Taat Konstitusi sebagai Wajib Syar’i
Akhmad Sahal ;
Pengurus Cabang Istimewa NU
Amerika Serikat
|
KOMPAS, 21 Mei
2016
”Indonesia sudah
negara Islam.” Demikian pernyataan KH Ali Mustafa Yaqub yang disampaikannya
dalam rapat persiapan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nadlatul Ulama
pada 2012. Menurut mantan Imam Besar
Masjid Istiqlal yang baru saja wafat itu, negara Islam setidaknya memiliki
empat indikator: aspek ubudiyah
(ritual), mu’amalah (perdagangan
dan relasi sosial), munakahah
(pernikahan dan keluarga), dan jinayah
(pidana). Di Indonesia, hampir semua aspek tersebut sudah berjalan dengan
mematuhi batasan-batasan syariah. Hanya aspek jinayah yang tidak berlaku. Namun, hal itu tak membatalkan
Indonesia sebagai negara Islam. Karena itu, bagi
KH Ali Mustafa Yaqub, Muslim Indonesia wajib patuh pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan tidak dibenarkan melakukan pembangkangan. Pihak
yang masih menganggap Indonesia belum menjalankan syariah sebaiknya angkat
kaki dari Tanah Air (NU Online,
10/8/2012).
Dalam menilai
keabsahan suatu negara, KH Ali Mustafa Yaqub tak terjebak label dan
penampilan luar, tetapi lebih menekankan substansi. Dasar NKRI adalah
Pancasila, bukan Islam. Namun, di mata KH Ali Mustafa Yaqub, fakta bahwa
hampir seluruh aspek syariah sudah berlaku di Indonesia kiranya cukup untuk
menyebut negara Indonesia sebagai ”sudah Islam”. Karena itu, beliau
mewajibkan Muslim Indonesia untuk taat terhadap NKRI.
Penegasan KH Ali Mustafa Yaqub tersebut jadi relevan sekarang
ini, di tengah maraknya kelompok Islam yang menolak NKRI, yang mereka cap
sebagai thoghut, dan mengampanyekan
khilafah. Tak
pelak hal ini memicu pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya ketaatan maupun
pembangkangan terhadap ”Negara Pancasila” dilihat dari perspektif syariah.
Negara kesepakatan
Seperti tercatat dalam
sejarah, republik kita lahir sebagai hasil kesepakatan para pendirinya yang
sadar betul akan watak Indonesia yang majemuk secara agama, etnis, dan sosial
budaya. Pancasila dipilih sebagai dasar negara karena dengan cara itulah
kebinekaan terjaga. Ikatan politik yang mendasarinya bukan sentimen
primordial, tetapi kesatuan sebagai bangsa. Keanggotaan di negara kita tidak
ditentukan oleh agama, seperti pada masa pramodern, melainkan oleh kewarganegaraan
yang setara.
Para tokoh Islam yang
ikut dalam kesepakatan itu sebagai wakil umat Islam juga setuju dengan negara
kebangsaan ketimbang mendesakkan berlakunya Piagam Jakarta yang memberi
mandat kepada negara mewajibkan penerapan syariah kepada pemeluknya. Dengan
keputusan itu, mereka selintas tampak tak menerapkan syariah dalam bernegara.
Padahal, sejatinya mereka menerapkan syariah secara lebih substantif, yakni
merealisasikan kemaslahatan bersama yang notabene tujuan syariah. Para tokoh
Islam itu menyadari, tuntutan menegakkan negara Islam dalam konteks Indonesia
yang majemuk akan berujung perpecahan dan sektarianisme politik yang justru
bertentangan dengan prinsip maslahat.
Kesepakatan bersama
yang mendasari ”Negara Pancasila” termanifestasi dalam konstitusi RI.
Konstitusi merupakan dokumen kontrak sosial yang mengikat semua pihak yang
terlibat, langsung ataupun tidak langsung. Artinya, kontrak sosial tersebut
juga mengikat warga negara yang lahir belakangan.
Mengapa? Begitu
seseorang jadi warga negara dan memanfaatkan fasilitas dan infrastruktur
negara, membayar pajak, menggunakan sertifikat tanah, akta kelahiran, KTP,
SIM, surat nikah, paspor, dan dokumen negara lainnya, sesungguhnya itu
mengekspresikan persetujuannya terhadap negara dan kesepakatan yang
mendasarinya.
Jadi, meskipun warga
negara yang hidup pada masa sekarang tak ikut merumuskan konstitusi, ia tetap
harus loyal terhadapnya. Kewarganegaraan adalah penanda bagi persetujuan
untuk terikat dengan kontrak sosial yang termaktub dalam konstitusi. Tentu
saja kesepakatan bisa diubah, konstitusi bisa diamandemen, ditambah atau
dikurangi sesuai kalkulasi kemaslahatan hidup yang dinamis. Namun, selama itu
belum terjadi, warga negara harus menaati konstitusi yang ada.
Wajib penuhi kesepakatan
Bagi mereka yang
Muslim, kewajiban menaati konstitusi tidak semata-mata karena statusnya
sebagai warga negara, juga atas dasar ajaran agamanya. Dalam pandangan Islam,
menaati kesepakatan sama artinya memenuhi janji yang wajib sifatnya. Pengingkaran
sepihak terhadap kesepakatan adalah perbuatan yang sangat tercela. Al Quran
dengan tegas mewajibkan umatnya untuk menaati kesepakatan yang mereka buat,
seperti dalam ayat ”Penuhilah perjanjian kalian; sesungguhnya janji itu akan
dituntut pertanggungjawabannya” (QS 17:34). Ayat yang senada bisa kita
temukan pada QS 5:1, 2: 177, 16: 91, dan 13: 19.
Di samping itu, Nabi
Muhammad juga bersabda, ”Umat Islam terikat dengan perjanjian yang mereka
buat.”Dan, tatkala terlibat dalam kesepakatan, Nabi dengan teguh menaatinya
dan menindak tegas para pelanggar.
Misalnya, keterlibatan
Rasul pada masa prakenabian dalam Hilful
Fudhul, yakni ikrar aliansi antarsejumlah kepala suku Quraisy untuk
menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah dari kesewenangan. Meski Hilful Fudhul terjadi saat pra-Islam,
Nabi tetap mengingatnya sebagai satu keutamaan. Kata Nabi, ”Aku turut serta
sebagai saksi dalam ikrar (Hilful
Fudhul) di rumah Abdullah bin Jud’am. Betapa senang hatiku
menyaksikannya. Seandainya sekarang aku diajak mengadakan ikrar seperti itu
lagi, pasti aku sambut dengan baik.”
Ikrar kebangsaan kita
bisa dianalogikan dengan Hilful Fudhul.
Nasionalisme Indonesia adalah pakta bersifat lintas suku dan agama; bertujuan
bukan hanya mengusir penjajah, juga mencapai kebaikan bersama, seperti
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa. Dengan kata lain,
kebangsaan kita adalah ikrar keutamaan, semacam Hilful Fudhul kekinian. Kalau Hilful
Fudhul oleh kafir Quraisy saja dipuji oleh Nabi, apalagi Hilful Fudhul Indonesia, yang
melibatkan kaum Muslim.
Contoh lain adalah
ketika Nabi membangun tatanan politik dan sosial di Madinah yang dirumuskan
dalam Piagam Madinah. Di sini Nabi tidak menjadikan Al Quran sebagai
konstitusinya. Yang dipakai justru hasil kesepakatan dan negosiasi semua
komponen masyarakat Madinah yang terdiri atas berbagai pemeluk agama. Ini
wajar karena konstitusi pada prinsipnya aturan main perihal bernegara. Aturan
main yang adil mesti bertolak dari kesepakatan pesertanya dan menampung
keragamannya. Dalam Konstitusi Madinah, misalnya, terdapat pasal yang
menegaskan bahwa Muslim dan Yahudi merupakan satu umat. Juga ada pasal
tentang perlindungan terhadap kebebasan menjalankan keyakinan agama
masing-masing.
Nabi begitu kukuh
memegang kesepakatan yang tertuang dalam Konstitusi Madinah dan dengan tegas
memberi sanksi pada para pelanggarnya, apa pun agamanya. Ketika suku Qutaibah
yang Muslim melanggar Konstitusi Madinah, Nabi tak segan menghukum mereka.
Begitu juga terhadap beberapa kabilah Yahudi mengkhianati Konstitusi Madinah
dengan perbuatan makar yang merongrong tatanan Madinah. Nabi pun mengusir
mereka. Penting untuk dicatat, pengusiran kaum Yahudi dari Madinah sama
sekali bukan karena keyakinan agama mereka, tetapi karena pengkhianatan
terhadap konstitusi negara.
Walhasil, ketaatan
terhadap konstitusi hukumnya wajib secara syar’i, karena itu sama artinya
dengan memenuhi kesepakatan, yang diwajibkan dalam Islam. Mempertentangkan
antara ketaatan terhadap konstitusi dan ketaatan terhadap Kitab Allah adalah pandangan
yang salah alamat karena menaati konstitusi merupakan manifestasi dari
menaati Kitab Allah.
Ini berarti, kalangan Muslim Indonesia yang mengampanyekan khilafah
atau negara Islam sejatinya telah melakukan pengingkaran sepihak terhadap
kesepakatan bersama. Mereka mengampanyekan penegakan syariah, tetapi yang
mereka lakukan justru melanggar syariah. Kalau mau konsisten, mestinya mereka
melepaskan kewarganegaraannya. Atau, memakai bahasa KH Ali Mustafa Yaqub,
silakan angkat kaki dari Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar