Genealogi Pancasila
Anhar Gonggong ;
Sejarawan
|
KOMPAS, 23 Mei
2016
Beberapa waktu ini, banyak diskusi mengenai
hari lahir Pancasila. Karena itu, mungkin ada baiknya—paling tidak—untuk
mengingat kembali dan memahami genealogi Pancasila dalam kaitannya dengan
pemikiran perumus awalnya, Ir Soekarno.
Dalam kaitan itu, di bawah ini saya berikan
kerangka, bagan pemikiran Soekarno ketika menyampaikan rumusan awal Pancasila
yang disampaikan pada sidang seksi pertama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), hari terakhir, 1
Juni 1945.
Sekarang, sekarang,
dan sekarang juga
Sebenarnya, badan bentukan pemerintah
pendudukan Jepang ini, walaupun namanya berkaitan dengan ”usaha kemerdekaan”,
agenda pembicaraannya belum akan membicarakan hal-hal prinsip tentang
kemerdekaan, termasuk ”belum akan” membicarakan dasar negara.
Dalam kaitan dengan dibicarakannya dasar
negara, beginsel ini, karena inisiatif dan keberanian
dari kaitjoo (ketua) badan yang justru ”ditunjuk” oleh
pemerintah pendudukan Jepang itu. Masa sidang seksi pertamanya adalah 29
Mei-1 Juni 1945. Dengan demikian, anggota BPUPKI, pemimpin bangsa,
intelektual Ir Soekarno, adalah pembicara pada hari terakhir dari masa sidang
seksi pertama itu.
Menurut anggota Ir Soekarno, Ketua BPUPKI Ir
KRT Radjiman Wedyodiningrat meminta untuk membicarakan dasar Indonesia
merdeka. Karena itu, ”dasar inilah nanti akan saya bicarakan di dalam pidato
saya ini.” Amat penting untuk diketahui bahwa di dalam menerangkan konsep
yang diajukannya, Ir Soekarno terlebih dahulu merangkum: apakah yang saya
artikan dengan perkataan ”merdeka”. Ir Soekarno berkata, ”Merdeka buat saya
ialah ’political independence’, politieke onafhan-kelijkheid.”
Apakah yang dinamakan political onafhankelijheid?
Setelah menerangkan berbagai hal tentang kesiapan merdeka dengan menyebutkan
berbagai negara, Uni Soviet, Arab Saudi, kemudian Ir Soekarno menyatakan,
”Saudara-saudara pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia
merdeka, sekarang.”
Selanjutnya, ”Saudara-saudara, kalau umpamanya
pada saat sekarang ini bala tentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara
kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita
menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang
Merdeka!” Dan menurut Ir Soekarno ”di seberang jembatan, jembatan emas inilah
baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat,
sehat, kekal, dan abadi”.
Seperti bagan yang diberikan pada pendahuluan,
tampak ”dinamika” pemikiran di antara pemimpin-pemimpin bangsa ketika
melanjutkan rumusan yang telah dikemukakan anggota BPUPKI, dan dirumuskan
ulang oleh panitia kecil yang diketuai Ir Soekarno dengan wakilnya Drs Moh
Hatta, dan terakhir rumusan tertanggal 18 Agustus 1945 oleh badan pengganti
BPUPKI, yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga
ketuanya Ir Soekarno dengan wakilnya Drs Moh Hatta.
Begitu Ir Soekarno selesai mengucapkan pidato
perumusannya tentang dasar negara—weltanschauung dengan nama
Pancasila, terjadilah dua kelompok yang berbeda dalam menanggapi pidato
rumusan dasar negara itu. Kedua kelompok itu adalah anggota nasionalis
”sekuler” dan anggota nasionalis ”Islami”. Kelompok nasionalis Islami
tidaklah menolak sepenuhnya rumusan Ir Soekarno itu, tetapi berkehendak
merumuskan kembali butir-butir yang diajukan olehnya. Sementara nasionalis
sekuler lebih cenderung menerima sepenuhnya apa yang dirumuskan Ir Soekarno
itu.
Melihat adanya dua kelompok ”yang saling
berbeda” itu, Ketua BPUPKI meminta kedua belah pihak untuk membentuk panitia
kecil untuk menemukan ”formula” yang disepakati bersama. Panitia kecil itu
diketuai Ir Soekarno dan wakil Drs Moh Hatta ditambah dengan tujuh anggota
lain.
Setelah panitia kecil berapat selama beberapa hari, pada 22 Juni 1945
mereka berhasil merumuskan formula kesepakatan mereka yang oleh Mr Moh Yamin
disebut sebagai Piagam Jakarta. Di dalam Piagam Jakarta—yang tentu saja juga
disetujui Ir Soekarno sebagai ketua panitia kecil—terdapat perbedaan dengan
rumusan awal konsep Ir Soekarno pada 1 Juni 1945.
Perbedaan itu adalah (1) istilah Pancasila
sebagai dasar negara yang diajukan oleh Ir Soekarno tidak dicantumkan,
melainkan langsung menggunakan ”… dengan berdasar kepada” (menyebutkan kelima
butir dasar yang dimaksud). Sila pertama, kebangsaan, diganti dengan
”Ketuhanan… dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, sedangkan sila kebangsaan digantikan dengan sila
Persatuan Indonesia dan ditempatkan pada butir ketiga.
Setelah pelbagai perkembangan situasi yang
berkaitan dengan posisi Jepang sebagai peserta perang Dunia II bergabung
dengan fasisme Jerman, BPUPKI diganti dengan badan lain, yaitu Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan ketuanya Ir Soekarno dengan
wakilnya Drs Moh Hatta.
Singkatnya, Jepang kemudian menyerah pada 15
Agustus 1945. Setelah melalui pelbagai situasi dan dengan berapat di rumah
Laksamana Maeda, pada 17 Agustus 1945 Ir Soekarno mengumumkan proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia. Naskah proklamasi yang dibacakan itu
ditandatangani Soekarno bersama dengan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, sidang
PPKI yang dipimpin oleh ketuanya, Ir Soekarno, menyepakati Pembukaan UUD
negara dengan menempatkan butir-butir dasar negara pada alinea keempat.
Kembali terjadi perubahan terhadap butir-butir dasar negara itu. Kembali
istilah Pancasila sebagai nama dasar negara tidak tercantum. Namun, sila
pertama juga berubah, hanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuh kata
”…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dihilangkan.
Rumusan yang disepakati di dalam sidang PPKI
tertanggal 18 Agustus 1945 itulah yang disepakati sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Sidang kedua rumusan terdahulu merupakan rumusan—meminjam
kata yang digunakan Prof Notonegoro—calon dasar negara.
Istilah Trisila
Mungkin banyak di antara kita hanya mengingat
istilah itu sebagai perasan dari Pancasila, yaitu sosio-nasionalisme,
sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Sebenarnya, dua sila, sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi sudah pernah ditulis Ir Soekarno sebagai pemimpin pergerakan
rakyat dan sebagai pemikir, intelektual, pada 1933. Ini ditulisnya sebagai
bentuk penolakannya terhadap demokrasi Barat, yang disebutnya sebagai
demokrasi impor. Ketika menyebutkan kedua sila perasan itu, beliau selalu
menggunakan kata-kata ”sebagaimana dulu…”.
Demikianlah gambaran genealogis Pancasila,
sejak awal kelahiran rumusan awalnya, sampai pada Piagam Jakarta, 22 Juni,
dan kemudian ditetapkan sebagai dasar negara NKRI, tidak dapat dipisahkan
dengan Ir Soekarno dengan posisinya dalam periode menuju dan menjadi merdeka.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar