Rabu, 31 Januari 2018

Eradikasi Pelecehan Seksual

Eradikasi Pelecehan Seksual
Muladi  ;  Tim Ahli Perumus RUU KUHP
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2018



                                                           
Tajuk Rencana harian ”Kompas” (10/1/2018) dan berbagai media, baik nasional maupun internasional, telah mengangkat berita yang menggemparkan tentang pengungkapan (”breaking the silence”) skandal pelecehan seksual (”sexual harassment”) yang dilakukan oleh Harvey Weinstein, tokoh berpengaruh dalam industri film Hollywood, oleh puluhan aktris Hollywood yang menjadi korbannya.

Hal ini pertanda bahwa genderang eradikasi (pemberantasan) pelecehan seksual harus digalakkan.

Reaksi kolektif dilakukan melalui aksi solidaritas oleh para aktor dan aktris yang mengenakan pakaian serba hitam di atas karpet merah, disertai hadirin lain, saat penganugerahan Golden Globe Awards 2018, 7 Januari 2018, di Beverly Hills. Nuansa protes terhadap skandal pelecehan seksual terlihat mendominasi upacara itu (time’s up movement).

Di Jakarta, keluhan tentang terjadinya pelecehan seksual (sexual harassment) sampai saat ini sering hanya dikaitkan dengan perilaku seksual yang merendahkan wanita di lingkungan publik, seperti yang sering terjadi dalam transportasi umum di dalam bus transjakarta koridor padat atau di dalam kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Akibatnya, hal itu menimbulkan pemikiran jangka pendek, misalnya memisahkan sarana transportasi bagi pria dan perempuan.

Pelecehan seksual dalam hal ini biasanya dianggap sekadar merupakan perilaku bernuansa seksual yang tidak dikehendaki (unwelcomeness) oleh si korban, baik secara lisan maupun fisik, dan dianggap sebagai perbuatan cabul biasa atau perbuatan yang tidak menyenangkan.

Pengalaman di sejumlah negara dan juga di Indonesia menunjukkan, yang lebih parah lagi sebenarnya adalah pelecehan seksual terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan kerja. Hal ini jarang terungkap karena korbannya tidak memiliki ketegasan dan keberanian untuk bereaksi atau melaporkannya kepada yang berwajib
(breaking the silence) karena berbagai sebab yang masuk akal.

Si korban percaya bahwa keberatannya atau penolakannya terhadap pelecehan seksual selalu mengandung bahaya atau kerugian baginya dalam kaitan dengan hak dan kewajiban dalam pekerjaannya atau lingkungan kehidupannya.

Tiga kategori

Pelecehan seksual terhadap perempuan di lingkungan kerja pada dasarnya mengandung tiga kategori yang dapat berkaitan satu sama lain.

Pertama, kategori Quid pro Quo atau ”Ini untuk Itu” (semacam kompensasi). Dalam kategori ini, pelecehan seksual bahkan dapat ditafsirkan sebagai pemerasan (blackmail) karena kepatuhan atau penolakan si korban terhadap pelecehan seksual mengandung bentuk persyaratan yang berkaitan dengan pekerjaan, misalnya kemudahan, kenaikan gaji, janji untuk dipromosikan, atau sebaliknya degradasi.

Kedua, kategori pembalasan (retaliation) dalam hal mana kepatuhan atau penolakan si korban terhadap perbuatan tersebut digunakan sebagai dasar bagi keputusan si pelaku untuk memengaruhi pekerjaan yang bersangkutan.

Ketiga, kategori permusuhan (hostility). Dalam hal ini perbuatan tersebut bertujuan atau berakibat tindakan pembalasan jika si korban tidak mematuhinya, berupa gangguan yang tidak beralasan terhadap kinerja individual atau menciptakan lingkungan kerja yang bersifat intimidasi, permusuhan, atau bersifat menyakitkan atau menghina yang bersifat ofensif (Broderick and Saleen, 2010).

Bentuk perbuatan sangat bervariasi, seperti rayuan, ucapan, memperlihatkan sesuatu yang berbau pornografi, perintah, ancaman, pembatasan yang pada dasarnya berbau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), atau status yang berkaitan dengan fungsi dalam pekerjaannya, untuk memperoleh imbalan bernuansa seksual. Antara pelaku dan korban tidak dalam tingkatan yang sama serta perbuatan itu biasanya dilakukan berulang-ulang dan mengandung penyalahgunaan kekuasaan.

Lebih dalam lagi, pelecehan seksual tersebut mengandung unsur diskriminasi berupa perlakuan yang berbeda status atas dasar perbedaan jenis kelamin yang sangat merugikan (prejudicial treatment) bagi korban dan mengandung unsur penghinaan, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), mempermalukan, menimbulkan rasa direndahkan, mencederai martabat korban, gangguan terhadap hak pribadi, pembunuhan karakter, rasa turut bersalah karena mendiamkan, gangguan mental, hilangnya produktivitas kerja, serta pelanggaran HAM dan kehormatan seseorang.

Yang menarik adalah bahwa data pelecehan seksual di sejumlah negara cenderung sering terjadi di lingkungan pendidikan, pusat perekrutan dan pelatihan kerja, perguruan tinggi, baik dalam hubungan dosen-mahasiswa, antarmahasiswa, pimpinan-staf, maupun pimpinan-karyawan, yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan yang tidak sederajat.

Di pelbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, perbuatan seperti olok-olokan atau julukan yang merendahkan dan berbau seksual, komentar jorok tentang badan dan pakaian, memaksa kencan atau bertemu pribadi, surat bernada seksual, sampai serangan seksual masuk kategori pelecehan seksual.

Langkah-langkah komprehensif

Seperti di negara-negara lain, kriminalisasi terhadap pelecehan seksual harus dilakukan tersendiri (delictum sui generis), terpisah dari pengaturan tindak pidana kesusilaan biasa karena hakikat dan dampak bagi si korban sangat luas (depresi, marah, dan merasa tidak berdaya).

Indonesia cukup beralasan untuk mengkriminalisasi secara khusus karena dengan UU No 7 Tahun 1984 Indonesia telah mengesahkan (meratifikasi) Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW, 1979). Lebih-lebih berbagai instrumen internasional, khususnya Resolusi SU PBB No 48/104, telah menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup pula pelecehan seksual. Dalam hal ini sanksi pidana, perdata, dan administrasi dapat dikembangkan bersama dengan langkah-langkah preventif lainnya.

Di Israel dan Filipina hal tersebut diatur dalam UU tentang Pelecehan Seksual, di Inggris diatur dalam UU Antidiskriminasi, di Perancis dan Federasi Rusia diatur tersendiri dalam KUHP-nya, serta di beberapa negara bagian Amerika Serikat dikaitkan dengan diskriminasi seksual dan hukum perburuhan dalam kerangka penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan, Masyarakat Uni Eropa berusaha merumuskan suatu direktif khusus tentang hal ini sejak 2002. Semuanya mengategorikan pelecehan seksual sebagai tindak pidana. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan perdata dan administratif.

Pelecehan seksual yang menciptakan situasi lingkungan kerja dan lingkungan kehidupan yang diskriminatif dan transaksional serta penyalahgunaan kekuasaan yang berbau seksual tersebut tidak boleh didiamkan sebagai kejahatan tersembunyi (hidden crime). Langkah preemtif, preventif, dan represif secara khusus harus dilakukan. Organisasi-organisasi perempuan, termasuk Komnas HAM Perempuan, harus terus melakukan sosialisasi agar si korban berani melaporkan apa yang terjadi dan kemudian memperoleh perlindungan, dalam kerangka prinsip kepekaan dan kesetaraan jender.

Dalam hal ini semacam pedoman bagi korban (victim’s guide) perlu dirumuskan. Di samping itu, desakan kepada DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk melindungi perempuan dan anak harus didukung. ●

Ekstensi Kepemimpinan Toleransi

Ekstensi Kepemimpinan Toleransi
Hendardi  ;  Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Jakarta
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2018



                                                           
Promosi toleransi merupakan kewajiban bagi siapa pun yang memiliki kesadaran bahwa toleransi merupakan satu-satunya nilai utama, sikap dasar, dan cara pokok dalam memperlakukan yang lain di tengah aneka perbedaan, alamiah, ataupun artifisial.

Oleh karena itu, setiap elemen bangsa harus mengambil prakarsa untuk memimpin promosi toleransi sesuai dengan level otoritas dan cakupan pengaruh masing-masing.

Kepemimpinan toleransi merujuk pada pemaknaan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) pada 2017, yang dirilis oleh Setara Institute, (15/1). Saat ini, promosi toleransi dan kepemimpinan yang mengatalisasinya jadi isu yang sangat relevan di tengah menguatnya politik identitas, radikalisme keagamaan, dan ekstremisme dengan kekerasan (violent extremism),serta revivalitas gerakan anti-Pancasila dan antinegara demokrasi.

Menelisik data pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2017, penulis secara pribadi melihat bahwa kita memiliki momentum untuk mendorong kepemimpinan politik negara dan inisiatif masyarakat yang lebih intensif dan berani. Ada beberapa situasi yang menggambarkan terbentuknya momentum untuk menggencarkan dan memperluas promosi toleransi.

Momentum promosi

Pertama, terdapat kemajuan atau perbaikan konteks yang ditandai dengan membaiknya beberapa variabel kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Berdasarkan hasil riset terbaru Setara Institute, terjadi penurunan signifikan angka peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB. Tahun 2017, ”hanya” terjadi 155 peristiwa (turun 53 jumlah peristiwa dibandingkan 2016) dengan 201 tindakan (berbanding 270 tindakan pada 2016).

Turunnya angka peristiwa dan tindakan itu berkorelasi dengan penurunan angka pada beberapa variabel lain, yaitu (1) tingkat pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, seperti umat Kristiani, jemaat Ahmadiyah, dan Syiah, yang selama ini mendominasi angka korban di hampir setiap periode riset dan pemantauan, dan (2) angka gangguan terhadap rumah ibadah juga jauh lebih rendah dari rata-rata gangguan yang terjadi pada periode-periode riset sebelumnya.

Kedua, perbaikan kuantitatif pada aspek keterlibatan aktor negara dalam pelanggaran KBB, yang dapat dibaca sebagai peluang bagi pemajuan perspektif, kompetensi, dan bahkan keberpihakan aparatur negara bagi tata kelola pemerintahan yang lebih kondusif bagi pemajuan toleransi. Data Setara Institute 2017 menunjukkan, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara sepanjang 2017 jauh lebih rendah dibandingkan pada 2016.

Kepolisian RI yang pada 2016, menurut catatan Setara Institute, menjadi kontributor tertinggi pelanggaran oleh aktor negara dengan 37 tindakan pelanggaran, tahun ini ”hanya” melakukan 17 tindakan. Selain itu, meskipun masih menjadi yang tertinggi dalam kelompok aktor negara, pemerintah daerah ”cuma” melakukan 25 tindakan (turun 10 tindakan) dari tahun sebelumnya.

Ketiga,terjadi kebangkitan gerakan masyarakat sipil toleran yang selama ini diam (silent majority) dan dianggap terlalu mengalahuntuk mengambil prakarsa dan peran melawan intoleransi, diskriminasi, dan paham-paham yang mengarah pada penguatan ideologi ekstremisme dengan kekerasan (violent extremism) sekaligus penghancuran nilai dan sendi hidup damai bersama dalam perbedaan (peaceful co-existence) di alam kebinekaan berdasarkan Pancasila.

Dua agenda

Dengan momentum yang baik itu, pemerintah, di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi), harus mengambil peran besar dalam meletakkan warisan bagi pemajuan toleransi di ujung kepemimpinannya.

Jokowi memiliki modal sosial, politik, hukum, serta jaringan dan cakupan kekuasaan yang jauh lebih besar daripada presiden keempat, Abdurrahman Wahid, yang secara berani memberikan jaminan kesetaraan bagi minoritas Tionghoa dan penganut Khonghucu.

Promosi toleransi harus menjadi prioritas Presiden untuk mewujudkan Indonesia yang memberikan jaminan inklusi sosial politik sekaligus jaminan hak sipil untuk beragama secara merdeka sesuai amanat Pasal 28E Ayat (1) dan (2) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Ada dua agenda utama untuk itu, yaitu (1) penyelesaian masalah- masalah existing yang sudah berlarut-larut mengenai kelompok- kelompok minoritas yang terlanggar hak-hak mereka, dan (2) reformasi regulasi dan kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945 yang selama ini menjadi alas yuridis bagi intoleransi dan diskriminasi atas minoritas.

Beberapa persoalan besar dan pelanggaran terus-menerus yang terjadi dalam satu dekade ini tak kalah mendesak untuk diatasi, dibandingkan sejumlah proyek infrastruktur yang mangkrak dan terbukti Presiden mampu mengatasi dan menyelesaikan.

Beberapa yang bisa disebut, antara lain; (a) pengusiran minoritas keagamaan dari kampung halaman mereka, terutama jemaat Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, dan warga Syiah Sampang di Sidoarjo, Jawa Timur, (b) pembangunan dua gereja di Kota Bogor dan Kabupaten Bekasi, yaitu GKI Yasmin dan HKBP Philadelphia yang secara hukum memenangi perkara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, tetapi hingga saat ini tidak kunjung dapat menikmati hak dasar mereka untuk membangun rumah ibadah, dan (c) kriminalisasi keyakinan sehingga beberapa narapidana hati nurani (prisoners of conscience) masih mendekam di penjara.

Selain itu, Presiden juga harus segera memimpin reformasi regulasi yang bertentangan dengan ketentuan konstitusi, sepanjang berada dalam jangkauan otoritasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan. Beberapa agenda yang harus dapat perhatian serius, antara lain, sebagai berikut.

Pertama, penghapusan pasal- pasal penodaan agama, melalui perubahan UU Nomor 1/PNPS/ 1965 dan Pasal 156a KUHP, yang belakangan ini sering digunakan kelompok vigilante untuk melakukan persekusi terhadap kelompok kritis dan progresif dengan dalih penodaan agama.

Kedua, peninjauan ulang, revisi, dan penghapusan regulasi ministerial.  Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No 9 dan No 8 Tahun 2006 (PBM Pendirian Rumah Ibadah) dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Mendagri No 3 Tahun 2008, No KEP-033/ A/JA/6/2008, No 199 Tahun 2008 (SKB Ahmadiyah) adalah dua regulasi ministerial yang mendesak menjadi obyek reformasi karena sering memicu diskriminasi dan intoleransi terhadap warga negara dari latar belakang keagamaan berbeda.

Ketiga, evaluasi dan harmonisasi peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap minoritas, termasuk kepada perempuan. Pada 2016, pemerintah melalui Kemendagri telah melakukan harmonisasi besar-besaran dengan membatalkan 3.143 perda yang menghambat investasi. Langkah pembatalan tersebut mestinya lebih mendesak untuk dilakukan pada perda yang merusak persatuan dan kesatuan melalui diskriminasi terhadap kelompok-kelompok perempuan dan minoritas di daerah.

Sinyal kepemimpinan

Untuk melakukan dua agenda tersebut, sebenarnya pemerintah sudah menunjukkan sinyal kuat yang merepresentasikan itikad politik (political will)untuk mewujudkan cita-cita ”satu untuk semua”, sebagaimana diikrarkan para pendiri negara. Namun, pemerintah kemudian seperti mundur beberapa langkah begitu menghadapi kontra wacana, terutama dari kalangan mayoritas keagamaan mapan serta kelompok-kelompok intoleran yang dari sisi kuantitas sebenarnya juga tidak banyak.

Pertama, Nawacita yang sayangnya hingga kini belum terlihat memandu pembangunan inklusi sosial, apalagi politik, terhadap minoritas keagamaan. Kedua, wacana penghapusan kolom agama, yang menguap begitu saja. Ketiga, pemenuhan hak atas pengajaran agama dalam institusi pendidikan formal untuk penghayat kepercayaan yang sudah dituangkan dalam bentuk  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 27 Tahun 2016, yang hingga kini bermasalah dalam implementasinya terkait dengan ketersediaan sumber daya.

Keempat, dukungan pemerintah atas pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di KTP pada sidang uji materi UU Administrasi Kependudukan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi akhirnya dikabulkan, tetapi hingga kini tak tampak progres dalam implementasinya.

Terakhir, kita harus mengapresiasi pendirian lembaga pembinaan ideologi Pancasila dalam bentuk Unit Kerja Presiden, yang kini ditingkatkan statusnya menjadi badan setingkat kementerian. Pembentukan lembaga tersebut dapat dibaca sebagai jawaban pemerintah atas kekhawatiran semakin menguatnya politik identitas yang disertai pembesaran resistensi atas liyan, penggunaan sentimen primordial atau isu SARA, khususnya agama dan suku/etnik, di ruang-ruang publik-politik.

Sinyal-sinyal kepemimpinan tersebut, sangat disayangkan, jika dibiarkan meredup dan hilang begitu saja hanya karena Presiden disibukkan dengan politik kekuasaan di tahun-tahun politik elektoral ini. Semoga tidak. ●

Partisipasi Pilkada dan Pemilih Milenial

Partisipasi Pilkada dan Pemilih Milenial
Ali Rif’an  ;  Direktur Riset Monitor Indonesia
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2018



                                                           
Komisi Pemilihan Umum mematok target kenaikan 3,5 persen terkait partisipasi pemilih pada pilkada serentak 2018: dari sebelumnya 74 persen jadi 77,5 persen. Target ini dinilai realistis jika melihat angka kenaikan partisipasi pilkada sebelumnya yang tidak lebih dari 4 persen. Partisipasi pilkada serentak 2015 tercatat 70 persen, sedangkan dalam gelaran Pilkada 2017 mencapai 74 persen.

Target angka 77,5 persen tentu tidak terlalu istimewa lantaran sama dengan target partisipasi Pilkada 2015 dan 2017. Padahal, dibandingkan Pilkada 2015 dan 2017, Pilkada 2018 merupakan perhelatan terbesar karena melibatkan 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.

 Bukan hanya itu, di antara 17 provinsi yang menggelar pilkada, lima di antaranya merupakan provinsi ”babon” dengan jumlah pemilih paling tambun: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Apabila dikalkulasi, akan ada sekitar 160 juta pemilih yang terlibat dalam kontentasi elektoral 2018. Itu jauh lebih tinggi dibandingkan Pilkada 2015 (diikuti 269 daerah) yang jumlah pemilihnya 96 juta dan Pilkada 2017 (diikuti 101 daerah) jumlah pemilihnya hanya 41 juta.

 Dengan bobot pilkada yang tinggi itulah, kita berharap target partisipasinya juga tinggi. Karena itu, saya lebih sepakat dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menginginkan target partisipasi di atas 78 persen. Mengapa?

 Pertama, tingginya target partisipasi merupakan bentuk optimisme penyelenggara pemilu. Ini penting sebagai bentuk tanggung jawab dalam menyukseskan hajatan pilkada. Sebuah pemilu disebut berdaulat ketika terjadi peningkatan jumlah partisipasi pemilih. Artinya, tingginya angka partisipasi jadi barometer suksesnya sebuah hajatan demokrasi. Ini sejalan pandangan Robert Dahl (1994) bahwa partisipasi merupakan hal pokok dari dimensi demokrasi.

 Kedua, partisipasi pilkada serentak 2018 merupakan tangga menuju partisipasi di Pemilu 2019 (pemilu legislatif dan pemilu presiden). Sebab, dalam perhelatan Pilkada 2018, kontestasi elektoral akan terkuras sekitar 68,3 persen dari jumlah daftar pemilih tetap. Tingginya partisipasi di Pilkada 2018 bisa jadi ”mesin pemanasan” menuju Pemilu 2019. Artinya, kerja- kerja penyelenggara pemilu dalam upaya meningkatkan partisipasi hajatan demokrasi 2019 akan lebih ringan karena sudah ”dicicil” di Pilkada 2018.

Pemilih milenial

 Memang, seperti diutarakan penyelenggara pemilu, salah satu kendala dalam meningkatkan angka partisipasi Pilkada 2018 adalah soal keberadaan pemilih milenial. Pasalnya, pemilih dari kelompok ini cenderung alergi terhadap politik. Ini terkonfirmasi dari temuan survei Litbang Kompas pada 25-27 Oktober 2017, yang menyebutkan hanya 11,8 persen generasi milenial yang mau menjadi anggota partai, sebanyak 86,3 persen tidak bersedia, dan sisanya 1,9 persen mengatakan tidak tahu.

 Padahal, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi pemilih milenial pada Pilkada 2018 sekitar 35 persen. Pemilih milenial di sini adalah mereka yang lahir dalam rentang 1981- 1999 (Pew Research Center, 2010). Dalam konteks perilaku pemilih, kelompok ini tergolong jenis pemilih rasional (kritis). Mayoritas mereka pengguna media sosial dan melek informasi. Survei CSIS pada Agustus 2017 menyebutkan, sebanyak 81,7% generasi milenial pengguna Facebook, 70,3% menggunakan Whatsapp, dan 54,7% memiliki Instagram.

 Pertanyaannya, apakah pola pikir kelompok milenial terkait partisipasi ini bisa diubah? Milbrath dan Goel (1997) membedakan partisipasi politik jadi tiga kelompok. Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang alergi terhadap politik, bahkan menarik diri dari proses politik yang ada. Kedua, kelompok spektator, yakni mereka yang kurang tertarik dengan politik, tetapi masih kerap menggunakan hak pilihnya. Ketiga, kelompok gladiator, yakni yang sangat aktif di dalam politik (seperti aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis organisasi).

 Apabila merujuk pada piramida partisipasi politik di atas, pemilih milenial memang cenderung masuk pada kelompok apatis. Namun, apatisme pemilih milenial di sini bukanlah apatis buta dan sempit. Pemilih milenial lebih tepat disebut sebagai kelompok ”apatis yang kritis”. Mereka lebih suka berpartisipasi dalam bentuk non- konvensional, karena memaknai partisipasi politik tidak hanya dalam arena pemilu.

 Laporan Litbang Kompas berjudul ”Politik ala Generasi Muda” (Kompas, 28/10/2017), misalnya, pernah mengulas fenomena ini. Disebutkan bahwa generasi milenial lebih suka melakukan partisipasi yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, seperti keterlibatan mereka dengan cara-cara unik dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

 Sebagai contoh, melalui situs change.org, generasi milenial kerap memobilisasi dukungan dan memengaruhi pengambil keputusan-keputusan penting di negeri ini. Perlawanan hak angket DPR terhadap KPK pada April 2017, misalnya, telah menembus 47.868 pendukung. Begitu pula desakan untuk mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, juga mendapat pendukung sangat tinggi, yakni 89.452 pendukung.

 Kondisi ini menunjukkan kelompok milenial tidak lantas alergi sepenuhnya terhadap politik. Mereka sejatinya memiliki ketertarikan, tetapi diekspresikan dengan gaya berbeda. Dengan kata lain, pemilih milenial sebenarnya punya potensi besar untuk digeser dari ”kelompok apatis” menuju ”kelompok spektator” dan bahkan ”kelompok gladiator”.

 Untuk menggesernya, salah satu prasyarat yang perlu dipenuhi adalah bahwa Pilkada 2018 harus mampu menyajikan kandidat sesuai selera dan harapan mereka. Sebutlah seperti sosok yang bersih, muda, berprestasi, dan punya rekam jejak yang baik. Di sini, sang kandidat dituntut mampu menyuguhkan program-program yang langsung menyentuh aspirasi dan kepentingan kelompok milenial. ●

Pilkada dan Independensi Organisasi Guru

Pilkada dan Independensi Organisasi Guru
Ari Kristianawati  ;  Guru SMAN 1 Sragen
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2018



                                                           
Tahapan pilkada serentak telah dimulai dengan pendaftaran bakal calon pasangan kepala daerah. Itu akan berlanjut kepada tahapan yang lebih krusial dengan melibatkan dukungan massa secara riil.

Berbagai kandidat calon kepala daerah beserta pasangan telah mengatur strategi menggalang dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat itu tergabung dalam ormas, paguyuban, perhimpunan atau serikat.

Organisasi yang memiliki keanggotaan dalam jumlah besar menjadi incaran para kompetitor pilkada untuk dijadikan basis dukungan melalui kontrak politik. Kontrak politik yang muatannya mengakomodasi aspirasi dan usulan organisasi tersebut dengan imbalan mengerahkan anggotanya untuk memilih kompetitor pilkada tertentu.

Salah satu organisasi besar yang punya ikatan identitas dan solidaritas kolektif adalah organisasi guru. Organisasi guru dalam perhelatan momen elektoral, seperti pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pilkada, sering mendapat tawaran kontrak politik. Bahkan, ada organisasi guru yang dalam momentum pilpres kelihatan arah dukungan politik kepada capres tertentu. Arah dukungan politik yang dikondisikan oleh elite organisasi guru yang dijanjikan jabatan strategis di pemerintahan.

Organisasi guru saat ini tak hanya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang jumlah anggotanya jutaan orang dan memiliki struktur organisasi sampai tingkat kecamatan, bahkan satuan kerja di sekolah negeri dan swasta. Ada juga organisasi guru di luar PGRI yang juga eksis dalam menjalankan kiprahnya, yakni Ikatan Guru Indonesia, Federasi Serikat Guru Indonesia, Federasi Guru Independen Indonesia, dan lainnya.

Organisasi guru memang menarik minat politisi dan calon kepala daerah untuk diajak kerja sama politik dalam agenda pilkada. Organisasi guru dianggap sebagai kekuatan politik dengan basis massa yang riil yang memiliki pengaruh di kalangan pemilih pemula (siswa) dan masyarakat. Guru harus diakui masih menjadi sosok sosiokultural yang pendapatnya memiliki daya persuasi bagi masyarakat, sehingga ketika guru dan organisasi guru menjatuhkan pilihan politik pada kontestan pilkada tertentu, akan mampu memengaruhi persepsi, opini, dan pilihan politik kelompok masyarakat yang lain.

Soliditas organisasi guru dalam memenangkan tokoh tertentu dalam panggung demokrasi elektoral sudah teruji. Organisasi guru seperti PGRI sukses mengantarkan ketua umum PGRI menjadi anggota DPD. Organisasi guru juga signifikan dalam menggalang dukungan suara untuk tokoh tertentu dalam momentum elektoral semacam pilgub, pilpres, dan pileg. Meskipun upaya penggalangan dukungan tidak dilakukan secara terang-terangan, sinyal kontrak politik yang dijalin oleh organisasi guru cukup menjadi petunjuk arah pilihan politik para guru.

Tak etis

Secara etika organisasi profesi guru tidak etis terjebak dalam ikatan politik praktis. Organisasi guru bukan organisasi politik partisan, melainkan organisasi profesi dengan label kesamaan identitas yang memiliki visi-misi dan filosofi yang berbeda dengan organisasi yang lain. Apalagi organisasi profesi guru yang anggotanya mayoritas berstatus aparatur sipil negara (ASN) adalah tak boleh melakukan kegiatan politik praktis. ASN, sesuai UU dan peraturan, tak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Lantas apa untungnya organisasi guru berpolitik? Organisasi guru tidak akan mendapatkan keuntungan ketika cawe-cawe atau terlibat dalam agenda pilkada, pileg, atau pilpres. Yang untung  adalah elite pengurus organisasi guru yang jelas dijanjikan jabatan, posisi, dan materi. Bagi anggota organisasi guru, mereka tidak mendapatkan keuntungan ekonomis, politis, ataupun posisi strategis. Toh, harus diakui, kesejahteraan guru saat ini sudah lumayan baik semenjak diterapkan program sertifikasi dan remunerasi ala daerah.

Para guru memang sebaiknya bersikap netral. Para guru bisa menyalurkan hak pilih kepada kontestan pilkada yang dianggap memiliki program bagus. Namun, organisasi guru tidak boleh melakukan politisasi kebijakan atau keputusan organisasi untuk mendukung kontestan tertentu dalam pilkada. Sangat disayangkan jika organisasi guru berpolitik praktis dengan menggunakan label legitimasi anggotanya.

Independensi dalam agenda elektoral seperti pilkada jauh lebih berguna bagi organisasi guru. Organisasi guru jika ingin mengajukan usulan program dan gagasan bisa diserahkan sebagai ”petisi” atau aspirasi kepada seluruh kontestan di dalam momen pilkada. Penting bagi organisasi guru untuk menjaga soliditas internal yang terbebas dari hasrat politik praktis. Organisasi guru harus mampu menempatkan diri sebagai kekuatan penekan (the pressure group) terhadap kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan amanat konstitusi. Demikian organisasi guru menjadi kekuatan acuan (the reference group) untuk mengembangkan visi-misi, etika, dan rencana aksi keprograman di bidang pendidikan yang berkualitas.

Menjadi kekuatan penekan dan kekuatan acuan, organisasi guru harus menjaga jarak dengan kepentingan politik partisan. Namun, organisasi guru tetap mengajukan resolusi keprograman untuk dijadikan bahan (input) kebijakan politik pendidikan para calon kepala daerah. ●

Demokrasi Terancam

Demokrasi Terancam
R William Liddle  ;  Profesor Emeritus Ilmu Politik,
Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
                                                      KOMPAS, 31 Januari 2018



                                                           
Setelah satu tahun berkuasa, niat Presiden AS Donald Trump untuk melumpuhkan demokrasi demi kekuasaan pribadinya tak diragukan. Tandanya ada di mana-mana, misalnya dalam serangan tak terhenti terhadap pers yang dijuluki ”musuh rakyat” yang memberitakan ”berita palsu”.

Hampir semua koran dan jaringan TV nasional, baik penyiar maupun kabel, kena tudingan yang mencemaskan itu.  Tak terkecuali The Wall Street Journal, koran terkemuka yang konservatif di halaman editorialnya tetapi jujur dalam pemberitaannya.  Yang lolos dari kemarahan Trump hanya jaringan kabel Fox News, yang bersedia menjadi penyambung lidah Trump sendiri.         

Di dalam pemerintahannya, Trump tidak menghormati asas pokok Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, separation of powers, pemisahan kekuasaan, yang menjamin hak lembaga- lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Aturan-aturan lama dicap kedaluwarsa dan dicemooh, seperti kebiasaan super-mayoritas di Senat, tempat 60 suara dari seluruh 100 anggota Senat dibutuhkan untuk meloloskan suatu rencana UU.

Sebagian besar anggota Senat, Republik ataupun Demokrat, membanggakan lembaga mereka selaku the greatest deliberative body in the world, badan legislatif yang paling mengutamakan perundingan di seluruh dunia. Komitmen mereka kepada supermayoritas perlu dimengerti dalam konteks itu.  Namun, demi kepentingannya sendiri, Trump tak segan menyeru agar kepemimpinan fraksi Republik di Senat menggantikan aturan itu dengan mayoritas biasa, 51 suara.

Sasaran Trump yang paling berbahaya bagi pelestarian demokrasi adalah Departemen Keadilan dan salah satu biro tersohor di departemen itu, yaitu Biro Investigasi Federal (FBI). Hampir dari awal, Trump menyesali pengangkatan oleh dirinya sendiri atas kepala departemen itu, yaitu Jeff Sessions, selaku jaksa agung.   Sessions, waktu itu masih senator dari Alabama, termasuk politisi nasional yang paling awal mendukung pencalonan Trump dan sempat menjadi anggota tim suksesnya.

Trump lalu mengangkatnya sebagai jaksa agung karena Sessions terkenal keras melawan kebijakan imigrasi pemerintahan sebelumnya, yang konon membuka lebar pintu masuk bagi orang miskin dan penjahat.  Namun, beberapa minggu kemudian, Sessions memisahkan diri secara hukum (recuse) dari pengusutan Departemen Keadilan perihal hubungan kampanye Trump dengan pemerintahan Rusia. Menurut berbagai laporan pers, Sessions sendiri mungkin terlibat dalam hubungan itu.

Trump langsung meledak. Kepada The New York Times, ia berkeluh kalau dia tahu sebelumnya Sessions akan menarik diri dari pengusutan itu, ia pasti tidak akan mengangkatnya. Lalu, ia bersitegas bahwa syarat utama untuk seorang jaksa agung adalah kesetiaan pribadi kepada presiden, ”seperti baru dilakukan oleh Jaksa Agung Eric Holder terhadap Presiden Obama,” suatu kebohongan besar. Sejak masa jabatan jaksa agung pertama diadakan lebih dari 200 tahun silam, syarat utama menjadi jaksa agung adalah kesetiaan kepada UU dan konstitusi, bukan kepada satu orang, termasuk presiden yang mengangkatnya.

Meremehkan aturan demokrasi

Sasaran utama Trump sebenarnya bukan Sessions, melainkan kepemimpinan FBI dan setelah Direktur FBI Jim Comey dipecat Trump awal Mei 2017, special counsel jaksa khusus, Robert Mueller, diangkat satu minggu kemudian oleh Deputi Jaksa Agung Rod Rosenstein.

Tugas Mueller, yang pernah menjabat lama sebagai Direktur FBI, adalah untuk ”mengawasi investigasi FBI yang telah terkonfirmasi perihal usaha-usaha Pemerintah Rusia untuk memengaruhi Pemilihan Presiden 2016 dan hal-hal terkait.”

Mueller ternyata sedang bekerja keras. Michael Flynn, penasihat keamanan nasional pertama Presiden Trump, mengaku berbohong kepada FBI dan sedang bekerja sama dengan Mueller. George Papadopoulos, bekas penasihat kampanye Trump tentang kebijakan luar negeri, khususnya Rusia, juga mengaku berbohong dan sedang bekerja sama. Paul Manafort, bekas ketua kampanye Trump, dan asistennya, Rick Gates, dituduh mencuci uang dan akan diadili tahun ini.

Siapa akan menyusul?  Apakah Trump sendiri atau anggota-anggota keluarganya akan didakwa? Tak ada orang yang punya bola kristal.   Namun, ada dua hal yang terang benderang. Pertama, serangan terus-menerus terhadap FBI, yang dicaci maki Trump selaku ”lembaga yang berkecai- kecai.”  Kedua, semakin nyaring koor anti-FBI, terdiri atas banyak anggota Republik di Kongres.

Yang paling memprihatinkan justru kombinasi antara presiden yang meremehkan aturan-aturan demokrasi dan Kongres yang hanya mementingkan kepentingan partisannya. ●

Dilema Menghadapi Transportasi Daring

Dilema Menghadapi Transportasi Daring
Rahma Sugihartati  ;  Dosen Masyarakat Informasi FISIP Universitas Airlangga
                                            MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2018



                                                           
DI era perkembangan masyarakat digital, kehadiran transportasi daring ialah hal yang tidak terhindarkan. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit warga masyarakat yang telah merasakan keuntungan menggunakan transportasi daring yang relatif murah dan mudah diakses. Berkat kehadiran transportasi daring, bukan saja pilihan masyarakat mencari transportasi publik menjadi lebih beragam, melainkan juga mereka memiliki kesempatan untuk menghindar dari tarif taksi konvensional dan tarif ojek yang lebih mahal. Di berbagai kota besar, selama ini biaya yang ditanggung masyarakat untuk fasilitas transportasi publik cenderung makin mahal.

Bayangkan, siapa yang tak senang jika naik taksi konvensional, warga kota yang pergi dari rumah ke bandara udara biasanya harus mengeluarkan uang sekitar Rp150 ribu, dengan adanya taksi daring, mereka kini cukup mengeluarkan uang sekitar Rp60 ribu-Rp70 ribuan atau sekitar separuh dari tarif taksi konvensional. Berkat kehadiran transportasi daring, biaya transportasi yang mesti ditanggung masyarakat sedikit-banyak mulai berkurang sehingga wajar masyarakat saat ini banyak yang merasa dimudahkan dan diringankan berkat kehadiran transportasi daring.

Masalah di lapangan

Ketika pelan-pelan kehadiran transportasi daring menjadi primadona dan dirasa mulai mengurangi kapling rezeki transportasi konvensional, keresahan pun lantas muncul di sejumlah daerah. Tidak hanya di DKI Jakarta, di berbagai kota lain kehadiran transportasi daring dalam beberapa tahun terakhir mulai mengalami penolakan, bahkan perlawanan yang keras dari para pelaku transportasi konvensional. Pemasukan dan penghasilan harian sopir taksi konvensional dan ojek-ojek konvensional yang belakangan ini turun drastis menjadi pemicu munculnya konflik di antara pelaku transportasi daring dengan transportasi konvensional.

Untuk mencegah konflik antarpelaku transportasi daring dan konvensional semakin merebak, pada 2017 pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No 26/2017. Sejak aturan itu diberlakukan, situasi di lapangan sebetulnya mulai kondusif. Namun, ketika peraturan ini dicabut, status keberadaan angkutan sewa khusus menjadi tidak jelas dan sangat rawan menimbulkan kembali gesekan horizontal. Setelah menggelar rangkaian diskusi yang melibatkan berbagai pihak, pemerintah mulai 1 Februari 2018 kembali menerapkan aturan baru, yakni Peraturan Menteri Perhubungan No 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak Dalam Trayek. Tujuan aturan baru itu, selain menjamin status transportasi daring, sekaligus mengatur agar tidak terjadi potensi gesekan antara pelaku transportasi daring dengan konvensional.

Meskipun sudah disosialisasikan, karena aturan baru dinilai banyak mengurangi ruang gerak transportasi daring, dan bahkan berisiko membahayakan keselamatan pelaku transportasi daring, aturan yang diberlakukan pada 1 Februari 2018 itu pun menuai resistensi dari pelaku transportasi daring. Di berbagai kota, ratusan atau bahkan ribuan pelaku transportasi daring menggelar aksi unjuk rasa, Senin (29/1), untuk menentang pemberlakuan Permenhub No 108/2017 karena aturan itu dinilai berpotensi merugikan pelaku transportasi daring.

Selain mempersoalkan jatah kuota transportasi daring di tiap-tiap kota yang dinilai jauh lebih sedikit daripada jumlah transportasi daring yang ada di lapangan, sebagian besar pelaku transportasi daring menolak pemasangan stiker dan logo Kemenhub serta menolak uji kir. Kewajiban pemasangan stiker transportasi daring dinilai bisa berpotensi membahayakan keselamatan mereka di jalan raya karena tidak tertutup kemungkinan akan menjadi sasaran ketidakpuasan dari pelaku transportasi konvensional yang merasa dirugikan karena kehadiran transportasi daring. Dengan diwajibkannya pemasangan stiker yang memperlihatkan identitas mereka sebagai transportasi daring, dikhawatirkan itu justru menjadikan mereka sebagai sasaran empuk jika terjadi konflik terbuka di lapangan.

Dilema pemerintah

Menyikapi aksi unjuk rasa yang digelar di berbagai kota dan aspirasi pelaku transportasi daring tentu bukan hal yang mudah bagi pemerintah. Posisi pemerintah dalam kasus ini boleh jadi serbadilematis. Di satu sisi, jika pemerintah membiarkan pelaku transportasi daring beroperasi tanpa batas, jelas hal itu akan berisiko mematikan ladang mata pencaharian pelaku transportasi konvensional. Di sisi lain, jika pemerintah mempertimbangkan aspirasi pelaku transportasi konvensional, bukan tidak mungkin hal itu akan merugikan masyarakat sebagai pengguna layanan transportasi publik yang menginginkan tarif yang lebih murah dan mudah.

Di mana dan bagaimana pemerintah harus bersikap menghadapi situasi yang dilematis seperti di atas, tentu itu bergantung pada kebijakan dan kepentingan yang menjadi pertimbangan utama pemerintah sebelum memutuskan sikap. Saat ini pemerintah tampaknya lebih memilih jalan tengah, yakni menjembatani dua kepentingan yang bertolak-belakang agar tidak saling mematikan. Menerapkan Permenhub No 108/2017 dalam pandangan pemerintah ialah jalan tengah yang paling kompromistis. Namun, lebih dari sekadar persoalan kepastian payung hukum, potensi pergesekan antara pelaku transportasi daring dan konvensional sebetulnya ialah konsekuensi tidak terhindarkan dari proses perubahan masyarakat menuju era digital.

Dengan penerapan aturan yang kompromistis ini, memang untuk sementara waktu potensi konflik dapat diredam. Namun, dengan memahami proses perubahan masyarakat menuju ekonomi informasional--termasuk transportasi daring--sebagai hal yang tidak terhindarkan, sudah semestinya pemerintah memikirkan langkah terobosan yang lebih efektif untuk memfasilitasi proses perpindahan okupasi bagi pelaku transportasi konvensional. ●

Trilogi Supermoon dan Siklus Banjir Jakarta

Trilogi Supermoon dan Siklus Banjir Jakarta
Gentio Harsono  ;  Dosen Universitas Pertahanan RI
                                            MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2018



                                                           
FENOMENA langka yang dikenal dengan trilogi supermoon diprediksi para ahli ilmu falak terjadi di Indonesia, puncaknya pada Rabu (31/1). Peristiwa itu langka karena peristiwa ini hanya terjadi dalam siklus 150 tahunan. Bulan akan berada pada titik terdekat dengan bumi (perigee). Bersamaan dengan itu, posisi bumi-bulan-matahari yang berada pada satu garis lurus menyebabkan gerhana bulan total mulai awal hingga tengah malam selama 3 jam 23 menit. Pengamat di bumi pun akan melihat bulan 30% lebih besar dan 14% lebih terang daripada purnama biasanya. Pasang tinggi air laut yang selama ini menjadi penyebab banjir rob di pesisir Jakarta patut mendapat perhatian oleh penduduk Jakarta Utara yang sering kali terpapar banjir rob. Teori gravitasi Newton (1642-1727) yang kemudian diturunkan formula matematikanya oleh Laplace (1749-1822) telah menghitung gaya tarik bulan-matahari terhadap bumi saat mencapai titik maksimumnya.

Pengaruh gravitasi bulan ialah paling dominan terhadap gaya penggerak pasang surut ini. Matahari hanya berkontribusi separuh kekuatan bulan. Tentu saja karena jarak bumi-bulan jauh lebih dekat daripada jarak bumi-matahari meski massa matahari jauh lebih besar daripada bulan. Artinya bahwa pada event trilogi supermoon ini, kedudukan air pasang akan mencapai titik lebih tinggi daripada biasanya.

Rob dan pasang surut

Banjir rob pesisir Jakarta dan pantai utara Jawa umumnya tidak lepas dari peristiwa periodik harian yang disebut dengan pasang surut. Meski bagi masyarakat pesisir Jakarta rob merupakan peristiwa normal dan rutin, rob selama lebih dua dasawarsa terakhir telah terjadi perubahan siklus dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas dari tahun ke tahun. Alasan utamanya tentu mengacu ke dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan pesisir, penurunan muka tanah, dan pemanasan global yang turut meningkatkan ancaman bencana terhadap penduduk Kota Jakarta. Sekarang siklus rob pun tidak lagi mengenal musim, bisa saja terjadi saat hujan maupun kemarau. Ini pertanda curah hujan bukanlah faktor utama yang menyebabkan fenomena rob.

Keunikan karakter hidrologi Jakarta pun turut mendukung. Pada periode tertentu luapan banjir datang dari hulu dan hilir dalam waktu sama. Lumpuhnya Jakarta akibat banjir sudah sering terjadi dan berulang pada jeda waktu yang berbeda-beda. Tentu kita masih ingat banjir di 2002, 2007, dan 2013 saat kiriman air deras datang dari wilayah atas di wilayah Bopuncur yang kerap terjadi ketika puncak curah hujan tinggi pada awal tahun. Sekarang perubahan iklim telah nyata berdampak pada meningkatnya pasokan air ini. Tren jumlah hari hujan di Indonesia menurun, tapi frekuensi hujan maksimum harian justru meningkat, menyebabkan tingginya debit air sungai secara ekstrem pada saat-saat tertentu.

Land subsidence

Masalah utama meningkatnya dampak rob ialah penurunan tanah (land subsidence) yang terjadi luar biasa di pesisir Jakarta. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jakarta (2010) menyebut 40% wilayah Jakarta berupa dataran rendah dengan ketinggian berada di bawah muka air laut pasang 1-1,5 meter. Bahkan, hasil penelitian oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL pada 2017 menemukan kedudukan beberapa titik di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Muara Baru berada 20 cm di atas muka laut rata-rata. Ini artinya tempat-tempat tersebut akan tergenang air laut selama periode pasang karena ketinggian air pasang di Teluk Jakarta dapat mencapai 60 cm di atas muka laut rata-rata. Parahnya lagi terjadi penurunan muka tanah di pesisir Jakarta secara luar biasa. Hasil survei Leveling Pushidrosal pada titik tinggi geodesi (TTG) sepanjang periode 1992-2013 bahkan memperoleh angka perhitungan penurunan tinggi muka tanah ekstrem di Pondok Dayung dan Ancol sekitar 20 cm/tahun.

The New York Times pada Kamis (21/12/2017) membeberkan perilaku penduduk Jakarta menyebabkan ancaman perubahan iklim. Jakarta diprediksi tenggelam lebih cepat daripada kota besar lain di dunia karena perilaku warga yang mengambil air permukaan tanah di bawahnya tanpa kendali. Tipologi tanah berupa rawa dengan beban yang harus diterima akibat menjamurnya bangunan beton di atasnya, yang semakin mempercepat proses land subsidence. Alih fungsi lahan basah rawa menjadi pusat-pusat kawasan bisnis. Sementara itu, faktor perubahan iklim akan membuat tinggi muka air Laut Jawa naik sekitar 91,4 cm di abad selanjutnya. Tentulah sangat beralasan untuk menjadi kekhawatiran kita.

Waspada banjir siklus 5 tahunan

Siaran pers yang disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tentang fenomena trilogi supermoon (2/1) dan potensi hujan lebat saat puncak musim penghujan patut menjadi perhatian bersama. Sungai-sungai di Jakarta dengan debit air maksimum akan tertahan di hilir bersamaan dengan waktu pasang tinggi. Luapan air sungai pun menyebabkan banjir tinggi dalam waktu yang lebih lama. Warga Jakarta sudah tentu harus mempersiapkan diri menghadapi siklus banjir lima tahunan ini. Ritme rutin aktivitas ekonomi, sosial, dan perdagangan di Ibu Kota tentu saja akan terganggu. Para karyawan libur karena jalan menuju tempat bekerja tidak bisa dilalui kendaraan bermotor.

Kantor, perusahaan, dan sekolah pun terpaksa libur karena prasarananya tidak berfungsi akibat tergenang banjir. Intensitas curah hujan tinggi dan fenomena trilogi supermoon ialah siklus alami. Perilaku manusialah yang harus mampu mengatasi dan mengubah di bumi tempat tinggalnya, tentu dengan memperbaiki cara-cara memperlakukan lingkungan dengan mengutamakan konservasi. Kini saatnya semua pihak menjaga lingkungan hidup dan menjadikan masalah lingkungan di sekitar kita berada di halaman paling depan pemikiran kita. Sedia payung sebelum hujan. ●

Pidana LGBT dan Hak Asasi

Pidana LGBT dan Hak Asasi
Mimin Dwi Hartono  ;  Staf Senior Komnas HAM
                                                    TEMPO.CO, 30 Januari 2018



                                                           
Dewan Perwakilan Rakyat mendorong adanya ketentuan pemidanaan terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Rencana itu memposisikan kelompok LGBT sebagai pelaku kriminal, sehingga tidak sesuai dengan norma dan nilai hak asasi manusia (HAM).

Menurut norma dan prinsip HAM yang dimuat dalam dokumen Prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles), LGBT adalah kelompok rentan yang wajib dilindungi oleh negara.Prinsip Yogyakarta adalah panduan global bagi upaya penghapusan stigma dan diskriminasi bagi kelompok LGBT. Dokumen itu dicetuskan di Yogyakarta pada 2007 oleh 29 ahli hukum internasional dan HAM dari 25 negara. Salah satunya adalah Marry Robinson, bekas Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam perspektif HAM, LGBT juga disebut sebagai SOGIE (sexual orientation gender identity and expression atau orientasi seksual dan identitas gender). Menurut Prinsip Yogyakarta, orientasi seksual dijelaskan sebagai kapasitas masing-masing orang untuk memunculkan ketertarikan emosional, rasa sayang dan ketertarikan seksual, serta hubungan intim dan seksual dengan individu dari gender yang berbeda atau sama atau lebih dari satu gender.


Adapun identitas gender adalah perasaan dan pengalaman internal setiap individu terhadap gender yang mungkin saja tidak sesuai dengan jenis kelaminnya pada saat dia dilahirkan. Hal itu termasuk perasaannya pada bagian tubuhnya, yang mungkin mencakup, jika dapat dipilih secara bebas, pengubahan bentuk tubuhnya dengan cara medis, pembedahan atau cara lainnya, dan cara lain dalam mengekspresikan gender, termasuk cara berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku.

Kelompok LGBT melakukan aktivitas seksual konsensual, yakni tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa atas pilihan pribadi, tanpa paksaan dan dengan kesadaran penuh. Orientasi seksual dan identitas gender merupakan bagian integral dari martabat dan kemanusiaan, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar melakukan diskriminasi, kekerasan, apalagi pemidanaan.

Prinsip Yogyakarta disusun dari berbagai standar HAM dan implementasinya terhadap isu-isu orientasi seksual dan identitas gender dengan berbasis pada nilai universal bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak. Dengan demikian, setiap orang berhak menikmati HAM tanpa adanya perbedaan atas dasar apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, dan agama. Sebagai salah satu kelompok rentan, karena sebagian besar dari mereka belum dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara, dan hidup dalam ketakutan dan diskriminasi secara masif, LGBT wajib dilindungi oleh negara sebagaimana layaknya manusia lain.

Pemahaman yang keliru atas LGBT, baik di kalangan masyarakat, pemuka agama, maupun pemerintah, mengakibatkan kaum tersebut terus mengalami tindak diskriminasi dan pelanggaran HAM. LGBT dianggap sebagai aktivitas amoral, menyimpang, dan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Menurut Komisi HAM PBB, kekhawatiran yang didasari homofobia ini seringkali mendatangkan kekerasan, tindakan sewenang-wenang, dan pengucilan terhadap kelompok tersebut.

Sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum mengambil langkah-langkah efektif untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip dalam Prinsip Yogyakarta. Padahal, kekerasan terhadap kelompok LGBT sudah banyak terjadi, seperti pelecehan, pengucilan, penganiayaan, penahanan sewenang-wenang, perundungan, khususnya di sekolah, dan yang kini mengancam adalah pemidanaan.

UUD 1945 menggariskan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu. Deklarasi Universal HAM juga menegaskan bahwa semua manusia terlahir dengan martabat dan hak yang setara. Maka, setiap orang dari semua orientasi seksual dan identitas gender berhak menikmati HAM sepenuhnya. Untuk itu, negara wajib mengubah segala perundang-undangan, termasuk yang berkaitan dengan pidana, untuk memastikan bahwa mereka sejalan dengan perlindungan HAM secara universal.

Namun, yang saat ini terjadi, khususnya di DPR, adalah tindakan yang sebaliknya. Alih-alih melindungi LGBT dari tindak kekerasan dan diskriminasi, DPR justru berupaya mempidanakan mereka. Legislator seyogianya melihat dan memahami LGBT secara utuh sesuai dengan Prinsip Yogyakarta dalam membahas Rancangan KUHP. ●