Tegar Memerangi Kejahatan Narkoba
Bambang Soesatyo ;
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
|
KORAN SINDO, 27
Mei 2016
Dua gelombang
pelaksanaan eksekusi para terpidana mati kasus narkoba belum menumbuhkan efek
jera. Intensitas penyelundupan narkotika dan obat-obatan (narkoba) terlarang
tetap tinggi.
Kecenderungan itu
menjadi ujian sekaligus tantangan bagi Indonesia. Pemerintah harus tetap
tegar memberi sanksi maksimal bagi siapa saja yang terlibat dalam produksi,
perdagangan, dan peredaran narkoba. Dalam dua gelombang eksekusi terhadap
terpidana mati kasus narkoba sudah belasan penjahat narkoba yang mengakhiri
hidupnya di hadapan regu tembak.
Eksekusi gelombang I
dilakukan terhadap enam terpidana mati di Nusakambangan dan Boyolali pada 18
Januari 2015. Eksekusi gelombang II pada 29 April 2015 dilakukan terhadap
delapan terpidana mati. Dua tindakan pemerintah itu dimaksudkan sebagai pesan
untuk menumbuhkan efek jera. Rupanya, dua gelombang eksekusi itu belum cukup
efektif.
Penyelundupan,
perdagangan, dan peredaran narkoba di Indonesia tetap marak. Tingginya
intensitas kejahatan terkait narkoba itu menjadi ujian sekaligus tantangan.
Tantangannya tetaplah sama, mereduksi penyelundupan, perdagangan dan
penggunaan narkoba di kalangan generasi muda.
Tetapi, pada saat yang
sama, nyali Indonesia juga diuji; beranikah meneruskan hukuman mati terhadap
terpidana kasus narkoba di tengah kuatnya arus penentangan terhadap
pelaksanaan hukuman mati? Tingginya intensitas penyelundupan dan perdagangan
narkoba dikendalikan oleh sindikat internasional dari sejumlah negara.
Logikanya, setelah dua
gelombang eksekusi mati di Indonesia, sindikat-sindikat internasional itu
akan menurunkan intensitas penyelundupan maupun perdagangan narkoba. Ternyata
pesan dari dua gelombang eksekusi mati itu tidak dipedulikan. Semua sindikat
tetap mengerahkan anggota jaringannya untuk mengguyur ”pasar” Indonesia
dengan barang haram itu.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), badan di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
yang menangani kejahatan narkoba, punya catatan khusus tentang Indonesia.
Catatan itu menyebutkan bahwa telah menjadi salah satu jalur utama dalam
perdagangan obat bius.
Banyak obat bius
diperdagangkan dan diselundupkan oleh sindikat internasional yang
terorganisasi karena permintaannya memang cukup tinggi sehingga Indonesia
menjadi pasar narkoba yang besar. Menurut perkiraan Badan Narkotika Nasional
(BNN), ada sekitar 5,6 juta pengguna narkoba. Para pengguna belakangan
memilih bahan-bahan methamphetamine, yang populer dengan sebutan ”sabu-sabu”.
Selain diproduksi
langsung dalam jumlah besar di Indonesia, banyak juga methamphetamine yang
didatangkan dari China, Filipina, dan Iran. Pintu masuk utama ke Indonesia
adalah pelabuhan di Jakarta, Batam, Surabaya, dan Denpasar. Sedangkan
Crystalline Methamphetamine masuk dari Malaysia dan diselundupkan ke Aceh,
Medan, dan daerah lain di Sumatra.
Masih menurut UNODC,
sejumlah sindikat narkoba internasional itu bekerja sangat rapi dan
beroperasi dari beberapa negara. Sindikat itu memanfaatkan pengawasan
perbatasan yang lemah karena banyak kapal yang bisa ber-operasi melewati
wilayah laut Indonesia tanpa pengawasan atau lolos dari pemeriksaan pihak
berwenang.
Kalau pendekatan
ekstrakeras dengan hukuman mati saja tidak membuat para pelaku penyelundupan
narkoba jera, tidak ada jaminan bahwa pendekatan lunak berupa hukuman penjara
akan bisa menurunkan intensitas penyelundupan narkoba. Kecenderungan
sebaliknya bahkan yang akan terjadi, yakni semakin maraknya produksi,
penyelundupan, dan peredaran narkoba di di dalam negeri.
Kalau kecenderungan
seperti itu yang dibiarkan terjadi, artinya negara menghadirkan ancaman
teramat serius bagi generasi muda Indonesia, termasuk anak-anak di seluruh
penjuru Tanah Air. Bisa dipastikan bahwa tidak ada orang tua atau keluarga
Indonesia yang rela anakanak mereka selalu dihantui oleh kehadiran para
pengedar narkoba di sekitar mereka.
Maka, respons
ekstrakeras dari negara terhadap terpidana narkoba harus dipertahankan,
dilanjutkan, dan dilaksanakan tanpa ragu. Demi generasi muda dan anak-anak
bangsa ini, pemerintah harus tegar dalam melaksanakan hukuman mati terhadap
terpidana mati kasus narkoba. Hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba di
Indonesia memang tidak membuat jera para gembong atau pimpinan sindikat
narkoba.
Tetapi cepat atau
lambat, konsistensi pemerintah menghukum mati para penjahat narkoba akan
menumbuhkan efek jera terhadap orangorang yang berstatus sebagai penadah,
kurir, atau pengedar. Jika Indonesia bisa mengeliminasi atau mengurangi
jumlah penadah, kurir, dan pengedar, jumlah pengguna narkoba akan menurun
dengan sendirinya. Jadi, ketegaran pemerintah menerapkan hukuman mati bagi
terpidana narkoba harus dipahami sebagai strategi menciptakan kelangkaan
produk-produk haram itu di semua pelosok negeri.
Perang Total
Hari-hari ini
gelombang III eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba sedang
berproses. Pelaksanaan gelombang III dirasakan cukup lama karena pelaksanaan
eksekusi gelombang II sudah lebih satu tahun. Jaksa Agung memang belum
menetapkan jadwal waktu pelaksanaan eksekusi gelombang III. Namun,
diperkirakan bahwa eksekusi akan dilaksanakan beberapa pekan setelah Lebaran
tahun ini.
Namun, publik sudah
mendapatkan gambaran ketika Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah mengumumkan
sejumlah nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi. Polda Jateng
memastikan ada 15 gembong narkoba yang akan dieksekusi mati di Pulau
Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Dari 15 para terpidana
narkoba itu, tercatat 10 orang warga negara asing (WNA) dan lima orang WNI.
Persiapan eksekusi mati tahap III sedang berproses. Misalnya, sudah disiapkan
17 mobil ambulans pembawa jenazah keluar dari Pulau Nusakambangan. Juga
dipersiapkan belasan peti mati yang dipesan oleh Polres Cilacap.
Juga dilaporkan, bahwa
hampir setiap hari anggota Brimob Subden 3 Pelopor Purwokerto terus melatih
keterampilan menembak di lapangan tembak Brimob Purwokerto. Bukan berlatih
pada siang hari, melainkan latihan menembak pada malam hari tepat pukul 00.00
WIB.
Bersamaan dengan
proses persiapan itu, beberapa kelompok masyarakat berusaha menentang dan
membatalkan pelaksanaan hukuman mati. Mereka memberi sejumlah argumen dalam
konteks penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Argumentasi mereka
memang tidak salah. Tetapi, negara dan rakyat punya prioritas yang juga tidak
kalah pentingnya, yakni melindungi generasi muda dan anak-anak Indonesia dari
kebrutalan sindikat narkoba internasional dan lokal.
Generasi muda dan anak-anak
Indonesia punya hak asasi untuk mendapatkan perlindungan maksimal dari
negaranya. Kalau orang-orang asing diketahui bertindak mengancam dan ingin
menghancurkan masa depan generasi muda dan anakanak Indonesia, negara cq
pemerintah, tidak boleh berdiam diri atau bersikap lembek terhadap ancaman
itu.
Kalau penjahat narkoba
tidak respek terhadap pendekatan lunak berupa hukuman penjara, hukuman mati
menjadi opsi yang tak terhindarkan agar mereka tidak membunuh masa depan
generasi muda dan anak-anak Indonesia. Maka itu, menuju pelaksanaan gelombang
III eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba, pemerintah harus tegar.
Jangan goyah oleh
tekanan asing, apalagi suara-suara dari sekelompok orang yang berbicara atas
nama lembaga swadaya masyarakat. Sikap tegar itu diperlukan agar secara
bertahap bisa menumbuhkan efek jera.
Presiden sudah
menyatakan perang total terhadap kejahatan narkoba. Keberanian melaksanakan
hukuman mati terhadap penjahat narkoba adalah bagian dari perang total itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar