Senin, 30 Agustus 2021

 

Islamofobia di Negeri Muslim

Haedar Nashir ;  Ketua Umum PP Muhammadiyah

REPUBLIKA, 28 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sungguh berani dan ironis. Orang makin terbuka mengolok-olok Islam dan umat Islam di negeri Indonesia tercinta. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan tercatat sebagai negara muslim terbesar di dunia.

 

Kenapa sebagian orang begitu terbuka menunjukkan ketidaksukaan terhadap Islam dan umat Islam? Ketika sejatinya Islam dan mayoritas kaum Muslim Indonesia menampilkan diri dengan sikap moderat yang mengedepankan damai, toleran, menyatu, maju, dan meng-Indonesia!

 

Islam dikatakan agama impor, “penjajah”, dan “agama perang” dengan nada sinis dan apologi. Menghina Alquran dan mengganti sebutan Allah dengan “yang lain”.

 

Menghina Nabi Muhammad dengan berbagai julukan buruk, bahkan disebut “pendusta” dan “berteman jin”. Umat Islam juga dilecehkan dengan nama “kadrun” (kadal gurun) dan sebutan lain yang merendahkan.

 

Pelakunya oknum non-Muslim maupun Muslim. Di Pekanbaru yang menghina Alquran seorang Muslim. Ada ustaz menyebut Nabi Muhammad “dekil”, “kotor”, dan berlatarbelakang jelek. Kadang ingin memberi tekanan pada aspek ajaran tertentu dengan logikanya sendiri, tetapi hasilnya bias dan salah pandang tentang Islam.

 

Kalau sebutan Islam dan umat Islam sebagai “radikal”, “ekstrem”, dan “teroris” sudah lama dan membuana. Mengukur kebenaran ajaran Islam dengan paradigma lain yang sejatinya memang tidak sejalan dan bertentangan dengan Islam.

 

Auranya semua bermuatan pada penyakit lama, Islamofobia, yaitu sinisme, prasangka buruk, salah paham, ketidaksukaan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam.

 

Sama halnya, pelecehan dan narasi kebencian juga sering menimpa agama lain di negeri manapun. Menghina agama dan pemeluknya. Pelakunya mirip, yakni oknum pindah agama, dari pemeluk agama yang sama, maupun dari penganut beda agama.

 

Mengukur agama lain dengan agamanya sendiri. Inilah masa ketika orang sangat terbuka dan leluasa menista agama dan pemeluk agama.

 

Islamofobia masif

 

Islamofobia adalah pandangan dan sikap yang mengandung prasangka, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan orang-orang Islam.  Istilah ini sudah lama berkembang awalnya di Barat dan dalam era mutakhir menguat menjadi pandangan global setelah tragedi serangan teroris 11 September 2001.

 

Pelaku teror itu beragama Islam. Sejak itu berkembang Islamofobia yang mendiskriminasi umat Islam bukan hanya dalam hal beragama, tetapi dalam aspek kehidupan lain di ruang publik.

 

Islamofobia merupakan pandangan anti Islam, baik yang dilakukan secara terbuka maupun tersembunyi. Apa yang terjadi di Denmark, Norwegia, Swedia, dan Prancis dalam kurun terakhir dengan kampanye terbuka anti Islam, Nabi Muhammad, imigran Muslim, dan atribut keislaman lainnya merupakan Islamofobia yang makin terbuka.

 

Di ranah global maupun di Tanah Air Indonesia kecenderungan alergi dan anti Islam ini bercampur aduk dengan berbagai masalah yang tidak sederhana. Termasuk terkait dengan kontestasi politik aliran.

 

Apalagi di masyarakat Barat yang liberal-sekuler yang menempatkan agama di ranah privat dan domestik dengan kecenderungan anti-agama (agnotis) dan anti-tuhan (ateis) yang memiliki kebebasan untuk hidup di masyarakat dan dijamin kebebasannya.

 

Kehadiran media sosial makin membuka ruang segala ekspresi dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara, dan relasi antar manusia secara global, sehingga setiap orang atau kelompok seolah boleh bependapat dan berbuat apa saja. Sebagian orang bahkan sengaja berbuat kontroversi, termasuk menghina agama dan pemeluknya, demi mengejar viral untuk popularitas dan kepentingan diri secara menerabas.

 

Medsos menjadi sumber masalah baru dalam relasi antarmanusia yang sering menyebarkan sentimen-sentimen keagamaan, kesukuan, ras, dan golongan atau SARA.

 

Islamofobia makin menguat dan memperoleh tenpat dalam multikulturalisme yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan toleransi sebagai ideologi dunia yang saat ini dominan. Menurut Derya Iner (2018), kelompok Islamofobia ada yang secara fanatik anti Muslim dengan mengampanyekan antimasjid, antimakanan halal, dan segala atribut keislaman. Sebagian ada pula yang tidak terang-terangan dalam menunjukkan sikap tidak suka terhadap Islam dan orang-orang Islam.

 

Islamofobia itu secara sosiologis masif, berimpitan dengan alam pikiran liberalisme-sekuler atau humanisme-sekuler. Di antara orang yang menunjukkan pandangan dan sikap anti atau tidak suka pada Islam tidak mengakui sebagai penganut Islamofobia.

 

Salman Rushdie dan para pendukungnya pada 2006 mengumandangkan manifesto berjudul "Together facing the new totalitarianism", yang menyebutkan Islamofobia adalah "konsep buruk yang mencampurkan kritik terhadap Islam sebagai agama dengan stigmatisasi terhadap para penganutnya.".

 

Kelompok anti Islam atau Islamofobia tidak selalu terbuka dan verbal, mereka terselebung bermantelkan paham multikulturalisme yang naif  seperti paham toleransi, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia yang memandang Islam dan pemeluknya sebagai sumber masalah kekerasan, terorisme, dan intoleransi dengan tolok ukurnya sendiri.

 

Di Barat maupun di Indonesia, Islamofobia sering berimpitan dengan isu melawan “radikalisme Islam”, yang memandang Islam dan Muslim sebagai sumber atau terkait intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan kekerasan. Mereka yang menganut paham anti terhadap radikalisme Islam sering terjebak pada Islamofobia.

 

Respons Islam

 

Penganut Islamofobia dalam teori maupun praktik tidak otomatis mereka yang beragama non Islam, agnotis atau alergi terhadap Islam bahkan ateis, boleh jadi dilakukan pula oleh mereka yang beragama Islam. Derya Iner (2018) melakukan kajian bahwa Islamofobia dapat ditemukan di dalam isu dan pandangan radikalisme sehingga menyebabkan penaksiran berlebihan terhadap terorisme Islam yang kemudian menempatkan Muslim secara umum di bawah kategori yang dicurigai.

 

Islamophobia dan Islamist radicalism merupakan ideologi yang bertahan dan berkembang dengan melakukan penyalahan (blaming), fitnah (defaming), dan pengecaman terhadap pihak lain (other).

 

Islamofobia, baik yang terpisah maupun terkait melawan “Islam radikal” merupakan pandangan bias dan sarat prasangka buruk terhadap Islam mesti diakhiri, sebab tidak menguntungkan siapa pun. Pendukung multikulturalisme tidak diuntungkan oleh Islamofobia.

 

Sebab, arus utama Islam dan kaum Muslim di dunia lebih-lebih di Indonesia prodemokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi sehingga dapat saling mendukung dan bekerja sama. Kuncinya berdialog agar tidak saling memaksakan alam pikirannya secara absolut dan membuka garis toleransi ketika satu sama lain berbeda.

 

Umat Islam tentu dirugikan oleh Islamofobia karena menjadikan dirinya sebagai objek diskriminasi dan perlakuan buruk. Padahal Islam pada dasarnya agama damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal yang rahmatan lil-‘alamin.

 

Namun, Islam juga penting dihormati ketika memiliki dan menyebarluaskan nilai ajarannya yang khusus yang boleh jadi berbeda dengan alam pikiran multikulturan, liberalisme, dan humanisme sekuler. Cara berpakaian Muslimah yang khas, antiminuman keras, hukum pernikahan, dan praktik Islam lainnya yang sejatinya ajaran-ajaran Islam itu untuk menjaga atau memelihara kehidupan yang berkeadaban.

 

Namun, kaum Muslim dalam menghadapi Islamofobia tentu mesti dengan sikap cerdas dan pandangan luas sesuai dengan ajaran damai Islam. Sejauh yang mengangkut penghinaan, kebencian, penodaan, dan segala bentuk penistaan terhadap Islam, Nabi, dan segala aspek keislaman maka dapat dilakukan melalui jalur hukum yang semestinya.

 

Jauhi sikap main hakim sendiri yang bertentangan dengan hukum dan nilai luhur kemanusiaan semesta. Bersamaan dengan itu penting terus mempromosikan dan manampilkan pandangan serta praktik Islam yang mencerdaskan, mendamaikan, menyatukan, mencerahkan, dan menjadi rahmatan lil ‘alamin.

 

Menurut Keskin & Tuncer (2018), dalam konteks radikalisme-ekstremis, misalnya, narasi keagamaan yang menyimpang yang berakar dalam teologi Islam tidak dapat diabaikan sebagai faktor yang berkontribusi dalam terjadinya sebuah tindakan kekerasan.

 

Menganalisis masalah dari sudut pandang teologis menjadi sebuah keharusan untuk memahami pola pikir yang ada di balik skenario ini. Namun hal ini sama sekali tidak membuat hubungan langsung antara Islam dan penyebab ekstremisme kekerasan, tetapi justru menunjukkan bahwa interpretasi yang salah dari kitab suci Islam berkontribusi terhadap radikalisasi umat Islam, khususnya pada kaum pemuda Muslim.

 

Sejumlah kajian menunjukkan munculnya Islamofobia tidaklah berada dalam kondisi yang vakum. Bagi pihak yang memang pada dasarnya sudah tidak suka kepada Islam, maka Islamofobia akan terus tereproduksi.

 

Bersamaan dengan itu, baik terkait keagamaan maupun aspek kehidupan lainnya, Islamofobia akan terus mengalami politisasi oleh banyak kepentingan sebagaimana halnya fenomena radikalisme Islam.

 

Menurut Schmid (2013), pada beberapa tahun terakhir, istilah 'radikalisasi', layaknya istilah terorisme, menjadi sangat terpolitisasi, yaitu telah digunakan dalam permainan politik pelabelan (labeling) dan penyalahan (blaming). Termasuk pemakaian tolok ukur Barat dengan paham multikulturalisme yang liberal-sekuler.

 

Bagi kaum Muslimin sendiri penting untuk saksama dan waspada. Hadapi pandangan negatif tentang Islam seperti Islamofobia dan isu radikalisme-ekstremis Islam dengan orientasi muwajahah (aksi konstruktif) baik dalam ranah pemikiran maupun praktik berislam.

 

Penting terus menyuarakan dan mempraktikkan keteladanan Islam yang berkeadaban mulia dan rahmatan lil ‘alamin sebagaimana misi kerisalahan Nabi akhir zaman. Umat Islam melalui para mubaligh, ulama, dan tokohnya penting makin bijak dan saksama dalam menarasikan pesan-pesan Islam agar tidak menjurus atau membawa muatan-muatan keagamaan yang radikal-ekstrem, yang membenarkan tudingan pihak lain dalam bias radikalisme Islam dan Islamofobia.

 

Buktikan bahwa kaum Muslim, baik pribadi maupun kolektif, adalah uswah hasanah dalam segala aspek kehidupan untuk membangun peradaban mulia di muka bumi ini!

 

 

Sumber :  https://www.republika.co.id/berita/qyium19525000/islamofobia-di-negeri-muslim

 

 

 

 

 

 

Mural Politik dan Perebutan Ruang Publik

Yusa’ Farchan ;  Direktur Eksekutif Citra Institute; Kaprodi Ilmu Pemerintahan Universitas Sutomo

JAWA POS, 29 Agustus 2021

 

 

                                                           

KRITIK sosial bergenre seni mural belakangan ini muncul kembali secara ekspresif di berbagai ruang publik. Tak hanya di ruang fisik kota, visualisasi mural politik juga merambah di berbagai ruang publik virtual.

 

Mural politik muncul tenggelam seiring dengan respons negara dalam menyikapinya. Yang paling fenomenal adalah munculnya mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan “404 Not Found”. Mural dengan visualisasi wajah mirip Presiden Jokowi yang terletak di daerah Batu Ceper, Kota Tangerang akhirnya dihapus oleh petugas kepolisian pada Kamis (12/8/2021).

 

Sembilan tahun lalu (2012), mural politik bergambar Wapres Boediono dengan teks “Antara Ada dan Tiada” pernah muncul di Jogjakarta. Mural politik karya seniman asal Jogjakarta, Andrew Lumban Gaol tersebut akhirnya lenyap beberapa waktu kemudian dari seluruh jalanan di Kota Jogjakarta.

 

Periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak absen dari mural politik. Saat terjadi unjuk rasa 100 hari pemerintahan SBY, 28 Januari 2010, muncul mural politik dengan konten kritik terhadap kinerja pemerintah. Dalam aksi tersebut, para pendemo membawa kerbau berkulit hitam dengan ditulisi “Si BuYa”. Bagian bokongnya ditempeli gambar pria berpeci dengan tulisan bernada seruan “Turun!”.

 

Sebagai produk budaya massa, seni mural kerap melekat dan menjadi ciri penting komunitas masyarakat urban untuk menyampaikan aspirasinya. Secara historis, dalam perkembangan seni mural di Indonesia, kita memang berhutang pada warisan kolonial. Pada fase pendudukan Jepang 1942-1945, relasi seni, seniman, dan Jepang menjadi saling membutuhkan.

 

Di satu sisi, Jepang menggunakan seni sebagai alat propaganda, sementara di sisi lain, para seniman memperoleh pendidikan, dukungan material, dan kesadaran akan kekuatan dan pengaruh seni dalam dunia politik. Inilah yang kemudian digunakan Lekra pada fase 20 tahun berikutnya.

 

Dari tangan Jepang, pelukis Indonesia banyak mendapatkan material seni dan mempelajari banyak teknik baru. Dari karikaturis Jepang Saseo Ono misalnya, beberapa seniman Indonesia mulai mengenal mural dan belajar membuat sketsa cepat di luar ruangan.

 

Berbeda dengan pada saat periode kolonialisme Belanda di mana akses untuk mendapatkan pendidikan dan material lukis sangat terbatas. Akses tersebut hanya bisa dijangkau oleh para bangsawan dan orang Eropa. Tidak mengherankan ketika Jepang memberikan semua kebutuhan untuk membuat karya secara gratis, jumlah pelukis Indonesia meningkat tajam.

 

Arena Perebutan Ruang Publik

 

Hadirnya mural politik di berbagai ruang publik dapat dibaca dalam beberapa hal sebagai berikut. Pertama, mural politik adalah bagian dari representasi politik massa. Ia hadir untuk mengisi ruang kosong partisipasi politik warga negara yang selama ini absen atau tidak terakomodasi oleh saluran politik formal seperti partai politik.

 

Umumnya, mural politik dibangun atas dasar kritik sosial. Street art tersebut hadir dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang sangat terbatas seperti tembok-tembok jalanan umum tanpa memerlukan biaya tinggi alias dengan peralatan seperlunya. Bahkan, hanya dengan cat bekas hitam putih-pun, sebuah mural politik bisa diproduksi. Hanya saja, kehadiran street art tersebut kerap dituding sebagai vandalisme karena dianggap merusak dan mengancam ketertiban umum. Pasal karet itulah yang menyebabkan mural politik seringkali hilang disapu aparat.

Mural politik tentu berbeda dengan baliho politik yang merepresentasikan kelas politik elite karena didesain dan dibangun berdasarkan kekuatan kapital. Kelas elite dalam konteks ini tidak hanya mencakup para elite parpol yang sedang bekerja dan berburu tiket Capres, tetapi juga kelas elite pada unit kekuasaan yang paling kecil di tingkat lokal, seperti calon-calon kepala desa yang sedang berburu suara untuk memenangkan pemilihan.

 

Artinya, meskipun kelas elite tersebut berbeda tingkatannya, tetapi dalam memainkan politik baliho, sama-sama memerlukan dukungan logistik yang besar. Hanya kandidat yang memiliki dukungan logistik kuat yang bisa memainkan politik baliho secara massif.

 

Kedua, menjamurnya mural politik sebenarnya adalah respon alamiah atas terjadinya kooptasi ruang publik terutama yang dilakukan oleh negara dan pasar. Mural politik versi rakyat hadir untuk menjawab massifnya parade baliho yang sedang dimainkan para elite politik di berbagai ruang publik. Mural politik versi citizen adalah oase atas kegersangan dan kekosongan makna baliho politik yang sering menghadirkan “pepesan kosong” dan janji manis para politisi.

 

Jika baliho politik tampak menghadirkan kesan formal dengan narasi yang masih samar-samar (karena dihadirkan bukan pada tahun politik); maka mural politik bersifat lebih ekspresif. Dalam berbagai bentuknya, mural politik tidak hanya menghadirkan kritik sosial dan politik, tetapi juga karya seni yang artistik.

 

Ketiga, munculnya mural politik juga dapat dibaca dalam konteks terjadinya perebutan ruang publik. Secara teoritis, Habermas (1962) sebenarnya telah menyediakan basis teoritik yang komprehensif terkait prasyarat ruang publik yang ideal.

 

Perubahan struktural ruang publik di zaman modern saat ini ditandai oleh bangkitnya kapitalisme, industri kebudayaan dan kekuatan korporasi dalam arena ruang publik. Ribuan baliho iklan yang menyerbu ruang publik secara tidak langsung menggiring alam bawah sadar manusia untuk terus berperilaku konsumtif. Jejaring kapitalisme dan pasar bebas dengan lihai memanfaatkan ruang publik untuk tujuan komersial.

 

Begitu juga dengan baliho politik. Parade baliho politik tentu didesain dalam rangka membidik ceruk pasar elektoral dengan menstimulus orang untuk menjadi pemilih atau partisan.

 

Dalam perspektif teori Habermas, korporasi-korporasi besar dan pemerintah cenderung mengambil alih ruang publik, sementara warga negara cukup senang menjadi konsumen barang, jasa, atau administrasi politik. Dengan kata lain, warga negara hanya diletakkan dalam konteks sebagai konsumen atau partisan. Kondisi ini tentu mengebiri peran dan partisipasi politik warga negara di berbagai ruang publik yang tersedia.

 

Dalam perkembangannya saat ini, ruang publik bergeser menjadi arena pertarungan terbuka simbol-simbol dan identitas politik kelompok. Karena dukungan modal, kelas politik elite tampak mendominasi ruang-ruang publik tersebut. Akibat hegemoni kelas politik elite inilah, para kritikus sosial baik para seniman ataupun elemen sipil lainnya, ramai-ramai membuat mural politik.

 

Mural bertema kritik sosial sebenarnya muncul secara alamiah ketika terjadi penyumbatan terhadap ruang-ruang artikulasi kritik yang tersedia. Begitu juga dengan respon atas mural tersebut. Bagaimana respon terbentuk bergantung pada bagaimana kekuasaan itu dibentuk dan dijalankan.

 

Berulangkali Presiden Jokowi menyatakan agar masyarakat tidak ragu untuk menyampaikan kritik, tetapi berulangkali pula kekuasaan secara reaktif menyikapi kritik-kritik tersebut. Menghapus mural hanya akan memunculkan mural-mural lainnya. Itulah hukum alam yang akan terjadi ketika wacana kritik tidak dikelola dengan baik sebagai sumber energi positif dalam membangun tegaknya pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan.

 

Perlu dicatat bahwa ruang publik yang otonom untuk civic-participation merupakan elemen fundamental demokrasi. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika ruang publik yang tersedia bersifat netral dan tidak diskriminatif dalam rangka membangun partisipasi politik yang lebih luas. Ruang publik harus jauh dari monopoli kekuatan politik dan modal.

 

Monopoli ruang publik yang dikendalikan oleh pasar dan elite cenderung mengebiri tujuan demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, ruang publik yang dikendalikan oleh pasar akan terjebak dalam logika pasar yang digerakkan oleh uang ketimbang solidaritas. Dalam konteks ini, Habermas telah mengingatkan potensi terjadinya refeodalisasi ruang publik yang akan mengancam otonomi ruang publik.

 

Problem krusial yang saat ini kita hadapi adalah lemahnya mekanisme check and balances di parlemen akibat koalisi gemuk pemerintahan hasil pemilu 2019. Dengan performa eksekutif yang sangat kuat (strongly), nyaris tidak ada hambatan apapun dalam mengeksekusi kebijakan-kebijakan penting negara karena mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen.

 

Sementara itu, peran oposisi tampak lembek baik dalam memainkan fungsi-fungsi yang melekat secara institusional maupun fungsinya sebagai representasi rakyat. Tak banyak yang bisa diharapkan dari kekuatan partai politik oposisi saat ini dalam memaksimalkan fungsi kontrol terhadap kekuasaan politik.

 

Check and balances sesungguhnya tidak hanya berlangsung di dalam sistem politik antar eksekutif dan legislatif, tetapi juga antara sistem politik dan masyarakat warga dalam bentuk public use of reason dalam ruang publik. Dalam perspektif komunikasi, ruang publik tentu memiliki fungsi dalam komunikasi politik masyarakat plural.

 

Saat ini, ruang publik tampak kehilangan ruh publiknya dan berubah menjadi area privat yang dipublikkan. Harapan akan tumbuhnya partisipasi politik warga negara yang lebih luas dipatahkan oleh kenyataan bahwa ruang publik telah dimonopoli dan didesain untuk melayani kepentingan elite.

 

Sumber :  https://www.jawapos.com/opini/29/08/2021/mural-politik-dan-perebutan-ruang-publik/?page=all

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jangan Mengatur Barang Orang Lain

Impian Nopitasari ;  Penulis, Tinggal di Solo

DETIKNEWS, 29 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ketika sedang iseng melihat-lihat story WhatsApp --aktivitas yang sebenarnya jarang saya lakukan-- saya menemukan story teman yang membuat saya membalasnya. Di story-nya tersebut, dia mem-posting tangkapan layar sebuah status dari teman Facebook yang saya kenal. Seorang penulis yang membagikan percakapan pribadinya dengan seseorang. Dalam percakapan tersebut ada orang yang memintanya untuk menyumbangkan koleksi bukunya. Tentu saja permintaan tersebut dia tolak.

 

"Ya ampun, aku kok sering ya bernasib sama seperti beliau, dipaksa orang untuk mendonasikan buku koleksi," saya membalas story WhatsApp teman saya tersebut.

 

Saya sepakat dengan mas penulis yang tersinggung ketika diminta untuk menyumbangkan koleksi bukunya. Ya, bayangkan itu adalah harta yang ia kumpulkan bertahun-tahun. Ada yang perjuangan mendapatkannya dengan menabung, mencari di tempat yang susah karena bukunya langka, atau ada yang berupa hadiah atau pemberian orang lain, sesuatu yang sentimentil dan tidak bisa dinilai dengan uang.

 

Bisa juga itu tabungan masa depan untuk anak-anaknya. Lalu tiba-tiba ada yang seenaknya ngomong, "Mbok disumbangkan saja bukunya."

 

Saya sendiri juga sering mendapat komentar seperti itu ketika mengunggah foto tumpukan buku saya yang sebenarnya tidak beraturan. Komentar seperti, "Mbak, nggak ada niatan buat hibahin bukunya?" selalu saya jawab dengan satu kata, "Nggak!" Dalam hati sih nggerundel, "Lah siapa elu minta-minta, enak wae!"

 

Orang-orang ini kok pada percaya diri sekali ya berkomentar seperti itu. Mereka tidak paham sekali sejarahnya mendapatkan buku-buku tersebut. Kalau memang takjub dengan koleksi buku-buku saya yang katanya banyak itu ya dari dulu kumpulkan sendiri. Jangan paksa orang lain untuk menyumbangkan koleksinya. Lucunya, komentar tersebut tidak hanya berasal dari orang-orang yang kita anggap tidak mengerti hal seperti ini.

 

Saya pernah bertengkar dengan salah satu guru saya di sekolah dulu karena tidak mengembalikan buku yang dia pinjam dari saya. Malah bilang kalau buku ya sudah seharusnya disumbangkan. Ya kenapa bukan buku dia sendiri? Setelah dewasa ini saya baru paham, ya mau disumbangkan apanya wong dia sendiri tidak punya koleksi buku.

 

Minta donasi itu ada caranya, yang sopan. Banyak kok orang-orang yang memang bergerak di bidang donasi buku. Hubungi saja mereka. Ada tautan yang bisa diklik untuk prosedurnya. Tanya teman yang lebih paham juga bisa. Daripada meminta orang untuk menyumbangkan koleksi bukunya. Saya yakin orang-orang yang dipaksa menyumbangkan bukunya ini sudah punya waktu sendiri untuk berdonasi.

 

Berdonasi dengan diumumkan itu bagus kalau tujuannya memang membuat orang-orang tergerak melakukannya. Tapi tidak semua kegiatan donasi harus dipublikasikan. Mungkin kita yang tidak tahu.

 

Kemarin saya juga menemukan komen senada di sebuah grup klub baca di Telegram. Ada seorang anggota grup yang menawarkan buku-bukunya untuk dijual. Herannya, ada beberapa komentar yang ajaib sekali. Yang pertama, ada yang mengejek jenis buku yang ditawarkan tersebut, yang kedua ada yang komentar dengan tanpa bersalah, "Kak, apa tidak disumbangkan saja bukunya?"

 

Yang punya lapak menjawab, "Hehe sedang butuh uang, Kak."

 

Meski bukan saya yang sedang menawarkan buku, kok saya yang malah tersinggung. Lepas dari boleh-tidaknya berjualan di grup tersebut, rasanya tidak sopan ketika ada yang berjualan tapi malah disuruh menyumbangkan barangnya. Orang menjual barangnya itu ya karena butuh uang, atau ya memang niatnya untuk dijual, bukan untuk disumbangkan. Hal seperti ini kok ya tidak peka. Kenapa kalau koleksi buku itu tabu sekali untuk dijual? Kenapa koleksi buku harus selalu disumbangkan?

 

Saya pun membalas komentar tersebut dengan panjang kali lebar kali tinggi alias meluas ke mana-mana. Orang seperti ini memang harus selalu digertak biar tidak tuman. Sebenarnya ini berlaku untuk semua barang, bukan terbatas buku saja. Ketika kita melihat teman kita menjual barangnya apapun itu, artinya dia butuh uang. Kalau kita tidak mau membeli atau menyebarkan, cukup dengan tidak berkata sesuatu yang menyinggung perasaannya. Selama jualannya sopan dan tidak mengganggu kita, ya sudah biarkan mereka berjualan.

 

Saya sendiri malas kalau diceramahi tentang sumbang menyumbang. Kalau hanya donasi buku ya sering. Tidak semua saya publikasikan karena saya tipenya mudah riya, sombong, dan takut membuat orang lain minder ha-ha-ha. Soalnya buku yang saya sumbangkan tidak pernah jelek. Buku bagus semua baik isi maupun kemasan. Banyak yang anyar gres masih segelan. Kalau bekas pun buku bekas yang bagus. Saya mendonasikannya sesuai kebutuhan target donasi. Menyortir itu juga butuh waktu.

 

Tidak hanya donasi dalam jumlah besar, kadang saya hanya ingin seru-seruan membuat giveaway buku untuk teman-teman di media sosial. Tentu saja buku-buku bagus yang saya bagi-bagikan. Saya itu pada dasarnya nyah-nyoh orangnya alias gampang memberi, tapi kalau dengan orang yang njalukan atau minta-minta, saya malah malas. Apalagi tidak terlalu kenal dan tidak dengan cara yang sopan.

 

Dulu awal-awal menerbitkan buku juga begitu. Saya masih menemui orang-orang yang minta buku gratisan. Iki karepe piye sih wong saya bikin buku butuh modal kok malah diminta-minta. Kalau memang mengaku teman ya malah seharusnya didukung dong dengan membeli bukunya. Kecuali memang kita sendiri yang diberi hadiah, itu lain cerita. Sesungguhnya kata "selamat" dari teman yang sesungguhnya itu adalah dengan membeli bukunya, bukan hanya dengan kata-kata. Haha.

 

Tapi jangan salah paham, ini bukan berarti saya memaksa orang harus suka dan membeli buku saya, bukan itu. Saya juga tidak membeli semua buku orang yang saya kenal, tapi setidaknya kita tahu diri, jangan meminta buku gratis atau memaksa orang untuk mendonasikan bukunya dengan tidak sopan.

 

Buku koleksi saya itu harta saya. Saya kumpulkan dari dulu. Ada yang belinya setelah menabung dan puasa, ada yang diberi orang sebagai kenang-kenangan. Saya orangnya sentimentil dan suka sesuatu yang berbau kenangan bersejarah. Kalau saya ingin mengurangi buku saya, pasti saya kurangi. Dan kalau ada yang mau saya jual, ya memang itu mau saya jual, bukan untuk disumbangkan.

 

Saya sering diceramahi karena katanya tidak menerapkan metode minimalis Marie Kondo. Tapi orang yang menceramahi itu tidak sadar bahwa pikiran mereka yang sebenarnya tidak minimalis. Terbukti dari cerewetnya mengatur barang orang lain. Mungkin secara fisik mereka tidak sumpek karena tidak kebanyakan barang, tapi komentarnya membuat orang lain sumpek saking "minimalisnya".

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5700841/jangan-mengatur-barang-orang-lain

 

 

Otong Kace

Dahlan Iskan ;  Mantan CEO Jawa Pos

DISWAY, 29 Agustus 2021

 

 

                                                           

"Selamat ya. Anda wartawan pertama yang menemukan identitas lengkap siapa Muhammad Kace," tulis saya kepada Deni Mithun kemarin. Saya juga memuji pimpinan harian Radar Pangandaran yang memuat tulisan Deni dengan karya jurnalistik yang cukup baik.

 

Sudah seminggu saya mencari siapa sebenarnya Muhammad Kace yang menghebohkan itu (Disway: Miris Ngeri). Gagal. Saya hubungi banyak aktivis Islam. Tidak ada yang kenal. Saya hubungi banyak teman saya yang Kristen. Juga tidak tahu.

 

Saya benar-benar penasaran: siapa Muhammad Kace. Ternyata Deni-lah wartawan pertama yang menemukan identitas lengkapnya.

 

Deni beruntung. Jumat dua hari lalu ia ditelepon Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pangandaran H Otong Aminudin. Sang ulama baru saja nonton TV. Setelah salat Jumat. Ia melihat ada berita ditangkapnya Muhammad Kace oleh polisi. Ia lihat wajah Kace di layar TV. Langsung saja Otong menelepon Deni.

 

"Orang itu penduduk tetangga desa kita," ujar Otong kepada Deni.

 

Lalu Otong menceritakan bagaimana ia kenal Kace. Otong bersama warga desa sekitar itu pernah ''mengusir'' Kace dari desa itu.

 

"Tahun berapa?" tanya saya pada Otong. Saya sendiri ikut menelepon Otong kemarin.

 

"Tahun 1997 atau 1998. Sebelum moneter-moneter itu," ujar Otong. Maksudnya, sebelum krisis moneter 1998.

 

"Mengapa bapak ''usir'' Kace dari desa itu," tanya saya.

 

"Ia bikin masalah terus," ujar Otong.

 

Yang ia sebut ''bikin masalah'' ternyata mulai banyak warga desa itu yang pindah agama. "Sudah ada sekitar 25 orang," ujar Otong.

 

Waktu itu Pangandaran belum menjadi kabupaten. Masih kecamatan. Masih jadi bagian dari Kabupaten Ciamis. Baru tahun 2012, daerah di pantai Selatan Jawa Barat itu menjadi kabupaten. Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti berasal dari sini. Markas besar Susi Air di sini. Di sebuah landasan pinggir laut yang wujudnya hamparan rumput yang bisa didarati pesawat.

 

Kalau Kabupaten ini maju, kelak, pantainya ibarat Ipanema dan Copacabana di Rio de Janeiro, Brasil. Di lengkung timurnya bisa melihat matahari terbit. Di lengkung baratnya bisa melihat matahari tenggelam.

 

Sekarang pantai itu masih kumuh –untuk ukuran daerah wisata modern. Rumah-rumah dan pedagang kaki lima masih terlalu dekat ke pantai. Pangandaran juga masih jauh dari mana pun. Kelak, kalau sudah ada jalan tol jalur selatan, Pangandaran akan lebih menarik. Tapi ketika saat itu nanti tiba, mungkin, Pangandaran sudah kian sulit dibenahi.

 

Kini ada tiga gereja di seluruh Kabupaten Pangandaran. Satu gereja Katolik, dua gereja Kristen. Yakni Gereja Maranatha (Kerasulan Baru) dan gereja GPdI Parapat. Ke gereja yang dekat perbatasan Cilacap inilah warga desa yang dikristenkan Kace itu melakukan kebaktian di hari Minggu.

 

Nama desa kelahiran Kace itu adalah Limusgede. Masuk Kecamatan Cimerak. Tidak sulit Deni menemukan desa itu. Deni orang Pangandaran. Istrinya juga asli sana.

 

Dari Pangandaran, Deni naik motor ke arah barat. Sekitar 10 km. Lalu belok ke utara, menyusuri jalan desa, juga sekitar 10 km.

 

Deni saya minta balik lagi ke desa itu, kemarin. Alumnus informatika Universitas Siliwangi Tasikmalaya itu harus bertemu adik Kace yang masih tinggal di situ.

 

Universitas Siliwangi itulah yang sering dipelesetkan sebagai UGM –Universitas Gambar Macan, karena logonya yang berupa kepala harimau.

 

Deni juga harus bertemu teman sekolah Kace.

 

"Saya teman sekolah Kosman," ujar Asep Saipudin kepada Deni. Kosman adalah nama asli Kace di desa itu. "Sampai SMP saya masih bersamanya," ujarnya.

 

Ayah Kosman adalah kepala dusun di situ. Juga punya kebun kopi. Kosman sudah dibelikan sepeda motor ketika SMP. Ia satu-satunya murid SMP itu yang punya motor.

 

"Kelas 2 SMP Kosman berhenti sekolah. Saya tidak tahu penyebabnya," ujar Asep. Sejak itu Kosman pindah ke Pondok Pesantren Nurul Huda. Yang letaknya sekitar 10 Km dari desa itu.

 

Deni juga mendatangi Nurul Huda. Benar. Kosman pernah mondok di situ. Belajar agama. Juga belajar membaca kitab kuning, seperti kitab Jurumiyah.

 

Kosman hanya setahun di Nurul Huda. Kebiasaan yang ia suka di pesantren itu adalah salawatan –pujian kepada nabi yang dilagukan.

 

Tidak lama setelah keluar dari Nurul Huda, Kace kawin dengan gadis yang juga mantan santriwati Nurul Huda. Perkawinan itu terjadi sekitar 1986.

 

Belum jelas apa pekerjaan Kace setelah kawin itu. Yang jelas ia segera punya dua anak. Setelah itu sang istri menjadi TKW ke Arab Saudi. Berarti masa-masa ditinggal istri inilah Kace menjadi misionaris. Yang lantas jadi sorotan pemuka agama Islam di sana. Lalu Kosman diminta meninggalkan desa itu.

 

Kosman pindah ke kota Banjar, yang dulu juga masuk Kabupaten Ciamis, kini jadi kota sendiri.

 

Dari Banjar ia pindah ke Bekasi. Lalu ke Jakarta.

 

Dalam sebuah publikasi online KRISTIANI.NEWS disebutkan, Kosman menjadi Kristen karena ayahnya disembuhkan oleh doa seorang pendeta. Tapi tidak disebutkan itu terjadi kapan.

 

Yang jelas penasaran saya kini sudah terjawab oleh liputan Deni Mithun, wartawan Radar Pangandaran itu.

 

"Nama saya Deni Nurdiansah. Bukan Deni Mithun. Mithun itu nama pemberian teman-teman," ujar Deni.

 

Kata mereka, Deni itu mirip bintang film Bollywood Mithun Chakraborty. (Dahlan Iskan)  

 

Sumber :  https://www.disway.id/r/1782/otong-kace