dan menumbuhkan ”kebencian”.

 

Secara natural dan politik, platform partai harusnya diwujudkan dalam gagasan dan program politik yang membumi. Garis perjuangan partai seperti itu sifatnya umum dan natural dalam berpolitik. Yang perlu disayangkan ialah dalam praktik demokrasi kita, garis perjuangan partai menjadi kabur dan kalah oleh kepentingan kontestasi politik.

 

Kepentingan elektoral lebih menonjol ketimbang kepentingan besar untuk membawa kehidupan politik bangsa ini lebih baik. Politik kita cenderung mengarahkan perjuangan partai secara sempit, kebutuhan jangka pendek sehingga partai politik membangun wacana yang bersumber dari identitas yang terpolitisasi.

 

Politik identitas (political identity) dalam sejarah politik Indonesia dan sejumlah negara yang menerapkan sistem multipartai sebenarnya hal yang biasa. Artinya, demokrasi tetap memberikan ruang bagi orang untuk menentukan pilihan politiknya sesuai dengan kedekatan identitas sosial, budaya, dan politiknya.

 

Persoalan akan muncul manakala politik identitas kemudian dipertentangkan dan dijadikan sebagai sumbu perbedaan dalam membangun politik praktis sebagai basis dukungan politik kontestasi. Ideologi diarahkan secara sempit sebagai manifestasi dari orang kita dan kelompok kita.

 

Ilustrasi sederhananya, orang bisa memiliki jarak sosial dan politik terhadap sebuah partai yang didasarkan pada perbedaan identitas sosial dan politik yang mereka miliki.

 

Menjadi masalah ketika ada unsur pertentangan yang dimaknai secara paksa, bahwa calon yang berbeda agama, basis sosial, politik, kedaerahan, dan perbedaan identitas lainnya tidak diberikan ruang dalam proses demokrasi.

 

Identitas dimaknai sempit semata-mata sebagai basis elektoral (pemilihan) sehingga mendorong sesama anak bangsa bisa saling caci maki, larut dalam politik ”kebencian” yang mengakibatkan terjadinya benturan akibat beda pilihan politik.

 

Menguatnya identitas simbolik

 

Pengembangan wacana identitas politik sebagai basis dalam membangun dukungan bukanlah fenomena satu kelompok. Ada gejala tumbuhnya gagasan simbolik ke dalam kelompok dengan mewacanakan ide dan gagasan yang sepihak dan bertentangan.

 

Segmentasi politik internal menyebabkan ”tertutupnya ruang dialog” dan munculnya kepemimpinan kelompok yang tidak lintas batas. Kontestasi politik juga telah berubah menjadi arena politik pasar dengan hukum dasarnya, permintaan dan penawaran. Ada transaksi yang sifatnya ekonomi, bisa juga transaksi yang sifatnya simbolik, ideologis, bahkan hingga transaksi politik uang dan kekuasaan.

 

Tidak ada proses politik yang tanpa transaksi. Semua itu bermuara pada kebutuhan politik jalan pintas akibat proses regenerasi kepemimpinan alamiah tergantikan oleh kepemimpinan karbitan dengan kuatnya jalur politik keluarga (dinasti) dan personal.

 

Sumber regenerasi kepemimpinan lebih mengedepankan jalur tradisionalis-karismatik-materialistik ketimbang pada jalur regenerasi kaderisasi partai yang terukur dengan basis kemampuan dalam berpolitik.

 

Dominasi jalur tradisionalis-karismatik-materialistik dalam regenerasi kepemimpinan menyebabkan munculnya calon-calon dadakan dan keturunan. Akibatnya, ruang politik kita disesaki oleh pertarungan kepentingan, seperti kepentingan dinasti, kelompok, dan kepentingan ”orang kita”, daripada pertarungan gagasan dalam ruang demokrasi.

 

Sumber kepemimpinan nasional sepertinya didorong oleh model kontestasi keturunan. Publik dipaksa oleh elite dan tidak memiliki pilihan karena elitelah yang berhak menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin, sedangkan pemilih (konstituen) hanya cukup berperan memberikan legitimasi melalui pemilihan.

 

Kepemimpinan politik yang lahir melalui jalur tradisionlis-karismatik-materialistik akhirnya hanyut dalam sejumlah praktik politik anomali. Semua cara digunakan, termasuk membangun dan mengembangkan wacana identitas politik yang dipolitisasi sebagai jalan pintas untuk meningkatkan elektabilitas dan tingkat kemungkinan agar tetap terpilih.

 

Pola demikian bukan saja terjadi pada aras politik di tingkat nasional semata, tetapi telah merambah pada aras politik di tingkat lokal.

 

Reproduksi polarisasi politik dalam wujudnya seperti sekarang sebagian besar akibat kebutuhan politik jalan pintas dan jangka pendek. Polarisasi politik dengan ragam transformasinya menjadi strategi segmentasi politik yang merefleksikan kebutuhan elite dalam membangun imajinasi politik jalan cepat melalui simbol-simbol elektoral yang berbasis identitas, seperti kelompok kita, orang kita, asal agama, asal daerah, dan lain-lain.

 

Transformasi polarisasi politik menjadi pembelahan politik yang ekstrem, seperti antara ”kadrun” versus ”togog” serta pembedaan politik ”orang kita” versus ”kubu musuh”, harus kita sadari sebagai jebakan politik jangka pendek. Secara esensial tidak akan menguntungkan warga negara, tetapi lebih menguntungkan elite politik dalam merebut dan mempertahankan kekuasaannya.

 

Praktik politik demikian pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia sebelumnya yang akhirnya menyeret bangsa ini dalam warisan politik kekerasan yang cukup panjang.

 

Oleh karena itu, polarisasi politik dengan karakternya di atas akan terus menghantui perkembangan demokrasi Indonesia apabila terus-menerus direproduksi dalam praktik dan proses demokrasi elektoral.

 

Apalagi bila pertentangan politik itu menyeret dua simbol besar ideologi politik Indonesia, simbolik ”Islam versus Nasionalis”. Gejala ini semakin kelihatan dan berbagai wujud dari transformasinya terlihat nyata dalam ruang politik, hukum, dan pemerintahan.

 

Semua itu sebenarnya bermula dari percobaan politik kontestasi yang ternyata dampaknya bisa panjang bagi sejarah kita sebagai sebuah bangsa ke depan.

 

Legasi politik kekerasan, politik yang memukul dan bukan merangkul, telah terbukti oleh sejarah politik bangsa mana pun akan menyisakan ”dendam politik” yang bisa mendorong siklus politik kekerasan yang terus berulang.

 

Dalam bahasa sederhana, demokrasi yang bersendikan kekerasan akan menyimpan potensi siklus pertentangan politik yang sulit diakhiri. Oleh karena itu, saat ini demokrasi Indonesia membutuhkan ruang bersama untuk melakukan dialog gagasan untuk membangun kemajuan bangsa ini tanpa paksaan, tanpa ancaman dan tanpa penindasan. ●

 

Jumat, 26 Februari 2021

 

Separatisme Musuh NKRI

 Guntur Soekarno  ;  Pemerhati Sosial

                                                     KOMPAS, 26 Februari 2021

 

 

                                                           

Membaca harian Kompas edisi 23 Januari 2021 mengenai tewasnya dua anggota TNI Angkatan Darat di Papua (dulu di era Bung Karno bernama Irian Barat), yang ditembak anggota kelompok kriminal bersenjata, terus terang membuat saya sedih dan mengelus dada.

 

Akibat penembakan, Prajurit Satu Roy Vebrianto dan Prajurit Satu Dedi Hamdani menjadi korban. Mereka tewas setelah kontak senjata di daerah Titigi, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Jumat (22/1/2021).

 

Sebenarnya apa yang terjadi di Papua sehingga TNI dan masyarakat selalu diganggu terus-menerus oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan membuat stabilitas politik dan keamanan serta kegiatan ekonomi di pulau yang berbentuk kepala burung cenderawasih itu terusik? Saat ini, posisi pemerintah dilematis atau seperti memakan ”buah simalakama”.

 

Jika dilakukan langkah tegas dan keras oleh TNI, pemerintah dituduh melanggar HAM. Sebaliknya, jika ditempuh tindakan lunak dan persuasif, gangguan keamanan akan terus-menerus terjadi. Seperti peristiwa gangguan keamanan yang sudah berkali-kali terjadi dan memakan korban jiwa TNI, Polri, ataupun rakyat Papua selama ini.

 

Kalau saja pemerintah mau belajar dari pengalaman dan sejarah masa lampau, khususnya di era Bung Karno, tentu pemerintah dapat mengambil sikap yang terbaik bagi masyarakat Papua, bahkan NKRI.

 

Apa yang terbaik itu? Sejatinya, KKB bukanlah kelompok kriminal, melainkan separatis yang hendak memisahkan diri dari NKRI. Sebagaimana kita ketahui, NKRI pernah berkali-kali mengalami ”cobaan” dari berbagai kelompok atau kekuatan separatis lainnya di waktu-waktu lampau.

 

Namun, berkat sikap tegas dari pemerintah saat itu, khususnya sikap tegas Bung Karno, seluruh kekuatan separatisme dapat ditumpas. Mulai dari Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perjuangan Semesta (Permesta), Gerakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan lainnya.

 

Kilas balik gerakan separatis

 

Ketika peristiwa RMS yang dipimpin Johan Manusama meledak di Ambon sekitar 1950, pemerintah pusat atas perintah Bung Karno menugaskan Kolonel Kawilarang dan Letkol Ignatius Slamet Riyadi untuk menumpas gerakan separatis tersebut.

 

Kala itu, untuk pertama kalinya operasi penumpasan dilakukan dengan suatu operasi militer terpadu dari tiga matra TNI setelah J Leimena yang ditugaskan Bung Karno gagal berupaya menyelesaikan secara damai pemberontakan RMS.

 

Gugus tugas waktu itu menyertakan kapal-kapal perang RI, seperti jenis landing ship tank (LST) dan Korvet RI Hang Tuah. Korvet RI Hang Tuah bahkan menghujani pantai Ambon dengan tembakan-tembakan meriam utamanya dengan tujuan agar pasukan yang mendarat dapat membuat beach head di pantai. Operasi Amfibi akhirnya berlangsung sukses dan berhasil membebaskan Ambon dari kekuasaan RMS.

 

Presiden RMS Manusama dengan beberapa pengikutnya berhasil melarikan diri ke negeri Belanda dan mendirikan pemerintahan pelarian di sana. Pemerintahan ini ternyata mendapat pengakuan dan dukungan dari pemerintah Kerajaan Belanda.

 

Perjuangan RMS di dalam negeri (Ambon) dilanjutkan oleh Chris Soumokil dengan bergerilya. Namun, Soumokil kemudian dapat ditembak mati oleh pasukan TNI.

 

Keberhasilan TNI harus dibayar mahal dengan gugurnya Ignatius Slamet Riyadi yang saat itu tengah memeriksa kesiapan pasukan dengan mengendarai sebuah Bren Carrier. Nama pahlawan Slamet Riyadi kini diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta.

 

Saat pecah separatisme PRRI yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein dengan dukungan Amerika Serikat, sejumlah politisi dari Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1958, Bung Karno juga bersikap tegas. Tanpa kompromi, Bung Karno mengerahkan TNI untuk langsung menumpasnya.

 

Kolonel Ahmad Yani ditugaskan memimpin melawan pemberontakan di Padang. Adapun Kolonel Kaharudin Nasution diinstruksikan untuk mengamankan Kota Medan dan Sumatera Utara agar tak dimasuki kaum pemberontak. Demikian pula pengamanan di Pangkalan Brandan yang merupakan pusat instalasi minyak Amerika Serikat (Stanvac).

 

Seraya memberantas pemberontakan PRRI, terhadap politisi Masyumi dan PSI yang mendukung pemberontakan itu, Bung Karno meminta pimpinan Masyumi dan PSI agar memecat keanggotaannya.

 

Namun, karena politisi-politisi itu tak kunjung dipecat, Bung Karno langsung membubarkan kedua partai politik tersebut. Ahmad Yani cs akhirnya berhasil sukses menjalankan tugasnya menumpas separatisme PRRI.

 

Tahun yang sama, Letnan Kolonel Ventje Sumual dengan para pendukungnya di Manado, Sulawesi, juga memproklamasikan Permesta. Namun, tak lama dapat segera ditumpas kembali oleh pasukan TNI. Letnan Kolonel Ventje Sumual dan pendukungnya ditangkap dan ditahan sampai akhirnya dibebaskan di zaman Orde Baru.

 

Satu lagi contoh gerakan separatis yang dapat ditumpas karena sikap tegas pemerintah adalah pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Saat itu Bung Karno secara tegas langsung memerintahkan Ahmad Yani yang kala itu menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) untuk segera menumpas gerakan separatis itu.

 

Ahmad Yani, seorang pati TNI AD dan kesayangan Bung Karno, berhasil dengan sukses melaksanakan perintah tegas Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Ketua KOTI). Kahar Muzakar beberapa bulan kemudian ditembak mati pasukan Ahmad Yani.

 

Gerakan separatis di Papua

 

Masalah KKB, atau dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM), sejak Indonesia memperjuangkan pembebasan Irian Barat tahun 1950-an sebenarnya sudah ada. Cikal bakal OPM waktu itu diinisiasi oleh Belanda untuk melanggengkan penjajahan atas Irian Barat.

 

Nama Irian Barat berubah menjadi Papua karena kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pada 31 Desember 1999 berkunjung ke Papua.

 

Gus Dur, sebagaimana diberitakan media massa, antara lain menerima tuntutan kaum separatis yang berargumentasi ingin mengubah nama Irian menjadi Papua. Alasannya, nama Irian kepanjangan dari ”Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. Tentu ini sebuah argumentasi yang sangat aneh dan lemah dari sisi sebuah kebijakan negara.

 

Seperti diketahui, nama Irian adalah nama yang diusulkan oleh seorang pejuang pembebasan Irian Barat, Frans Kaisiepo, kepada Bung Karno.

 

Menurut Frans waktu itu, Irian berasal dari bahasa salah satu suku di Papua yang berarti ’Sinar yang menghalau kabut’, sedangkan arti Papua adalah ’daerah hitam tempat perbudakan’.

 

Ironisnya, Gus Dur waktu itu justru menyetujui hasil Kongres Rakyat Papua awal Juni 2000 yang hendak mengambil keputusan menuntut pemisahan diri dari NKRI meskipun saat Sidang Tahunan MPR 2000 secara tegas oleh Presiden Gus Dur diutarakan bahwa pemisahan diri dari NKRI akan ditindak tegas.

 

Tindakan tegas yang akan diambil sesuai semangat Pidato Kenegaraan Bung Karno 17 Agustus 1950 yang menyatakan soal Irian Barat adalah soal penjajahan atau tidak penjajahan, soal penjajahan atau kemerdekaan. Waktu itu, Bung Karno menyatakan, ”Kita menghendaki seluruh Tanah Air kita merdeka, seluruh tumpah darah kita, dari Sabang sampai Merauke zonder kecuali.”

 

Otsus dan kesejahteraan

 

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa gerakan separatis di NKRI haruslah ditumpas secara tegas bila perlu dengan kekuatan bersenjata (militer), dan tak hanya dengan jalan diplomatis persuasif atau dialog. Apalagi kalau jalan damai tak berhasil dilakukan.

 

Lalu, bagaimana dengan masalah HAM di Irian Barat? Hal ini sebenarnya sudah terjawab dari penjelasan Menteri Luar Negeri Indonesia Dr Subandrio kepada delegasi Belanda yang dipimpin oleh Van Royen saat perundingan 25 Juli 1962.

 

Terkait pelaksanaan hak asasi rakyat (HAM) Irian Barat, hal itu dapat dipelajari sebagaimana tercantum dalam rancangan diplomat AS, Ellsworth Bunker, yang menjadi penengah dalam perundingan RI-Belanda menyelesaikan Irian Barat dan dikenal dengan ”Bunker Plan”.

 

Dalam naskah Bunker Plan, di antaranya hak-hak rakyat Irian Barat sejak awal diakui oleh Pemerintah Indonesia untuk menentukan pendapatnya sendiri untuk memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia atau Belanda.

 

Dan, rakyat Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) akhirnya memilih menjadi bagian dari NKRI. Artinya, sejak awal, hak-hak rakyat Irian Barat sudah dihormati oleh pemerintah.

 

Karena itu, jika pemerintah waktu itu dianggap melanggar HAM rakyat Papua dan Papua Barat, bagi saya tentu hal itu adalah sebuah penghinaan terhadap Indonesia dan harus ditolak!

 

Pemerintah sejak 2001 hingga kini sudah memberikan otonomi khusus (otsus) bagi rakyat Papua dan Papua Barat dengan dana yang sangat besar dari APBN untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan, kesehatan, serta pendidikan rakyat Papua yang dikelolanya sendiri oleh pemerintah daerah.

 

Bahwa ada ekses-ekses dugaan korupsi dalam pelaksanaan otsus di Papua dan Papua Barat, dan dugaan pelanggaran HAM dari aparat keamanan dalam upaya penegakan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban, tentu hal itu harus tetap ditindak tegas dan dihukum serta diperbaiki oleh pemerintah pusat dan daerah, TNI, dan rakyat Papua sendiri.

 

Namun, apa pun namanya, berbagai upaya dan bentuk rongrongan, gangguan keamanan dalam cakupan besar atau kecil untuk memisahkan diri dari NKRI oleh kelompok apa pun di Papua dan Papua Barat, pemerintah harus berani bertindak tegas dan tanpa kompromi. TNI sebagai pengawal NKRI pun harus tetap terus berada di garda depan di Papua dan Papua Barat. ●