Mengerek (Turun) Inflasi Ramadan
Dedi Purwana ES ;
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
24 Mei 2016
PERHELATAN ritual
tahunan masyarakat muslim sesaat lagi digelar. Ritual tersebut berupa
Ramadan, mudik, dan Lebaran. Kehebohan konsumen mulai terasa entah di pasar
tradisional maupun pasar modern. Seolah tradisi rutin, konsumen dan produsen
memanfaatkan periode ini untuk saling mengejar motif. Konsumen tentu memiliki
motif pemenuhan kebutuhan meski kadang tidak rasional. Saat yang sama,
produsen pun berlomba mengeruk profit semaksimal mungkin.
Momentum tahunan
seperti ini mendorong meningkatnya pola konsumsi masyarakat. Pangan dan
sandang menjadi komoditas terpopuler pada saat Ramadan dan hari raya Idul
Fitri. Inflasi terdongkrak akibat konsumsi kebutuhan pokok meningkat tajam.
Kesederhanaan sebagai hikmah Ramadan tidak berbanding lurus dengan perilaku belanja,
khususnya di masyarakat perkotaan. Di sinilah hukum ekonomi berlaku. Manakala
permintaan pangan tinggi, tentu harga akan terkerek naik, bahkan cenderung
tak terkendali.
Semestinya, Ramadan
ialah bulan pengendalian diri, termasuk pengendalian konsumsi. Namun, fakta
membuktikan sebaliknya. Pertemuan momentum religi dengan tradisi budaya
menjadikan Ramadan hajatan nasional. Gairah 'perayaan' menumbuhkan potensi
pasar. Permintaan barang dan jasa meningkat pesat. Uang beredar lebih banyak
dan cepat. Imbasnya, nilai riil uang merosot. Harga mayoritas barang dan jasa
melonjak. Inflasi tak terhindari.
Tak mengherankan bila
Presiden Jokowi bertekad menjungkirbalikkan harga pangan serendah mungkin
Lebaran tahun ini. Orang nomor satu di Indonesia ini, misalnya menginginkan
harga daging sapi di bawah Rp80 ribu rupiah per kilogram. Tentu ini pekerjaan
rumah sulit bagi kementerian terkait. Menurunkan harga pangan pada saat
Lebaran bukanlah persoalan mudah. Dalam catatan statistik lima tahun terakhir
(2011-2015), inflasi musiman tersebut menunjukkan kecenderungan tidak pernah
turun. Jika dirata-ratakan mendekati 1,28%. Pertanyaannya, apakah mungkin
harga pangan Lebaran tahun ini turun?
Pemicu harga naik
Dalam kamus ilmu
ekonomi, inflasi musiman seperti Ramadan dan Lebaran disebut demand pull inflation, yaitu jenis
inflasi yang disebabkan oleh peningkatan permintaan dalam waktu tertentu
tanpa disertai peningkatan penawaran yang memadai. Ini dimaklumi karena
permintaan barang dan jasa meningkat sejak menjelang Ramadan hingga Lebaran.
Peningkatan permintaan didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat
sebagai bagian dari semangat perayaan.
Ritual mudik tahunan
begitu gegap gempita melebihkan perayaan 17 Agustus. Barangkali hanya di
Indonesia hari raya Idul Fitri dimaknai dengan tradisi budaya ini. Mudik pun
tidak lepas dari peningkatan pengeluaran. Belanja pakaian, makanan,
kendaraan, bahkan alat komunikasi merupakan komponen biaya mudik. Mudik dimaknai
sebagai gaya hidup. Bagi perantau, inilah kesempatan membuktikan kesuksesan
finansial kepada keluarga dan kerabat di kampung halaman meski kadang untuk
alasan ini, orang rela terjebak jeratan utang.
Di luar itu, inflasi
Ramadan disebabkan peningkatan jumlah uang beredar di masyarakat. Peraturan
perundangan yang mewajibkan perusahaan memberikan THR dan aliran uang masuk
dari tenaga kerja di luar negeri menyebabkan jumlah uang yang beredar
meningkat. Belum lagi ditambah rencana pemerintah untuk membayarkan gaji
ke-13 dan ke-14 bagi PNS bersamaan menjelang Lebaran. Banyaknya uang beredar
mengakibatkan nilai riil uang menjadi turun.
Kendalikan inflasi
Inflasi musiman
sepanjang Ramadan disusul Lebaran hampir tak mungkin dihindari. Fakta ini
membuat sulit untuk mematok harga pangan turun sesuai keinginan Presiden
Jokowi. Kendati tidak mudah, beberapa solusi berikut kiranya patut menjadi
perhatian.
Pertama, benahi jalur
transportasi logistik. Saat musim mudik tiba, transportasi logistik
antardaerah pasti terganggu. Antrean panjang truk pengangkut logistik di
pelabuhan ialah bukti bahwa persoalan ini tidak pernah terselesaikan. Pasokan
pangan ke daerah menjadi terhambat. Akibatnya harga pangan meningkat. Untuk
itu, pemerintah harus segera memperbaiki manajemen transportasi darat, udara,
dan laut.
Kedua, pengamanan
persediaan pangan dan BBM. Bulog seyogianya aktif mengamankan persediaan
pangan jauh sebelum puasa Ramadan. Operasi pasar semestinya diintensifkan
selama masa Ramadan. Operasi pasar diharapkan mampu menekan volatilitas harga
pangan. Bila pasokan pangan berlimpah tentu harga akan terkerek turun. Harga
pangan tentu dipengaruhi biaya transportasi. Pengendalian persediaan BBM
selama Ramadan hingga Lebaran harus dipastikan aman. Kebutuhan minyak hitam
meningkat drastis pada musim ini. Kelangkaan BBM tentu akan mendongkrak
harga.
Ketiga, meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pola konsumsi. Konsumsi berlebih bukanlah
perilaku bijak. Masyarakat harus disadarkan tentang pola hidup hemat. Euforia
merayakan Lebaran tidak harus dibarengi dengan pola konsumtif. Bukankah
setelah masa ritual ini masyarakat harus tetap menjaga keseimbangan finansial
mereka? Jangan sampai mampu belanja berlebih saat Ramadan, tetapi menghadapi
persoalan finansial setelahnya. Belanjalah sesuai kebutuhan bukan atas dasar
keinginan atau gengsi.
Keempat, membenahi
manajemen arus mudik. Kemacetan yang melelahkan kala mudik membuat boros
bahan bakar. Waktu, tenaga, dan pikiran terkuras habis pada kondisi tersebut.
Taruhannya ialah kecelakaan dalam perjalanan. Pemerintah tentu tidak bisa
melarang warganya mudik. Ini tradisi tahunan. Yang bisa dilakukan ialah
membenahi pengelolaan jalur mudik. Pemerintah berkewajiban menghadirkan rasa
aman, nyaman, sekaligus murah saat arus mudik dan arus balik berlangsung.
Tentu dengan tidak mengabaikan kelancaran arus transportasi logistik.
Kelima, sinergitas
pengampu kepentingan. Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan pemerintah daerah harus
bersinergi agar inflasi musiman terkendali dengan baik. Sinkronisasi program antarinstansi
menjadi kunci. Ego sektoral harus dipangkas. Puasa khusyuk, mudik lancar
dengan harga terjangkau, tentu harapan masyarakat.
Pada akhirnya,
instruksi menurunkan harga pangan saat ritual tahunan ini dapat dilaksanakan
dengan baik manakala seluruh komponen bangsa terlibat. Saatnya membuktikan
apakah inflasi saat Ramadan dan hari kemenangan dapat dikerek turun sesuai
keinginan Presiden Jokowi dan masyarakat. Ini merupakan pecut bagi para
menteri terkait agar terus bekerja merealisasikannya. Semoga saja mereka
mampu membuktikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar