Koalisi Pemerintah Pascasuksesi Golkar
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Associate Director Akar Rumput Strategic
Consulting (ARSC)
|
KORAN SINDO, 27
Mei 2016
Suksesi Partai Golkar
yang membawa Setya Novanto menjadi ketua umum partai berlambang beringin ini
sangat penting dalam konstelasi politik nasional.
Urgensitas suksesi
dalam Partai Golkar, selain karena Golkar merupakan salah satu partai papan
atas dalam politik nasional, juga terkait arah koalisi di internal pemerintah
yang akan merangkul partai tersebut menjadi bagian di dalamnya. Apabila
pemerintah memandang masuknya Partai Golkar ke dalam koalisi akan memperkuat
performa koalisi yang berkuasa dalam dinamika politik, artikel ini akan
menjelaskan sebaliknya.
Pemerintah yang
terpilih dan mendapatkan legitimasi dari kepercayaan publik untuk membangun
pemerintahan bersih dan berintegritas akan terancam terkikis dukungannya
seiring masuknya Partai Golkar ke dalam koalisi pemerintahan. Sebenarnya kita
tidak melihat ada kejutan apa pun ketika membaca dinamika Munaslub Partai
Golkar sampai terpilihnya Setya Novanto sebagai ketua umum.
Suksesi ketua umum
yang berlangsung di dalam Partai Golkar lalu semakin menguatkan kritik
khalayak publik terhadap watak di dalam Partai Golkar. Kepemimpinan medioker
minus prestasi dan integritas, aroma kuat permainan politik uang, dan
hilangnya kehendak untuk membangun kepemimpinan politik yang bersih telah
mengalahkan seruan untuk melakukan reformasi di dalam partai tersebut.
Terpilihnya Setya
Novanto menjadi ketua umum Partai Golkar, tidak lama setelah yang
bersangkutan terindikasi kasus penyuapan dalam kasus saham Freeport,
memperlihatkan partai tersebut telah imun (tidak peduli) dari desakan dan
suara publik. Apa yang berlangsung di dalam Partai Golkar ini dalam banyak
hal mencerminkan sesuatu yang jamak dalam realitas partai politik di
Indonesia dengan derajat yang berbedabeda.
Hal itu adalah
terpisahnya proses komunikasi politik antara dinamika politik yang
berlangsung di tingkat elite dan tumbuhnya kesadaran kritis baru di tingkat
publik terhadap keadaan politik terkini.
Dengan memilih figur
seperti Setya Novanto yang memiliki persoalan serius secara etika politik, baik
elite politik maupun kader-kader di internal Partai Golkar, masih memandang
bahwa realitas politik Indonesia hanyalah dibentuk oleh pertukaran material
dan kepentingan. Serta, pengaruh kekuasaan tanpa memperhatikan bagaimana
publik secara luas memandang performa maupun kredibilitas dari partai
tersebut.
Konsekuensi bagi Koalisi
Persoalan tidak
sensitifnya partai terhadap desakan publik pada akhirnya tidak hanya akan
membawa pengaruh pada Partai Golkar. Namun, juga akan memengaruhi koalisi
politik pendukung pemerintah. Hal ini apabila mengingat bahwa Partai Golkar
akan masuk ke dalam koalisi dan indikasi bahwa lingkaran-lingkaran kekuasaan
ikut berperan dalam terpilihnya Setya Novanto menjadi ketua umum Partai
Golkar.
Setidaknya ada
beberapa hal yang akan memperlemah performa pemerintah ketika Partai Golkar
pascasuksesi masuk ke dalam koalisi pemerintah. Hal itu terkait beberapa
faktor; Pertama, semakin melemahnya kepercayaan publikbahwa pemerintah
sekarang konsisten dengan agenda reformasi dan pemerintahan bersih.
Kedua, pemerintah akan
terbelenggu dan berpotensi tersandung dengan tarikan kepentingan-kepentingan
ekonomi-politik pendukungnya. Ketiga , alih-alih memperoleh dukungan dari
kekuatan politik berbasis program, pemerintah hanya mendistribusikan
kekuasaan maupun aliansi dengan kekuatan politik dengan komitmen yang
dipertanyakan.
Ketika kita berbicara
masuknya Golkar dalam rumah besar koalisi pemerintah, masuknya Partai Golkar
dengan pemimpin yang patut kita pertanyakan kredibilitas dan jejak langkahnya
akan melemahkan koalisi tersebut, alih-alih menguatkan. Rezim Joko Widodo
(Jokowi) adalah pemerintahan yang di awal masa terpilihnya dianggap sebagai
rezim populis yang didukung lapisan besar kekuatan masyarakat sipil di
Indonesia.
Artinya, legitimasi
politik dari rezim ini sangat ditentukan oleh suara-suara publik yang
memiliki komitmen atas demokrasi dan pemerintahan yang bersih. Ketika proses
pembentukan aliansi-aliansi politik hanya memperhitungkan aspek pragmatisme,
jumlah dukungan politik di parlemen tanpa mempertimbangkan kehendak membangun
pemerintah yang bersih, akan fatal akibatnya.
Rezim Jokowi
pelan-pelan akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dari kekuatan masyarakat
sipil. Sebagai presiden, Jokowi akan berhadapan sendirian dengan kekuatan
politik elite yang akan memangkas satu persatu komitmen awal pemimpin, kepada
pemerintahan yang bersih dan digantikan oleh tekanan politik berbasis
kepentingan yang bertubi-tubi.
Apa yang akan terjadi
selanjutnya apabila hal ini dibiarkan, Presiden Jokowi akan mengulangi
kesalahan yang sama yang pernah dilakukan rezim Presiden SBY yaitu ketika
pemimpin menyia-siakan dukungan publik dan terjebak dalam koalisi gemuk yang
membuat pemerintahan berjalan di tempat.
Hal ini akan membawa
pada konsekuensi penyanderaan rezim Jokowi di hadapan belenggu kekuatan
oligarki dan kepentingan aliansi bisnis-politik yang mengharapkan konsesi
maupun sumber daya publik bagi kemakmuran aliansi mereka masing-masing.
Beberapa kasus yang tengah terjadi mulai dari amputasi terhadap institusi
KPK, persoalan kasus Freeport, akan menjadi situasi yang akan dihadapi
berulang-ulang oleh Presiden Jokowi di masa depan.
Sementara itu,
keberlanjutan agenda reformasi dan program Nawacita membutuhkan dukungan
masyarakat sipil dengan agenda politik yang genuin. Kekecewaan publik
terhadap performa koalisi pemerintahan pada akhirnya akan melemahkan
kepercayaan dan energi politik bagi perubahan yang ditunggu-tunggu. Keadaan
politik seperti ini tidak akan menjadikan rezim Jokowi mampu membangun pemerintahan
yang kuat dan berwibawa.
Aliansi politik yang
sarat dengan kepentingan dan lemah dalam integritas dan kredibilitas politik
justru akan membangun pemerintahan yang lemah dan rentan. Padahal, kekuatan
utama Jokowi sebagai presiden melalui tradisi blusukan -nya justru pada
legitimasi dan kepercayaan publik.
Semakin kuat Jokowi
dikelilingi oleh aliansi politik tanpa kredibilitas yang kuat, akan semakin
menjauh dukungan dan ekspektasi publik atas performa pemerintahan. Apa yang
terjadi dalam kasus dinamika koalisi dan masuknya Partai Golkar di dalamnya
ini memberikan pelajaran penting. Bahwa, siasat
dan strategi dalam politik tidak hanya selalu berhubungan dengan pragmatisme
kepentingan dan tarik-menarik transaksi antarelite politik. Siasat politik yang
beradab juga mensyaratkan kemampuan membangun kepercayaan dan dukungan
publik, yang hanya dapat diraih dengan peneguhan kredibilitas dan integritas
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar