Senin, 30 Desember 2019

Kompleksitas Tanah Negara

PERTANAHAN
Kompleksitas Tanah Negara

Oleh :  MARIA SW SUMARDJONO

KOMPAS, 27 Desember 2019


Konstruksi hukum tanah negara menjadi penting dalam kaitannya dengan penentuan kapan terjadi dan hapusnya suatu hak atas tanah. Penafsiran yang tidak tepat dapat membawa konsekuensi hukum.

Mengawal Moderasi Beragama

KEBEBASAN BERAGAMA
Mengawal Moderasi Beragama

Oleh :  MASDAR HILMY

KOMPAS, 27 Desember 2019


Salah satu warisan (legacy) Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama RI (2014-2019) adalah pemihakan yang cukup kuat terhadap moderasi beragama. Di hampir setiap pidatonya, dia selalu menyelipkan pesan moderasi beragama.

Nostalgia Rumah Bahagia

ANALISIS POLITIK
Nostalgia Rumah Bahagia

Oleh :  YUDI LATIF

KOMPAS, 26 Desember 2019



Setiap Natal tiba, tahun baru menjemput, ada kerinduan pulang ke “rumah” (home). Itu bukan kecengengan sentimental, tetapi panggilan eksistensial. Makhluk hidup memang mengidap sejenis penyakit yang tak bisa disembuhkan kecuali bisa kembali ke “rumah” asal atau menemukan rumah baru, tempat harapan masa depan bisa menetas dan berkembang. Itulah nostalgia (dari kata Yunani nostos=rindu rumah dan algos=sakit), yang berarti homesickness.

Difabel dan Benar Berpolitik

DISABILITAS
Difabel dan Benar Berpolitik

Oleh :  MUHAMMAD KHAMBALI

KOMPAS, 26 Desember 2019


Tahun ini, peringatan Hari Disabilitas Internasional bertema “Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul”.

Tema tersebut tidak jauh berbeda dari tahun lalu, “Indonesia Inklusi dan Ramah Disabilitas”, hanya mengganti kata “ramah” menjadi “unggul”.

Menghindari Perlambatan Ekonomi

PEMBANGUNAN EKONOMI
Menghindari Perlambatan Ekonomi

Oleh :  A PRASETYANTOKO

KOMPAS, 26 Desember 2019


Beberapa bulan lalu, Larry Summer, mantan menteri keuangan AS, menyebut tahun ini sebagai tahun paling berbahaya di sektor keuangan setelah krisis 2008. Komentar ini muncul di tengah kekuatiran terjadinya resesi global di 2020.

Faust Ragu di 2019

Faust Ragu di 2019

Oleh :  RADHAR PANCA DAHANA

KOMPAS, 24 Desember 2019 06:05 WIB


Dari terbitnya fajar hingga berlalunya hari-hari awal 2019, kecuali dalam ilmu dan teknologi, tidak ada peristiwa penting —apalagi yang tergolong menyenangkan—di negeri ini maupun internasional, yang perlu dicatat secara khusus.

Dilema Infrastruktur

ANALISIS EKONOMI
Dilema Infrastruktur

Oleh :  A PRASETYANTOKO

KOMPAS, 24 Desember 2019


Beberapa berita berikut ini bisa menggambarkan kaitan pembangunan infrastruktur dengan perilaku masyarakat, sekaligus konteksnya dalam ekonomi makro.

Kesatuan Vs Persatuan

BAHASA
Kesatuan Vs Persatuan

Oleh :  SAMSUDIN BERLIAN

KOMPAS, 24 Desember 2019


Paduan suara. Harmoni. Itulah persatuan. Nada tinggi dan rendah. Not penuh dan setengah. Ritme reguler dan sinkopasi. Pada saat yang sama tiap suara menyanyikan bunyi berbeda-beda. Persatuan adalah nasi campur. Di sini ada tempe di situ ada tahu di kanan ada ikan di kiri ada perkedel di pinggir ada bayam di tengah ada kacang panjang. Semua pamer diri dengan gagah di satu piring. Segigit ini dan sekunyah itu, sensasi rasa yang khas dan berbeda memanja penikmat dari satu suap ke suap lain.

Menyoal Arsip di Era Digital

ARSIP DIGITAL
Menyoal Arsip di Era Digital

Oleh :  DYAH SAFITRI

KOMPAS, 24 Desember 2019


Era Revolusi Industri 4.0 memberi dampak luas bagi pengelolaan organisasi, termasuk pemerintahan. Ketika Kompas.com menurunkan artikel tentang langkah Kementerian BUMN yang akan mencoret anggaran pembangunan gedung arsip dan digantikan anggarannya untuk peremajaan gedung dan pembangunan creative workspace, sebagian masyarakat bertanya-tanya apakah arsip tak lagi penting bagi sebuah organisasi.

Minggu, 29 Desember 2019

Sejarah Tuhan Kisah Manusia

RENUNGAN NATAL
Sejarah Tuhan Kisah Manusia

Oleh :  HARYATMOKO

KOMPAS, 24 Desember 2019


Karl Kohlhase, dalam lagu ”Glory to God in the Highest”, melukiskan kelahiran Yesus (Isa Almasih) dengan ungkapan ”Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai di bumi bagi umat-Nya”. Lirik itu fasih memaknai kelahiran Yesus: Tuhan mewahyukan diri mencipta damai di Bumi rinduan umat-Nya.

Catatan Penegakan Hukum 2019

Catatan Penegakan Hukum 2019

Oleh  :   EDDY OS HIARIEJ

KOMPAS, 23 Desember 2019


“Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. Demikian Imannuel Kant lebih dari 150 tahun yang lalu.

Terjemahan bebasnya: “masih saja para ahli hukum mencari definisi mengenai pengertian hukum”. Bahkan menurut Hart, meski para ahli hukum mengetahui apa itu hukum, ada banyak hal tentang hukum dan hubungannya dengan hal-hal lain yang tak mampu didefinisikan dan dijelaskan. Hukum mengatur seluruh bidang kehidupan. Hukum mengatur seseorang sejak masih di dalam kandungan sampai masuk ke dalam liang lahat. Hukum bersifat abadi dan mengikat setiap orang, baik sebagai individu, masyarakat maupun bangsa.

Hukuman Mati dan Efek Jera untuk Koruptor

Hukuman Mati dan Efek Jera untuk Koruptor

Oleh :  EMERSON YUNTHO

KOMPAS, 23 Desember 2019


Wacana hukuman mati untuk koruptor kembali muncul saat Presiden Jokowi menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMK 57 Jakarta, 9 Desember lalu. Presiden menyatakan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika itu jadi kehendak rakyat.

NATAL

NATAL

Oleh :  SAMUEL MULIA

KOMPAS, 22 Desember 2019


Sekian tahun lamanya saya terhanyut dengan semua itu dan baru tahun ini saya merasa terlalu lebay menyambutnya. Saya mendengar lagu Natal berjudul ”The Most Wonderful Time of The Year”, kemudian ada kalimat yang pernah saya baca it is the season to care. Semuanya membuat saya jadi baperan.

Negara yang Bukan-bukan

Negara yang Bukan-bukan

Oleh :  ALISSA WAHID

KOMPAS, 22 Desember 2019


Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler, maka paling tepat Indonesia disebut sebagai negara yang bukan-bukan. Demikian salah satu pandangan jenaka Gus Dur yang membawa sebuah muatan kritis yang sangat fundamental: betapa tidak mudahnya menjaga keseimbangan antara prinsip demokratik dalam sebuah negara yang tidak berasaskan agama, tetapi di sisi lain sangat kuat kehidupan keberagamaannya. Tergelincir ke satu sisi akan membawa ketegangan yang luar biasa karena sisi diametralnya akan meregang dan meradang.

Tantangan dan Harapan Penegakan Hukum Korupsi 2020

PEMBERANTASAN KORUPSI
Tantangan dan Harapan Penegakan Hukum Korupsi 2020

Oleh :  AMIR SYAMSUDIN

KOMPAS, 21 Desember 2019


Puncak peringatan Hari Antikorupsi Dunia (Hakordia) digelar pada tanggal 9 Desember 2019, dihadiri oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Sementara Presiden Jokowi sendiri memilih untuk hadir di acara ”Prestasi Tanpa Korupsi” yang digelar SMKN 57 Jakarta.

Menjaga Pilkada Langsung

PILKADA LANGSUNG
Menjaga Pilkada Langsung

Oleh :  SAIDIMAN AHMAD

KOMPAS, 21 Desember 2019


Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan pentingnya evaluasi atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada).  Pilkada yang dijalankan selama ini dinilai berpotensi mendatangkan konflik akibat polarisasi.

Belajar dari Pengalaman Negatif

PSIKOLOGI
Belajar dari Pengalaman Negatif

Oleh :  KRISTI POERWANDARI

KOMPAS, 21 Desember 2019 03:47 WIB


Menjelang tutup tahun 2019, marilah kita renungkan apa saja yang telah terjadi dan telah kita lakukan dalam satu tahun terakhir. Menarik bahwa ternyata kita jauh lebih banyak belajar mengenai diri sendiri, orang lain, dan kehidupan, dari kesulitan-kesulitan yang kita alami, bukan dari keberhasilan.

Pengalaman titik balik memiliki sisi obyektif dan subyektifnya. Komponen obyektifnya menyangkut adanya perubahan yang memerlukan adaptasi atau perubahan. Sementara itu, sisi subyektifnya adalah pada bagaimana kita menghayati dan merespons perubahan yang terjadi. Kesulitan hidup atau pengalaman psikologis yang menjadi titik balik dapat tampil dalam berbagai bentuk, seperti kematian pasangan hidup, kehilangan pekerjaan dan karier, mengalami sakit serius, atau hal lain.


Dalam ”Turning Points as Opportunities for Psychological Growth”, Elaine Wethington (2003) melaporkan penelitian dengan data survei dari 3.032 partisipan di Amerika Serikat. Penelitian juga menyediakan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara telepon pada responden yang dipilih acak dari partisipan survei.

Aspek jender

Dari laporan responden penelitian, keberhasilan sedikit saja menyumbang terhadap pembelajaran diri. Keberhasilan tidak memberikan pembelajaran apa-apa mengenai hal yang mengecewakan dan harus diperbaiki dari diri sendiri (0 persen) dan hanya sekitar 2 persen hingga 5 persen mengaku belajar tentang hal positif dari diri dari pengalaman keberhasilan.

Partisipan yang berusia 25-54 tahun melaporkan lebih banyak temuan pembelajaran mengenai diri daripada kelompok usia lain. Perempuan secara umum melaporkan lebih banyak pengalaman titik balik, sekaligus menemukan kesadaran mengenai hal-hal yang mengecewakan dari diri sendiri maupun hal-hal positif tentang diri yang tidak disadari sebelumnya.

Aspek jender lain juga cukup terlihat. Misalnya, melalui keterlibatan pada pengasuhan dan hubungan antargenerasi, laki-laki merasa jauh lebih banyak belajar mengenai sisi-sisi positif diri (19 persen) dibandingkan perempuan (9 persen). Ini tampaknya karena peran mengasuh dan merawat sudah menjadi peran yang ditekankan pada perempuan, sementara pada laki-
laki, hal tersebut adalah hal baru dan ternyata dirasakan sangat rewarding.

Laki-laki juga jauh lebih menemukan sisi-sisi mengecewakan dari diri terkait kerja dan karier dibandingkan perempuan (22 persen laki-laki dibandingkan 8 persen perempuan). Ini menjelaskan soal tuntutan dan stres peran jender tradisional laki-laki untuk lebih mengutamakan kerja dan karier. Terkait itu, meski semua hanya sedikit saja merasa belajar dari keberhasilan, masih lebih banyak laki-laki yang merasakan pembelajaran dari keberhasilan daripada perempuan (4,6 persen laki-laki dan 2,4 persen perempuan).

Menarik bahwa dari masalah perkawinan dan relasi seksual yang dialami, ada data yang njomplang antara perempuan dan laki-laki, yakni jauh lebih sedikit laki-laki yang merasa belajar mengenai sisi-sisi diri yang harus diperbaiki maupun sisi diri yang sudah positif (8,5 dan 2,3 persen), dibandingkan perempuan (17,6 persen dan 15,8 persen).

Tidak jelas bagaimana kita dapat memaknai temuan ini: apakah karena perempuan, seperti kita yakini selama ini, menempatkan persoalan perkawinan dan relasi sebagai hal yang sangat penting dan karena itu sangat memengaruhi dalam hidup?

Kesulitan dan pengalaman negatif

Ketika kita menyadari adanya hal-hal negatif atau mengecewakan tentang diri, yang umumnya dirasakan adalah perasaan gagal, atau menurunnya penilaian terhadap diri sendiri. Untunglah bahwa pada umumnya kita justru lebih banyak belajar dari kesulitan sehingga kekecewaan pada diri itu juga dikompensasi oleh munculnya kesadaran-kesadaran baru yang positif.

Kesadaran baru yang muncul adalah tentang adanya ”pertumbuhan psikologis” yang dapat terjadi karena pengalaman kesulitan hidup, serta tentang kekuatan diri untuk mampu mengatasi masalah. Kita juga sekaligus mempelajari mengenai bagaimana dapat menghindari persoalan yang sama di masa-masa selanjutnya.

Terkait hal itu, adanya sejarah pernah mengalami depresi umumnya juga akan kita catat sebagai salah satu peristiwa titik balik. Ini karena depresi adalah suatu keadaan atau pengalaman sangat sulit, yang menuntut kita untuk menemukan strategi pengelolaan diri untuk dapat mengatasinya.

Mayoritas responden melaporkan pembelajaran positif dari peristiwa tidak menyenangkan yang dialami ataupun dari kesadaran baru mengenai hal-hal mengecewakan dari diri. Beberapa hal yang disampaikan antara lain kesadaran akan lebih pentingnya berpikir mengenai perubahan positif untuk jangka panjang, kemampuan untuk keluar dari situasi atau dari komitmen yang dirasakan kurang positif. Juga belajar menemukan hal lebih penting dalam hidup, mampu menguasai diri dan atau situasi sulit.

Responden juga menyebutkan makin meningkatnya kepercayaan diri, kemampuan menghadapi tekanan, hingga dialaminya pembaruan spiritualitas. Ada kesadaran baru mengenai nilai-nilai hidup, misalnya ”uang itu bukan segala-galanya”, ”ada yang lebih penting dalam hidup daripada yang kemarin saya kejar-kejar”, ”hubunganku dengan ibuku di masa lalu kurang baik, tetapi sekarang saya sungguh menyadari kasih sayang ibuku dan aku sangat bersyukur dapat merawatnya di akhir hidupnya”. Hampir semua menyampaikan bahwa kesulitan hidup menyebabkan ”kita menjadi lebih kuat”.

Seperti telah disampaikan, kita lebih banyak belajar dari kesulitan hidup, yang akan menghadirkan pengetahuan baru mengenai diri sendiri dan kehidupan, mengajari kita mengenai bagaimana mengelola situasi, dan menumbuhkan nilai-nilai hidup baru yang perlu lebih diprioritaskan.


Oleh karena itu, jika ada hal-hal buruk atau kesulitan yang kita alami di tahun ini, tidak apa-apa. Kita belajar agar ke depan kita menjadi lebih baik lagi. Selamat hari Natal bagi pembaca yang merayakannya, dan selamat tahun baru untuk kita semua. ***

Pendidikan dan PISA

UJIAN NASIONAL
Pendidikan dan PISA

Oleh :  M JUSUF KALLA

KOMPAS, 20 Desember 2019


”Sejak berpartisipasi dalam PISA tahun 2000, pendidikan sains di Indonesia telah mengalami transformasi yang luar biasa untuk mencapai kemakmuran dalam pembangunan yang berkelanjutan,” demikian laporan hasil asesmen dari ”Country Note Indonesia Result PISA 2015”.

Sabtu, 28 Desember 2019

Beban Kebudayaan di Bahu Nadiem

PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
Beban Kebudayaan di Bahu Nadiem

Oleh :  HARYADI BASKORO

KOMPAS, 20 Desember 2019


Nadiem Makarim diharapkan bukan hanya memajukan pendidikan, melainkan juga kebudayaan Indonesia.

Wacana dan upaya pembaruan pendidikan selalu menyeruak setiap kali muncul menteri baru. Kurikulum 2013, misalnya, diklaim banyak pihak merupakan inovasi pendidikan yang mampu mencetak anak didik siap pakai, scientific base yang lahirkan generasi positivis dan fungsionalis, active learning yang melahirkan generasi teknologis-informatif (Naufil Istikhari, Kompas, 24/3/2014). Artinya, tiap kepemimpinan pendidikan di negeri ini punya upaya pembaruan dan pemajuan.

Revolusi Puskesmas

PEMBANGUNAN KESEHATAN
Revolusi Puskesmas

Oleh :  AHMAD FUADY

KOMPAS, 20 Desember 2019

“Sejarah puskesmas adalah layanan kesehatan primer dengan program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perseorangan (UKP). Namun dualisme UKM-UKP Puskesmas tidak juga mengindikasikan hasil memuaskan.”

Pada awal masa jabatannya, Menteri Kesehatan Terawan mengatakan bahwa puskesmas harus dikembalikan kepada fungsi fitrahnya sebagai lembaga promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Dengan begitu, beban defisit dana sosial kesehatan BPJS Kesehatan dapat ditekan.

Penyederhanaan Kurikulum

KURIKULUM PENDIDIKAN
Penyederhanaan Kurikulum

Oleh :  SUYANTO

KOMPAS, 20 Desember 2019


Ada wacana untuk melakukan perombakan kurikulum secara total. Sangat bisa dipahami munculnya wacana itu mengingat betapa saratnya beban belajar para siswa dan juga betapa rumitnya bagi guru untuk melaksanakan kurikulum yang sedang berlaku saat ini.

Peran Bina Damai Sinta Nuriyah

PENGHARGAAN SINTA NURIYAH
Peran Bina Damai Sinta Nuriyah

Oleh :  FATHORRAHMAN GHUFRON

KOMPAS, 19 Desember 2019


Pada tanggal 18 Desember 2019, UIN Sunan Kalijaga menganugerahkan gelar doctor honoris causa (HC) kepada ibu Sinta Nuriyah. Prestasi akademik ini semakin memperkuat pengakuan publik terhadap peran bina damai beliau yang pada tahun 2017 dinobatkan sebagai perempuan berpengaruh di dunia oleh The New York Times. Kegigihan dan konsistensi beliau dalam melakukan “hal-hal luar biasa” untuk kemaslahatan bersama menginspirasi banyak perempuan lainnya agar menjadi agen perdamaian.

Menanti Berlakunya Standar “QR Code” Pembayaran

PEMBAYARAN DIGITAL
Menanti Berlakunya Standar “QR Code” Pembayaran

Oleh :  MURDIANTO

KOMPAS, 19 Desember 2019


Dalam beberapa hari ke depan, Indonesia akan memasuki era baru di bidang pembayaran digital berbasis Quick Response (QR)Code. Tercatat mulai 1 Januari 2020, seluruh penyedia jasa pembayaran berbasis QRCode akan menerapkan standar yang sama. Standar yang diluncurkan oleh Bank Indonesia (BI) pada 17 Agustus 2019 itu dikenal dengan nama QR Code Indonesia Standard (QRIS).

Ketersediaan Data Tunggal

PERENCANAAN KOTA
Ketersediaan Data Tunggal

Oleh :  ROOS AKBAR

KOMPAS, 19 Desember 2019

“Data adalah sesuatu yang sangat penting. Sayangnya, meskipun sudah ada kebijakan one data dan one map policy upaya membangun basis data masih diabaikan. Padahal data menjadi sumber daya yang sangat bernilai saat ini.”


Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala daripada masa yang akan datang (Bung Karno).

Jumat, 27 Desember 2019

Refleksi Ekonomi 2019

PEMBANGUNAN EKONOMI
Refleksi Ekonomi 2019

Oleh :  SANTO RIZAL SAMUELSON

KOMPAS, 19 Desember 2019


Indonesia bersiap menyongsong tahun 2020 dengan membawa sekelumit pekerjaan rumah berat di bidang ekonomi, terutama perbaikan struktural ekonomi nasional.

Dalam visi ekonomi Indonesia emas 2045, Presiden Jokowi menargetkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dollar AS pada 2045. Secara matematis dengan PDB 1 triliun dollar AS saat ini dibutuhkan laju pertumbuhan ekonomi sedikitnya 8 persen agar target lonjakan PDB tujuh kali lipat itu terealisasi dalam 25 tahun. Perlu pembaruan paradigma pembangunan ekonomi dari sebelumnya mengandalkan perdagangan komoditas mentah menjadi berbasis perdagangan barang/produk industri manufaktur agar pencapaian target PDB di usia emas 100 tahun NKRI tercapai.

Memorabilia Politica Reforma

Memorabilia Politica Reforma

Oleh :  J KRISTIADI

KOMPAS, 19 Desember 2019

Memorabilia, ingatan terhadap sesuatu yang indah dan patut, bahkan mungkin wajib dikenang, sangat penting untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dan sekaligus memperbaikinya demi masa depan yang lebih baik

Momentum politik yang pantas dikenang dan wajib direnungkan dalam konteks kekinian adalah ingatan heroik kedigdayaan masyarakat sipil yang bergandengan tangan dengan kekuatan sosial politik lain merebut kedaulatan rakyat dari genggaman oligarki politik yang memonopoli kekuasaan selama puluhan tahun.

Gelombang semangat merebut daulat rakyat mampu menaklukkan penguasa yang pada 1990-an nyaris mustahil digoyahkan. Maka, lahirlah bayi reformasi politik. Meski masih ”balita”, makhluk kecil itu mampu menghasilkan beberapa regulasi fenomenal yang berpotensi dapat melibas penyakit kronis yang berkembang biak selama puluhan tahun; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Namun, sayangnya, merawat jabang bayi demokrasi tidak mudah. Dalam pertumbuhannya, orok kecil tersebut kekurangan nutrisi akibat virus pembawa penyakit menimbulkan efek berupa negara daulat rakyat lemah lunglai, hampir lumpuh. Masih untung tidak idiot. Virus ganas tersebut adalah self-interest dan hasrat nikmat kuasa yang semakin lama semakin tidak terkendali. Sedemikian mematikan penetrasi virus tersebut sehingga para penguasa kecanduan.

Mereka menyadari ancaman kerusakan negara yang ditimbulkan dari perilaku itu, tetapi mereka justru menjadi penikmat utama kerusakan negara. Semakin rusak negara, makin nyaman para perusak negara duduk di singgasananya. Mereka seakan dengan sadar dan sengaja melestarikan kedaruratan transisi politik.

Simtom kerusakan negara sangat kasatmata, manifestasinya antara lain adanya puluhan ribu peraturan perundang-undangan tumpang tindih, rancu, serta bertentangan satu sama lain. Ibaratnya, hanya negara ajaib yang mampu survive dalam hutan rimba aturan semacam itu.

Sumber keajaiban tersebut adalah daya pikul masyarakat yang bersedia menderita karena masih mempunyai harapan kehidupan baik pada masa depan. Namun, ambang batas daya tahan penderitaan itu akan makin menyusut jika tak ada kepemimpinan nasional yang memahami kompleksitas permasalahan dan mempunyai kompetensi moral serta mampu merasakan detak nurani rakyat.

Masa transisi politik memang menyakitkan. Kajian klasik Huntington membuktikan, selama beberapa abad, negara penganut sistem demokrasi mengalami gelombang balik perubahan sistem politik, berubah menjadi otoriter kembali. Ternyata, membangun demokrasi tidak saja membangun lembaga-lembaga atau struktur politik, tetapi juga membangun budaya politik yang beradab.

(Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991). Bahkan, tidak mustahil transisi politik mengakibatkan perang saudara, seperti di Suriah, setelah ”Musim Semi” di Timur Tengah pada 2011. Menjelang tutup tahun 2019, muncul titik terang menyinari redupnya semangat melakukan penataan kehidupan bersama. Harapan tersebut adalah tekad Presiden Joko Widodo menerbitkan undang-undang ”sapu jagat”, omnibus law.

Prioritasnya, penataan aturan bidang ekonomi, khususnya memangkas dan menyempurnakan regulasi yang menghambat investasi serta perpajakan. Kebijakan ini penting karena demokrasi tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat akan semakin kehilangan tuahnya.

Masyarakat berharap Presiden Jokowi juga segera menerbitkan pula omnibus law penataan kekuasaan negara dan pemerintahan. Agenda ini lebih rumit karena menyangkut langsung kepentingan para pemutus politik. Mengatasi masalah kenikmatan karena status quo politik oligarki adalah tantangan yang berat. Hasrat nikmat kuasa telah menaklukkan nalar dan kompetensi moral pemutus politik itu.

Sementara itu, muatan omnibus law tata kelola kekuasaan negara, antara lain menata, mengatur, dan kalau perlu mendefinisikan ulang relasi dan peran antarlembaga negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan fundamentalnya, apakah tatanan kekuasaan negara menganut sistem pemisahan kekuasaan (trias politika) atau pembagian kekuasaan lembaga-lembaga tersebut.

Di bidang kekuasaan pemerintahan, sekiranya Indonesia masih menganut sistem presidensial, maka harus benar-benar diatur ulang kompleksitas relasi sistem tersebut dengan sistem multipartai, serta kaitannya dengan efektivitas pemerintahan. Penjabaran isu itu meliputi banyak undang-undang, seperti UU Pemilihan Umum, Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala Daerah, Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Keuangan Negara, dan Pertanahan.

Perlu diingat, regulasi itu bukan obat balsam yang dapat mengobati segala jenis penyakit. Ini karena krisis kepercayaan terhadap demokrasi juga terjadi pada tataran global. Beberapa penelitian, meski masih tetap optimistis, juga bernuansa skeptikal dan sinikal.

Misalnya, ancaman anarki oleh masyarakat antimadani yang dapat menamatkan demokrasi (Husni Mubarok dan Irsyad Rafsadi [ed), Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia, 2015); kemungkinan matinya demokrasi (Foreign Affairs, Is Democracy Dying?, Mei/Juni 2018), dan banyak studi lain yang senada. Intinya, demokrasi dianggap usang karena tak dapat menjawab ketimpangan sosial, ekonomi, dan menjamin rasa aman serta melawan paham sektarian.

Bila problematika itu bisa diatasi, masyarakat menyongsong fajar menyingsing 2020 dengan penuh harapan karena penderitaan saat melahirkan reformasi akan disembuhkan dengan kebahagiaan.


J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS

Journey to Uighur : Kamu Seharusnya Lepas Kerudung Bu?

Journey to Uighur :  Kamu Seharusnya Lepas Kerudung Bu?

REPUBLIKA, Sabtu 19 Jan 2019 05:01 WIB

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku


“I am separated from my husband (Saya terpisah dengan suamia saya),” kata saya sambil menunjukkan bording pass dan sedikit panik melihat antrean penumpang mulai bergerak masuk ke dalam pesawat. Berharap petugas di boarding gate itu bisa berbahasa Inggris.

Ia sepertinya paham, lalu memberi isyarat meminta saya menunggu di depan meja boarding. Dihubunginya seseorang melalui penyeranta komunikasi yang digenggamnya. Jangan bayangkan berkomunikasi di bandara international ini seperti bandara international lainnya. Nyaris tak ada yang bisa berbahasa Inggris di sini. Sejak pemeriksaan tadi, saya sudah kesulitan gegara persoalan bahasa ini.

Sekali lagi saya edarkan pandangan, berharap Lambang muncul di antara lalu-lalang orang di ruang tunggu Ürümqi Diwopu International Airport.

Pagi ini kita harus terbang dari kota Urumqi ke kota Kashgar menggunakan penerbangan domestik selama kurang lebih 2 jam.

Kashgar atau Kashi dalam bahasa Mandarin adalah kota paling ujung barat China yang berbatasan langsung dengan negara Kirgizstan dan Tajikistan. Kota kuno ini memiliki jejak sejarah yang berlimpah karena merupakan gerbang Jalur Sutra dari Persia dan Asia Tengah.

Saya terpisah dengan Lambang karena pemeriksaan yang sangat ribet di bandara Urumqi. Di awali dengan pertanyaan, “What’s your religion? (Apa agamamu)” di meja pemeriksaan passport yang membuat saya bengong sejenak.

Ini adalah kali pertama di bandara international saya ditanya tentang agama. “Apa hubungannya dengan perjalanan ini?” batin saya kesal. Ya, sedikitnya saya mulai jengkel karena sejak awal kedatangan, kerudung yang saya kenakan selalu dipermasalahkan oleh petugas.

“I’m muslim. Alhamdulillah. I’m covering my head with scarf (saya tutup kepala saya dengan kerudung),” jawab saya mengulang kata-kata yang sama setiap ditanya pertanyaan yang sama. Ia hanya melihat sekilas, lalu dengan isyarat meminta saya melepasnya. Yang langsung saya jawab dengan gelengan kepala, “No,” kata saya tegas.

Dengan muka tetap dingin, ia memberi isyarat sekali lagi. Kali ini saya tarik sedikit kerudung ke belakang. Sekadar memastikan kalau alis saya tidak tertutupi. Karena hanya itu syarat saat pembuatan foto visa. Kerudung tetap boleh dikenakan, tapi alis kelihatan semua dan tanpa senyum.

Alhamdulillah, lolos. Petugas bermuka dingin itu lalu men-scan passport dan memotret saya. Berikutnya saya harus melewati penindai orang dan barang. Sekali lagi petugas di penindai memberi isyarat untuk melepas kerudung.

Karena menolak ia langsung meminta passport saya, “Passport,” katanya sambil memanggil seorang petugas lain. Petugas yang membawa passport itu lalu meminta saya mengikutinya.

Saya harus masuk ke ruangan kecil yang tertutup. Ada alat penindai orang yang bentuknya seperti alat untuk rontgen torax di RS. Bagian bawah ada pijakan yang bisa bergeser ke kiri-kanan. Saya diminta naik ke atas pijakan itu. Pelan-pelan alat itu bergeser ke kiri-kanan dua kali.

Lalu petugas itu berseru dalam bahasa China yang tidak saya mengerti. Saya melongok ke celah kecil yang ada di depan, “Finish?” Tanya saya yang dijawab dengan sodoran passport.

Nantinya, di setiap bandara saya harus masuk ke ruangan penindai khusus itu. Jadilah pemeriksaan saya lebih lama, karena terkadang alat penindainya juga harus antre. Itu yang menyebabkan saya terpisah dari Lambang.

“Allahumma yassir wala tu'assir,” saya deraskan doa dalam hati, supaya Allah mudahkan semua. Bukan apa-apa, jadwal perjalanan ini sangat ketat, kalau sampai ketinggalan pesawat, pasti akan berantakan semua.
Tiba-tiba dari jauh saya melihat langkah Lambang yang sudah sangat saya kenal. Saya berteriak memanggilnya. Berlarian kita masuk dalam antrean boarding, tak lupa saya memberitahu petugas di boarding desk itu, “That’s him, over there. My husband,” seru saya sambil menunjuk Lambang.

“Dari mana saja?” Tanya saya. Rupanya Lambang mencari saya karena tidak melihat lagi setelah saya mengikuti petugas yang membawa passport tadi. Kita bersepakat, nanti kalau terpisah lagi di bandara, karena pasti pemeriksaan saya lebih ribet, titik temunya adalah di boarding desk. Tidak perlu saling mencari kesana-kemari. Siapa yang selesai lebih dulu menunggu di situ.

Sampai di Kashi Airport, lagi-lagi saya disambut dengan pertanyaan, “What’s your religion?” oleh petugas yang memeriksa passport.

Tadinya saya pikir baru akan kena masalah gegara kerudung di Amerika atau di negara mana. Ternyata di Xinjiang, wilayah yang penduduknya 80% muslim, justru kerudung saya bolak-balik dipermasalahkan.
Saya pernah berada di Eropa dua hari setelah kejadian penembakan di kantor redaksi Charlie Hebdo. Saat itu sentimen anti Islam sedang tinggi-tingginya di Eropa. Namun, kerudung saya tidak dipermasalahkan. Di Madrid-Barajas Adolfo Suárez Airport pemeriksaannya wajar saja seperti di bandara pada umumnya.

“Apa yang mereka cari dari balik kerudung saya?” batin saya tak habis pikir dengan para petugas bandara ini. Atau sekadar prejudice karena kerudung yang saya kenakan adalah adalah simbol Islam? Entahlah!

Di pintu keluar bandara, seorang pria berbadan tinggi tegap terlihat menunggu sambil membawa kertas berlogo Khalifah Tour dan nama kita. Segera saya dan Lambang menghampirinya. Untuk alasan keamanan, saya menyebutnya Mr Kashimir.

Mr Kashimir ini seorang pria Uighur berumur awal 30-an yang akan menjadi local guide selama di Kashgar. Sesuai postur tubuhnya, suaranya juga terdengar “menggelegar”. Ia sudah delapan tahun menjadi local guide dan seringkali menjadi mountain guide ke Everest maupun tracking di perlintasan gurun-gurun yang ada di Kashgar ini.

“What’s that? Accident?” Tanya saya melihat mobil-mobil berhenti di tengah jalan.
“No Ma’am. That’s check poin,” jawabnya singkat sambil menegaskan tidak boleh memotret di check poin, polisi maupun tentara yang sedang bertugas.

Sekalipun sudah beberapa hari di Xinjiang dan “terbiasa” dengan banyaknya check poin, tak urung yang di kota Kashgar ini masih mengejutkan saya. Bagaimana tidak, check poin itu digelar di tengah jalan. Mobil-mobil berderet parkir di tengah jalan, lalu orang-orang nampak berbaris mengantre diperiksa. Saya jadi teringat adegan di film-film berlatar perang dunia, yang juga menampilkan adegan seperti ini.

Saat saya berada di Kashgar rupanya bebarengan dengan kedatangan beberapa lembaga internasional yang akan melakukan investigasi keberadaan kamp-kamp reedukasi. Jadilah suasana di kota ini sensitif sekali.
Setelah beres urusan check-in hotel, menaruh koper, dan shalat di-jama’ Dzuhur-Ashar, kita segera menuju restoran untuk makan siang. Di tengah makan, saya dikejutkan dengan pertanyaan Mr Kashimir, “If they ask you to take off your scarf, are you willing to do it?” yang spontan langsung saya jawab dengan tegas, “No,” sambil menggelengkan kepala.

Raut wajah Mr. Kashimir langsung berubah. Suasana menjadi tidak nyaman. “Is it randomly?” Tanya Lambang yang justru memperkeruh suasana.

“I am not comfortable with that question,” jawabnya menutup pembicaraan.
“What are the consequences if I disobey?” kejar saya
“You are not allowed to enter …,”
“It’s okay,” potong saya cepat.

Sudahlah, kalaupun saya tidak bisa masuk ke destinasi yang dituju, toh Lambang tetap bisa masuk. Saya akan tunggu di luar saja. Saya masih coba berargumen kalau saya adalah warga negara asing, pemegang passport Indonesia, sehingga tidak seharusnya saya mengikuti regulasi untuk warga lokal. Namun sepertinya Mr Kashimir tidak ingin membahasnya lagi.

Benar saja. Di depan Id Kah Mosque atau Eidgar Mosque yang merupakan masjid agung kota Kashgar, polisi tidak mengizinkan saya masuk kecuali saya melepaskan hijab.
Innalillahi wa innailaihi rojiun….

Ini di rumah Allah, tapi peraturan mengharuskan membuka aurat. Hati saya menangis pilu. Kemana perginya para mujahid yang harusnya membela tanah Uighur ini?

“No,” saya tatap polisi itu dan menjawab dengan suara mantap. Saya ingin Allah menyaksikan keteguhan hati saya.

“Kamu foto sebanyak-banyaknya deh di dalam. Bikin video juga, biar aku bisa dapat gambaran untuk tulisan nanti,” pesan saya pada Lambang.

“Can I wait here? it's cold out there,” tawar saya minta diterjemahkan Mr. Kashimir ke petugas yang berjaga.
Tanpa merubah ekspresi muka petugas itu hanya menunjuk pintu gerbang. Pertanda saya harus menunggu di lapangan luar. Semoga ini yang terakhir kali, seorang Muslim diusir petugas saat akan memasuki masjid.
Saya anggukkan kepala, “Enggak apa-apa. Aku tunggu di luar. Kamu harus masuk. Lihat di dalam ada apa?” tegas saya, setelah sesaat Lambang mulai ragu.

Mr. Kashimir terlihat sangat tidak enak hati. Ia mengantarkan saya sampai ke gerbang dan menunjuk salah satu bangunan tak jauh dari situ.

“You want to go to toilet? There’s toilet and the place is warmer,” katanya seperti memohon maaf.
“Saya mau ke masjid, bukan ke toilet,” jawab saya dalam hati. “No. It’s okay. I will wait here,” kata saya meyakinkan.

Id Kah Mosque didirikan pada 862 H/1442 dan telah mengalami renovasi beberapa kali. Daya tampung masjid berikut lapangannya sekitar 200.000 jamaah. Dahulunya selain sebagai masjid, juga terdapat bangunan yang difungsikan sebagai madrasah di dalamnya.

Rupanya di dalam masjid pun Lambang tidak bisa melakukan apa-apa, karena di dalam masjid dijaga polisi dan tidak diperbolehkan untuk shalat.

Di pinggir Id Kah Square yang sore itu suhunya (minus) -12°C, saya menatap anak-anak kecil yang bermain dan berlarian mengejar burung merpati. Merpati putih adalah simbol perdamaian, yang ironisnya setiap hari harus menyaksikan umat Islam terusir dari masjidnya.

“Nak, suatu hari nanti, kamu harus berjuang membebaskan negerimu dari penguasa lalim ini,” bisik saya yang semoga terbawa angin dan sampai ke telinga anak-anak itu. Doa seorang musyafir ijabah. Semoga penduduk langit aminkan doa saya sore ini. ***

Kashgar, 5/1/2019


Rabu, 18 Desember 2019

Revitalisasi Hukum Administrasi Umum Melalui “Omnibus Law”

OMNIBUS LAW
Revitalisasi Hukum Administrasi Umum Melalui “Omnibus Law”

Oleh :  ENRICO SIMANJUNTAK

KOMPAS, 18 Desember 2019


Sejak dibacakan pada pidato pelantikan Presiden Joko Widowo, 20 Oktober 2019, istilah Omnibus Law terus menghiasi pemberitaan dan opini media massa.  UU Omnibus dipahami sebagai metode “sapu jagad”— Omnibus berasal dari bahasa Latin, artinya: untuk segala hal—yang serentak mengubah berbagai undang-undang terkait pembentukan satu undang-undang baru.

Gus Dur dan Pluralisme

PLURALISME
Gus Dur dan Pluralisme

Oleh :  ZACKY KHAIRUL UMAM

KOMPAS, 18 Desember 2019


Menteri Agama RI yang pertama, Wahid Hasyim, menamai anaknya Abdurrahman ad-Dakhil, lahir pada 4 Syakban 1359 Hijriah atau 9 September 1940 Masehi. Nama kecil Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini tak populer. Namun, memperingati haul Gus Dur ke-10 bulan ini, nama kecil itu perlu dimaknai kembali dalam ruang kehidupan sosial-politik kita hari ini.

Defisit Demokrasi di Tahun Pemilu

DINAMIKA POLITIK
Defisit Demokrasi di Tahun Pemilu

Oleh :  YUNARTO WIJAYA

KOMPAS, 18 Desember 2019


Di penghujung 2019, sebagian dari kita cemas dengan masa depan demokrasi. Sebelumnya, di awal tahun, sebagian kita cemas dengan prospek pemilu (serentak).

Transisi dari UN ke Asesmen Pemelajaran Harus Dikebut

EVALUASI BELAJAR
Transisi dari UN ke Asesmen Pemelajaran Harus Dikebut

Oleh :  LARASWATI ARIADNE ANWAR

KOMPAS, 13 Desember 2019

Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, sistem asesmen untuk mengkur kinerja sekolah, baik untuk mengevaluasi siswa, tetapi juga untuk meningkatkan kompetensi guru.

Proses transisi sistem evaluasi hasil belajar dari ujian nasional menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter harus dilakukan segera dan secara komprehensif mengingat waktu pelaksanaannya kurang dari 1,5 tahun. Memberi kepercayaan kepada guru untuk mengembangkan pola pemelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan kompetensi siswa dan pelatihan mengenai penalaran tingkat tinggi niscaya dimasifkan.

Bersih-bersih BUMN

ANALISIS EKONOMI
Bersih-bersih BUMN

Oleh :  ENNY SRI HARTATI

KOMPAS, 17 Desember 2019


Langkah Menteri BUMN membereskan persoalan di tubuh BUMN sebaiknya berdasarkan cetak biru. Upaya bersih-bersih yang dilakukan demi mewujudkan tata kelola ini akan menumbuhkan kepercayaan publik.

Di Sebuah Pulau Suwung

BAHASA
Di Sebuah Pulau Suwung

Oleh :  KASIJANTO SASTRODINOMO

KOMPAS, 17 Desember 2019


Bahasa bisa tumbuh dari suasana kosong—pada sebuah pulau suwung tanpa penghuni. Sunyi di tengah deburan ombak Lautan Pasifik Selatan, pulau itu disambangi kapal Angkatan Laut Inggris bernakhoda Philip Carteret (1767), lalu dijuluki identik dengan nama kelasi yang pertama melihatnya: [Robert] Pitcairn. Letaknya terpencil, sulit dijangkau dari arah mana pun. Ekskavasi arkeologis menemukan pulau 4,6 kilometer persegi itu pernah dihuni pelayar Polinesia Kuno anno 800 Masehi. Namun, guncangan dahsyat  katastrofis membuat seluruh penghuninya angkat sauh.

Selasa, 17 Desember 2019

Akhirnya, Laut Masuk Paris

PERUBAHAN IKLIM
Akhirnya, Laut Masuk Paris

Oleh :  ARIF HAVAS OEGROSENO

KOMPAS, 17 Desember 2019


Sudah menjadi pengetahuan publik dunia bahwa Kesepakatan Paris 2015 sama sekali tidak memperhatikan laut, ruangan terbesar kedua di planet Bumi setelah udara.

Paris hanya memberikan catatan terhadap laut dengan bahasa ”Noting the importance of ensuring the integrity of all ecosystems, including oceans….”. Saya masih teringat saat menghadiri World Ocean Forum di sela-sela Konferensi Paris.

Jangan Tunda Demam Babi Afrika

DEMAM BABI AFRIKA
Jangan Tunda Demam Babi Afrika

Oleh :  SOEHARSONO

KOMPAS, 17 Desember 2019


Berkaitan dengan kematian babi dalam jumlah banyak, peternak babi di Sumut masih kebingungan (Kompas, 8/12/19). Mereka bertanya-tanya, apa gerangan penyebab kematian babi ini?

Pertaruhan Pendidikan

TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Pertaruhan Pendidikan

Oleh :  YUDI LATIF

KOMPAS, 17 Desember 2019


Mendikbud Nadiem Makarim secara jujur mengakui dirinya bukan ahli pendidikan, namun mendaku pembelajar yang cepat. Dengan begitu, komunitas pendidikan tidaklah berharap terlalu banyak.

Senin, 16 Desember 2019

Menanti ”Kuda Troya” Nadiem

TRANSFORMASI PENDIDIKAN TINGGI
Menanti ”Kuda Troya” Nadiem

Oleh :  BUDI WIDIANARKO

KOMPAS, 16 Desember 2019


Semoga wawancara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dengan harian Kompas (6/11/2019) belum menampilkan sosok utuh ”Kuda Troya” pemikiran menteri milenial itu tentang pendidikan tinggi. Dalam rekaman wawancara yang dimuat keesokan harinya, lontaran Nadiem tentang pendidikan tinggi masih terbatas pada seputar dua hal, yaitu link and match dan soft skills. Lontaran Nadiem dalam wawancara itu seolah hanya menegaskan adagium ”tiada yang baru di kolong langit” (nothing is new under the sun).

Terorisme, Anarkisme, dan Deradikalisasi

TERORISME DAN RADIKALISME
Terorisme, Anarkisme, dan Deradikalisasi

Oleh :  HASIBULLAH SATRAWI

KOMPAS, 16 Desember 2019


“Sebagai presiden terpilih, Jokowi menyatakan akan memberi perhatian pada penyelesaian isu radikalisme dalam periode pemerintahan keduanya. Ini salah satu visi besar yang kontekstual untuk masa sekarang.”

Visi besar tentu memiliki tantangan tak kalah besar. Sebagai langkah awal, beberapa kementerian yang selama ini tak terlalu masuk dalam penanganan masalah radikalisme mulai didorong berperan secara lebih aktif. Bahkan, deradikalisasi menjadi salah satu tugas khusus Menko Polhukam Mahfud MD.

Intoleransi: Anomali DIY

INTOLERANSI
Intoleransi: Anomali DIY

Oleh :  INDRA TRANGGONO

KOMPAS, 16 Desember 2019


Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dicatat Setara Institute  masuk di dalam daftar 10 daerah dengan jumlah kasus pelanggaran tertinggi atas kebebasan beragama/berkeyakinan. Menurut Kompas.com (Minggu, 24/11/2019), selain DIY, yang masuk daftar tersebut di antaranya Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Aceh.

Optimalisasi Anggaran Pertahanan

Optimalisasi Anggaran Pertahanan

Oleh :  FAHMI ALFANSI P PANE

KOMPAS, 16 Desember 2019 03:30 WIB


Keinginan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto akan adanya peningkatan anggaran pertahanan sangat wajar. Anggaran pertahanan hanya sekitar 0,9 persen produk domestik bruto (PDB) atau jauh di bawah standar normatif 2 persen PDB yang biasanya menjadi rujukan negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).