Sabtu, 28 April 2018

Jokowi dan Keajaiban Politik Pilpres

Jokowi dan Keajaiban Politik Pilpres
Denny JA ;   Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
                                                     REPUBLIKA, 26 April 2018



                                                           
Jika ada ahli sejarah ingin menulis tujuh keajaiban politik Indonesia, satu dari tujuh peristiwa itu yang layak untuk dipertimbangkan adalah terpilihnya Jokowi menjadi presiden Indonesia tahun 2014.

Peristiwa itu dikatakan ajaib karena seolah melawan “convensional wisdom,” melawan apa yang biasa. Di tahun 2011, tiga tahun sebelum pemilu presiden, tak ada yang membicarakan Jokowi akan menjadi  presiden Indonesia. Untuk menjadi calon presidenpun, nama Jokowi jauh dari radar.

H-3 tahun, Jokowi walikota Surakarta. Populasi wilayah itu hanya 500 ribu jiwa. Dibandingkan populasi Indonesia yang 250 juta jiwa, itu hanya 0,2 persen.

Saat itu, Jokowi bukan tokoh partai politik. Ia bukan konglomerat. Ia bukan anak atau bagian dinasti tokoh Indonesia. Jokowi bahkan belum masuk hitungan tokoh nasional.

Namun peristiwa berjalan cepat dan tak terduga. Jokowi menjadi calon gubernur Jakarta, dan terpilih. Jokowipun menjadi calon presiden Indonesia dan terpilih.

Semua peristiwa yang membawa Jokowi dari wali kota solo menjadi Presiden indonesia dalam hitungan tiga tahun, sungguh bukan rancangan siapapun. Konsultan politik paling jenius sekalipun, tak akan mampu menciptakannya.

Ini kombinasi antara kekuatan pribadi Jokowi saat itu, ditambah peristiwa alam, ditambah ketepatan merespon situasi. Tentu awalnya adalah gaya politik original Jokowi yang dikenal dengan istilah blusukan. Ia dekat dengan rakyat, dikenal relatif bersih dan sederhana.

Ia pun kemudian dilirik menantang gubernur Jakarta Fauzi Bowo. Hari pilkada kurang dari 6 bulan, bahkan tak ada satu lembaga surveipun yang mengunggulkan Jokowi. Fauzi Bowo, selaku pertahana, selalu menang telak.

Telah tejadi sesuatu setelah survei terakhir, H-14 sampai hari pencoblosan. Telah terjadi gerakan yang membalikkan suara. Satu yang dapat diduga adalah politik sosial media  yang saat itu mulai semarak. Berbeda dengan jalur lain, media sosial tetap berbunyi hingga detik terakhir pencoblosan.

Jokowi terpilih sebagai gubernur Jakarta. Politik gempar!

Tak lama kemudian, Jakartapun dilanda banjir panjang dan parah di bulan Januari- Febuari 2013. Ini sepenuhnya peristiwa alam. Namun banjir itu membuat gubernur Jakarta berhari hari menjadi panggung nasional.

Jokowi melintasi banjir dengan gerobak. Jokowi masuk ke terowongan memeriksa saluran. Jokowi bercakap dengan rakyat. Terasa semua begitu wajar ekspresi pemimpin yang merakyat, sederhana, penuh perhatian. Publik mulai berseru: Telah lahir pemimpin yang merakyat, dari rakyat, untuk rakyat.

Tak terduga Jokowi menjadi tokoh baru yang populer. Iapun unggul di aneka survei untuk capres 2014. Bahkan kemudian, Megawati merelakan diri tak maju sebagai capres, dan memberikan tiket PDIP itu kepada Jokowi.

                                                            *****

Dalam pilpres 2014, terjadi keajaiban lain. LSI Denny JA sejak H- 6 bulan, setiap bulan melakukan survei. Mencengangkan jarak antara Jokowi-JK melawan Prabowo- Hatta semakin surut. Awalnya pasangan Jokowi unggul di atas 20 persen. Namun H- 1 bulan, pasangan Jokowi hanya unggul 0,5 persen. Ini di bawah margin of error.

Jika trend menurun berlanjut, Jokowi akan dikalahkan. Semua survei menunjukkan trend selisih yang menurun. Sebagian mempublikasikannya. Sebagian lembaga menyimpan saja data itu.

Saya jumpa Jokowi bersama Luhut Panjaitan. Saya juga jumpa Andi Wijayanto yang saat itu menjadi tokoh penting dalam team sukses Jokowi. Disepakati LSI Denny JA bergerak di 7 provinsi terbesar dalam sisa waktu.

Seketika kantor LSI menjadi gudang begitu banyak brosur. Door to door ke rumah rumah di 7 provinsi dilakukan. Saya usulkan lima program untuk menarik hati wong cilik. Lima program itu kemudian dimodifikasi lagi oleh team Jokowi.

Saya ingat, langkah pertama saya jumpa Rikard Bagun di Kompas. Saya ditemani Agus Edi Santoso. Rikard bertanya apakah iklan tentang program Jokowi ini sudah disetujui Jokowi? Saya jawab: silahkan dan tentu harus dicek oleh Kompas. Akhirnya Kompas memuat iklan Jokowi itu.

Iklan di Kompas saya utamakan untuk kabar nasional ada program baru Jokowi. Berita ini diharap sebagai momen untuk membalikkan trend. Program unggulan Jokowi yang dimuat di harian Kompas, juga sebagai penanda  LSI Denny JA sebagai lembaga resmi bergerak untuk Jokowi.

Di antara 7 provinsi besar, saya sendiri menggerakkan relawan di Jabar, Jateng, dan Jatim. Video saya menggerakkan relawan di tiga kota itu masih bisa ditonton di Youtube.

Karena ini era social media, saya buat juga mobilisasi di twitter, facebook, dan berita online. Tweet saya mengajak mendukung Jokowi bahkan di RT lebih sejuta kali.

Twitter Inc kemudian menjadikan tweet saya untuk kampanye Jokowi itu sebagai tweet no 2 paling banyak di RT tingkat dunia. Tweet itu hingga kini tetap dianggap sebagai satu tweet yang paling banyak di RT sepanjang sejarah twitter.

Terkaget pula saya. Peran saya dalam politik sosial media itu dianggap fenomenal oleh majalah terbesar dunia TIME Magazine. Di tahun 2015, saya pun dipilih satu dari 30 tokoh internet dunia bersama Presiden Obama, Presiden Argentina, PM India, dan selebriti seperti Justin Bieber, Sakira, dan lainnya.

Survei LSI terakhir H-7 hari, situasi mulai berbalik. Selisih Jokowi versus Prabowo yang kian kecil hingga 0,5 persen, menaik lagi dan melebar.

Aha! Trend mulai berbalik. Saya meyakini Jokowi terpilih. Karena itu pula, di hari pemilu, sebelum TPS tuntas menghitung suara, melalui exit poll, saya sudah umumkan Jokowi presiden baru.

Saya ingat karena mengumumkan Jokowi menang terlalu dini, saya dipolisikan oleh Fadli Zon. LSI pun membuat konf pers. Mengapa riset ilmu pengetahuan dikriminalkan? Dua minggu kemudian, hasil resmi KPU keluar. Aha! Quick count LSI termasuk yang paling akurat, selisih hanya di bawah 0,5 persen dibanding hasil akhir KPU.

Semua yang saya kisahkan di atas bisa dilacak di Google.

                                                         *****

Apa point dari kisah ini? Pernah terjadi keajaiban dalam pemilu presiden 2014. Jangan remehkan juga pemilu presiden 2019. Keajaiban yang membuat seorang tokoh menjadi presiden tetap bisa terjadi.

Jangan terpaku oleh hasil survei sementara H-11 bulan. Dalam politik, kecuali singa yang berubah menjadi burung merpati, segala hal bisa berubah. Banyak keajaiban dalam pemilu presiden. ●

Politisasi Ayat dan Hadis

Politisasi Ayat dan Hadis
Nasaruddin Umar ;  Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 27 April 2018



                                                           
PILKADA serentak sebentar lagi tiba. Pilkada kali ini lebih menarik lagi karena berdekatan dengan bulan suci Ramadan. Dalam bulan suci Ramadan emosi umat Islam sedang berakumulasi dan biasanya akan tampil kesemarakan spiritual di dalam masyarakat.

Yang perlu dicermati ialah pelibatan ayat-ayat dan hadis di dalam berkampanye. Politisasi ayat dan hadis sudah sering terjadi, tapi kali ini mungkin akan lebih banyak lagi karena ada Ramadan yang berpapasan dengan bulan pemilu.

Kita perlu lebih hati-hati mengumbar ayat di dalam berpolitik praktis karena tidak sedikit kitab suci bermasalah karena faktor politik praktis. Sejarah panjang Bibel dan kitab-kitab suci lainnya penuh dengan persoalan sebagai akibat pengaruh tarikan politik dan kekuasaan, baik penulisan, penerjemahan, maupun penafsiran.        

Akibatnya, sering kita menemukan istilah ‘kitab suci palsu’, ‘terjemahan sesat’, dan ‘penafsiran tendensius’. Dalam dunia Islam manipulasi dalil-dalil agama juga pernah terjadi. Suatu ketika terjadi pemandangan menarik di sebuah pasar tradisional di Timur Tengah. Penjual madu dagangannya laris manis karena dipoles dengan hadis, ditambah dengan ayat yang dikutip dari Surah An-Nahl (lebah madu). Hadis tentang madu memang pernah ada, yaitu: al-'Asal da'u kulli dain dawa' (madu mengobati berbagai macam penyakit). Penjual madu meneriakkan hadis nabi di tengah pasar sehingga dalam waktu tidak lama dagangannya habis.

Di samping penjual madu ada seorang penjual terong yang hanya bisa termangu menyaksikan pembeli menyerbu dagangan madu di sampingnya, sedangkan dagangan terongnya tidak ada yang mampir membeli. Rupanya si penjual terong tidak kehabisan akal. Ia pun mengarang sebuah hadis yang isinya mirip dengan hadis yang diteriakkan penjual madu. Ia membuat hadis palsu dan meneriakkannya berulang-ulang. “Wahai para pengunjung pasar, kemarilah membeli terongku, Rasulullah pernah bersabda: Al-Bazinjan da'u kulli dawa' (terong bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit).

Alhasil, dagangan penjual terong juga laris manis. Hadis palsu tersebut sering dijadikan sebagai contoh dari hadis palsu di dalam kitab-kitab ulumul hadis. Dalam kesempatan lain ketika Ibu Megawati Soekarno Putri mencalonkan diri sebagai presiden masa lalu, sebuah spanduk raksasa yang berisi hadis nabi terpampang di sebuah kampus besar, Lan yufliha qaumun wallau amrahum imraatan (Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya diurus oleh seorang perempuan). Di tempat lain dipajang spanduk isinya ayat Alquran: Al-Rijal qawwamun 'ala al-nisa' (Laki-laki pemimpin bagi perempuan/QS Al-Nisa/4:32).

Jelas spanduk-spanduk dan brosur itu bertujuan mencekal Ibu Megawati sebagai calon presiden. Perolehan suara Ibu Megawati tergolong kurang di kawasan itu, tapi tidak berhasil mencekalnya sebagai presiden. Secara terselubung hingga saat ini dalil-dalil agama masih sering dipolitisasi untuk ‘menembak’ seseorang atau sekelompok orang. Bukan hanya dalam dunia politik, melainkan juga dalam dunia bisnis. Ada produk-produk dipoles dengan ayat atau hadis, tetapi pada merek lain dijadikan sebagai sasaran kampanye hitam untuk menjatuhkan produk itu.

Perang antara kelompok radikal dan kelompok liberal juga menggunakan ayat dan hadis. Kesemuanya ini menunjukkan begitu gampang orang mencapai sasarannya dengan polesan dalil-dalil agama.  Yang paling menyedihkan, kalimat-kalimat suci diucapkan untuk mengeksekusi secara kejam orang-orang yang dianggap musuhnya, seperti kita saksikan di media-media sosial tentang perlakuan IS terhadap tawanan perang.

Sehubungan dengan itu semua, kita sebagai bangsa yang majemuk selalu harus waspada terhadap orisinalitas dan keabsahan kitab suci. Jangan sampai kitab suci dijadikan sebagai kendaraan politik.

Menjinakkan Dolar

Menjinakkan Dolar
Haryo Kuncoro ;  Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta;
Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 27 April 2018



                                                           
PASAR finansial global terus bergejolak belakangan ini. Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS), per Maret 2018, memantik spekulasi kuat akan rentetan kenaikan fed fund rate (FFR) tiga kali lagi sepanjang tahun ini.  Tendensi ini disikapi para pelaku pasar melepas aset berdenominasi nondolar AS. Akibatnya, hampir semua mata uang dunia mengalami tekanan, termasuk rupiah. Sejak awal April (month to date), nilai tukar rupiah melemah 0,91%, yang lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain.

Komparasi dengan spektrum waktu yang lebih panjang agaknya tidak mengubah simpulan. Sejak awal 2018 (year to date) rupiah melemah 2,35% hingga nyaris Rp13.999 per dolar AS, tetapi lebih rendah daripada pelemahan mata uang lain, seperti real Brasil 3,06%, rupee India 3,92%, peso Filipina 4,46%, dan lira Turki 7,17%.

Lebih dangkalnya depresiasi rupiah relatif terhadap negara peer menimbulkan pertanyaan seberapa kuat upaya stabilisasi BI berupa intervensi di pasar valuta asing mampu menopang kekuatan nilai rupiah. Indikator makroekonomi yang terus membaik semestinya membuat rupiah lebih kuat terhadap tekanan eksternal.

Kekuatan mata uang domestik terhadap mata uang asing dalam perspektif teoretis dapat dijelaskan dari paritas daya beli (purchasing power parity). Pandangan ini menegaskan nilai tukar ialah cerminan dari perbedaan daya beli mata uang di kedua negara. Konsep dasarnya, suatu barang mestinya mempunyai harga yang sama di mana pun.

Daya beli uang terhadap banyak komoditas direpresentasikan indeks harga konsumen. Kenaikan relatif indeks harga konsumen dikenal sebagai laju inflasi. Oleh karena itu, paradigma ini memberikan resep nilai tukar akan stabil jika laju inflasi di setiap negara terkendali. Pendekatan paritas daya beli secara implisit mengasumsikan uang semata-mata sebagai alat tukar (medium of exchange). Pelaku ekonomi seakan hanya memiliki dua alternatif aset, pegang uang tunai atau barang. Faktanya, uang bisa dipakai sebagai media spekulasi untuk mendapatkan imbal hasil (return).

Pertimbangannya, jika pegang uang tunai, pelaku ekonomi akan liquid untuk bertransaksi barang/jasa. Namun, memegang uang cash tidak memberikan imbal hasil daripada jika disimpan di perbankan, misalnya. Artinya, suku bunga (domestik dan luar negeri) menjadi determinan penting dalam menentukan nilai tukar.

Imbal hasil perbankan merujuk pada suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral. Perbedaan suku bunga lintas negara disebut suku bunga diferensial. Oleh karena itu, pendekatan kedua ini menyarankan nilai tukar akan stabil jika selisih suku bunga antarnegara dijaga dalam rentang yang kukuh.

Beranjak dari tesis sini, kenaikan FFR tanpa diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7-day reverse repo rate (7DRRR) niscaya akan memperbesar suku bunga diferensial sehingga dana akan mengalir ke AS. Akibatnya, pembelian dolar meningkat sehingga kembali mendepresiasi rupiah.

Kedua teori itu dalam taraf tertentu mampu menjelaskan perilaku nilai tukar rupiah meski kurang memuaskan. Buktinya, dalam tiga tahun terakhir The Fed sudah menaikkan FFR lima kali. Sementara itu, BI malah menurunkan suku bunga acuan delapan kali. Artinya, proposisi suku bunga diferensial tidak kesampaian.

Persoalan kian kompleks saat ketiganya berinteraksi. Secara normatif, jika pergerakan inflasi terjaga, suku bunga acuan akan stabil sehingga nilai tukar juga akan ‘tenang’. Dengan alur ini, laju inflasi seharusnya sebanding dengan depresiasi. Faktanya, laju depresiasi (2,35%) lebih tinggi daripada inflasi (0,99%), pun di saat 7DRRR lama tidak berubah.

Kondisi semacam ini berakibat BI kesulitan dalam menentukan besaran suku bunga acuan. Celakanya lagi, angka inflasi yang ditargetkan 3,5% pada tahun ini akan diganggu gejolak internal berupa fluktuasi harga barang yang diatur pemerintah (administered price) dan harga pangan yang bergejolak (volatile prices).

Orientasi ke luar kebetulan juga terhalang oleh perang dagang AS dengan Tiongkok. Artinya, lalu lintas barang/jasa yang menjadi landasan berpijak dalam menentukan nilai tukar bisa seret. Seretnya lalu lintas barang/jasa membuat nilai tukar tidak mencerminkan kinerja perekonomian yang sesungguhnya.

Kegagalan kedua pendekatan sebelumnya memaksa perluasan kajian menuju pendekatan portofolio. Dasar pemikirannya, imbal hasil tidak hanya ditawarkan suku bunga, tetapi perbankan juga yield yang dipasok aset finansial lain, berupa surat berharga, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Dengan kerangka ini, pelaku ekonomi senantiasa aktif menyubstitusi kekayaannya antara uang tunai, barang, simpanan di bank, dan surat berharga. Oleh karena itu, setiap ada gejolak di satu pasar imbasnya akan cepat merambat ke segmen pasar yang lain. Fluktuasi harga saham dan emas pada saat kurs bergejolak ialah contoh konkretnya.

Alhasil, pasar keuangan terintegrasi antara segmen satu dengan yang lain baik intranegara maupun lintas negara. Kondisi ini membuat kebijakan moneter bank sentral senantiasa kesulitan meredam setiap gejolak yang ada di pasar keuangan entah dari segmen/negara mana asal gejolak bermula.

Dengan konfigurasi problematika di atas, kebijakan moneter BI yang ketat dalam bentuk kenaikan 7DRRR menjadi opsi kebijakan yang layak bagi Indonesia yang berstatus perekonomian kecil yang terbuka (small open economy) tatkala kebijakan moneter negara leader sudah menaikkan suku bunga acuan.

Tanpa memasukkan opsi kenaikan 7DRRR, BI mau tidak mau harus intervensi untuk menjinakkan dolar. Pilihan ini kendati efektif, hanya sesaat dan berbiaya mahal. Lagi pula, cadangan devisa yang dipegang BI relatif kecil untuk ukuran pasar valuta asing sehingga keberlanjutannya masih bisa dipertanyakan.

Agaknya BI perlu berkaca dari pengalaman negara lain yang mengadopsi ‘ketat’ dalam menjaga suku bunga acuan dalam praktiknya ‘fleksibel’ terhadap nilai tukar. Frekuensi intervensi di pasar valuta asing menjadi lebih sering dan lebih sensitif terhadap pergerakan nilai tukar riil.

Solusi yang lebih kompromistis ialah sistem pengendalian devisa, khususnya aliran hot money yang dominan di pasar uang. Regulasi parsial perlu dikenakan pada capital flow agar dana portofolio asing tidak keluar/masuk begitu saja tanpa memberikan kontribusi yang signifikan bagi stabilitas nilai tukar rupiah. Mau pilih yang mana BI?

Skandal Petrobras dan Lula

Skandal Petrobras dan Lula
Dedi Haryadi ;  Ketua Beyond Anti Corruption;  Peneliti Lembaga Ekolabel Indonesia
                                                         KOMPAS, 27 April 2018



                                                           
Mantan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menyerahkan diri dan mulai menjalani hukuman (Kompas, 9/4/2018). Perubahan transformatif apa di balik eksekusi vonis Lula dan pengungkapan skandal korupsi Petrobras (Petroleo Brasileiro)?

Sekurangnya ada dua hal. Pertama, transformasi peradilan Brasil dari yang tadinya padat impunitas—terutama bagi orang kaya dan penguasa—ke arah peradilan tanpa impunitas. Kedua, keterlibatan kawasan sekretif dalam membangun kerja sama penanganan korupsi lintas batas.

Lula terima suap

Juli 2017, Lula divonis  bersalah menerima suap 8 juta dollar AS—berupa apartemen di pinggir pantai dan donasi ke Lula Institute—dari perusahaan multinasional  OAS yang bergerak di bidang teknik, konstruksi, minyak, gas, dan lain-lain.

Di pengadilan banding  hukumannya malah diperberat. Dari 9 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun 1 bulan. Pleidoi Lula, pengacaranya dan kelompok kiri, tampaknya lebih politis ketimbang hukum. Mereka seirama menuduh pengadilan sebagai orkestrasi politik untuk menyingkirkan Lula dari gelanggang politik. Sebagai penyuap, lima mantan Direktur OAS juga dijatuhi hukuman dari 11 tahun sampai 16 tahun penjara.

Selain Lula pribadi, Partai Buruh sebagai partai penguasa juga menerima dana kick back 1 persen dari nilai  kontrak OAS dengan Petrobras. Suap dan kick back itu membuat OAS memenangi dua kontrak pembangunan kilang minyak Petrobras. OAS merupakan salah satu dari 27 kartel kontraktor yang terlibat skandal korupsi Petrobras.

Ini skandal korupsi terbesar se-Amerika Latin dengan nilai kerugian negara 2,1-3,0 miliar dollar AS. Sepanjang 2004-2012, Petrobras dikadali oleh kartel tersebut sehingga harus membayar nilai kontrak pengadaan barang dan jasa 3 persen lebih tinggi daripada yang seharusnya.

Diadili dan dipenjarakannya sekitar 80 pebisnis dan politisi dalam skandal Petrobras menandai berakhirnya impunitas. Seperti di Tanah Air, kelompok elite militer mungkin masih menikmati impunitas.

Ada dua aktor yang berperan penting dalam transformasi peradilan Brasil ini. Pertama, Sergio Fernando Moro (SFM), 46 tahun, hakim federal yang desisif (menentukan) dalam pengungkapan dan pengadilan skandal korupsi.

Kedua, secara kelembagaan, Kementerian Publik, sejenis dengan lembaga kejaksaan yang bebas dan mandiri. Lembaga ini  dirancang spesifik menangani berbagai kasus yang menjadi sorotan publik. Mereka punya anggaran sendiri dan para jaksanya otonom, bukan hanya terhadap pemerintah, melainkan juga di antara para jaksa. Lembaga ini dibangun semasa transisi dari junta militer (1964-1985) ke demokrasi (1985-sekarang).  Dengan sandi Lava Jato atau ”Operation Car Wash”, lembaga ini membongkar dan mengadili skandal korupsi Petrobras sampai ke akarnya.

Sergio Fernando Moro

SFM  adalah orang  yang berpengetahuan dan berkeahlian dalam bidang antikorupsi dan pencucian uang. Sikapnya bebas dan mandiri, integritasnya tinggi dan bernyali besar.

Tahun 2016 ia menyabet tiga penghargaan bergengsi: 1) urutan ke-13  dalam Fortune’s List of World’s Greates Leaders,  2) masuk daftar 100 orang paling berpengaruh versi majalah Time, dan 3) menempati urutan ke-10 dari 50 orang paling berpengaruh dalam dunia keuangan versi Bloomberg Bussinessweeks.

Tahun 2017 ia juga dianugerahi Notre Dame Award. Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang mengabdikan diri pada nilai-nilai luhur Universitas Notre Dame, seperti toleransi, pendidikan, keadilan, pelayanan publik, perdamaian, dan kepedulian pada kelompok marjinal.

Namun, SFM tak imun terhadap kritik. Koleganya menuduh SFM eksesif berperan ganda, ya hakim, ya penyidik. Sepak terjangnya dianggap memihak kelompok politik tertentu.

Sebelum mengadili dan memenjarakan Lula, Moro juga mengadili dan memenjarakan konglomerat Marcelo Odebrecht (MO). MO memimpin kelompok bisnis raksasa Odebrecht yang berbisnis segala macam rekayasa, konstruksi, minyak, dan gas.

Kelompok bisnis Odebrecht merupakan donor keuangan politik terbesar bagi para politisi di Brasil. Maret 2015, MO  divonis bersalah karena menyuap—nilai suap mencapai 30 juta dollar AS—dan dihukum 19 tahun.

Desember 2016, hukumannya dikurangi menjadi 10 tahun karena mengaku bersalah, membayar denda Rp 2,6 miliar dollar AS, dan mau bekerja sama mengungkapkan praktik kejahatan.

Testimoninya antara lain mengaku menggelontorkan dana ilegal senilai 48 juta dollar AS untuk membiayai kampanye politik Dilma Rousseff dan Michel Timner. Presiden Rousseff— yang dimentori Lula—dimakzulan pada Oktober 2016. Ia diganti oleh Michel Timner. Pengakuan MO itu menyulitkan posisi Timner sekarang. Apakah pemakzulan akan terulang?

Pemakzulan Rousseff—presiden perempuan pertama Brasil—difilmkan dengan judul O Processo  atau The Trial. Film ini menggambarkan keterbelahan masyarakat Brasil selama dan setelah pemakzulan. Banyak yang menilai pemakzulan Rousseff merupakan kudeta politik yang dilakukan parlemen.

Uji nyali KPK

Nyali tinggi SFM yang mengadili OAS, Odebrecht, dan Lula tidak kita dapati pada saat KPK menyidik kasus reklamasi teluk Jakarta yang menyeret dua korporasi pengembang besar. Kasus skandal korupsi Bank Century juga terkatung-katung.

Padahal, Lula itu kurang prestasi apa? Ia adalah Presiden Brasil (dua periode) terbaik dan paling sukses mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Toh, ia diadili dan dipenjarakan juga.

Oleh karena itu, KPK harus bisa mengungkap dan mengadili siapa aktor the untouchable di balik kasus Century.

Ini momen penting bagi KPK untuk menunjukkan: 1) bahwa integritas dan nyali KPK melampaui penegak hukum lain, 2) mampu mengakhiri impunitas yang lebih banyak dinikmati segelintir elite, dan 3) balas budi kepada publik. Publik yang telah berkali-kali menyelamatkan  KPK dari upaya pelemahan dan penistaan para politisi.

Apakah transformasi peradilan Brasil yang mematikan impunitas mengubah persepsi orang tentang risiko korupsi di Brasil? Tidak ternyata.

Indeks persepsi korupsi malah makin memburuk. Pada 2015, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Brasil 38 (dari skala 0-100) dengan peringkat ke-78 dari 176 negara. Pada 2017, IPK-nya malah turun ke-37, dengan peringkat ke-96. Bandingkan dengan IPK kita, yang pada kurun yang sama, naik dari 36 menjadi 37, dengan peringkat turun dari ke-88 menjadi ke-96. Ada apa dengan IPK?

Skandal korupsi Petrobras masuk kategori korupsi lintas batas (cross border corruption). Sebagian transaksi keuangan, di antaranya pembayaran suap, menggunakan jasa lembaga keuangan Swiss. Demikian juga dana hasil korupsi diparkir di bank-bank Swiss. Sudah jadi pengetahuan  umum, Swiss merupakan kawasan sekretif terbaik dunia. Dalam mengungkap dan mengadili skandal Petrobras, otoritas Swiss (kejaksaan dan regulator lembaga keuangan) bersemangat membangun kerja sama dengan penegak hukum Brasil.

Empat langkah

Ada empat langkah yang dilakukan otoritas Swiss dalam membantu penegak hukum Brasil membongkar kasus ini: 1) menyelidiki puluhan transaksi terkait, 2) membekukan lembaga keuangan yang menampung dana hasil korupsi, 3) membekukan dana hasil korupsi hampir senilai 800 juta dollar AS, dan 4) merepatriasi dana hasil korupsi ke otoritas Brasil. Idealnya, ditambah dengan langkah kelima, yaitu kesediaan dan kesiapan mengekstradisi pelaku korupsi.

Kerja sama Swiss-Brasil mengusut dan mengadili skandal Petrobras bisa jadi model penanganan korupsi lintas batas yang efisien dan efektif. Model ini perlu dikembangkan dan direplikasi bagi penanganan korupsi lintas batas lain. Dengan cara ini niscaya prevalensi korupsi lintas batas akan berkurang.

Pengembangan model kerja sama ini sangat dimungkinkan   karena tindakan kooperatif yang diperlihatkan Swiss bukan hal yang unik. Ada kecenderungan umum kawasan sekretif yang sekarang lebih bersahabat dalam menangani kejahatan keuangan lintas batas. Hal ini tecermin dari banyaknya kawasan sekretif yang menandatangani dan berkomitmen mengimplementasikan pertukaran informasi rekening keuangan (The Multilateral Competent Authority Agreement on Authomatic  Exchange on Financial Account Information).

Beberapa kawasan sekretif terkemuka, yakni Swiss, Inggris (plus belasan kawasan sekretif satelitnya), Singapura, Luksemburg, dan lain-lain, ikut menandatangani dokumen ini.

Sampai Januari 2018, ada 98 negara/kawasan sudah tanda tangan. Panama—yang terkenal dengan fenomena Dokumen Panama—menjadi kawasan ke-98 yang ikut bergabung dalam gerakan  ini. Padahal, sebelumnya Panama dikenal sebagai kawasan sekretif garis keras yang kerap menolak bekerja sama dengan lembaga internasional yang mempromosikan transparansi dan pertukaran informasi tentang  keuangan dan perpajakan.

Dalam hal ini, reproduksi penegak hukum berintegritas dan bernyali tinggi amat diperlukan. Kepemimpinan dan kepeloporan  penegak hukum yang berani dan berintegritas telah memainkan peranan penting dalam menangani korupsi lintas batas, termasuk dengan mengikis impunitas di peradilan Brasil.

Kita perlu mereproduksi orang seperti SFM agar muncul dan eksis dalam institusi peradilan kita, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman. ●

”Buku Putih AIPI”

”Buku Putih AIPI”
Terry Mart ;  Fisikawan UI dan Anggota AIPI
                                                         KOMPAS, 27 April 2018



                                                           
Banyak hal menarik yang saya temukan ketika saya melakukan riset fisika di The George Washington University, AS, hampir dua dekade lalu. Mungkin salah satunya adalah letaknya yang hanya beberapa blok dari Gedung Putih.

Namun, yang paling mengesankan adalah pengalaman bertemu dengan pelayan restoran siap saji di sekitar pusat kota Washington DC. Saat itu sang pelayan tampaknya tertarik dengan kaus saya yang bertuliskan Cambridge University sehingga dia berkomentar: ”Wow, Anda dari Cambridge.” Belum sempat saya menjawab, dia melanjutkan pertanyaan mengenai apa yang saya lakukan di DC. Saya katakan bahwa saya melakukan riset fisika partikel. Kembali dia bersemangat, sambil mengatakan, ”Wow, Anda pasti tahu tentang quark!”

Di sinilah saya terkesan. Tampaknya promosi sains di negara Paman Sam ini sudah sangat berhasil sehingga seorang pramusaji restoran memiliki pengetahuan umum tentang fisika partikel. Selang hampir dua dekade kemudian barulah saya menemukan kata kuncinya, yaitu literasi sains.

Literasi sains

Meski berdasarkan beberapa survei seperti PISA (Programme in International Student Assessment) dan TIMSS (Trend International Mathematics and Science Study), AS bukanlah negara dengan tingkat melek sains tertinggi bagi para pelajarnya, kesadaran mayoritas masyarakatnya tentang urgensi sains dalam kehidupan sangat mendukung perkembangan sains di sana.

Tentu saja literasi sains ini tidak muncul begitu saja tanpa adanya promosi sains yang gencar di media massa, semisal acara sains populer di radio dan televisi yang dipandu oleh fisikawan tamatan Universitas California Berkeley, Michio Kaku. Namun, jika dirunut ke masa silam, sangat jelas bahwa kontribusi sains pada masyarakat Amerika sudah mulai disadari sejak pertengahan abad ke-19, dengan diresmikannya Akademi Sains Nasional (National Academy of Sciences/NAS) pada 1863 oleh Presiden Abraham Lincoln. Sejak saat itu NAS, yang hampir 500 anggotanya adalah peraih Nobel, secara kontinu menjadi Advisors to Nation dalam urusan sains dan teknologi AS.

Bagaimana dengan Indonesia? Agak menyedihkan tampaknya. Hasil terakhir (2015) dari PISA menempatkan siswa Indonesia di urutan ke-62 dari 70 negara yang berpartisipasi, sedangkan TIMSS menempatkan Indonesia di urutan ke-44 dari 47 negara yang ikut serta.

Jika literasi sains para pelajar sudah begitu rendah, bagaimana dengan masyarakatnya? Padahal, jika masyarakat tidak melek sains, bagaimana mereka dapat mendukung perkembangan sains? Berbeda dengan kasus di negara-negara nondemokratis, dukungan masyarakat tentu saja sangat kritis bagi perkembangan sains di Indonesia.

Kontribusi AIPI

Jika AS memiliki NAS, Indonesia memiliki Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang juga cukup aktif mengajukan pandangan sains terhadap permasalahan bangsa. Sebutlah seperti pandangan tentang teknologi klon untuk kesejahteraan umat manusia, tentang kuman Enterobacter, ataupun tentang Kurikulum 2013.

Sayangnya, keberadaan AIPI masih kurang disadari, padahal ada kontribusi penting AIPI yang terlewat dari perhatian publik pada tahun 2017, yaitu Buku Putih AIPI. Buku ini disusun atas permintaan Kementerian Ristek dan Dikti untuk melakukan kajian jangka panjang (2015- 2045) tentang sains, teknologi, dan pendidikan tinggi di Indonesia. Alasan permintaan sangat jelas: kinerja sains dan teknologi Indonesia yang ditunjukkan oleh jumlah publikasi internasional dan paten hasil karya anak bangsa sangat minim. Buku putih ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kemenristek dan Dikti dalam penyusunan kebijakan strategis yang menyangkut pengembangan sains dan teknologi, misalnya dalam pembentukan universitas riset.

Isi Buku Putih AIPI secara kasar dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama mengupas tentang model-model pengembangan sains dan teknologi, yang sudah dikenal masyarakat, seperti model Triple Helix, Quintuple Helix, dan sebagainya.

Bagian kedua menampilkan perbandingan data terkait dari beberapa negara, termasuk Indonesia, baik negara yang dianggap berhasil mengangkat ekonominya melalui sains dan teknologi maupun negara yang dianggap gagal. Dijelaskan juga faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dan keberhasilan negara-negara tersebut. Secara ringkas, faktor penentu keberhasilan yang disorot di sini adalah Total Factor Productivity (TFP).

Bagian terakhir menampilkan empat skenario Indonesia pada 2045 setelah kemerdekaan Indonesia berusia 100 tahun. Bagian ini sebenarnya yang paling penting untuk dibahas.

Skenario Indonesia pada 2045

Empat skenario yang mungkin terjadi disampaikan dalam bentuk metafora unggas agar lebih mudah dipahami. Dimulai dari skenario terbaik, empat skenario tersebut adalah: ”Garuda Terbang Tinggi”; ”Alap-alap Terkurung”; ”Burung Hantu di Siang Hari”; serta ”Bebek Lumpuh”.

”Garuda Terbang Tinggi” adalah yang didambakan terjadi setelah 100 tahun kemerdekaan. Selain melambangkan kekuatan dan akurasi, kemampuan burung garuda untuk terbang tinggi menunjukkan kebebasan Indonesia dalam membuat keputusan strategis secara mandiri. Dalam skenario ini perguruan tinggi (PT) kita mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi lulusan maupun sisi output penelitian. Dengan dana riset nasional sebesar 2,0-3,0 persen dari produk domestik bruto (PDB), perguruan tinggi mampu untuk merekrut anggota staf yang sangat kompeten di bidangnya. Di sisi lain, perekonomian tumbuh pesat dan bersifat inklusif.

Dalam keadaan bebas, ”Burung Alap-alap” memiliki kekuatan, kecepatan, dan kecermatan luar biasa dalam berburu. Namun, prestasi itu tidak berguna jika ia terkurung. Skenario ini terjadi jika pertumbuhan ekonomi kuat dan inklusif, tetapi PT tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Ekonomi menjadi kuat karena Indonesia berhasil menciptakan lingkungan bisnis/industri yang sehat, bebas dari monopoli, kartel ataupun korupsi. 

Namun, di sisi lain, karena PT kurang mampu meyakinkan masyarakat dan pemerintah, anggaran riset hanya berkisar 0,5-1,0 persen dari PDB.
”Burung Hantu” memiliki ketajaman luar biasa untuk melihat mangsanya dalam kegelapan. Namun, kemampuan luar biasa ini tidak ada gunanya di siang hari. Skenario ini akan terjadi jika PT mampu memenuhi permintaan pasar, tetapi ekonomi lemah dan eksklusif. Yang terakhir ini diakibatkan kegagalan Indonesia dalam menciptakan ekonomi yang bersih dari praktik monopoli, kartel serta korupsi. Dalam keadaan seperti ini, kontribusi PDB pada riset hanya berkisar 0,5 persen.

Skenario terakhir adalah ”Bebek Lumpuh”. Dalam keadaan sehat sekalipun sulit mengharapkan bebek untuk terbang tinggi, apalagi dalam keadaan lumpuh. Skenario ini adalah skenario terburuk yang akan kita hadapi jika PT tidak dapat memenuhi kebutuhan industri, sementara ekonomi lemah dan tidak bersifat inklusif. Kontribusi TFP yang nihil pada perekonomian, rendahnya pendapatan per kapita, serta tingkat kemiskinan tinggi merupakan penciri dari skenario ini.

Kritik terhadap ”Buku Putih AIPI”

Buku Putih AIPI merupakan pemikiran visioner dari banyak cendekia yang merupakan masukan tak ternilai bagi pemerintah, jika kita ingin nasib Indonesia tidak seperti bebek lumpuh di tahun 2045. Namun, tak ada gading yang tak retak. Dalam era yang serba pragmatis seperti sekarang, saya meragukan pemikiran visioner ini akan cepat ditanggapi pemerintah.

Apa yang masih kurang pada masyarakat kita, termasuk juga pemerintah, adalah literasi sains, dalam artian keyakinan bahwa sains memang diperlukan dalam memperbaiki nasib bangsa. Menjadi tugas AIPI serta para pelaku sains lainnya untuk menjelaskan terlebih dahulu ke masyarakat, betapa sains telah memberikan sumbangan penting bagi kenyamanan hidup manusia. Misalnya, tidak banyak yang tahu jika temuan lampu LED putih yang dapat menghemat energi secara ekstrem didasari oleh teori kuantum untuk pita-pita energi dalam semikonduktor. ●

Mengungkit IPM dari Desa

Mengungkit IPM dari Desa
Sonny Harry B Harmadi ;  Plt. Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa, dan Kawasan Kemenko PMK;  Ketua Umum Koalisi Kependudukan
                                                         KOMPAS, 27 April 2018



                                                           
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2017. Terjadi kenaikan dari 70,18 menjadi 70,81 dan semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara dengan status high human development.

Namun, kenaikan IPM nasional saja tidaklah cukup. Kita ingin pencapaian IPM yang semakin merata. Faktanya, masih ada kesenjangan IPM antardaerah.

Data IPM provinsi menunjukkan bahwa 18 dari 34 provinsi di Indonesia memiliki capaian IPM sedang dan satu provinsi terkategori rendah, yaitu Papua. Meskipun demikian, 10 dari 18 provinsi capaian IPM-nya sudah ”sangat dekat” dengan kategori high human development. Sementara Papua sangat berpotensi untuk naik kelas setidaknya dalam dua tahun ke depan untuk mencapai kategori sedang.

Program pembangunan afirmatif secara masif di Papua telah mengungkit IPM Papua ke angka 59,09, hampir mencapai angka 60 yang menjadi batas IPM kategori sedang. Bahkan, pertumbuhan IPM Papua selama periode 2016-2017 menjadi yang tertinggi di Indonesia, jauh melampaui 33 provinsi lainnya, dengan pertumbuhan 1,79 persen. Selama kurun yang sama, DKI Jakarta sebagai satu-satunya provinsi dengan IPM berkategori sangat tinggi tumbuh sebesar 0,58 persen.

Strategi meningkatkan IPM

Kita harus paham cara perhitungan indikator IPM agar formulasi strategi untuk mengungkit IPM efektif. Satu-satunya indikator kesehatan yang digunakan dalam perhitungan IPM ialah usia harapan hidup.

Usia harapan hidup akan meningkat jika kita mampu menekan angka kematian bayi serendah mungkin. Berdasarkan hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 yang dilakukan BPS, diketahui bahwa angka kematian bayi berhasil turun dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup selama lima tahun terakhir. Sebuah capaian yang sangat baik. Meskipun demikian, setiap 100 bayi yang lahir hidup, masih ada 2-3 bayi yang meninggal sebelum mencapai ulang tahun pertamanya. Untuk itu, upaya penurunan angka kematian bayi harus terus dilakukan.

Strategi peningkatan IPM pendidikan dengan cara menekan serendah mungkin angka putus sekolah. Program Indonesia Pintar (PIP) memiliki peran penting untuk menekan angka putus sekolah. Namun, fakta di sejumlah negara berkembang menunjukkan bahwa putus sekolah erat kaitannya dengan kemiskinan orangtua. Mendorong anak sekolah tidaklah cukup karena harus dibarengi upaya perbaikan kesejahteraan keluarga. Itu sebabnya, PIP harus berjalan beriringan dengan bantuan sosial lainnya, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) yang cakupannya diperluas hingga mencapai 10 juta keluarga penerima manfaat pada 2018 ini.

Indikator ekonomi dalam IPM mencerminkan daya beli masyarakat. Daya beli dapat meningkat dengan dua prasyarat utama, yaitu terjaganya stabilitas harga dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Perbaikan kesejahteraan diawali oleh perbaikan pendidikan dan kesehatan penduduk. Oleh karena itu, memperbaiki IPM pendidikan dan kesehatan akan berdampak jangka panjang terhadap perbaikan daya beli masyarakat.

Proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 (Bappenas) menunjukkan bahwa secara kuantitas jumlah penduduk perkotaan saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan, dengan perbandingan 53:47 persen. Namun, secara kualitas, provinsi dengan mayoritas penduduk tinggal di pedesaan cenderung memiliki persentase kemiskinan yang tinggi, dengan capaian IPM di bawah rata-rata nasional. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, masih terdapat 32 kabupaten dengan capaian IPM berkategori rendah (Kompas, 18 April 2018).

Menarik untuk dicermati bahwa 32 kabupaten yang tersebar di enam provinsi (Papua, Papua Barat, NTT, Sumatera Utara, Maluku Utara, dan Jawa Timur) mayoritas penduduknya tinggal di perdesaan (dengan proporsi di atas 60 persen). Hal ini menjadi sinyal pentingnya membangun desa untuk mendukung pemerataan pembangunan manusia Indonesia.

Sejak 2015 hingga April 2018, pemerintah telah menyalurkan hampir Rp 140 triliun dana desa ke desa, melalui rekening kas umum pemerintah kabupaten/kota. Meskipun perlu berbagai penyempurnaan pelaksanaan, tetapi dana desa telah menjadi penggerak pembangunan di banyak desa. Terdapat 434 kabupaten/kota penerima dana desa dengan jumlah desa mencapai 74.958 desa.

Salah satu upaya meningkatkan IPM kesehatan di desa di antaranya melalui program penanganan stunting yang berdampak terhadap penurunan angka kematian bayi. Pemerintah telah menetapkan 100 kabupaten prioritas penanganan stunting pada 2018 dan, menurut rencana, ditingkatkan menjadi 160 kabupaten di 2019. Lokus pelaksanaan program di desa, fokus pada desa dengan prevalensi stunting dan risiko kematian bayi yang tinggi. Meskipun kasus stunting tidak hanya di desa, tetapi secara umum akses pelayanan kesehatan ibu dan anak lebih mudah di perkotaan dibanding pedesaan.

Stunting merupakan kondisi anak balita gagal tumbuh yang diukur berdasarkan tinggi badan menurut umur. Stunting menciptakan risiko kematian yang lebih besar, menurunkan kemampuan kognitif anak serta rentan terserang penyakit degeneratif saat dewasa.

Penyebabnya dapat dibagi dua kelompok. Pertama, masalah kurang gizi akibat kekurangan sumber pangan atau salah pola pangan. Kedua, karena infeksi berulang (recurrent infection) yang berdampak terhadap defisit gizi anak, terjadi akibat sulitnya akses air bersih, buruknya sanitasi, dan rumah tidak layak huni.

Ditopang dana desa

Terkait peningkatan IPM kesehatan, selain kegiatan yang bersumber dari APBN dan APBD, dana desa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur air bersih, sanitasi, dan permukiman guna mengatasi masalah infeksi berulang pada bayi dan anak balita.

Dana desa juga dimanfaatkan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan menggerakkan aktivitas posyandu dan peningkatan gizi anak melalui pemberian makanan tambahan. Dana desa digunakan untuk membangun jalan dan jembatan, membuka keterisolasian, meningkatkan akses penduduk desa terhadap sumber daya ekonomi dan pendidikan yang lebih baik.

Kita yakin pemanfaatan dana desa yang akuntabel berkontribusi meningkatkan IPM, mengikis kesenjangan IPM antardaerah. Menjadi tugas pemerintah bersama pemda untuk mendorong penyaluran dana desa tepat waktu, tepat manfaat, dan tepat pelaporannya, demi mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang berkeadilan. ●