Minggu, 10 September 2023

 

Ideologi Katechon dalam Invasi Rusia

Robertus Robet :  Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

MAJALAH TEMPO, 10 September 2023

 

 

                                                           

PATRIARK Moskow Kirill I pada Desember 2022 menyatakan Rusia tengah berperang melawan iblis global dan dikepung bala tentara antikristus dari seluruh dunia. Sang patriark menyitir surat kedua Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika Pasal 2 ayat 1-12. Ia menandaskan bahwa Rusia adalah Katechon, sang penahan yang bertempur melawan pasukan antikristus sambil mempersiapkan kedatangan Almasih di hari akhir. Pernyataan Kirill menegaskan perkembangan unik menguatnya neo-mesianisme dalam politik luar negeri Rusia.

 

Katechon berasal dari bahasa Yunani yang sering diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai withholder atau “sesuatu yang menahan”. Dalam Injil terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, Katechon salah satunya disebut dalam ayat yang berbunyi: “Kalau yang menahannya itu telah disingkirkan, pada waktu itulah si pendurhaka akan menyatakan dirinya, tetapi Tuhan Yesus akan membunuhnya dengan nafas mulut-Nya” (2 Tes, 2: 7-8).

 

Di tangan rezim Putin, Katechon bertransformasi dari konsep teologis menjadi semacam ideologi negara, dasar politik luar negeri, dan argumentasi bagi strategi keamanan Rusia. Sebagian ahli menyebut konsep ini yang mendasari gelombang baru militerisasi Rusia di Eropa, menguatnya sentimen anti-Barat, dan justifikasi invasi Rusia.

 

Katechon adalah konsep yang unik. Ia mirip agen sejarah yang berfungsi tidak hanya meredam antusiasme eskatologis, juga berupaya memulihkan ketertiban di tengah krisis dan kekacauan.

 

Citra Katechon jelas terletak dalam konteks konflik metafisik antara kekuatan baik dan jahat. Ia menandai periode eskaton, di mana kita menunggu kerajaan surga dilembagakan, dalam realitas duniawi yang masih ditandai oleh kekuatan-kekuatan jahat.

 

Secara teologis Katechon ditetapkan untuk mewujudkan stabilitas yang diperlukan di hari-hari terakhir menjelang kiamat. Di sini Katechon adalah sosok yang ambigu, ia positif sekaligus negatif. Ia menahan kekuatan jahat, ia juga menunda kembalinya Kristus.

Bagaimana ayat alkitabiah ini meresap dalam dunia politik kontemporer?

 

Ada banyak literatur yang menyebutkan bahwa ide ini telah muncul dalam kebudayaan Rusia berabad silam. Namun, sebagai konsep politik, biang keladi semua ini adalah filsuf Jerman, Carl Schmitt (1888-1985), yang terkenal dan sering dituduh sebagai filsufnya “Third Reich” dalam hubungannya dengan Nazisme.

 

Di tahun 1950, dalam Der Nomos der Erde: im Völkerrecht des Jus Publicum Europaeum (Nomos of the Earth), Schmitt menulis: I do not believe that any historical concept other than katechon would have been possible for the original Christian faith. Bagi Schmitt, Katechon adalah konsep historis sentral dalam tradisi Kristen. Ia adalah jembatan antara eskatologi di satu sisi dan sejarah politik yang konkret di sisi lain.

 

Katechon bagi Schmitt adalah kemampuan untuk menjadi kekuatan historis dalam mencegah kekacauan dan menjamin kelanjutan suatu pemerintahan—dari Kekaisaran Roma hingga Kekaisaran Kristen di Abad Pertengahan. Ia tidak pernah menyebutkan siapa Katechon pada zamannya, tapi dilihat dari konteksnya. Schmitt membawa-bawa ayat ini sebagai pembelaan terhadap konsep orde yang kuat dan negara totalitarian.

 

Selama masa Schmitt, krisis parlementer di Jerman yang berlangsung di bawah Republik Weimar yang baru dibentuk serta tekanan terus-menerus dari faksi komunis memberikan referensi langsung dari apa yang ia sebut sebagai “ancaman kekacauan total”.

 

Simbolisasi Katechon dalam pandangan Schmitt digunakan tidak hanya untuk melegitimasi konsep kedaulatan negara, juga menjadi prinsip struktural dasar di mana totalitas sejarah dipahami.

 

Inilah yang kini menguat kembali di Rusia. Sementara Paulus dulu menulis Katechon dalam konteks Imperium Romawi, para ideolog Rusia masa kini menyebut Moskow sebagai Roma Ketiga. Lebih dari itu, ide bahwa Rusia menanggung tugas sebagai pelindung Eropa juga sudah berkembang sejak abad ke-18.

 

Namun ada satu faktor yang membuat ide Katechon di masa kini dibayangi oleh aura menakutkan yang nyata. Katechon di dalam Surat Paulus dibayangi oleh ide eskatologis, sementara di dalam Schmitt dilekatkan dengan kekacauan dan justifikasi ide negara kuat. Oleh keduanya, akhir dunia (kiamat) pasca-Katechon dibayangkan masih sebagai kemungkinan yang jauh di depan, jika bukan fantasi semata.

 

Sekarang, oleh Putin, eskatologi yang dibawa oleh ideologi Katechon di Rusia bisa berakibat pada kemungkinan kehancuran yang brutal. Kekhawatiran ini bukan kekhawatiran kosong, mengingat Putin merupakan satu-satunya pemimpin dunia yang saat ini paling banyak menggaungkan ancaman perang nuklir.

 

Dengan demikian, di dalam Katechon-nya, Putin bisa menentukan akhir dunia secara konkret. Putin merupakan katechon atomik yang bisa membawa dunia memasuki nasib terakhirnya. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/marginalia/169680/invasi-rusia

 

 

Bagaimana Memakai Konjungsi Dan?

Shofa Muhammad :  Esais, Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta, Penulis buku Melukis Wajah Maling

MAJALAH TEMPO, 10 September 2023

 

 

                                                           

ADA banyak lirik lagu berbahasa Indonesia yang memanfaatkan lisensi puitika (licentia poetica) sehingga “seolah-olah” lirik lagu tersebut tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan. Menurut Encyclopaedia Britannica, lisensi puitika (licentia poetica) adalah hak yang diasumsikan oleh penyair ada padanya untuk mengubah sintaksis standar atau melakukan penyimpangan dari diksi ataupun pengucapan umum. Tujuannya adalah kecukupan aturan tonal dan metrum yang hendak dicapai dalam karyanya.

 

Contoh lirik lagu yang memanfaatkan lisensi puitika tersebut adalah karya grup musik Sheila on 7 yang berjudul “Dan” serta “Waktu yang Tepat untuk Berpisah”. Selain dua judul lagu itu, penyanyi Ebiet G. Ade sering memakai lisensi puitika untuk lirik lagu-lagunya. Salah satunya lagu yang diberi judul “Ayah Aku Mohon Maaf”.

 

Dalam lagu “Dan”, Eross Candra, penciptanya, menulis, “Dan... Dan bila esok datang kembali/Seperti sedia kala/Di mana kau bisa bercanda”. Adapun dalam lagu “Waktu yang Tepat untuk Berpisah” gitaris Sheila on 7 itu menggubah lirik “Dan bila kau harus pergi/Jauh dan tak 'kan kembali/'Ku akan merelakanmu/Bila kau bahagia". Sementara itu, Ebiet G. Ade menuliskan dengan liris lagu “Ayah Aku Mohon Maaf”: “Dan pohon kemuning akan segera kutanam/Suatu saat kelak dapat jadi peneduh/Meskipun hanya jasad bersemayam di sini/Biarkan aku tafakur bila rindu kepadamu”.

 

Lirik tiga lagu tersebut memiliki kesamaan, yakni memilih kata “dan” yang disematkan di awal lagu. Kata “dan” merupakan salah satu kata konjungsi koordinatif yang berfungsi menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat, yakni kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa (Anton Moeliono, 2003). Dalam tiga lirik lagu di atas, kata “dan” diletakkan di awal lagu, yang dengan sendirinya tidak menjadikannya konjungsi sesuai dengan definisi Anton Moeliono. Namun, jika memakai pisau telaah lisensi puitika, kata “dan” yang berada di awal lagu tersebut sama sekali tidak memunculkan perdebatan kebahasaan. Ketiga lirik lagu tersebut bahkan berhasil sebagai lagu yang enak didengar dan “ramah telinga”.

 

Yang berpotensi menjadi masalah kebahasaan dan layak dikritik adalah jika ada konjungsi “dan” pada susunan kalimat yang sebenarnya sudah sesuai dengan kaidah kebahasaan. Ia, misalnya, diletakkan sebagai penghubung klausa dengan klausa, tapi memiliki logika bahasa yang masuk angin. Apakah ada contoh kasus kebahasaan yang seperti itu? Tentu ada. Bahkan, dalam kasus yang dicontohkan di bawah ini, hal itu bisa serius.

 

Tahun ajaran baru di sekolah tidak hanya menyibukkan para peserta didik untuk menyiapkan alat-alat tulis dan peralatan sekolah lain. Wali murid pun harus mencari buku-buku pelajaran untuk anak-anaknya. Di saat mencari buku-buku pelajaran untuk tahun ajaran baru 2023/2024, saya baru sadar ternyata ada buku satu mata pelajaran yang menggunakan judul dengan logika bahasa yang masuk angin tadi. Judul buku itu adalah Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, buku pelajaran untuk kelas I-VI sekolah dasar, kelas VII-IX sekolah menengah pertama, dan kelas X-XII sekolah menengah atas.

 

Jika kita lihat dengan ugahari memakai teori konjungsi koordinatif, judul tersebut tentu tak bermasalah. Kata “dan” telah diletakkan secara benar di antara klausa “Pendidikan Agama Islam” dan “Budi Pekerti”. Namun, jika kita lihat dengan lebih cermat, ada masalah serius dalam hal logika bahasa di sana.

 

Peran logika dalam penggunaan bahasa sangatlah penting. Logika berbahasa berhubungan erat dengan kebenaran kalimat. Suatu kalimat dikatakan benar jika ia benar-benar melambangkan suatu peristiwa tertentu. Untuk menyusun kalimat logis, kita harus memperhatikan pemilihan kata (diksi), penggunaan kata bentukan, dan konjungsi.

 

Tanpa bermaksud memberikan tausiah di rubrik ini, saya merasa perlu menukil hadis riwayat Bukhari, Baihaqi, dan Hakim yang menyebutkan, “Tidak sekali-kali saya (Nabi Muhammad) diutus oleh Allah kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak”. Melalui hadis ini kita mafhum bahwa akhlak adalah bagian integral dari (pendidikan) agama Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti. Jadi bagaimana mungkin seorang penjual bakso menulis di geber warungnya: “jual bakso dan kuahnya”. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/bahasa/169669/konjungsi-dan

 

 

Bisakah Kacang Koro Pedang Menggantikan Kedelai?

Dody Hidayat :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 10 September 2023

 

 

                                                           

INOVASI itu berawal dari segenggam bibit kacang koro pedang yang diperoleh Agus Somamihardja dari ibu petani di Situbondo, Jawa Timur, sekitar lima tahun lalu. Agus semringah karena bibit yang ditanam di kebun rumahnya itu tumbuh subur dan menghasilkan biji seukuran kuku jari tangan orang dewasa. Kini dari 15 biji telah berkembang berhektare-hektare tanaman bernama ilmiah Canavalia ensiformis itu. “Tiap panen sebagian dijadikan bibit dan disebar terus ke petani-petani mandiri,” kata Agus, yang mendirikan Eduwisata Kacang Koro Pedang di kediamannya di Bogor Barat, Jawa Barat.

 

Agus kian jatuh hati pada koro pedang ketika ia menjadi anggota Komisi Teknis Pangan dan Pertanian pada Dewan Riset Nasional periode 2019-2022 mendapati ketahanan pangan Indonesia, di antaranya kacang kedelai, dalam kondisi babak-belur. Saban tahun Indonesia harus mengimpor 2,5-3 juta ton kedelai putih untuk produksi tempe. “Saya berpikir, mengapa tidak digantikan saja dengan koro pedang,” tutur Agus, yang ditemui di rumahnya, Ahad, 20 Agustus lalu. “Sejak itu, saya berfokus mengembangkan koro pedang sebagai substitusi kedelai impor.”

 

Agus kemudian mencoba mengolah sendiri hasil panennya menjadi tempe koro pedang. Ukuran koro pedang yang lebih besar dari kedelai mengharuskan dia mencacah dulu kacang tersebut. “Ukuran kedelai itu seperdelapan dari koro pedang,” ucap Agus. Soal rasa memang tempe koro pedang berbeda dengan tempe kedelai. “Tapi kan itu soal kebiasaan. Lama-lama terbiasa juga,” katanya. Menurut Agus, tempe koro pedang empuk dan berpasir seperti ubi, tidak renyah layaknya kedelai. “Orang Cina, Jepang, dan Korea suka karena mereka biasa makan ubi.”

 

Menurut Agus, koro pedang berpotensi menggantikan kedelai sebagai bahan baku tempe karena kandungan nutrisinya nyaris serupa. Koro pedang juga bebas gluten dan nilai proteinnya berkisar 23-27 persen, sementara kedelai 40 persen. Dia menambahkan, selama ini harga koro pedang yang dijual ke produsen abon di Tangerang, Banten; Solo, Jawa Tengah; serta Banyuwangi, Situbondo, dan Probolinggo di Jawa Timur sama dengan kedelai, yakni Rp 12 ribu per kilogram. “Untuk perajin tempe harganya mesti lebih murah. Paling tinggi 70 persen dari harga kedelai,” ujar pendiri dan ketua Koperasi Paramasera itu.

 

Agus mengklaim salah satu koperasi produsen tahu-tempe Indonesia di Jawa Barat sudah meminta pasokan koro pedang sebanyak 10 ton per bulan. Permintaan itu tak bisa ia penuhi karena produksi petani binaannya masih minim. Koro pedang, menurut Agus, ditanam petani mandiri yang memiliki lahan kecil. Wilayah persebarannya di Jawa Barat di antaranya di Sumedang, Garut, Ciamis, Cianjur, dan Bogor. Adapun di Lampung, seperti di Tulang Bawang, Lampung Timur, dan Lampung Utara, para petani pepaya menanamnya secara tumpang sari. Dengan sistem tumpang sari dengan kelapa sawit, misalnya, Agus optimistis dalam dua-tiga tahun permintaan 10 ton per bulan itu mudah dipenuhi.

 

Anton Sudibyo, petani tebu dari Blora, Jawa Tengah, berancang-ancang membuka lahan koro pedang seluas seribu hektare. Sebanyak 300 hektare berada di Blora dan sisanya tersebar di daerah Jawa Tengah lain. Menurut Bendahara I Pengurus Pusat Paguyuban Pembudidaya Koro Pedang Indonesia (P2KPI) ini, lahan seluas itu merupakan jawaban atas tantangan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki kepadanya. Penanaman koro pedang skala besar itu, kata Anton, ada yang monokultur dan sebagai tanaman sela atau tumpang sari.

 

Dalam proyek swadaya masyarakat ini, Anton menjalin kerja sama dengan Universitas Wahid Hasyim, Semarang, dan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Semarang. “MAJT punya lahan ratusan hektare karena itu wakaf sejak Ki Ageng Pandanaran dulu. Nah, sebagian akan kami tanami koro pedang,” tuturnya melalui sambungan telepon, Selasa, 5 September lalu. Dari lahan milik MAJT itu, seluas 10 hektare akan dijadikan pembibitan koro pedang. “Dana yang dibutuhkan lebih-kurang Rp 380 juta. MAJT yang memiliki pembibitan itu.”

 

Sejak enam bulan yang lalu, kata Anton, ia dan Sukadi Wibisono, Ketua I P2KPI dan mantan Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Jawa Tengah, menanam koro pedang di lahan seluas 1.200 meter persegi di Blora sebagai pembibitan. Ada 1.400-1.600 pohon koro pedang di lahan tersebut dan sejauh ini sudah dipanen sebanyak 7-8 kuintal. Menurut Anton, di lahan pembibitan miliknya itu dilakukan riset non-akademis dan hasilnya luar biasa. “Dulu bibit yang kami dapatkan daya tumbuhnya cuma 40-50 persen, sekarang bibit yang kami tanam itu 90 persen tumbuh.”

 

Anton menekankan, bila dilakukan pemuliaan, tanaman koro pedang dapat lebih produktif. Ia membuktikan bahwa tanaman koro pedang yang ditanam secara tumpang sari dengan pohon jati di lahan marginal dapat menghasilkan polong yang berisi 14-19 biji. Pemuliaan koro pedang, menurut Anton, juga sedang dilakukan Universitas Wahid Hasyim sebagai mitra akademik P2KPI. Agus Somamihardja juga mengaku menjalin kerja sama dengan koleganya untuk pemuliaan tanaman. “Yang saya dengar, teknik rekayasa genetika menggunakan radiasi nuklir bisa membuat tanaman itu berbunga serentak,” ucap Agus.

 

Menurut Agus, tanaman koro pedang yang berbunga serentak sangat disukai industri dan cocok untuk perkebunan monokultur. Selain itu, tanaman koro pedang yang termasuk suku kacang-kacangan (leguminosae) bisa menjadi tanaman penutup lahan (cover crop) di perkebunan kelapa sawit. “Selama ini, yang biasa ditanam adalah kacang-kacangan yang tidak menghasilkan produk bernilai jual. Kalau diganti dengan koro pedang akan produktif,” ujarnya. “Tanaman leguminosae ini juga mampu mengikat nitrogen langsung dari udara. Jadi tidak perlu memakai pupuk urea, NPK yang tinggi.”

 

Agus memaparkan, koro pedang bisa ditanam di semua jenis tanah. Bahkan koro pedang juga digunakan sebagai tanaman pionir di lahan bekas tambang emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Agus menjalin kerja sama dengan organisasi nonpemerintah, Tropenbos Indonesia, yang menjalankan program pengelolaan hutan desa berbasis masyarakat. Menurut Kusnadi, fasilitator hutan desa program Tropenbos di Ketapang, program pendampingan masyarakat yang mereka lakukan di antaranya pengembangan hortikultura dan bagaimana bercocok tanam yang baik. Salah satunya dengan menanam koro pedang.

 

Kusnadi menjelaskan, program pendampingan itu digelar di empat desa di Kabupaten Ketapang, yakni Desa Sungai Pelang, Desa Sungai Besar, dan Desa Pematang Gadung di Kecamatan Matan Hilir Selatan serta Desa Pangkalan Teluk, Kecamatan Nanga Tayap. “Koro pedang ini baru kami tanam di dua desa, Sungai Besar dan Pematang Gadung. Tapi keempat desa itu yang menjadi target penanaman,” tutur Kusnadi saat ditemui di Depok, Jawa Barat, Selasa, 22 Agustus lalu. Selain untuk pertanian rakyat, koro pedang, kata dia, digunakan buat mereklamasi lahan bekas tambang emas. “Kebetulan lokasi tambang emas berdekatan dengan hutan desa, bahkan ada wilayah hutan desa yang terkena penambangan.”

 

Menurut Kusnadi, penanaman koro pedang di dua desa di lahan seluas sekitar seribu meter persegi itu dilakukan pada Juni lalu. Ada dua jenis lahan yang ditanami, yakni lahan mineral dan gambut. “Ini semacam percontohan untuk menarik minat masyarakat agar mau menanam koro pedang. Selain itu, ini untuk merestorasi lahan bekas tambang, guna mengembalikan unsur haranya. Kalau nanti berhasil, penanamannya akan diperluas,” ucap Kusnadi. “Pertumbuhannya bagus. Sekarang tanaman koro pedangnya sudah mulai berbunga,” ujarnya. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/ilmu-dan-teknologi/169676/kacang-koro-pedang

 

 

Mengapa Anies Baswedan Pilih Muhaimin Sebagai Cawapres?

Abdul Manan :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 10 September 2023

 

 

                                                           

DEKLARASI pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar di Hotel Majapahit, Surabaya, pada Sabtu, 2 September lalu, mengubah koalisi partai politik Pemilihan Umum 2024. Partai Demokrat hengkang dari koalisi pendukung Anies, sedangkan Koalisi Indonesia Maju yang mendukung Prabowo Subianto kehilangan Partai Kebangkitan Bangsa.

 

Menurut Anies, Muhaimin dipilih sebagai calon wakil presiden akibat kebuntuan negosiasi partai dalam Koalisi Perubahan, yang sebelumnya terdiri atas Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Demokrat, yang mengusulkan ketua umum partainya, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai calon wakil presiden, ingin segera ada deklarasi. Adapun NasDem ingin deklarasi dilakukan menjelang penutupan pendaftaran kandidat presiden pada Oktober 2023.

 

Demokrat menetapkan tenggat 3 September 2023 kepada Anies agar mendeklarasikan calon wakilnya. NasDem, yang tak punya pilihan, lalu mendekati Ketua Umum PKB Muhaimin yang juga tak kunjung jelas apakah menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo atau tidak. Kepentingan NasDem dan PKB pun bertemu dengan menyepakati Muhaimin sebagai pendamping Anies.

 

Anies-Muhaimin menjadi pasangan pertama yang mendeklarasikan diri sebagai pasangan kandidat Pemilu 2024. Calon presiden lain, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, hingga kini masih mencari pendamping masing-masing. "Kami jadi punya waktu lebih banyak untuk persiapan," kata Anies Baswedan kepada Stefanus Pramono, Raymundus Rikang, Husein Abri Yusuf, dan Abdul Manan dari Tempo di rumahnya di Jakarta, Kamis, 7 September lalu.

 

Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, Anies menjelaskan negosiasi partai-partai pendukungnya yang buntu. Juga soal kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyeret nama Muhaimin Iskandar, dan hubungannya dengan Presiden Joko Widodo.

 

Mengapa akhirnya tak memilih Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon wakil presiden Anda?

 

Kalau saja tidak terjadi deadlock di masa-masa akhir itu, barangkali opsinya masih AHY (singkatan nama Agus Harimurti Yudhoyono). Kalau saja tidak terjadi deadlock juga di koalisi Pak Prabowo dan Gus Imin (Muhaimin Iskandar), barangkali dia masih bersama Pak Prabowo dan kawan-kawan. Kebuntuan sudah tidak bisa lagi dicarikan jalan keluar.

 

Kebuntuan di koalisi Anda terjadi sejak kapan?

 

Seminggu sampai 29 Agustus 2023. Terjadi ketegangan, perbedaan yang sudah tidak bisa lagi dijembatani.

 

Tapi Anda masih ingin bersama dengan AHY?

 

Kalau sudah begini, bukan soal ingin dan tidak. Ini soal kami punya agenda perubahan. Perubahan hanya bisa terjadi kalau ada kewenangan. Untuk dapat kewenangan, harus memenangi proses demokrasi. Proses demokrasi membutuhkan dukungan partai politik minimal 20 persen (kursi Dewan Perwakilan Rakyat). Jadi, saya melihat, siapa pun figur yang memenuhi kriteria, kami harus siap dan (bersikap) dewasa. Ini sudah sampai pada level bicara kenegaraan, bicara kepentingan pembuatan kebijakan, bukan soal perasaan kami mau duduk bareng serumah. Saya melihat di fase-fase ini kami harus siap bekerja sama dengan siapa saja. Selama nilainya sama, visinya sama, misinya sama, dan memiliki komitmen untuk governance yang sama.

 

Kepada AHY, Anda mengatakan “mari menyambut takdir”. Apa artinya?

 

Demokrat bergabung dengan koalisi kami dengan harapan AHY menjadi calon wakil presiden. Mereka juga menyampaikan, bila ada opsi lain yang dianggap lebih pas, akan mereka terima. Di awal NasDem juga mengatakan begitu. Kami siap dengan Demokrat asalkan tidak mensyaratkan AHY. Yang satu bilang jangan disyaratkan, yang satu bilang jangan ditolak. Nah, saya sampaikan, aspirasi menjadi wakil itu aspirasi yang kami pahami. Karena itu, ayo kita jemput takdir sama-sama.

 

Demokrat mengira kalimat itu sebagai komitmen menjadikan AHY calon wakil presiden....

 

Saya sampaikan bahwa ini harus kesepakatan bersama. Enggak mungkin ada pasangan hanya diputuskan calon presiden. Yang tanda tangan siapa? Partai. Dan itu harus diterima sebagai sebuah kesepakatan. Nah, argumen untuk cari nama A-B-C-D-F-G itu juga punya alasan teknokratis, yaitu basis pemilih. Basis pemilihnya harus yang berbeda. Bukan soal suka atau tidak suka. Kemudian segmen. Jadi banyak faktor teknokratis yang menjadi argumen bagi NasDem tak segera memutuskan AHY. Jadi, kalau berbicara tentang kami ingin agar terjadi kesepakatan bersama, itu dalam rangka menjaga supaya ini bisa satu perahu. Enggak bisa tanpa itu.

 

Saya melihat misi utama kami mendapatkan amanah membawa gerakan perubahan. Artinya menyelamatkan koalisi tetap berjalan. Misi itu terancam gagal ketika tidak ada kesepakatan. Pak Surya Paloh (Ketua Umum NasDem) mengabarkan ada opsi baru. Jadi berpasangan dengan Muhaimin menyelamatkan misi itu.

 

Misi perubahan atau mendapatkan tiket?

 

Untuk melakukan gerakan perubahan harus punya kewenangan. Untuk punya kewenangan harus memenangi proses demokrasi. Untuk memenangi proses demokrasi harus ada tiket. Urutannya begitu. Bagi kami, bukan soal tiket saja. Ini misi kami. Misi kami melakukan perubahan. Ini saya sampaikan berkali-kali. Kami ingin kebebasan berbicara hidup lagi. Kami enggak ingin lagi ada rasa takut. Bagaimana caranya? Ubah undang-undangnya. Jadi saya punya misi itu yang harus diselamatkan. Caranya dengan koalisi ini tetap hidup.

 

Kalau tidak terjadi deadlock, baik-baik saja. Pak Surya Paloh mengundang PKB ikut dan Muhaimin siap jadi pasangan. Pada saat itu, secara moral, saya salah kalau menerima. Kenapa? Masih ada koalisi, masih ada usaha menjemput takdir. Ikhtiar menjemput takdir itu selesai di hari Selasa sore.

 

Apa benar banyak orang takut bertemu dengan Anda?

 

Entah kenapa semuanya merasa kayak di Wakanda. Banyak orang enggak mau ketemu terbuka.

 

Kenapa?

 

Ini yang harus kita ubah. Ini republik merdeka. Siapa saja bisa bertemu dengan siapa saja. Siapa saja bisa berdiskusi dengan siapa saja. Iklim keterbukaan harus dibuat oleh kepemimpinan nasional. Ketika rasa takut itu ada, kita tidak hidup dalam sebuah negeri merdeka. Menyebut nama Indonesia saja Wakanda.

 

Approval rating kepada pemerintah cukup tinggi, sedangkan Anda mengusung tema perubahan. Apa tak jadi bumerang?

 

Apakah kebutuhan pokok harganya terjangkau? Apakah layanan kesehatan nyaman? Apakah layanan pendidikan memuaskan? Jawabnya, tidak. Tapi approval rate kepada presiden tinggi. Tapi, ketika kita bicara tentang problem-problem yang dihadapi masyarakat, itu nyata di keluarga-keluarga. Generasi Z merasakan sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Jadi saya sampaikan bahwa kita ingin berubah. Kebijakan tata niaga, kebutuhan pokok, itu harus diubah. Supaya produsen kebutuhan pangan dengan konsumen selisih harganya tidak jauh. Artinya, yang memproduksi bisa sejahtera, yang mengkonsumsi bisa menjangkau. Ini aspek yang tidak mendapatkan perhatian riil. Itu fakta.

 

Banyak orang menganggap hubungan Anda dengan Presiden Jokowi buruk. Bisa Anda jelaskan?

 

Pak Jokowi itu presiden. Saya warga negara. Ketika saya penyelenggara negara, kami ketemu intensif sebagai penyelenggara negara. Saya gubernur, beliau presiden. Karena pekerjaan, interaksi saya cukup banyak. Pekerjaan itu selesai, saya pamit, undur diri, dan saya menjadi warga negara sebagaimana yang lain. Menurut saya, normal-normal saja. Malah aneh kalau ketemu terus-menerus. Jadi, menurut saya, ini tak perlu dipertanyakan. Saya warga negara biasa. Beliau presiden yang punya urusan begitu banyak. Bahwa saat ini saya dicalonkan oleh partai dan lain-lain, kan presiden juga bilang tidak cawe-cawe.

 

Mungkin karena Anda tidak pernah menyatakan akan melanjutkan program pemerintah sekarang?

 

Nanti timing-nya ada. Bukan sekarang.

 

Omong-omong, masih bisakah Anda tidak mendapat tiket sebagai calon presiden?

 

Ini seperti pertanyaan, "Berapa besar kemungkinan Anda di jalan ditabrak mobil?" Gimana jawabannya? Ya, enggak tahu. Makanya, kalau kita pergi, berangkat, yang kita bisa kendalikan itu rem, gas, kopling. Itu bisa kita kendalikan. Tapi, kendaraan orang lain, saya enggak bisa kendalikan. Di situ saya berdoa.

 

PKS masih mendukung Anda?

 

Kami berjalan bersama PKS sejak 2016. Saya bersyukur bisa bekerja bersama dengan PKS selama ini. Insyaallah ke depan juga terus sama-sama. Sebagaimana ketika NasDem mendeklarasikan (pencalonan saya) pada Oktober tahun lalu, tidak bisa PKS serta-merta mendeklarasikannya. PKS harus menggelar sidang majelis syura. Proses internal ini harus dihormati. Jadi tidak perlu menjadi bahan spekulasi.

 

Selama ini PKB dan PKS punya banyak perbedaan. Bagaimana Anda menyatukannya?

 

Kita ini sebangsa, setanah air. Makin sering kita memunculkan kebersamaan, kerja sama itu makin baik. Pikiran, perasaan, harapan mungkin beda-beda, tapi membiasakan kerja bersama itu penting untuk perasaan kesatuan di republik ini. Kami melihat ini sebagai sesuatu yang positif, bahwa mudah-mudahan dengan adanya situasi seperti sekarang terbentuk suasana komunikasi yang lebih baik sampai ke level grassroots. Jika di level grassroots pikiran dan kebiasaan tetap berbeda, kami hormati. Tapi bisa bekerja sama itu rasanya baik. Kenapa kita harus melanggengkan perbedaan?

 

Bagaimana menjawab kritik bahwa nanti Anda akan menjadi petugas partai politik?

 

Anda lihat saya bekerja di Jakarta. Saya hanya didukung Gerindra dan PKS. Tujuh partai lain tidak bersama. Dalam perjalanannya, justru berbalik, tujuh mendukung kami, dua tidak. Alhamdulillah, kami mendapat dukungan yang cukup luas dari semuanya. Dalam banyak hal kami bisa bersepakat. Kami bisa tidak bersepakat dengan partai. Sama seperti juga di sini. Kami selama ini ada diskusi. Memang baru pertama kali ada nama dari NasDem? Enggak, kok. Berkali-kali. Cuma, kan enggak ramai saja. Dan terjadi diskusi, terjadi pro-kontra. Menurut saya, keputusan ini (berpasangan dengan Muhaimin) hanya bisa terjadi karena terjadi deadlock. Kalau enggak deadlock, cerita masih panjang.

 

Anda kerap dikritik karena dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 sangat sarat isu politik identitas.

 

Faktanya, polarisasi berdasarkan isu agama sudah ada sejak 2011. Kedua belah pihak menggunakan isu agama. Yang mendukung Ahok menggunakan isu agama. Yang menentang juga menggunakan isu agama. Apakah semua pendukungnya begitu? Tidak. Apakah semua penentangnya memakai isu agama? Tidak.

 

Narasi-narasi tentang lebih baik memilih pemimpin nonmuslim tapi tidak korup daripada korup tapi muslim itu sudah ada sebelum saya jadi calon gubernur. Jadi polarisasi itu sudah ada, sudah kuat, dan sudah menjadi friksi. Karena kami menjadi pemenang, dengan mudah dikatakan kami menang karena isu agama. Kemenangan itu faktornya banyak. Jadi saya melihat penting bagi kita menempatkan fakta secara lengkap bahwa isu perbedaan agama, isu agama, itu sudah ada lima-enam tahun sebelum saya. Saya tidak memulainya.

 

Ada juga yang mengungkit soal asal-muasal keluarga Anda dari Yaman. Anda merasa menjadi korban soal itu?

 

Enggak. Bagi saya itu non-isu. Kami bersyukur bahwa orang-orang tua kami memilih menjadi pejuang mendirikan republik ini. Dan itu juga yang membuat saya merasa harus siap masuk wilayah politik, sebagaimana orang-orang tua kami dulu memilih berada di wilayah politik itu sebuah perjuangan. Apakah selama kakek saya terlibat dalam perjuangan sepi dari kontroversi dan kritik? Tidak. Apakah ketika ia mengambil keputusan disetujui semua orang? Tidak. Banyak yang menentang, banyak yang mengkritik, banyak yang tidak setuju, banyak juga yang setuju. Maka, kalau saya mendapat undangan terlibat proses politik, saya akan jawab, ya.

 

Anda terlihat berusaha menghindari berkomentar soal Demokrat. Masih ada harapan Demokrat kembali?

 

Bukan hanya itu. Memang saya selama ini juga tidak dalam situasi memojokkan atau menyerang siapa pun. Jadi saya selalu berharap tone-nya bersahabat kepada semua.

 

Soal kasus hukum Muhaimin di KPK, apakah tidak jadi pertimbangan Anda dan NasDem?

 

Kalau Gus Muhaimin itu punya masalah hukum, saya rasa beliau tidak berani mengambil opsi ini. Beliau bilang tidak ada masalah. Dan kalau tidak ada masalah, ya, tidak ada masalah.

 

Anda tidak khawatir akan diganjal dengan kasus hukum?

 

Aku wis dikuliti nganti ora ono kulite (saya sudah dikuliti sampai tidak ada kulitnya lagi). Opo meneh sing ate dikuliti (apa lagi yang akan dikuliti dari saya)?

 

Sebagai pasangan pertama yang berdeklarasi, apa plus dan minusnya?

 

Ada kesempatan dibicarakan sendirian karena belum ada yang lain. Saya tak lihat ada minusnya. Malah bisa dipersiapkan lebih awal. Hal-hal yang kemarin belum disinkronkan bisa disinkronkan. Punya waktu (persiapan) lebih banyak. Kemudian, bagi pendukung, relawan, kalau ditanya (apakah mereka) berlayar atau tidak, bisa saya jawab "berlayar".

 

Bukankah sebagai pasangan pertama Anda juga jadi lebih banyak dirisak?

 

Di-bully itu dengan kata lain jadi percakapan, kan?

 

Taksiran Anda, berapa calon yang akan maju? Mana yang lebih baik buat Anda, dua atau tiga calon?

 

Bismillah, kami berlayar. Itu saja yang penting. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/wawancara/169697/wawancara-anies-baswedan