Selasa, 28 Januari 2020

Refleksi 94 Tahun NU


Refleksi  94 Tahun NU

Oleh  :  SALAHUDDIN WAHID

KOMPAS, 27 Januari 2020


“Pendapat dan sikap PBNU bahwa NU adalah “ashabul qoror, bukan “ashabul haq”, harus dibahas dalam muktamar. Masalah ini amat mendasar dan menentukan masa depan NU, bahkan masa depan Indonesia.


Januari 2020 Nahdlatul Ulama (NU) berusia 94 tahun. Dengan kalender Hijriyah usianya 97 tahun. Berarti 3 dan 6 tahun lagi NU akan berusia 100 tahun. Suatu usia yang panjang.

Tidak banyak organisasi yang mencapai usia 100, apalagi berprestasi tinggi. Di Indonesia organisasi besar yang sudah berusia 100 tahun dan punya prestasi tinggi adalah Muhammadiyah.

Kita perlu merefleksi perjuangan panjang jama’ah (warga) dan jami’yah (organisasi), supaya bisa meneruskan dengan arah dan cara yang benar.

Pesantren Tebuireng bekerja sama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah, menggarap  film “Jejak Langkah Dua Ulama”, berkisah tentang perjuangan KH Ahmad Dahlan dan KHM Hasyim Asy’ari. Film itu diharapkan bisa menggambarkan perjuangan kedua tokoh itu dalam mendirikan dua organisasi yang menjadi jangkar Indonesia.

NU mengandung empat pengertian. Pertama adalah ajaran, kedua ulama dan pesantren, ketiga warga (jama’ah). dan keempat organisasi.

Ajaran yang dianut oleh organisasi NU adalah ahlissunnah wal jama’ah (aswaja) an Nahdliyyah. Istilah aswaja dipakai oleh banyak kalangan Islam. Untuk memberi kekhususan, diberi ciri an Nahdliyyah.

Dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah. Pahamnya bersumber pada Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Aswaja yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Dalam bidang fiqih NU mengakui madzhab empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Dalam tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam lain.

Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja,  NU menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada. Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan ditekankan.

Dalam sikap kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan empat prinsip Aswaja: tawasut (sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan), tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama manusia), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).

Ada satu aspek yang belum dicantumkan sebagai bagian dari aswaja an Nahdliyyah, yaitu dalam bidang politik. NU ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945. NU adalah pelopor dalam menerima Pancasila pada Muktamar 1984. NU ikut berjuang dalam ikhtiar mendirikan departemen agama pada 1946.

NU menjadi pelopor dalam terbitnya UU Perkawinan pada 1973-1974. Juga dalam terbitnya UU Peradilan Agama pada 1989 serta berbagai UU yang mengakomodasi syariat Islam. Ada aspek lain yang amat penting tetapi belum banyak dibahas, yaitu pemikiran ekonomi Islam aswaja. Menurut saya ini perlu dimasukkan ke dalam aswaja an Nahdliyyah,

Belakangan para tokoh PBNU gencar berkampanye tentang Islam Nusantara, meski sejumlah ulama NU menolak istilah itu seperti KH Hasyim Muzadi dan Lukman Hakim Saifuddin.

Mereka lebih setuju istilah Islam di Nusantara. Tampak bahwa para tokoh PBNU masih berbeda pandangan dan pengertian tentang Islam Nusantara. Diharapkan Muktamar ke 34 bisa mempertegas substansi Islam Nusantara.

Ulama dan pesantren

Organisasi NU didirikan oleh para ulama dan disebarkan oleh santri di ribuan pesantren. NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil.
Pesantren didirikan oleh warga NU, bukan organisasi NU. Jadi mereka independen terhadap organisasi NU.

Jumlah pesantren di seluruh Indonesia saat ini mencapai 28.000, berkembang pesat dari 10.000 pesantren pada 1999. Sebagian besar adalah pesantren kecil. Di Jawa sekitar 80 persen. Lebih dari 90 persen adalah pesantren warga NU.

Muhammadiyah dan Hidayatullah dalam dua dekade terakhir giat mendirikan pesantren. Ratusan pesantren mendirikan sekolah tinggi agama dan belasan pesantren mendirikan universitas.

Pesantren  merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara, memberikan sumbangsih besar dalam upaya mencerdaskan bangsa, memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan. Tetapi perhatian pemerintah belum sebanding dengan peran pesantren.

Direktorat yang membawahkan pesantren baru berdiri tahun 2000. Dengan adanya UU Pesantren, diharapkan direktorat ditingkatkan menjadi direktorat jenderal: semacam “affirmative program” untuk mendorong pesantren lebih maju.

Menurut lembaga survei, jumlah orang yang mengaku warga NU dan cenderung ke NU mencapai 40 persen jumlah umat Islam, sekitar 90-95 juta. Itu terdiri dari mereka yang mengikuti ajaran aswaja an Nahdliyah, para keturunan warga NU atau yang cenderung pada sikap keberagamaan NU. Kebanyakan dari mereka adalah petani dan masyarakat menengah bawah.

Warga NU alumni pesantren sudah banyak yang belajar di universitas ternama di berbagai negara Barat, tidak hanya di Timur Tengah. Muncullah perbedaan penafsiran ajaran Islam, yang harus dijembatani dengan arif.

Kita sering mendengar ucapan bernada bangga dari tokoh NU tentang fakta jumlah warga NU.  Apakah fakta itu membuat NU dalam politik lebih kuat? Ternyata tidak.

Dalam pemilu 2019, menurut exit-poll sebuah lembaga survei, 15 persen warga NU memilih PKB, 17 persen memilih PDIP, dan 5 persen memilih PPP (partai yang NU pernah terlibat di dalamnya).

Apakah fakta itu membuat prestasi organisasi NU lebih baik dibanding ormas lain? Juga tidak. Ribuan pesantren dan sekolah/masyarakat yang berada di dalamnya bukan prestasi organisasi NU. Jusuf Kalla pernah mengatakan, Muhammadiyah adalah holding company, NU lebih mirip franchise.

Organisasi NU

Organisasi NU didirikan pada Januari 1926 untuk meningkatkan efektivitas dakwah jama’ah NU. Sampai tahun 1950-an organisasi NU berjalan baik dan berencana kerja sama ekonomi dengan pihak Jepang.

Saya ingat, pada 1951/52 saya sering diajak oleh ayah saya mengunjungi percetakan Yamunu (Yayasan Muawanah NU) di Jalan Juanda dekat rel. Percetakan itu mencetak buku nikah. Tetapi beberapa tahun kemudian percetakan berhenti karena order dialihkan ke percetakan milik tokoh NU.

Saya juga ingat, pada 1959 dalam rangka pelatihan pandu Ansor untuk Jambore Internasional di Makiling Philipina, saya dan sejumlah kawan menginap di gedung milik NU di Jalan Sudirman.

Di banyak kota terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, ada fasilitas sosial, kesehatan, dan pendidikan yang didirikan organisasi NU dan organisasi di bawahnya terutama Muslimat NU.

Setelah NU berubah menjadi Partai NU akhir April 1952, budaya dan paradigma ormas NU berubah menjadi partai politik. Fokus organisasi NU bergeser dari usaha sosial dan pendidikan menuju kegiatan politik.

Titik lemah NU justru terletak pada organisasinya. Ketua Umum PBNU pasca KHA Wahid Hasyim (wafat April 1953) bukan tokoh yang sadar organisasi termasuk aspek keuangan. Organisasi badan otonom dan lembaga di bawah PBNU yang memberi perhatian besar kepada kegiatan sosial dan pendidikan adalah Muslimat NU dan Fatayat NU.

Praksis parpol

Banyak tokoh PBNU pada posisi strategis adalah  politisi atau bersikap politis. Paradigma dan praksis organisasi menjadi seperti parpol: pragmatis dan menghalalkan segala cara. Muktamar NU ke 32 (Makassar) dan Muktamar ke 33 (Jombang) menjadi contoh nyata.

Satu masalah lain di dalam organisasi NU adalah kerancuan kepemimpinan: siapa pemimpin tertinggi dalam organisasi NU, antara Rois Aam dan Ketua Umum? Secara teori, yang tertinggi adalah Rois Aam, tetapi karena keduanya dipilih dalam muktamar, ketua umum tidak selalu manut pada rois aam. Seperti ada dua matahari.

Sejak  awal rois aam adalah penentu kebijakan dan  ketua umum adalah pelaksana kebijakan. Jadi ketua umum sebaiknya organisator, pemimpin dan punya kemampuan manajerial. Dia eksekutor bukan hanya orator.

Ketua umum sebaiknya punya integritas tinggi, berwawasan agama luas, mampu berkomunikasi, dan tidak menggunakan posisi untuk kepentingan diri dan kelompok.

Kenyataannya, kehadiran NU sebagai partai politik 1952-1984 amat membekas dalam diri para tokoh NU. Keterlibatan sebagai partai politik selama 32 tahun tidak mudah dihapus bekasnya. Apa lagi pada 1998 tokoh-tokoh PBNU mendirikan PKB. Jadi NU lepas dari keterlibatan politik hanya pada 1984-1998 (14 tahun).

Kiprah NU dalam kehidupan politik sudah diatur di dalam Khittah NU. Khittah menjadi landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU: perseorangan maupun organisasi.

Khittah NU ada 9 butir: 1. Mukaddimah; 2. Pengertian; 3. Dasar-dasar Faham Keagamaan NU; 4. Sikap Kemasyarakatan NU; 5. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan; 6.Beberapa Ikhtiyar; 7. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama;  8. NU  dan Kehidupan Bernegara; 9. Khatimah.

Perhatian masyarakat terutama pada butir 8 tentang NU dan kehidupan bernegara. Di dalamnya terkandung banyak alinea, tetapi fokus masyarakat hanya pada alinea kelima yang isinya adalah: “NU sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun  juga. Setiap warga NU adalah warga negara dengan hak-hak politik dan dilindungi undang-undang”.

Sejak awal sudah ada yang mengusulkan supaya NU tidak sepenuhnya meninggalkan politik praktis. Mahbub Djunaedi mengusulkan “Khittah Plus”, tetapi tidak ditanggapi positif.

Rois Aam PBNU KH Sahal Mahfudz menyatakan bahwa politik NU adalah politik kebangsaan, politik keumatan, bukan politik kekuasaan atau politik praktis. KH As’ad Syamsul Arifin menyatakan bahwa NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Maksudnya organisasi NU tidak ikut partai apapun, tetapi warga NU ada di banyak partai.

Dalam kenyataan, organisasi NU pergi ke (ikut) satu partai (PKB).  Bahkan sedikit atau banyak ada campur tangan partai terhadap struktur NU. Ternyata warga NU yang memilih PKB hanya  15% dan yang memilih PPP hanya 5%. Struktur NU mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan 2/3 warga NU memilih pasangan itu.

Yang kurang elok, saat tidak ada menteri yang dianggap mewakili PBNU, tokoh-tokoh NU seperti ngambek. Tentu tidak ada menteri yang mewakili PBNU, karena NU bukan partai politik, walaupun berperi laku dan bertindak seperti partai.

Struktur NU saat ini berpendapat bahwa Khittah NU dalam masalah politik bersifat situasional dan kondisional. Mereka mengatakan bahwa NU adalah “ashabul qoror, bukan hanya ashabul haq”.

NU juga berkepentingan dengan kekuasaan, bukan hanya kebenaran. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa karena organisasi NU memberi perhatian utama pada masalah politik, maka kegiatan organisasi dalam amal usaha (kegiatan pendidikan, sosial, kesehatan dan ekonomi) terabaikan.

Pendapat dan sikap PBNU bahwa NU adalah “ashabul qoror, bukan “ashabul haq”, harus dibahas dalam muktamar. Masalah ini amat mendasar dan menentukan masa depan NU, bahkan masa depan Indonesia.

NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani (civil society). Sikap istiqomah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia.

(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)