Selasa, 31 Maret 2015

Mewaspadai Simtom Parlemen Despotik

Mewaspadai Simtom Parlemen Despotik

J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Romantika demokrasi sebagai manajemen politik yang memuliakan kekuasaan karena mempersyaratkan hadirnya nilai-nilai yang menghargai martabat manusia, ternyata dalam praktiknya tidak mudah diwujudkan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, penyebab paling dominan adalah perwujudan daulat rakyat dilakukan dengan sistem perwakilan. Persoalan menjadi semakin eksplisit karena tidak ada jaminan para wakil rakyat benar- benar mewakili kepentingan rakyat. Fenomena tersebut menjadikan demokrasi seba- gai sistem yang cacat sejak dilahirkan. Selalu terjadi kemungkinan lembaga perwakilan rakyat justru memasung kedaulatan rakyat.

Fenomena ini dalam terminologi Condorcet disebut indirect despotism. Secara eksplisit ia mengatakan, agen kekuasaan despotik yang baru adalah parlemen. Hal itu terjadi ketika aspirasi publik tidak lagi benar-benar terwakili dalam parlemen atau telah terjadi ketimpangan (kepentingan) antara rakyat dan para wakilnya. Kutipannya The agent this new kind of political despotism was the parliament, ... the despotism of "the legislative body takes place when the people are no longer truly represented or when it becomes too unequal" to them (Condorcet, Representative Democracy: Principles and Genealogy, 2006).

Dalam konteks kekinian, kehadiran gejala "parlemen despotik" tersebut dirasakan sejak Indonesia memasuki pasca reformasi, bahkan semakin menguat setelah Pemilu 2014. Manuver-manuver politik sebagian anggota DPR dalam menyusun Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Rancangan Undang-Undang Pilkada adalah beberapa contoh simtom menguatnya fenomena tersebut.

Kegaduhan politik akhir-akhir ini, terutama terbelahnya Partai Golkar menjadi kubu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, tampaknya menyeret lebih dalam parlemen dalam kubangan kekuasaan yang despotik. Konflik internal Partai Golkar yang sudah dilerai berdasarkan UU No 2/2011 tentang Partai Politik, yang menegaskan penyelesaian perselisihan internal parpol dilakukan mahkamah parpol yang dibentuk oleh parpol. UU yang sama juga menegaskan putusan mahkamah parpol bersifat final dan mengikat secara internal. Oleh karena itu, keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya "mengadministrasi" keputusan politik internal Partai Golkar.

Karena itu, banyak kalangan merasa heran, mengapa sebagian anggota parlemen ingin menggunakan hak angket yang merupakan senjata pamungkas menuju jalur tengkorak (kematian politik) bagi pejabat publik yang dijadikan sasaran penggunaan hak tersebut. Terlebih, hak angket seharusnya hanya dipergunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan. Oleh sebab itu, keterlibatan sejumlah partai dalam hak angket justru memberikan kesan kuat bukan hanya mengintervensi Partai Golkar, melainkan merupakan wujud dari penggunaan kekuasaan politik yang eksesif.

Praktik penggunaan kekuasaan yang arbiter sangat memprihatinkan. Sebab, hal itu mencerminkan beberapa hal. Pertama, absennya spirit atau roh yang memuliakan kekuasaan. Kalau petinggi Partai Golkar lebih mengutamakan kepentingan konstituen, musibah ini dapat dijadikan berkah dengan melakukan konsolidasi. Kesempatan emas itu dapat dilakukan dalam Musyawarah Nasional 2016 yang merupakan bagian dari keputusan mahkamah partai. Momentum tersebut perlu dilakukan mengingat agenda ke depan antara lain pilkada sudah di depan mata. Mengabaikan peluang tersebut, Partai Golkar akan banyak kehilangan pendukung.

Kedua, terjadi proses pendangkalan pemahaman makna kekuasaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum oleh para elite politik karena nurani mereka tergerus oleh hasrat kuasa yang berlebihan. Tragisnya, nafsu kuasa sudah dimulai dari niat dalam kompetisi politik. Akibatnya, ranah kekuasaan politik menjadi sekadar arena adu kuat dan saling mengalahkan, bukan membangun kebersamaan. Hak angket yang seharusnya untuk isu-isu strategis, justru dipergunakan untuk urusan internal Partai Golkar. Isu tersebut secara kategoris sama sekali tidak termasuk dalam wilayah itu.

Ketiga, diskursus publik telah kehilangan dimensi reflektifnya karena wacana publik hampir dimonopoli oleh auman para elite politik yang hanya bertujuan memperoleh kemenangan atau mengalahkan lawan. Sangat sedikit diskursus politik yang menghadirkan pendalaman mengenai isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat. Debat politik menjadi kering dan sering kali oleh beberapa media lebih mengutamakan serunya debat daripada mutu diskusi.

Kembali kepada Condorcet, yang menegaskan cara mengatasi parlemen despotik (indirect despotism) lebih rumit daripada direct despotism, seperti negara tiran otoriter dan sebagainya. Kasus terakhir lebih mudah karena struktur kekuasaan dapat ditumbangkan oleh kekuatan rakyat yang lebih besar. Dalam kasus pertama lebih rumit karena menyangkut kompleksitas kepentingan aktor-aktor yang terlibat dalam demokrasi perwakilan.

Mencermati fenomena itu masyarakat harus bergandengan tangan dengan kekuatan di parlemen yang masih mempunyai niat politik yang memuliakan kekuasaan, demi kepentingan rakyat banyak.

Perlindungan Kontraktor Nasional

Perlindungan Kontraktor Nasional

Sarwono Hardjomuljadi  ;  Pengamat Konstruksi
KOMPAS, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Tahun 2016 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi sektor jasa konstruksi, dengan masuknya Indonesia ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) karena MEA akan membuka peluang masuknya kontraktor asing berskala besar.

Masuknya kontraktor asing ke Indonesia ini diakui atau tidak akan dapat mendesak usaha jasa konstruksi, khususnya penyedia jasa kontraktor nasional, sesuatu yang sebenarnya saat ini telah terjadi secara lambat, tetapi pasti pada usaha jasa konstruksi lain, yaitu jasa konsultan.

Jasa konsultasi yang memerlukan kompetensi tertentu dihadapkan pada posisi yang sulit karena tenaga ahli sejenis dari negara tetangga di ASEAN merupakan pesaing pada saat ini, karena kepercayaan (trust) yang berlebihan pada ”ahli internasional” sesuatu yang disalahartikan sebagai seorang ”ahli yang berasal dari luar negeri”, yang sebenarnya belum pasti mempunyai kualifikasi internasional. Demikian pula sebaliknya, ”ahli yang berasal dari dalam negeri” sebenarnya banyak yang berkualifikasi internasional.

Merugikan

Tantangan kita adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan dari bangsa Indonesia sendiri dalam hal ini selaku pengguna jasa. Dalam hal proyek-proyek dibiayai dengan pinjaman ketat dari negara tertentu, sudah pasti disyaratkan kontraktor haruslah dari negara pemberi pinjaman tersebut, sebaliknya negara tujuan mensyaratkan bahwa kontraktor luar negeri yang akan bekerja di negara tujuan harus bekerja sama dengan kontraktor nasional di negara tersebut dalam bentuk joint operation (JO) ataupun sebagai subkontraktor.

Pada umumnya, pemerintah negara tujuan lebih melihat bahwa JO lebih baik karena kontraktor nasional akan bersanding dan setingkat dengan mitranya dari luar negeri, sebaliknya posisi subkontraktor hanyalah mengerjakan perintah perusahaan asing yang jadi kontraktor utama yang jelas posisinya tak setingkat dengan kontraktor luar negeri sebagai mitra.

Pada saat suatu kontraktor JO antara kontraktor luar negeri dan kontraktor nasional mengajukan penawaran tender, dilampirkan suatu affidavit bahwa telah dilakukan kesepakatan JO dalam pelaksanaan proyek yang akan didapat, yang ditandatangani di atas meterai.

Pada kenyataannya, dalam pelaksanaan perjanjian kemitraan (joint operation agreement/JOA) yang ada selama ini, jika JOA sejenis ini terus dilakukan ke depan, habislah riwayat kontraktor nasional yang menjadi mitra kontraktor asing.

Dalam suatu JOA bidang jasa konstruksi di Indonesia dikenal dua bentuk utama kemitraan, yaitu semua pekerjaan di bawah mitra utama (leading party) atau dibagi dengan setiap mitra melaksanakan pekerjaan tertentu.Contohnya, pada bentuk JOA pertama, banyak terdapat pasal sangat unilateral.

Misalnya, kedua pihak sepakat menunjuk mitra perusahaan asing (sebut saja YYY) dengan porsi saham 60 persen sebagai leading institution dan project manager. Ia berhak menunjuk seorang general superintendant yang dapat bertindak sendiri dengan tanggung jawab yang sifatnya sole responsibility, dengan catatan dalam beberapa hal khusus yang sangat substansial dapat persetujuan lebih dulu dari Komite Pengawas dengan komposisi keanggotaan 2 berbanding 1.

Dari sini dengan mudah dapat dipahami bahwa tindakannya pastilah demi keuntungan sepihak, yakni kontraktor luar negeri. Para pihak memberikan kuasa kepada YYY sebagai leader dan pengelola proyek (project manager) dan untuk dan atas nama JO sebagai penandatangan tunggal dari kontrak-kontrak dengan semua subkontraktor, pemasok, dan lain sebagainya.

Dari ketiga pasal di atas, jelas terlihat bahwa YYY, kontraktor luar negeri, menjadi mitra utama (leader) dan pengelola proyek yang mempunyai hak penuh untuk mengadakan hubungan dengan pihak ketiga dan seterusnya. Pengelola proyek (dalam JOA adalah YYY) bertanggung jawab kepada komite manajemen yang anggotanya adalah 3 berbanding 1, sehingga apa pun usulan pengelola proyek, dalam kaitannya dengan hubungan kemitraannya, dapat dipastikanakan disetujui operation committee.

Kontraktor nasional (ZZZ) dengan saham 40 persen berhak mengusulkan seseorang sebagai wakil manajer proyek, dengan tugas pokok ”patuh, mendukung, dan membantu pengelola proyek” dan bertanggung jawab kepada pengelola proyek (YYY) dalam pelaksanaan pekerjaan.

Hampir semua pasal penuh dengan pagar-pagar pengaman yang membatasi gerak dari kontraktor nasional. Bahkan, dalam hal kontraktor nasional lalai atau melakukan penyimpangan, pihak yang lain tidak ikut bertanggung jawab.

Jadi, posisi kontraktor nasional sebagai mitra suatu JO dengan kontraktor luar negeri di bidang jasa konstruksi tidak lebih sebagai pelengkap untuk memenuhi aturan perundangan dan justru sangat merugikan. Kontraktor nasional wajib menyetorkan share-nya sebesar 40 persen tanpa hak apa pun dalam pengelolaan proyek sehingga tidak lebih sebagai pemberi modal bagi JO. Hal ini sesuatu yang penulis yakini bukanlah keinginan pemerintah saat mewajibkan kontraktor luar negeri bermitra dengan kontraktor nasional.

Penulis meyakini bahwa dengan bentuk JOA semacam ini, tidak ada nilai tambah apa pun bagi kontraktor nasional dan bahkan menjadi suatu hal yang membahayakan pada saat berlakunya MEA 2016.

Pada JOA bentuk kedua di mana setiap pihak melaksanakan bagian tertentu dari pekerjaan, terdapat pula suatu pasal yang merupakan tambahan pasal yang ada pada hampir semua JOA bentuk ini, yang menyebutkan kerugian akibat kelalaian setiap pihak merupakan tanggung jawab sendiri.

Melihat kedua bentuk dasar JOA di bidang jasa konstruksi di atas, sebenarnya JO dengan pihak asing tak punya nilai tambah bagi kontraktor nasional. Baik pembelajaran teknis maupun pembelajaran manajemen kontrak, tidak didapat oleh kontraktor nasional dengan bentuk JOA semacam ini.

Dalam rangka MEA 2016, kini saatnya pengguna jasa dalam hal ini pemerintah masuk lebih dalam lagi dan tak hanya percaya pada affidavit yang dilampirkan saat penyampaian tender, tetapi juga menelaah JO yang dibuat. Hak pengguna jasa untuk mendalami JOA yang dibuat oleh penyedia jasa tidak dilarang.

Bahkan, dalam rangka kesetaraan hak dan kewajiban, Federasi Internasional Konsultan Engineering (Federation Internationale des Ingenieurs-Conseils/FIDIC)—yang diakui di dunia internasional sebagai lembaga yang menerbitkan standar kontrak internasional (dikenal sebagai FIDIC Conditions of Contract for Construction) menyatakan dengan jelas bahwa kontraktor harus mendapatkan kejelasan dari pengguna jasa, tentang kemampuan membayar mereka yang tentunya dapat ditafsirkan bahwa pihak pengguna jasa juga punya hak mengetahui bahwa kontraktor akan dapat mengerjakan pekerjaannya sesuai kontrak dengan baik atau tidak.

Subkontraktor

Kedudukan kontraktor nasional selaku mitra kontraktor luar negeri, dalam hal ini sebagai kontraktor, sebenarnya sangat jelas dan menurut pendapat penulis dapat dilaksanakan dengan lebih adildan berimbang karena pengikatan kontraknya dapat dibuat dengan mempergunakan FIDIC Conditions of Contract for Subcontractor, yang akan berjalan baik apalagi jika perjanjian kontrak antara pengguna jasa dan kontraktor utama adalah menggunakan standar kontrak ini.

Sebagai subkontraktor dari kontraktor luar negeri, nasib kontraktor nasional juga cukup menderita karena dari dua cara pembayaran hasil pekerjaan yang dikenal, yaitu pay when paid dan pay if paid, kontraktor luar negeri biasanya akan menggunakan pay if paid. Pembayaran pay if paid ini tak punya batasan waktu karena subkontraktor akan dibayar jika kontraktor utama dibayar oleh pengguna jasa. Berbeda dengan pay when paid yang dibayarkan pada saat yang sama ketika kontraktor utama menerima pembayaran dari pengguna jasa.

Dari kedua bentuk di atas, penulis lebih memilih perjanjian kemitraan dalam bentuk subkontraktor karena kontraktor nasional yang bertindak selaku subkontraktor dalam pekerjaan tertentu, sudah pasti punya keahlian khusus, di samping perjanjian kontraknya lebih jelas adil, transparan, dan berimbang. Sebaliknya, JOA sangat tertutup. Seandainya pemerintah menginginkan adanya JOA, sebagai upaya perlindungan kontraktor nasional pemerintah sebaiknya menerbitkan formulir standar (standard form) untuk JOA.

Bagi kontraktor nasional, hendaknya tak hanya berpikir sesaat untuk mendapatkan proyek saja, tetapi berpikir lebih mendalam tentang bagaimana menyelesaikan proyek dengan memikirkan juga semua risiko akibat JOA.

Kedudukan kontraktor luar negeri sebagai leading party dan manajer proyek akan menempatkan mitra kontraktor nasional pada posisi sulit karena setelah selesainya proyek, kontraktor luar negeri akan meninggalkan Indonesia sehingga semua tanggung jawab akan melekat pada kontraktor nasional dan pengguna jasa.

Hujan yang Baik Hati

Hujan yang Baik Hati

V Kirjito  ;  Rohaniwan, Tinggal di Desa Jagalan, Muntilan
KOMPAS, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Tulisan ini muncul dari perjumpaan dengan masyarakat lereng Merapi Timur, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 500 meter di atas permukaan laut. Selama ratusan tahun, mereka hidup dari air hujan untuk masak, minum, mandi, mencuci, dan memelihara ternak sapi. Namun, rasa rendah diri membuat mereka harus berbohong kepada tamu mahasiswa di desa itu. Ketika mahasiswa bertanya apakah teh yang disajikan berasal dari air hujan, tuan rumah menjawab, ”Bukan, untuk minum beli air galon.” Keadaan seperti itu tidak layak dibiarkan. Bukankah ini sebentuk peminggiran budaya?

Ada juga pengalaman hebat berkait dengan hujan. Di lereng Merapi Barat, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Pada 3 November 2010 Merapi erupsi besar. Awan panas hitam bergulung-gulung ke arah barat. Namun, hujan deras datang dan awan panas larut dalam air.

Baru kali ini ada air hujan keruh sekali. Bayangkan, betapa gelapnya jika abu tebal itu tidak disapu hujan. Betapa sesaknya bernapas mengirup butiran-butiran abu dan pasir Merapi.

Dalam bahasa ilmu pengetahuan, air hujan menetralisasi udara yang tercemar abu letusan Merapi. Muncullah ungkapan masyarakat, ”hujan itu baik hati”. Generasi ilmiah menggunakan kata yang keren, Rain Plus.

Hujan yang baik

Kita tahu sekali datang hujan, turun air jutaan liter jumlahnya. Timbul pertanyaan, apakah masalah yang kita hadapi semata-mata karena sebagian air hujan sekarang bersifat asam, atau karena jumlahnya yang terlalu banyak dan serentak dalam waktu relatif singkat?

Jika hujan cuma rintik-rintik, tentu tidak akan menimbulkan masalah. Bahkan jika tiap hari hujan rintik-rintik, udara menjadi segar, tidak panas, oksigen dan ion negatif berlimpah.

Celakanya belum ada teknologi yang bisa mengatur besarnya curah hujan, kapan,berapa lama, dan di mana. Mau tidak mau kita pasrah menerima hujan. Akan menjadi lebih baik lagi bila kita bersikap arif sehingga kita layak menyebutnyaRain Plus.

Mudah-mudahan kita maumembiasakan peka rasa saat waktu hujan datang. Pasti udara terasa dingin dan segar. Tubuh pun terasa lebih sehat. Ini karena polusi udara disapu bersih oleh hujan, tepatnya dinetralkan.

Maka, menjadi terang mengapa hujan menit-menit awal, jika diukur jumlah mineral terlarut menggunakan TDSmeter (Todal Dissolved Solid) angkanya bisa mencapai 20-30 miligram/liter parts per million (ppm). Tetapi, waktu-waktu selanjutnya angka TDS akan turun. Jika hujan sangat deras disertai petir dan durasinya lama, TDS bisa nol ppm, alias air murni atau H2O. Diukur keasamannya dengan derajat keasaman (pH) tester, di atas angka 7. Bukankah itu air sangat jernih, bahkan melebihi kaca bening!

Lalu apa peran air hujan di darat? Sebelum sampai ke jawaban, kita tahu Indonesia punya begitu banyak sampah, bahkan di selokan dan sungai. Bahkan, lagu dolanan anak-anak di Jawa pun menyuruh membuang anjing mati di kali.

Jelaslah bahwa sadar tidak sadar, masyarakat mempunyai pandangan bahwa sungai itu tempat membuang sampah. Memang di sungai besar, seperti Sungai Progo atau Bengawan Solo, bangkai anjing atau sampah bisa segera hanyut dan terurai, akhirnya menjadi mineral yang menyuburkan tanah-tanah di kiri kanan sungai. Namun, kenyataannya sampah dibuang di semua tempat yang mengalirkan air.

Perlulah disebut kasus Kota Jakarta dan kota-kota lain yang rutin menjadi langganan banjir. Sementara kemampuan air hujan menetralkan racun di darat juga terbatas. Yang bisa terurai oleh air hujan mungkin terlarut sampai kedalaman tanah 10-20 meter. Yang tidak terurai tetap menjadi sampah bermasalah.

Air tanah

Masalahnya masyarakat umum beranggapan bahwa air di dalam tanah itu lebih bersih dari pada air hujan. Padahal, bukankah di tanah terlarut segala racun dan kotoran sampah baik yang ada di darat maupun dari udara ketika hujan datang.

Ada benarnya bahwa air tanah pada kedalaman 10-20 meter tercemar. Buktikan saja dengan TDS meter, sulit menjumpai air tanah yang angkanya di bawah 50 mg/l. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mematok standar air layak konsumsi maksimal 50 mg/l. Bandingkan dengan air hujan yang hanya 20-30 mg/l!

Demi membela masyarakat yang sepanjang tahun menggunakan air hujan, kami meneliti masyarakat Bunder-Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.

Senjatanya cuma dua tester, yaitu TDS dan pH. Ditambah satu alat buatan sendiri, yaitu bejana elektrolisis air yang sudah diajarkan di SMP dan SMA.

Apa yang kemudian membuka mata warga desa itu? Ternyata air hujan adalah air yang rendah mineral. Dari hujan ke hujan, dari bak yang satu ke bak yang lain, bahkan air hujan yang ditampung dalam kedung, tidak ada yang kandungan mineralnya melebih standar WHO, 50 ppm, meskipun warna air coklat atau hijau berlumut. Bahkan, tidak ditemukan air hujan yang asam, baik yang sudah disimpan dalam bak maupun dalam botol tertutup. Semua pH-nya 8 lebih. Malah ada air dalam bak tandon ber-pH 10.

Dari data itu, warga pun menjadi lebih tahu bahwa air hujan memenuhi standar WHO sebagai sumber air bersih dan layak konsumsi. Warga tidak perlu lagi merasa rendah diri, malah sebaliknya bangga pada air hujan sebagai sumber air paling bersih. Soal bakteri jika ada, cukup dimasak hingga mendidih. Namun, air hujan sebenarnya tidak disukai bakteri karena bersih, murni, dan rendah mineral.

Selanjutnya masyarakat kami ajak belajar ”mengionisasi” dengan ilmu elektrolisis. Cukup menggunakan dua bejana berhubungan buatan sendiri, kemudian dialiri listrik searah atau DC. Maka, molekul air diurai menjadi ion bermuatan negatif yang bersifat basa (OH-) dan ion bermuatan positif yang bersifat asam (OH+).

Air basa

Apa yang terjadi dengan percobaan ionisasi didiskusikan. Termasuk mencoba meminumnya, terutama yang basa, karena sangat jernih. Tidak hanya enak di lidah, air basa ini membuat masyarakat merasa lebih sehat dan stamina meningkat. Bahkan keringat, urine, tinja, dan mulut menjadi tidak berbau. Berarti sisa-sisa metabolisme tubuh tidak sampai membusuk di dalam tubuh sudah dikeluarkan.

Pada akhirnya, ajaran ibu guru di sekolah dasar dulu, yaitu ”kebersihan pangkal kesehatan” sungguh bisa dibuktikan. Gurau warga pun berkembang. Tidak hanya tubuh manusia yang harus bersih. Negara ini juga perlu dibersihkan dari ”sampah-sampah” budaya yang tidak jujur, korupsi, dan anggaran siluman, agar negara sehat. Itulah sebabnya mereka mendirikan KPK, Komunitas Pemberantas Kotoran, menggunakan Rain Plus itu.

Selanjutnya, kami mengajak pembaca yang ingin tahu lebih jauh untuk hadir di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan, Selasa (31/3) sampai Kamis (2/4). Kami membuat acara dengan topik ”Displai Titik Balik Budaya Air Hujan”.

Saya Percaya Denny Indrayana

Saya Percaya Denny Indrayana

Refly Harun  ;  Pakar Hukum Tata Negara;
Warga negara penyokong gerakan "Saya Percaya Denny Indrayana"
DETIKNEWS, 30 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Saat yang tidak mengenakkan itu datang juga. Denny Indrayana ditersangkakan oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri. Kasusnya korupsi pula, suatu perbuatan yang selalu ditentang Denny selama ini.

Pro dan kontra pasti mencuat atas penersangkaan Denny tersebut. Mereka yang menginginkan Denny jatuh – sedikitnya enam pihak sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya dalam tulisan “Kontroversi Denny, Pro-Kontra Indrayana” (detik, 17/3/2015)– akan tertawa lebar. Masyarakat atau pembaca kolom ini yang tidak suka Denny juga akan tertawa.

Namun, di tengah kepungan kedukaan dan sinisme tersebut, saya sungguh terharu ketika banyak orang mengeskpresikan dukungan terhadap Guru Besar Fakultas Hukum UGM tersebut. "Saya percaya Denny Indrayana", demikian guratan dukungan tersebut diekspresikan, dipotret dengan gaya selfie atau dipotretkan orang lain, lalu ditebar ke media-media sosial. Lembaga antikorupsi ICW (Indonesian Corruption Watch), Guru Besar Hukum Tatanegara Universitas Andalas Saldi Isra, dan tokoh pers Bambang Harymurti adalah sebagian mereka yang turut dalam ekspresi tersebut.

"Saya percaya Denny Indrayana" tidak sekadar ekspresi dukungan. Ia sebenarnya semacam simbol perlawanan. Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan aparat hukum dan kekuatan-kekuatan yang menggunakan aparat hukum tersebut untuk membidik dan menumbangkan siapa saja yang dianggap mengganggu atau menghalangi kemapanan. Utamanya para koruptor atau calon-calon koruptor.

Bambang Widjojanto (BW), Abraham Samad (AS), dan Denny Indrayana ditersangkakan dengan kasus 'ecek-ecek'. Negara dan rakyat tidak akan hancur bila kasus 'ecek-ecek' tersebut tidak diproses kendati ada laporan dari masyarakat, entah laporan itu dengan kesadaran sendiri atau memang sengaja direkayasa.

Sebaliknya, negara dan rakyat justru akan rugi besar bila orang-orang yang sudah berbuat baik bagi negeri itu dihentikan, dianggurkan, bahkan malah dibuat sibuk untuk hal-hal yang tak perlu semacam melayani panggilan dan pemeriksaan atas kasus yang sungguh tak berarti. Lebih rugi lagi, karena ketiadaan atau kelumpuhan mereka, para koruptor merasa bebas untuk berbuat. Para calon koruptor mulai mengincar proyek-proyek dalam APBN 2015 yang bernilai dua ribu triliun. Negara dan rakyat sangat rugi justru ketika membiarkan begal uang rakyat sesungguhnya dibebaskan, sementara penghadang begal justru dikandangkan.

Garis demarkasi untuk menilai integritas seorang BW, AS, dan Denny adalah apakah selama menjabat mereka memanfaatkan jabatannya untuk mementingkan kepentingan pribadi yang sudah tidak rasional lagi, seperti memupuk kekayaan sehingga membuat rekening mereka jadi sangat gendut. Kalau hanya sekadar gaya, laku, cara, bagi saya, hal-hal tersebut tak esensial. Tak ada orang yang sempurna. No body perfect. Kita tidak sedang mencari nabi di lembaga-lembaga negeri, termasuk lembaga antikorupsi.

Berkali-kali saya meyakinkan Denny bahwa ia tak terima sepeser pun dari proyek payment gateway yang membuat ia jadi tersangka. Denny menyatakan tidak. Bagi saya itu sudah cukup. Karenanya saya ikut pula dalam barisan "Saya percaya Denny Indrayana". Secara terbalik saya ingin mengatakan pula, "saya tidak percaya mereka yang mau menjatuhkan Denny Indrayana".

Tentu ada yang akan menantang, bagaimana kalau nanti terbukti Denny menerima uang suap atau sogok? Kalau itu terjadi, saya akan mencabut semua dukungan yang pernah saya berikan kepada Denny. Saya juga akan mengimbau kepada siapa saja yang telah memajang dirinya dengan tulisan "Saya percaya Denny Indrayana" untuk menyatakan di depan publik menarik kembali segala dukungan tersebut. Dengan catatan, proses terhadap Denny dilakukan dengan benar tanpa rekayasa.

Kasus Denny

Payment gateway yang menjerat Denny adalah sistem pembayaran online yang dikembangkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dalam pembuatan paspor. Pembuat paspor tidak perlu mengantre lagi untuk melakukan pembayaran. Mereka cukup membayar melalui sistem online. Bisa dengan kartu ATM, bisa juga dengan kartu kredit.

Terhadap jasa online tersebut, ada biaya jasa sebesar lima ribu rupiah untuk setiap pembuatan paspor yang langsung dipungut vendor penyedia jasa payment gateway tersebut. Itu opsional. Mereka yang tidak mau membayar uang jasa lima ribu rupiah, bisa langsung ke loket di Imigrasi.

Coba bandingkan dengan 'biaya tambahan' bila kita membuat surat izin mengemudi (SIM), yang bisa sampai puluhan bahkan ratusan ribu rupiah.
Uang jasa lima ribu rupiah itulah yang saat ini sedang diinvestigasi. Dari sisi hukum administrasi, dianggap ada pelanggaran karena ada peraturan menteri keuangan yang melarang biaya tambahan untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Namun, menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sama sekali tidak ada kerugian negara karena biaya pembuatan paspor masuk ke kas negara, yang jumlahnya Rp 32,4 miliar. Ada upaya untuk membelokkan fakta dengan mengatakan bahwa ada potensi kerugian negara sebesar Rp 32,4 miliar. Padahal, uang senilai tersebut adalah uang pembuatan paspor yang sudah disetor ke kas negara selama tiga bulan digunakannya sistem payment gateway.

Adapun uang jasa yang dikumpulkan atas jasa pembuatan paspor tersebut, yang lima ribu rupiah per paspor, hanya kurang lebih Rp 605 juta. Dua vendor sendiri konon sudah mengeluarkan biaya lebih besar dari itu untuk membuat sistem payment gateway. Alih-alih untung, dua vendor itu malah buntung ketika proyek dihentikan.

Kasus ini sangat sederhana. Tinggal dibuktikan apakah Denny menerima suap atau tidak atas biaya jasa sebesar lima ribu rupiah tersebut, yang sudah terkumpul sebesar lebih dari Rp 600 juta ketika layanan payment gateway tersebut dihentikan karena dianggap melanggar hukum administrasi. Atau Denny menerima suap untuk memenangkan vendor penyedia jasa.

Bila tidak ada suap ke Denny, maka jelas kasus ini sengaja dicari-cari. Untuk saat ini yang dibidik baru kesalahan administrasi tersebut. Belum ada isu soal Denny menerima uang.

Dalam konteks ini saya perlu menggarisbawahi pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie beberapa waktu lalu. Polisi seharusnya membidik orang jahat, bukan orang salah. Apalagi, kalau kesalahannya dicari-cari. Kalau mencari-cari kesalahan, hampir semua pejabat, bahkan semua warga negara, pernah melakukan kesalahan hukum administrasi, bahkan tindak pidana ringan. Siapa yang tak pernah membayar polisi di jalan kalau ditilang? Siapa yang tidak membayar biaya tambahan dalam pembuatan SIM?

Tentu akan banyak yang mengatakan, kalau merasa tidak bersalah, buktikan saja di pengadilan. Tidak perlu beropini di media karena tak ada manfaatnya. Pernyataan tersebut tampaknya benar. Namun, dua hal perlu digarisbawahi.

Pertama, perlukah aparat hukum yang dibayar dengan uang rakyat, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim, membuang tenaga dan pikiran untuk membidik orang yang sama sekali tidak jahat. Kedua, apakah adil menyita waktu, tenaga, dan pikiran orang yang tidak ada indikasi korupsi, bahkan sudah berbuat baik untuk negeri ini agar terbebas dari korupsi.

Sebagai pembayar pajak, saya sangat tidak rela bila aparat negara ini menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak penting, yang tidak berpengaruh pada peri kehidupan bangsa ini. Lebih baik polisi dan aparat penegak hukum lain berkonsentrasi pada penjahat-penjahat yang jelas-jelas merugikan dan menggaruk uang negara dalam jumlah besar hingga triliunan rupiah. Atau pejabat publik yang 'gendut-gendutan' rekening karena menampung uang suap.

Keadilan memang sering terlambat datang karena jalan macet atau banyak hadangan. Namun, akhirnya ia akan datang juga. Tugas kita tinggal memperjuangkan dan meyakini itu. Meminjam Denny lagi, keep on fighting for the better Indonesia.

Dampak Citizen Lawsuit terhadap Pelayanan Publik

Dampak Citizen Lawsuit terhadap Pelayanan Publik

Agus Pambagio  ;  Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
DETIKNEWS, 30 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sidang putusan gugatan warganegara (Citizen Lawsuit/CLS) atas swastanisasi pengelolaan air minum/bersih di Jakarta yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Selasa 10 Maret 2015), dengan menghadirkan Tergugat I (Presiden RI), Tergugat II (Wakil Presiden RI), Tergugat III (Menteri Pekerjaan Umum), Tergugat IV (Menteri Keuangan), Tergugat V (Gubernur DKI Jakarta), Tergugat VI (DPRD DKI Jakarta), Tergugat VII (PAM DKI Jakarta), serta Turut Tergugat I (PALYJA) dan Turut Tergugat II (AETRA), memenangkan penggugat, dengan keputusan PN Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa “Pengelolaan air dikembalikan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta”.

Terus terang saya, sebagai warga Jakarta, ragu bahwa saya akan mendapatkan pelayanan air bersih yang lebih baik jika dikelola oleh PAM Jaya.
Munculnya dua (2) operator swasta pada tahun 1997/1998 bermula karena saat itu PAM Jaya tidak mampu mengelola air minum/bersih Jakarta dengan baik.

Seperti telah saya tulis beberapa kali di kolom ini, bahwa buruknya pelayanan air minum/bersih bukan sepenuhnya tergantung pada siapa pengelola atau operator air minum/bersih, tetapi tergantung pada ketersediaan air baku yang baik dan teratasinya pencurian air di jaringan pipa penyaluran air minum/bersih.

Lalu apa ada manfaatnya Keputusan PN Jakarta Pusat bagi warga DKI Jakarta, khususnya konsumen air minum/bersih yang selama ini dilayani oleh 2 operator swasta? Akankah keputusan PN Jakarta Pusat ini menguntungkan warga DKI Jakarta?

Pengelolaan Air Bersih di DKI Jakarta

Buruknya pengelolaan air minum/bersih Jakarta selama ini membuat sekelompok LSM dibawah Koordinasi LBH Jakarta melakukan gugatan warganegara (Citizen Lawsuit) yang diajukan pada bulan November 2012 dan telah diputuskan pada Selasa (24/3/2015) lalu.

Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMSSAJ) selama kurang lebih 2 tahun berjuang agar Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara pemerintah dengan 2 perusahaan asing, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra dibatalkan. PKS dengan metoda Public Private Partnership (PPP) dibuat di era Presiden Soeharto dan ditandatangani oleh Direktur PDAM Provinsi DKI Jakarta dengan 2 perusahaan asing itu pada 6 Juni 1997. PKS telah mengalami beberapa kali perubahan, termasuk juga pemegang saham operator swastanya.

Perjanjian tersebut berisi menyerahkan kewenangan pengelolaan air minum Jakarta kepada pihak swasta. PKS itu pun diperkuat oleh Surat Keputusan Gubernur DKI No 3126/072 dan Surat Keputusan Menkeu No 4684/MK01 di tahun yang sama.

Kewenangan sudah diberikan, namun pelayanan tak kunjung membaik. Jelas saja bagaimana mau membaik ketika sumber olahannya, dalam hal ini air baku, sangat buruk kualitasnya (tercemar berat dan debit rendah). Secanggih apapun peralatan operator tidak akan dapat menghasilkan air minum/bersih yang berkualitas dan berharga murah karena untuk mengolah air yang sangat tercemar/kotor memerlukan bahan kimia (misal: klorin) dan energi listrik yang besar. Harga klorin terus meningkat begitu pula tarif listrik.

Biaya mengolah air sudah tinggi dengan debit yang buruk, siapapun operatornya, termasuk ketika nanti PAM Jaya akan kembali menjadi pengelola, tanpa upaya perbaikan yang signifikan, jangan harap warga Jakarta akan mendapatkan air minum yang baik dengan tarif seperti sekarang (sudah 7 tahun tidak berubah). Kecuali disubsidi oleh Pemprov DKI Jakarta. Saat ini subsidi tidak memungkinkan karena pengelolaan air minum dilakukan oleh operator swasta.

Persoalan kedua adalah kebocoran pendapatan yang disebut dengan Non Revenue Water (NRW). Atau kehilangan pendapatan karena kebocoran. Kebocoran bisa fisik (pipa-pipa sudah tua atau bocor) dan bisa karena pencurian yang dilakukan oleh banyak pihak, tanpa ada penindakan hukum yang tegas. Sebagai contoh NRW Aetra tahun 2014 adalah 42% dan Palyja 39%. Kerugian akibat NRW setiap 1% adalah 2,8 juta m3/tahun atau sama dengan Rp. 20 milyar/tahun.

Anehnya aparat hukum, seperti Kepolisian, tidak berani atau mau menindak pencuri air minum/bersih. Hebat bukan? Banyak hydrant di Jakarta Utara yang dibangun operator untuk warga miskin dikuasai oleh preman. Air hydrant dengan tarif terendah, dijual kembali oleh para preman dengan harga sangat mahal kepada siapa saja yang memerlukan air bersih, termasuk orang miskin. Jika nanti dikelola kembali oleh PAM Jaya, apakah hal seperti ini bisa berubah? Saya ragu kecuali Kapolrinya Alm Hoegeng Imam Santoso.

Lalu bagi awam seperti saya, Putusan PN Jakarta Pusat pun aneh. Bagaimana bisa pihak yang digugat lalu menjadi pengelola? PAM Jaya pada CLS sebagai Tergugat VII? Kecuali mereka tidak sebagai tergugat, bisa saya pahami dan dukung. Artinya Pemerintah termasuk Pemprov DKI Jakarta bermain di dua kaki dalam kasus CLS ini.

Persoalan ini tidak mungkin selesai seketika karena PN Jakarta Pusat memberikan tenggat waktu 14 hari kepada para tergugat untuk banding. Pertanyaannya: apakah Pemerintah termasuk Pemprov DKI dan PAM Jaya akan banding? Sebagai tergugat harus, tetapi karena putusan PN Jakarta Pusat mengembalikan pengolahan air minum/bersih kepada PAM Jaya, saya ragu mereka akan banding. Namun demikian masih dimungkinkan jika yang melakukan banding hanya kedua operator swasta pengelola air ini (Palyja dan Aetra).

Pasca Keputusan PN Jakarta Pusat

Dari sisi hukum, proses ini akan dilanjutkan. Artinya para tergugat, sebagian atau seluruhnya, akan mengajukan banding. Keputusan akhir masih panjang. Namun semua pihak harus mempersiapkan segala sesuatunya tanpa harus menurunkan level of service kepada pelanggan. Termasuk kesiapan Kementerian Keuangan terkait dengan kompensasi jika terjadi pemutusan kontrak Public Private Partnership (PPP) dengan kedua operator tersebut.

Dari sisi non-hukum Pemerintah cq Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Pupera) harus siap untuk memperbaiki suplai air baku ke unit pengolahan air Jakarta. Apakah melakukan pipanisasi atau memperbaiki kondisi pusat air baku di bendungan Jatiluhur dan jalur distribusinya di Tarum Barat supaya tidak tercemar dan debitnya memenuhi standar kebutuhan warga Jakarta atau mencari sumber air baku, silakan saja. Namun harus selesai ketika tugas Kabinet Kerja berakhir.

Pemerintah dan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan bantuan aparat Kepolisian dan kalau perlu dengan TNI harus dapat membasmi pencurian air minum/bersih yang dilakukan oleh para 'Jawara' khususnya di pinggiran Jakarta serta perumahan atau kalangan industri atau kalangan bisnis yang mencuri air minum/bersih dengan sengaja sehingga NRW tinggi (sekitar 40%).

Keputusan PN Pusat ini belum dapat menjamin pelayanan publik membaik tetapi jelas akan menambah panjanganya rantai keraguan investor bahwa berinvestasi di Indonesia tidak aman dan tidak ada jaminan apapun. Akibatnya target Pemerintah untuk mengundang investor kemungkinan besar akan sia-sia.

Salam.