Senin, 31 Oktober 2016

Balai Kota DKI Jakarta Setelah Ahok Cuti

Balai Kota DKI Jakarta Setelah Ahok Cuti
Daniel HT ;   Kompasianer dari FakFak, Papua Barat
                                                KOMPASIANA, 29 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di hari terakhir Ahok masuk kerja sebelum menjalani masa cuti wajibnya sebagai calon petahana gubernur DKI Jakarta, warga semakin banyak mendatangi Balai Kota untuk bertemu dan mengadu kepada Ahok (Berita Satu TV). Untuk pertama kalinya sejak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, di hari pertama dia cuti, Jumat pagi (28/10/2016), suasana di pendopo Balai Kota DKI Jakarta lain daripada biasanya: sunyi-senyap, tidak ada satu pun warga yang tampak di sana. Padahal, selama ini, di pendopo Balai Kota itu, sejak Ahok menjadi gubernur, setiap pagi di hari kerja,  selalu dipenuhi warga Jakarta  yang mengantri untuk bertemu langsung dengannya, muka dengan muka, untuk berbagai keperluan, mulai dari yang serius, mengadu kepada Ahok tentang aneka masalah yang dihadapinya, sampai dengan yang hanya ingin foto bersama, atau untuk menyampaikan undangan pernikahannya atau kerabatnya. Setiap hari, saat datang ke Balai Kota, sebelum masuk ke ruang kerjanya, Ahok selalu dengan sabar dan serius mendengar satu per satu apa yang diadukan warga kepadanya. Setiap pengaduan itu jika memang layak dibantu, segera ditindaklanjuti untuk diselesaikan secepat-cepatnya. Untuk keperluan itu beberapa staf sudah selalu siap siaga untuk menindaklanjutinya sesuai dengan arahan Ahok. (Kompas.com)

Masalah serius yang diadukan warga kepada Ahok, misalnya, yang pernah diadukan seorang warga dari rumah susun Tipar, Cakung, Jakarta, yang bernama Tuminah. Ia datang ke Balai Kota pada 6 September 2016, dan mengadu langsung kepada Ahok bahwa anaknya yang bernama Niki Pradana diserang orang dengan senjata tajam, lalu ketika hendak melarikan diri, dia ditabrak mobil, anak itu menderita luka parah, dia dilarikan ke Rumah Sakit Ananda, Bekasi. Tuminah tidak mampu membayar biaya perawatan anaknya di rumah sakit swasta itu, ia meminta bantuan Ahok. Saat itu juga Ahok memerintahkan stafnya agar segera mendatangi rumah sakit itu untuk membayar biaya perawatannya, dan memindahkan Niki ke RSUD DKI Jakarta. Saat staf Ahok ke rumah sakit itu, pihak rumah sakit menyatakan Niki tidak perlu dipindahkan, karena sudah melewati masa kritisnya, dan beberapa hari lagi sudah boleh pulang. Semua biaya perawatannya pun dibayar Ahok. Sedangkan masalah lain yang lebih ringan sampai dengan yang aneh-aneh, misalnya ada warga yang mengadu baru saja putus cinta dan minta nasihat Ahok; ada PNS yang mengadu karena suaminya selingkuh; ada  seorang perempuan yang minta uang melahirkan, lalu setelah melahirkan, ia kembali lagi dengan membawa anaknya ke Balai Kota, menemui Ahok, kali ini untuk minta uang susu; ada warga yang minta uang tiket kereta api untuk pulang kampung, dan sebagainya.

Menurut salah satu staf Ahok, Kamillus, menghadapi pengaduan-pengaduan itu, biasanya Ahok akan menyuruh staf lainnya untuk melakukan survei hari itu juga terhadap beberapa aduan yang butuh disurvei. Setelah yakin warga butuh bantuan, Ahok akan membantu. Tetapi, bantuan itu hampir selalu tidak dalam bentuk menyerahkan langsung uang tunai kepada yang bersangkutan, melainkan langsung dibayarkan kepada pihak yang berhak menerimannya. "Ada yang mau pulang ke kampung enggak bisa beli tiket, kami belikan tiket. Kami kasih dalam bentuk tiket, bukan kasih duit. Uangnya pakai uang operasional, Bapak. Dia enggak pakai sendiri, dia pakai buat bantu orang," kata Kamillus.

Demikian pula dengan setiap warga yang hanya ingin foto bersama dengannya, Ahok selalu melayani mereka satu per satu dengan sabar, untuk undangan pernikahan warga yang disampaikan kepadanya, yang kebetulan umumnya dari warga kurang mampu, Ahok selalu menyediakan waktunya untuk sedapat mungkin memenuhi undangan-undangan itu.  

Selama Ahok menjalankan cuti wajibnya sampai dengan selesai (28 Oktober 2016 – 11 Februari 2017, tampaknya suasana di pendopo Balai Kota itu akan selalu sepi dari warga sebagaimana yang terjadi pada hari pertama Ahok cuti itu. Karena bagi sebagian warga DKI Jakarta itu, Ahok tak tergantikan, meskipun sudah ada Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono alias Soni sebagai pelaksana tugas (plt) Gubernur DKI Jakarta. Terbukti dari suasana di Jumat pagi itu, tidak ada satu pun warga yang datang ke pendopo Balai Kota untuk mengadu kepada plt. Gubernur DKI itu.

Sumarsono sempat heran ketika tiba di Balai Kota, melihat tidak ada satu pun warga yang ada di sana, “Kok, tidak ada warga, ya?” tanyanya kepada petugas di sana, padahal ia juga membuka kesempatan kepada warga untuk mengadu kepadanya seperti yang dilakukan Ahok. Suasana
pendopo Balai Kota DKI Jakarta, Jumat, 28 Oktober 2016, di hari pertama Ahok cuti (Kompas.com) menurut petugas yang biasa bertugas di sana, hanya ada beberapa warga yang datang, tetapi mereka hanya menitip berkas pengaduannya, lalu pulang. Mereka tahu Sumarsono juga membuka kesempatan warga mengadu kepadanya seperti yang dilakukan Ahok, tetapi tetap saja yang mereka mau adalah Ahok, oleh karena itu tidak ada satu pun warga yang menunggu Sumarsono untuk mengadu kepadanya. Mereka sudah mempunyai rasa chemestry dengan Gubernur Ahok. Hubungan chemestry antara warga/rakyat dengan pimpinannya seperti chemistry rakyat DKI Jakarta dengan Gubernur Ahok memang tidak akan pernah bisa ditiru, dibuat-buat, apalagi dipaksa-paksakan, karena semua itu berlangsung secara alamiah, spontan.

Seorang pimpinan yang baik dan bijaksana, yang sungguh-sungguh berbakti kepada rakyatnya, tanpa pamrih apapun, pasti dengan sendirinya akan membuat rakyat merasa tenteram, merasa dilindungi, diayomi, dan diperhatikan.  Sem Simanjutak, warga Jakarta Utara, yang tidak tahu kalau Ahok sudah cuti, saat datang di Balai Kota di Jumat pagi itu, mengaku kecewa berat ketika tahu Ahok tidak berada di sana karena cuti. Padahal, maksud kedatangannya itu adalah untuk menyampaikan undangan pernikahan keponakannya untuk Ahok. Sem berkisah, ia pernah mengadu kepada Ahok karena ijazah anak tetangganya ditahan pihak sekolah sampai dua tahun karena belum menyelesaikan kewajiban keuangannya kepada pihak sekolah. Ia lalu menemani tetangganya itu mengadu kepada Ahok di Balai Kota. Pengaduan itu langsung ditanggapi Ahok, 2-3 hari kemudian ijazah anak tetangganya itu sudah ditebus, dan bisa diambil.

Asal muasal kebiasaan Ahok setiap pagi menerima pengaduan warga itu berasal dari rasa cinta dan keperdulian sejati darinya sebagai seorang pimpinan yang mengayomi. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Ahok, asal muasal dia setiap pagi menerima langsung pengaduan warga kepadanya di pendopo Balai Kota itu adalah ketika ada saja warga yang mengatakan kurang puas jika hanya mengadu melalui SMS, yang memang disediakan Ahok untuk itu. Lalu, Ahok bilang, kalau belum puas, tunggu saja dia di Balai Kota. Tunggu dia di sana, sebelum masuk ke ruang kerja, nanti bisa bertemu langsung dia di situ, adukan saja langsung masalahnya, nanti diselesaikan.

Ternyata ucapannya itu benar-benar direspon warga dengan melakukan apa yang disarankannya itu, dari situlah kebiasaan itu berlangsung terus, sampai dengan saat Ahok terpaksa menjalani masa cutinya sebagai calon petahana gubernur DKI Jakarta itu. Ahok sendiri juga langsung merasa lebih senang jika bisa bertemu langsung dengan warga saat mereka mengadu kepadanya itu, daripada hanya melalui SMS, karena dengan bertemu langsung itu dia bisa tahu detail pokok masalahnya. Lagi pula kata Ahok: “Kalau lihat muka orang kan, bisa ketahuan bohong enggak-nya. Dari matanya ketahuan, laporan dia benar atau enggak-nya."

Sebagai manusia biasa, mungkin saja terkadang ada rasa jenuh Ahok menjalani rutinitas seperti itu, tetapi ketika hal itu ditanyakan kepadanya, Ahok spontan menjawab: "Namanya juga jadi pejabat, pelayan. Ya begitu, mau gimana lagi."

Kecintaan Ahok dengan pekerjaannya sebagai gubernur “pelayan rakyat” itu bukan sekadar slogan,  tetapi benar-benar sudah dibuktikan oleh Ahok selama dua tahun lebih masa baktinya itu, itulah sebab pula dia merasa keberatan ketika dipaksakan untuk cuti dengan alasan harus memenuhi ketentuan formal Undang-Undang Pilkada 2016, yang menetapkan calon petahana kepala daerah wajib cuti selama masa kampanye pilkada (berkampanye atau tidak, harus cuti), apalagi masa cuti itu terlalu lama: sampai empat bulan!  Oleh karena itulah Ahok pun mengajukan uji materi terhadap Pasal 70 Ayat 3 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur ketentuan tersebut, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ahok mengharapkan MK mengabulkan permohonannya itu dengan mengubah ketentuan tersebut menjadi cuti hanya wajib jika calon petahana kepala daerah hendak menjalani kampanye. Jika tidak kampanye, ia boleh menjalankan tugas jabatannya sebagai kepala daerah seperti biasa. (Baca artikel: MK Seharusnya Menerima Permohonan Uji Materi dari Ahok)

Ahok sangat ingin tetap bekerja, terutama saat pembahasan RAPBD DKI 2017 yang rawan dengan pencoleng-pencolengnya. Ia juga telah menyatakan tekadnya bahwa jika MK mengabulkan permohonan uji materinya itu, maka ia akan kembali bekerja seperti biasa. Menteri Dalam negeri Tjahjo Kumolo juga sudah menyatakan bahwa jika MK mengabulkan permohonan uji materi Ahok, dan berlaku surut, maka ia akan mencabut surat keputusannya (SK) tentang plt kepala daerah itu. Dengan demikian pengangkatan plt Gubernur DKI Jakarta dibatalkan, dan Ahok kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta definitif. Apalagi sesungguhnya pengangkatan plt kepala daerah berdasarkan SK Mendagri itu rawan bermasalah secara hukum, karena di dalam SK itu disebutkan bahwa plt kepala daerah diberi kewenangan membuat keputusan strategis, termasuk penentuan APBD. Padahal Pasal 14 ayat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan jelas menentukan: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

Pemuda Berkecerdasan Kewargaan

Pemuda Berkecerdasan Kewargaan
Yudi Latif ;   Cendekiawan
                                           MEDIA INDONESIA, 28 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"AKHIRNYA," tulis Ben Anderson, 'saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh 'kesadaran pemuda' ini." Mohammad Hatta, sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan pertanyaan retoris, "Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik?" Lantas ia jawab sendiri, "Kalau mahasiswa Belanda, Prancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda yang serbamenggembirakan, pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain.

Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya, dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serbasukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya."

Kesadaran revolusioner kaum muda Indonesia itu tidaklah jatuh dari langit, tetapi sengaja diusahakan melalui penaburan benih-benih kecerdasan yang disemai di ruang publik. Memasuki dekade kedua abad ke-20, generasi baru, yang terdidik secara baru, melahirkan kesadaran baru bahwa untuk masa yang panjang Bumiputera hidup bagaikan katak dalam tempurung, dan tempurung itu dipercaya sebagai langit luas. Mereka melihat dengan mata sendiri kesengsaraan yang diderita oleh massa rakyat, dan menyadari sepenuhnya bahwa 'senjata' lama dengan impian ratu adilnya tak lagi memadai sebagai sarana perjuangan.

Generasi baru tampil dengan menawarkan 'senjata' baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Senjata itu bernama kecerdasan dan ilmu (ideologi). Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada 'kejumudan' dan 'kesempitan', kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme yang lebar dan inklusif.

Dengan kecerdasan dan ideologi, generasi baru menyadari bahwa rakyat Indonesia dengan pecahan-pecahan yang banyak dan beraneka tak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan jika tidak memiliki 'bilangan penyebut' yang sama. Perjuangan dari keragaman posisi subjek memerlukan titik temu (common denominator). Penyebut bersama sebagai titik temu itu mereka temukan dalam nama Indonesia, dengan imaji komunitas bersama yang dikonstruksikan melalui Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Dalam menggagas imaji kebangsaan baru itu, Sumpah Pemuda berisi kecerdasan pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serbaragu, konformis, parokialis, dan status quois dari generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun itu, datang dengan etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), bersendikan kecerdasan dengan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki kemampuan untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik.

Sumpah Pemuda itu juga berisi tekad dari suatu kaum yang progresif bahwa pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Dalam ungkapan Samuel Ullman, "Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi yang berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imaginasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan."

Sumpah Pemuda itu berisi kebesaran. Kebesaran jiwa yang mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup bersama. Meski Jawa merupakan bahasa dengan jumlah penutur paling banyak, dan pemuda-pelajar yang menghadiri Kongres Pemuda itu juga banyak yang berasal dari Tanah Jawa, bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan kebangsaan yang egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa melayu-Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Sumpah Pemuda itu berisi keluasan. Keluasan horizon imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama dan kedaerahan. Di bawah payung 'nasionalisme kewargaan', segala kesempitan dan keragaman dipertautkan ke dalam keluasan imaji keindonesiaan. Kesanggupan mentransendensikan kesempitan etnosentrisme menuju keluasan solidaritas kebangsaan itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.

Elan vital jiwa Sumpah Pemuda itu sangat penting kita bangkitkan manakala kehidupan publik-kenegaraan saat ini cenderung mengabaikan kecerdasan. Kehormatan pikiran kembali dihinakan politik dinasti dan kekuatan uang, yang membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif dan ekonomi kreatif sebagai basis daya saing global pada era pascaindustri tak bisa berkembang secara kondusif.

Dengan peluluhan daya pikir, kelebaran semangat nasionalisme kewargaan juga disempitkan kembali oleh semangat partaiisme, tribalisme, koncoisme, fundamentalisme, dan daerahisme. Dalam situasi demikian, proyek nasionalisme kewargaan yang digagas Sumpah Pemuda berjalan surut ke belakang. Kita dihadapkan pada situasi yang pahit, harus menerima nubuat dari Edward Shils, "Kendati intelektual negara-negara terbelakang telah menciptakan ide tentang bangsa di negeri mereka sendiri, mereka belum sanggup mencipta sebuah bangsa. Mereka sendiri adalah korban dari kondisi itu karena nasionalisme tidak dengan sendirinya menjelmakan semangat kewargaan."

Gerak mundur keindonesiaan sebagai kebangsaan yang tidak mewujudkan kewargaan itu sangat tampak dari melemahnya jati diri manusia Indonesia dalam aspek kedirian yang bersifat publik bahwa pribadi yang baik tidak dengan sendirinya menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik. Kita juga bisa menyaksikan hampir semua hal yang bersifat kolektif mengalami dekadensi: partai politik sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi sakit, aparatur penegak hukum dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan organisasi-organisasi keagamaan yang berskala besar pun mulai menunjukkan gejala sakit.

Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kegagalan pembangunan bangsa dalam mengembangkan 'kecerdasan kewargaan' (civic intelligence). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif-kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret 'huruf' alfabet tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke dalam 'kata' dan 'kalimat' bersama. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya).

Padahal, pengembangan 'kecerdasan kewargaan' lebih fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi individualisme. Berbeda dengan individualisme, Pancasila memandang, dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk jaringan relasi sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di bawah keadaan yang sangat luar biasa, bergantung pada bentuk-bentuk kerja sama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya.

Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, pengembangan jati diri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya sebagai 'perwujudan khusus' ('diferensiasi') dari alam. Pengembangan jati diri juga harus memberi wahana setiap orang untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama yang terkristalisasi dalam Pancasila.

Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem prilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Maka dari itu, pengembangan 'kecerdasan kewargaan' berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, persis pada titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini. Peringatan Hari Sumpah Pemuda harus dijadikan momentum untuk mengembalikan trayek kebangsaan Indonesia pada rel nasionalisme kewargaan, dengan mengembangkan 'kecerdasan kewargaan' berjiwa Pancasila.

Mirna Selesai, Jessica Berlanjut

Mirna Selesai, Jessica Berlanjut
Moh Mahfud MD ;   Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013
                                                KORAN SINDO, 29 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seperti diduga sebelumnya, apa pun isi putusan hakim atas kasus pembunuhan Mirna yang didakwakan kepada Jessica, pasti memicu kontroversi panas. Demikianlah, setelah Ketua Majelis Hakim Kisworo mengetukkan palu penghukuman penjara selama 20 tahun kepada Jessica pada pukul 17.00 WIB, Kamis kemarin, lusa kontroversi betul-betul memanas.

Televisi-televisi besar menjadikannya sebagai berita ”pro-kontra” sepanjang malam tanpa henti, sosial media ribut juga penuh kontroversi. Sebagai mantan hakim yang pernah menangani banyak kasus, saya tahu persis dan sudah pernah menulis di harian ini bahwa tak ada putusan hakim yang bisa diterima oleh semua orang.

Setiap hakim mengetukkan palu dan menjatuhkan vonis selalu saja ada yang mencelanya. Ya, sekurang- kurangnya orang yang dikalahkan dalam perkara itu atau orang yang tuntutannya tidak dikabulkan oleh pengadilan biasanya marah-marah kepada hakim.

Ada saja caci maki dan tudingan berlaku tidak adil terhadap hakim oleh orang-orang yang kalah atau mempunyai keterikatan emosional tertentu terhadap satu perkara atau oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan secara utuh. Tetapi pada saat yang sama, banyak juga pujian-pujian yang dipersembahkan kepada hakim sebagai hakim yang adil dan benar-benar mewakili Tuhan oleh orang-orang yang menang dan terpuaskan oleh putusan hakim.

Oleh sebab itu, kita harus paham betul para hakim yang mengadili kasus pembunuhan Mirna Salihin sendiri menyadari bahwa posisinya akan dijepit secara keras oleh opini publik, apa pun yang diputuskan. Jika menjatuhkan hukuman kepada Jessica, tentu sudah dihitung akan menuai bermacam-macam tudingan seperti sekarang ini.

Sebaliknya, seandainya mereka memutus dengan membebaskan Jessica dari segala dakwaan, tentu juga akan dibanjiri hujatan yang tak kalah besar, di samping tentu saja akan ada yang memujinya. Pokoknya kalau menjadi hakim jangan pernah berharap akan dipuji oleh semua orang, tetapi jangan pula takut dicaci maki oleh banyak orang. Putus saja sesuai bisikan nurani dan sikap profesional dan penuh kejujuran.

Kalau itu dilakukan, pastilah akan memberi kepuasan batin kepada hakim yang bersangkutan. Yang penting bagi hakim itu bersikap profesional, berusaha jujur, dan bersih dari pengaruh kasar maupun pengaruh halus. Dalam kasus pengadilan Jessica ini, saya mencatat secara umum hakimnya cukup leluasa untuk bersikap objektif.

Perkara ini tidak terkait dengan urusan politik sehingga tak tampak ada tekanan politik dari mana pun kepada para hakim. Perkara ini juga tak terkait dengan uang dan tak melibatkan bisnis besar sehingga tidak terdengar adanya kecurigaan telah terjadinya penyuapan atas kasus ini. Kontroversinya murni berkisar pada penafsiran atas fakta di persidangan yang pada akhirnya hal itu memang menjadi wewenang hakim.

Rasanya dalam menangani kasus ini para hakim telah memutus sesuai dengan keyakinannya sendiri sesuai dengan rangkaian fakta hukum di persidangan. Kesimpulan majelis hakim tidaklah berdasar pada satu fakta, tetapi didasarkan pada rangkaian fakta-fakta yang menuntun kepada keyakinan tertentu.

Soal kita setuju atau tidak setuju atas keyakinan hakim itu, adalah lain soal. Setuju atau tidak setuju itu lebih dipengaruhi oleh informasi, posisi, atau ikatan emosional kita terhadap kasus itu. Keluarga Darmawan Salihin dan jaksa penuntut umum tentu berbeda pandangan dan sikapnya dengan keluarga Jessica dan para pengacaranya yang dipimpin oleh Otto Hasibuan.

Kita pun yang melihat dari luar bisa juga berbeda-beda dalam memandang kasus itu, bergantung pada persepsi dan informasi yang kita asup masing-masing. Kita harus memaklumi jika Darmawan Salihin sering kali terlihat kalap dan kurang proporsional dalam mengekspresikan kemarahannya terhadap setiap kecenderungan yang ingin membebaskan Jessica.

Kita harus maklum juga jika jaksa penuntut umum ngotot membuktikan kebenaran dakwaannya, sebab memang itulah tugas profesional jaksa jika berani membawa satu kasus ke pengadilan. Sebaliknya kita tidak boleh marah kepada Jessica jika dia berusaha melakukan semua upaya yang bisa dilakukan untuk membebaskan dirinya.

Kita tak boleh gusar kepada Otto Hasibuan yang setiap hari selalu pasang badan melawan arus kencang yang menyasar Jessica, sebab memang seperti itulah sikap yang harus ditunjukkan oleh advokat. Itu tak harus selalu dikaitkan dengan bayaran seperti yang dikatakan oleh Darmawan bahwa pengacara membela Jessica mati-matian karena dibayar. Itu adalah bagian dari sikap profesional advokat.

Yang penting, sekarang kasus itu telah divonis melalui sidang yang terbuka dan bisa dicerna oleh akal sehat publik. Majelis hakim telah melakukan tugasnya sesuai hak dan kewenangannya hingga mencapai keyakinan tanpa diwarnai hal-hal yang kolutif dan mencurigakan. Kita boleh bersetuju atau tidak bersetuju dengan keyakinan dan vonis hakim itu, tetapi putusan hakim sudah sah tanpa memerlukan persetujuan kita.

Jessica boleh marah dan tidak menerima bahkan menganggap putusan hakim itu tidak adil dan kejam sehingga melalui ketua tim pembelanya, Otto Hasibuan, langsung menyatakan naik banding. Itu adalah hak Jessica yang tak bisa dihalangi oleh siapa pun. Jadi untuk pengadilan pertama, kasus pembunuhan Mirna Salihin ini sudah selesai tetapi kasus ini masih akan berlanjut ke babak berikutnya karena Jessica menyatakan naik banding.

Mungkin setelah pengadilan tingkat banding pun, kasus ini masih akan berlanjut sebab Jessica maupun jaksa penuntut umum masih bisa melakukan perlawanan hukum ke tingkat kasasi di MA atas apa pun yang nanti diputus oleh pengadilan tingkat banding. Kita berharap agar para hakim tetap bersikap profesional menegakkan hukum dan keadilan.

Mereka tidak boleh terpengaruh oleh masifikasi opini yang sangat mungkin akan terus digelombangkan oleh Otto Hasibuan maupun oleh Darmawan Salihin. Pastilah sulit menjadi hakim yang benar-benar jujur dan adil, tetapi cukuplah bagi setiap hakim ”berusaha secara sungguh-sungguh” untuk jujur dan adil.

Panggung Kampanye Pilkada

Panggung Kampanye Pilkada
Gun Gun Heryanto ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
                                                KORAN SINDO, 28 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tirai penutup panggung kampanye pilkada telah dibuka. Momen 28 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017 bak musim semi politik citra.
Semua pasangan kandidat di 101 pilkada serentak akan menggunakan beragam cara memersuasi pemilih. Kampanye, publisitas, propaganda, dan public relations politik dipadu- padankan menjadi satu paket strategi pemenangan pada basis pemilih.

Di panggung kampanye, para kandidat menjadi aktor yang ditonton khalayak. Semua pesan verbal lisan dan tulisannya, gestur, konteks, dan dramatisasi gagasannya menjadi menu harian opini publik yang diperbincangkan di media massa dan media sosial.

Lorong Kebisingan

Di fase kampanye para kandidat ibarat memasuki lorong kebisingan. Setiap saat “dikuliti” dari semua sisi. Oleh karenanya dibutuhkan daya tahan dan kecerdasan komunikasi sekaligus agar mendapatkan “tempat dalam kognisi khalayak. Setelah memasuki lorong kebisingan tersebut, para kandidat tak bisa memutar haluan atau menepi di tempat sunyi.

Jalan harus disusuri dengan memahami beragam karakteristik suara yang terdengar di sekitarnya. Mulai dari suara yang lirih bersedih, manja merajuk hingga agresif menyerang dan menyudutkan diri, pengharapan, bahkan kehormatan sang kandidat. Persis drama di panggung hiburan, alur selalu menuntut aspek dramatis.

Multilakon dan memunculkan banyak efek kejut. Bedanya panggung hiburan seusai pertunjukkan tak ada beban jangka panjang, sementara panggung politik pilkada berdampak lima tahun ke depan dan berhubungan erat dengan kepentingan publik. Oleh karenanya dibutuhkan keseriusan dari pada kandidat, khalayak, dan media untuk memosisikan panggung kampanye ini tak lagi sebatas prosedural, melainkan lebih memaknainya secara substansial.

Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Dengan demikian, hakikat dari kampanye itu adalah komunikasi, artinya tindakan untuk membangun kesepahaman (understanding).

Dalam konteks pilkada, tentu saja pesan kandidat berupaya penetratif ke lapis pemilih mulai dari khalayak umum (general public), publik beperhatian (attentive public), dan kelompok elite (the leadership public). Pada saat memilih, mereka yang menjadi khalayak atau komunikan terbelah ke basis kelompok pemilih tradisional dan rasional dengan ragam dimensi serta karakteristik yang melekat pada mereka masing-masing.

Dari sudut waktu, kampanye dibatasi tidak sebebas publisitas politik. Sifat gagasannya bisa diperdebatkan khalayak dan tujuannya biasa dirancang secara tegas, spesifik serta variatif. Modus penerimaan kampanye bersifat sukarela, sementara modus tindakannya dibatasi etika dan aturan yang ditetapkan UU maupun peraturan KPU.

Kampanye dengan demikian bukanlah tindakan serampangan dan ugal-ugalan, tetapi komunikasi terencana yang wajib dikelola secara cerdas. Paling tidak, ada tiga hal yang harus dikelola secara serius.

Pertama, positioning yang dalam tulisan Heibing dan Cooper (1997) didefinisikan sebagai upaya membangun persepsi tentang kandidat di pasar sasaran relatif.

Oleh karenanya dibutuhkan nilai keberbedaan si kandidat di tengah keberadaan kandidat lain. Faktor yang harus diperhatikan kandidat adalah past-record, yakni memori kolektif atas sosok kandidat di masa lalu. Faktor lain adalah harus cerdas mengelola apa yang Worcester dan Baines (2006) sebut sebagai consistent image di mana citra politik diteguhkan secara nyata lewat kerja politik, isu politik, dan image kepemimpinan.

Kedua, branding sebagai upaya strategis mengembangkan identitas agar menarik perhatian dan minat masyarakat untuk lebih mengenal pasangan kandidat. Faktorfaktor yang harus menjadi perhatian antara lain soal atribut, yakni bagaimana pasangan kandidat bisa mengusung keunggulan, keistimewaan, kualitas atau kekuatan masingmasing.

Faktor benefit menyangkut keistimewaan, keunggulan, dan kekuatan yang harus diterjemahkan ke dalam keuntungan-keuntungan emosional dan fungsional dari pemilih. Apa yang bisa diharapkan pemilih dari kandidat inilah yang akan menjadi branding kuat kandidat. Selain itu ada faktor values (nilai yang menjadi kelebihan kandidat), culture (representasi budaya tertentu), personality atau kepribadian tertentu yang menarik minat pemilih, serta kecerdasan memahami user, yakni siapa sebenarnya

“konsumen” kampanyenya. Ketiga, segmenting, yakni upaya mengidentifikasi kelompok- kelompok yang ada di masyarakat agar bisa memahami sifat dan karakteristik beragam kelompok tersebut untuk mempermudah ekspansi politik sesuai target. Pemilih itu berfragmentasi, tetapi mereka memiliki titik simpul sendiri-sendiri. Jika bisa dipetakan dan dikelola dengan baik, hal itu dapat menjadi insentif elektoral bagi kandidat.

Tren Kemenangan

Kampanye di era demokrasi terbuka seperti sekarang seharusnya memberi ruang lebih terang- benderang bagi penguatan politik warga. Kandidat tidak terjebak semata pada kepentingan sesaatnya, yakni meraih kekuasaan, tetapi membawa publik pada geliat kebersamaan. Tren kemenangan di banyak praktik elektoral belakangan menunjukkan gejala unggulnya politik populis yang berporos pada nilai kekitaan kandidat dengan pemilih.

Kampanye yang unggul tak cukup hanya bermodalkan retorika dan karisma, terlebih di daerah-daerah yang akses informasinya berlimpah seperti Jakarta. Kandidat dituntut lebih piawai meyakinkan zona penerimaan pemilih bahwa mereka adalah bagian dari penyelesaian masalah dengan sejumlah programnya.

Bukan sebaliknya, pemilih melihat para kandidat sebagai bagian dari masalah. Kandidat harus membangun kepercayaan publik bahwa mereka berkomitmen melakukan perubahan. Tahap berikutnya adalah menggerakkan kerja berjejaring dalam semangat kekitaan yang kuat.

Tak cukup lagi hanya mengandalkan mesin partai, guyuran uang, dan konstruksi citra di media massa. Kandidat butuh terhubung langsung dengan basis pemilih di akar rumput. Kampanye harus transformasional atau menggerakkan warga sehingga agenda kandidat menjadi agenda para pemilih juga.

Arogansi, supremasi, dan elitisme yang melekat pada citra kandidat akan merugikan dan memberi peluang pada pasangan kandidat lain untuk mengambilnya. Kampanye modern tak lagi semata-mata bersifat simbolis- instrumental seperti mementingkan atribut nomor urut, warna, pilihan baju dan lain-lain meskipun hal tersebut juga lumrah digunakan.

Kampanye harus lebih maju pada hal-hal yang substansial seperti program dan orientasi penyelesaian masalah yang ditawarkan. Selain itu pola komunikasi juga harus berubah dari model linear atau searah ke model resiprokal atau dua arah. Berkampanyelah dengan menggerakkan bukan memuakkan!

Menimbang Cagub-Cawagub DKI

Menimbang Cagub-Cawagub DKI
Komaruddin Hidayat ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                KORAN SINDO, 28 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Warga Jakarta pantas merasa beruntung memiliki calon gubernur (cagub)-calon wakil gubernur (cawagub) yang masih muda, energik dan cerdas. Semuanya berkualitas dan memiliki komitmen untuk membuat Jakarta, ibu kota negara, bebas dari banjir, macet, kumuh dan memberikan layanan birokrasi yang baik.

Dalam pandangan masyarakat, antara sesama calon terjalin komunikasi yang baik. Hal itu sangat dimungkinkan karena semuanya figur basis pendidikannya bagus serta berpengalaman sebagai aktivis sosial.

Mereka bukan anak kandung ideologis yang senang berkonflik. Mereka menaiki jenjang karier sosial dan politik bukan hasil karbitan, tetapi karena ditopang oleh kekuatan pribadinya dan semangat untuk berprestasi mengabdi pada bangsa.

Saya kira, siapapun pemenangnya mereka adalah putra terbaik bangsa yang mesti didukung untuk memajukan Jakarta. Masyarakat tentu lebih senang melihat cagub-cawagub yang rukun saling canda, dibanding melihat para elite politik terkesan tidak rukun dan tidak kompak. Yang cukup mengganggu dan membuat justru lelah masyarakat adalah munculnya serangkaian demonstrasi tertuju pada Ahok garagara penyebutan Surah Al-Maidah.

Di luar proses hukum yang tengah ditangani oleh polisi, saya cukup khawatir jika demo dan kemarahan umat itu tidak terkendali sehingga berpotensi menciptakan keresahan dan kerusuhan sosial.

Jika ancaman itu benar terjadi tentu sangat merugikan bangsa yang tengah merangkak membangun di tengah kelesuan ekonomi global saat ini. Sekali konflik vertikal dan horisontal meledak, akan sulit diredam. Ongkos sosial politiknya amat mahal. Kondisi Timur Tengah merupakan contoh nyata. Peradaban yang dibangun ratusan tahun hancur hanya dalam hitungan bulan dan tahun oleh perang saudara.

Tak terbayang, berapa lama dibutuhkan waktu untuk membangun kembali. Itu pun kalau bisa. Dalam situasi demikian, peran aktif tokoh-tokoh pers, televisi, ulama, cendekiawan sangat diharapkan ikut serta menciptakan kedamaian dan edukasi sosial. Bahwa berbeda pendapat dan demonstrasi itu hal yang lumrah saja di alam demokrasi, asal terkendali dan tidak destruktif. Di sini tugas polisi memang cukup berat.

Polisi tengah diuji untuk menegakkan hukum dan menjaga tertib sosial. Sebaiknya pers ikut menyejukkan suasana, jangan malah jualan sensasi dan memanaskan situasi. Masyarakat pun perlu bersikap kritis terhadap berbagai berita yang datang setiap saat. Banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara berita valid dan hoax.

Sedemikian bebasnya orang melemparkan hoax yang hanya akan menambah sampah di dunia maya. Ironisnya, masyarakat ada yang doyan sekali dengan hoax demi sensasional. Dalam sebuah kompetisi pilkada, sekalipun masing-masing kontestan menyatakan siap menang dan siap kalah, tapi pasti semuanya menargetkan untuk menang.

Terlebih mereka yang sudah mengeluarkan biaya besar, pasti harapan untuk menang juga besar. Kompetisi menjadi lebih seru dan bisa memanas ketika unsur emosi dan ideologi primordialisme, yakni etnis dan agama ikut terlibat. Orang mendukung calon tidak saja berdasarkan pertimbangan rasional, tetapi juga ideologis emosional.

Di sini tugas polisi, KPU, Bawaslu dan peran serta ulama serta cendekiawan tengah diuji. Bisakah mengawal pilkada dengan damai dan berkualitas? Saya percaya bahwa semua cagub-cawagub mendambakan terselenggaranya pilkada yang damai dan berkualitas.

Sebelum pilkada berlangsung, para calon itu secara moral sudah menjadi pemenang. Terlebih lagi jika mereka tampil secara cerdas, santun dan elegan, maka semuanya akan dikenang sebagai politisinegarawan yang telah melakukan edukasi politik pada rakyat, terlepas siapa yang nantinya akan jadi pemenang.

Satu catatan kecil namun amat penting adalah, parpol dan pemerintah selama ini kurang memberikan apresiasi pada panitia penyelenggara yang juga selaku wasit. Coba perhatikan acara pertandingan sepak bola atau tenis berkelas internasional, wasit akan mendapat apresiasi terlebih dahulu sebelum penghargaan terhadap pemenangnya.

Wasit itu disegani oleh pemain dan penonton. Di sini wasit sering jadi sasaran amuk suporter yang jagonya kalah. Dan dilupakan oleh pemenangnya. Begitu pun dalam pilkada dan pemilu. KPU dan Bawaslu berjasa besar untuk mengantarkan pemenangnya. Ironisnya, setelah menang malah terjadi beberapa anggota KPU masuk penjara. Sungguh ironis, menyakitkan.

Minggu, 30 Oktober 2016

Bung Jokowi, Selesaikan Skandal Ahok!

Bung Jokowi, Selesaikan Skandal Ahok!
M Amien Rais ;   Mantan Ketua MPR RI
                                                  REPUBLIKA, 28 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya tulis pendapat saya ini sebagai masukan kepada Bung Jokowi. Saya yakin kasus penistaan Ahok terhadap Alquran menuntut penyelesaian secepatnya, langsung di bawah pengarahan dan pengawasan Presiden. Lihatlah rangkaian demo yang makin marak di berbagai daerah.

Rentetan demo itu bersifat spontan. Intinya: permintaan maaf dari Ahok diterima, tapi proses hukum yang adil, jujur, dan transparan harus segera dilakukan.

Saya, sebagai seorang Muslim, sangat-sangat tersinggung dan terhina dengan ucapan Ahok bahwa ayat 51 surah al-Maidah digunakan untuk membohongi masyarakat. Untuk memilih atau tidak memilih seseorang. Ucapan itu menyiratkan rasa benci Ahok pada Alquran, kitab suci umat Islam seluruh dunia, sejak 14 abad silam.

Alquran memberi tahu kaum beriman bahwa ungkapan kebencian terkadang muncul jelas dari mulut-mulut pembenci Islam. Namun yang tersembunyi di dada mereka jauh lebih besar (QS Ali Imran: 118). Umat Islam Indonesia karena rasa tasamuh-nya (toleransinya) demikian besar, sering kali dianggap bodoh, mudah dibodohi, dan punya daya tahan istimewa menghadapi berbagai macam penghinaan. Penghinaan politik, penghinaan sosial, dan penghinaan ekonomi.

Umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, cukup marah dengan berbagai keputusan Menkumham sekarang, yang cenderung memecah-belah berbagai kekuatan politik anak-anak bangsa. Tentu pemerintah bodoh karena usaha pecah-belah itu dalam jangka panjang akan jadi bumerang bagi pemerintah sendiri.

Akan tetapi, lihatlah berbagai kekuatan politik itu menelan kemarahan mereka. Semarah apa pun mereka tidak bergerak. Mereka tetap bersabar.

Ketika masyarakat merasakan kehidupan yang makin sulit, pengangguran makin meluas, dan angka kemiskinan bertambah, rakyat tetap sabar. Mereka cukup geram, tapi tidak bergerak secara massal. Mereka tetap sabar sambil berharap semoga esok bisa lebih bagus dari hari ini.

Ketika kekuatan asing dan aseng menggenggam seluruh sektor ekonomi nasional, lagi-lagi umat Islam dan anak bangsa lainnya tetap bersabar. Lihatlah seluruh sektor ekonomi penting telah berada di tangan asing dan aseng.

Sejak dari properti, perbankan, pertambangan, pertanian, kehutanan, sampai perkebunan, dan lain-lain, sudah tidak lagi di tangan anak-anak bangsa. Penguasaan tanah di berbagai kota besar juga berada di tangan agen-agen kepentingan asing dan aseng. Tujuh puluh delapan persen tanah di DKI Jakarta sudah dimiliki oleh para benalu bangsa.

Marahkah rakyat Indonesia? Tentu! Tetapi, mereka telan kemarahan itu dengan kesabaran yang tidak ada duanya di dunia. Lagi-lagi, rakyat hanya berkeluh-kesah, tapi tidak bergerak.

Ketika hukum dilaksanakan secara tebang-pilih atau diskriminatif, rakyat marah, tetapi tetap tidak bergerak. Ketika korupsi berskala raksasa jelas-jelas dilindungi, sejak dari skandal BLBI, Bank Century, deforestasi (penghancuran hutan), sampai yang terbaru skandal Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta, rakyat hanya berkeluh-kesah, geram, marah, nyaris putus asa. Tetapi, mereka tidak bergerak. Sabar dan tetap sabar.

Nah, Bung Jokowi, kasus Ahok merupakan skandal dari jenis yang sangat berbeda. Berbagai skandal yang saya sebutkan di atas, cuma skandal berdimensi dunia, walaupun sangat menohok rasa keadilan rakyat.

Bung Jokowi, kasus Ahok mengguncangkan Indonesia karena Ahok sudah menyodok kesucian langit. Ahok sudah benar-benar kelewatan. Saya sependapat dengan KH Hasyim Muzadi, siapa pun yang berani menista Allah, Rasul-Nya, dan Alquran tidak ada yang bisa selamat. Mengapa? Karena umat Islam di mana saja berada, tidak pernah bisa menerima penistaan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Kitab Suci-Nya.

Mohon dimengerti pula, usaha apa pun yang dilakukan untuk membelokkan fokus perhatian lewat berbagai cara agar skandal Ahok pelan-pelan menghilang, pasti akan sia-sia. Yang terjadi justru semakin ditunda penyelesaian hukum skandal Ahok, semakin tinggi risiko yang kita hadapi.

Setelah peristiwa skandal Ahok di Kepulauan Seribu, ia ngomong kacau lagi tentang Pancasila. Katanya, Indonesia yang berdasar Pancasila menjadi utuh hanya apabila minoritas sudah menjadi presiden. Tentu banyak rakyat yang marah pada celotehan ini, tetapi segeram apa pun rakyat tetap tidak turun ke jalan.

Semoga Bung Jokowi cukup arif untuk memahami bahwa skandal Ahok di Kepulauan Seribu itu telah menjadi bom waktu, yang daya ledak sosial-politiknya dapat mengguncangkan sendi-sendi stabilitas nasional dan persatuan bangsa.

Akankah kita unggulkan seorang Ahok di atas kepentingan 250 juta bangsa Indonesia? Jasa besar apa yang pernah ditorehkan oleh Ahok untuk bangsa Indonesia?

Bung Jokowi, kami semua tahu bahwa Kapolri dan seluruh jajaran Polri berada dalam kendali Anda. Terus terang kasihan Kapolri harus memikul tanggung jawab untuk penyelesaian hukum kasus skandal Ahok, dan menjadi sasaran kritik masyarakat sampai sekarang.

Lucunya, Anda belum berkata sepatah kata pun sampai sekarang tentang skandal Ahok. Sungguh aneh. Ada apa gerangan?

Bola penyelesaian skandal Ahok yang sangat berbahaya itu ada di tangan Anda. Hentikanlah permainan image building (pencitraan) Anda. Di sebuah kesempatan, Anda bicara, biarlah KPK mengurusi korupsi gede, sementara Anda yang kecil-kecil.

Pungli sepuluh ribu rupiah pun akan Anda kejar. Saya yakin decak kagum masyarakat yang dulu Anda nikmati, sekarang sudah berubah total. Rakyat kita sudah cukup cerdas, membedakan mana emas, mana loyang.

Saya doakan Bung Jokowi bisa mengambil langkah cepat, bijak, dan tepat. We are racing against time, kita berlomba dengan waktu.

Skandal Ahok penting mbahnya penting untuk segera diselesaikan secara hukum. Jangan berputar dan berkeliling membeli waktu dengan harapan skandal Ahok dapat meredup, dan akhirnya selesai dengan sendirinya. Sesuatu yang mustahil. Bung Jokowi, saya hanya mengingatkan.

”Kiamat” Aceh 2028

”Kiamat” Aceh 2028
Teuku Kemal Fasya ;   Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
                                                      KOMPAS, 29 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sebuah diskusi kelompok terfokus pada awal September lalu, seorang pemimpin pesantren dari Kota Subulussalam menyebutkan berkah otonomi khusus Aceh. Salah satunya adalah hadirnya lembaga khusus yang mengurus pesantren, seperti Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah.

Sayangnya, lembaga itu tak mampu membangun kemandirian dan integritas pengelolaan anggaran di tingkat pesantren atau dayah. Sejak itu berkembang pula perilaku jahat dalam mengelola keuangan. ”Bahkan, kini, kalau kita periksa isi tas pemimpin dayah isinya laptop, bukan kitab; dan di dalam laptop isinya bukan bahtsul masail, melainkan proposal,” katanya. Segera teringat peribahasa (hadih maja) Aceh: ”pemimpin menjadi culas ketika membuang adat, ulama menjadi pandir ketika melempar kitab, rakyat menjadi jahat ketika tak lagi bermufakat”.

Desentralisasi asimetris

Pemberlakuan otonomi khusus pasca reformasi secara logis dimaksudkan sebagai politik desentralisasi tidak simetris karena kekhasan beberapa daerah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Politik desentralisasi asimetris dipicu dua faktor: pemenang dan remuk-redam. Faktor pemenang terkait daerah yang punya keandalan dan posisi vital dalam pembangunan nasional. Faktor remuk-redam terkait kondisi daerah pasca konflik yang sulit mengatasi ketertinggalan pembangunan jika politik asimetrisme tidak diberikan.

Aceh dan Papua memiliki beban sejarah sebagai ”daerah yang tercabik dan terluka” oleh pusat. Di Aceh ketercabikan malah bertambah oleh gulungan tsunami 2004. Kebijakan asimetrisme diberikan berupa kewenangan dan keistimewaan, baik pengelolaan anggaran, politik identitas, pembentukan kelembagaan khusus, pengakuan sosiokultural, hingga diskresi dalam pemerintahan.

Latar Perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005 tak bisa dilepaskan ketika melihat desentralisasi asimetris Aceh. Perdamaian itu memungkinkan Aceh mendapatkan undang-undang otonomi khusus baru, yaitu UU No 11/2006. Sejak diberlakukan, UU itu membuka ruang privilese politik-ekonomi-kultural, seperti calon independen dalam pilkada, hadirnya Komisi Independen Pemilihan yang kualifikasinya berbeda dengan KPU daerah lain, politik syariat Islam, rasio jumlah anggota DPRD 25 persen lebih banyak, partai politik lokal, kelembagaan Wali Nanggroe, dan lain-lain. Paling tidak, ada 26 keistimewaan yang dimiliki Aceh melalui UU No 11/2006 (Taqwaddin, 2016).

UU otonomi khusus juga diperkuat dengan hadirnya peraturan organik. Sejak 2006 hingga 2015, ada sembilan peraturan, yaitu enam peraturan pemerintah dan tiga peraturan presiden untuk memperkuat lex specialis Aceh.Sejak 2008, paket anggaran otonomi khusus pun mulai diluncurkan. Dari ”hanya” Rp 3,5 triliun (2008) membesar menjadi Rp 7,7 triliun (2016). Hingga tahun ini, Aceh menerima Rp 49,2 triliun dana otonomi khusus.

Namun, dana itu bukanlah salju abadi. Ia berjangka hingga 20 tahun sejak diberlakukan: 15 tahun pertama anggarannya setara 2 persen plafon dana alokasi umum nasional. Lima tahun berikutnya menyusut menjadi 1 persen. Pada 2027 jadi tahun terakhir keran anggaran itu dikucurkan hingga diperkirakan berjumlah Rp 163 triliun. Bisa dikatakan dana otonomi khusus ”berkah tersembunyi” dari sejarah konflik dan damai, hancur dan membangun Aceh.

Yang tidak disadari, bandul waktu berdentang sedemikian genting. Saat ini dana otonomi khusus Aceh hampir menjelang satu dekade, tetapi belum teraba wujudnya. Upaya membangun politik kesejahteraan dan keadilan malah berdialektika negatif jadi mundur, rusak, miskin, dan tidak adil.

Kegentingan menghadang

Saat ini, kajian-kajian tentang pelaksanaan otonomi khusus Aceh mulai marak membeberkan fakta. Sembilan tahun pelaksanaan, pertumbuhan ekonomi tak berjalan wajar.

Tata kelola pemerintahan sedemikian tak efektif, konservatif, dan miskin inovasi. Aceh malah menjadi daerah termiskin kedua di Sumatera (16,73 persen) dan angka pengangguran terburuk keempat nasional (8,13 persen).

Pemubaziran anggaran untuk kegiatan yang tak perlu, nepotisme di lingkaran pemerintah, dan pembagian kue anggaran, dana aspirasi menggiurkan untuk anggota DPR Aceh (Rp 885 miliar), dan program cet langet atau narasi mimpi tanpa perencanaan pembangunan yang jelas menjadi penyebab katastrofi itu. Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Aceh sedikitnya menemukan Rp 5,1 triliun anggaran otonomi khusus Aceh salah kelola, tidak fokus, dan melenceng dari perencanaan awal (Kompas, 2/10/2013).

Sayangnya, indikasi korupsi anggaran tak kunjung ditindaklanjuti. Publik Aceh frustrasi. Setelah prestasi menangkap Abdullah Puteh pada 2004, praktis Komisi Pemberantasan Korupsi tak memiliki jejak apa pun untuk menghadang laju kejahatan birokrasi dan keuangan di Aceh. Bahkan, kepercayaan publik Aceh terhadap KPK termasuk rendah. Atas dasar kritik itu, kini KPK mulai proaktif menetapkan Aceh sebagai salah satu ”provinsi binaan”, terutama terkait pengelolaan dana otonomi khusus (Kompas, 2/8/2016).

Di sisi lain, kerusakan ekologis, sumber daya alam, moral, dan kultural menghebat. Sketsa pada awal tulisan menunjukkan ”jahatnya” anggaran otonomi khusus ikut menggerogoti kelembagaan kultural, seperti pesantren dan lembaga pemerintah keagamaan. Pembangunan fisik, seperti kantor, sekolah, jalan, dan meunasah, memang membaik. Namun, pembangunan mental, seperti kualitas pendidikan dan kebudayaanserta perbaikan manajemen, tak terjadi. Banyak proyek infrastruktur mewah dari otonomi khusus terbengkalai jadi ”rumah hantu”, ”kandang ternak”, atau semak belukar.

Upaya Pemerintah Aceh memperbaiki tanggul pembangunan otonomi khusus belum berdampak. Pola pengelolaan anggaran telah berubah tiga kali. Dari 100 persen dikelola provinsi, lalu pembagian 60 persen provinsi dan 40 persen kabupaten/ kota, tetapi ”ekor” tetap dipegang provinsi. Terakhir, pembagian 40 persen kabupaten/kota dan 60 persen provinsi dengan pola transfer langsung belum menyejahterakan dan memacu pertumbuhan ekonomi, termasuk penyehatan fiskal.

Satu hal yang paling sering diulas, ”kaum pemberontak” tak menunjukkan bakatnya dalam pemerintahan. Mereka masih kaum pinggiran yang gagap berada di sentral kekuasaan. Lebih nyaring sebagai oposisi yang nyinyir dibandingkan dengan pelaku pembangunan yang bekerja nyata. Sebabnya: rendah visi pembangunan, tiada kaum intelektual yang mengawal proyek otonomi khusus, hingga turunan birokrasi yang majal dan bobrok.

Tentu Aceh tak harus menunggu 2028 seperti novel George Orwell, 1984. Tahun 2028 adalah tahun ketika Aceh tanpa dana otonomi khusus dan disambut bak impian futuristik buram sekaligus mendebarkan karena ”kiamat” berkelebat datang. Berkah otonomi khusus gagal diemban. Pelan-pelan menjadi kutukan, frustrasi, dan konflik baru: kian horor dan menggidik bulu kuduk.