Yang Senyap Sekaligus Berdusta
Geger Riyanto ;
Esais; Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat Sosial dan
Konstruktivisme di UI
|
KOMPAS, 21 Mei
2016
Pernahkah Anda
sesekali mencermati lukisan-lukisan perempuan, baik karya pelukis besar
maupun tak bernama, dan merasakan adanya satu kesamaan yang menguntai nyaris
kesemuanya? Mengapa figur perempuan hampir selalu dicitrakan bergeming dan
tampak sengaja menanti untuk dilukis?
Sementara, sebaliknya
untuk laki-laki. Mengapa laki-laki senantiasa digambarkan tengah melakukan
sebuah pekerjaan? Ambil saja lukisan-lukisan awal periode modern Indonesia
yang masih marak ditiru sampai hari ini: para laki-laki berburu harimau,
berperang, terlibat intrik. Figur laki-laki, dalam pelbagai karya acap tak
insaf diri mereka tengah dilukis. Mereka tenggelam dalam aktivitasnya.
Sesekali para laki-laki memajang diri untuk dilukis, mereka dilukis dengan
baju perang atau seragam jabatannya, simbolisasi kekuatannya.
Laki-laki dinilai dari
perbuatannya. Dari kemampuan mereka memengaruhi, mengubah, menjalani
kehidupan. Perempuan dinilai dari keberadaan diri mereka; keberadaan mereka
di mata laki-laki tepatnya. Apa yang dituntut dari mereka adalah mengada
belaka, mengikuti ekspektasi laki-laki. Mereka adalah obyek yang harus menata
pembawaan, penampilan, tingkah polahnya agar patut atau menyenangkan bagi
sang pelaku, laki-laki. Inilah, seturut digambarkan John Berger dalam
bukunya, The Way of Seeing,
bagaimana kebudayaan menempatkan perempuan dan laki-laki. ”Laki-laki bertindak
dan perempuan tampil,” tulis Berger.
Akar ideologis domestikasi
Kendati Berger memang
secara khusus mendedah dunia seni lukis, citra perempuan sebagai obyek
terawangan tak sebatas membebat ranah kesenian. Ia jadi akar ideologis pula
mengapa masyarakat punya kecenderungan menghakimi korban dalam
kejahatan-kejahatan seksual. Bahkan ketika perempuan jadi korban kejahatan
keji yang tak terperi sekalipun mereka tetap dianggap tak bisa lepas dari
tanggung jawab.
Pikiran diskriminatif
yang acap mencuat dan kita lebih sering tak menyadarinya adalah perempuan tak
seharusnya sembarangan berada di ruang publik. Mereka seyogianya diam tenang
di rumah, menaati kodratnya. Kalaupun mereka harus bepergian, mereka harus
menutupi keberadaannya sesamar mungkin.
Argumentasi ini bukan
sesuatu yang sama sekali asing dari sejarah panjang pendomestikasian
perempuan. Dalam berbagai narasi, yang saya tak yakin kita bisa menghindari
dari pengaruhnya, adalah hal yang nyaris sangat mudah menemukan penceritaan
yang mengesankan perempuan merupakan sumber malapetaka dan kehancuran
kerajaan-kerajaan bersejarah masa silam.
Apabila kita menguliti
karya-karya literatur di Inggris, hal yang dilakukan oleh Matthew Beaumont
dengan saksama, para perempuan yang menyelusuri jalanan London di malam hari
sejak lama dianggap tak bermoral. Meski mungkin mereka adalah migran yang
mendapatkan giliran jam kerja yang tak enak, mereka lebih mudah dipersepsikan
sebagai pekerja seks komersial.
Di Indonesia, persepsi
semacam ini rasanya tak perlu lagi banyak diceritakan. Ia adalah bagian dari
keseharian yang sudah sangat intim dengan kita. Namun, ada beberapa kasus di
mana persepsi ini berkembang hingga cukup kelewatan. Di satu daerah yang
diteliti antropolog Johan Lindquist, misalnya, sebagian perempuan yang harus
bekerja hingga malam memakai kerudung bukan untuk alasan religius. Bukan pula
semata untuk menghindari pelecehan. Mereka berkerudung karena, kalau tidak
demikian, mereka akan dianggap sebagai pekerja seks komersial.
Dalam temuan Center for the Study of Religion and
Culture (CSRC) UIN Jakarta, di daerah lain seorang aktivis sosial
perempuan diciduk polisi sewaktu keluar dari taksinya. Waktu itu hari memang
sudah larut. Kegiatannya mengharuskannya pulang dini hari. Namun, akibat
peraturan daerah anti prostitusi, ia disergap aparat lantaran dianggap sedang
melacur.
Kini, satu fakta yang
seharusnya mengherankan—tetapi mirisnya lebih sering tak mengherankan karena
sudah terlampau lumrah dicibirkan—adalah manakala perkosaan terjadi,
perhatian paling pertama acap terbidik: seberapa menggodakah sang korban.
Bagaimana penampilan fisik korban? Berada di tempat ramai atau sepikah?
Apakah dia memiliki hubungan pribadi dengan sang pemerkosa?
Dalam kesenyapan dan
kemalangannya sekalipun, korban dianggap masih merupakan bagian dari
kejahatan yang menimpanya. Persepsi serupa, tak akan kita temukan pada saat
kejahatan pembunuhan semata. Kita tak akan mempertanyakan apakah pelaku dan
korban jauh dari keramaian, apakah keduanya punya dendam pribadi, apakah
korban memprovokasinya atau tidak.
Hak untuk ruang publik
Sebagai sesuatu yang
masih lumrah dianggap sebuah norma, menempatkan perempuan dalam kedudukan
yang demikian bukan hanya sulit dipertanggungjawabkan relevansinya. Juga
sesuatu yang kejam dan menistakan.
Saya tak tahu cara
berpikir ini dapat disebut apa selain tak masuk akal. Perempuan bukan hanya
diperlakukan sebagai obyek, sekadar hadir tanpa melakukan apa pun didapuk
telah berperan aktif atas kekalutan yang terjadi. Kehadiran mereka,
selanjutnya, apabila kita terus mengandalkan logika ini, harus diatur. Mereka
tak diperkenankan keluar melewati jam tertentu, tak boleh keluar tanpa
pendampingan, atau harus menutupi keberadaannya serapat-rapatnya.
Mungkin kita masih
ingat insiden yang menimpa Irma Bule, pedangdut yang mati digigit ular tempo
hari. Persepsi sebagian orang cenderung dingin menanggapi kemalangannya
karena ia dianggap cari sensasi melalui tindakan berbahaya dan mengumbar
citra vulgar perempuan. Namun, belakangan terungkap bahwa alasan Irma sukar
ditampik begitu saja. Ia bisa mendapatkan uang lebih apabila pentas
menggunakan ular. Sebagai ibu tiga anak dari daerah miskin, ia tak
bergelimang dengan pilihan hidup. Ini adalah pilihan penghidupan yang
dimilikinya.
Persoalan ideologi
serta hasrat mendomestikasi perempuan yang masih merebak lebih karena kita
tidak mengindahkan kenyataan di hari-hari ini bahwa akses untuk bergerak di
ruang publik merupakan hak perempuan yang tak lagi terhindarkan. Perempuan
yang menjadi tulang punggung keluarga adalah kasus yang seharusnya mengundang
perhatian kita atas urgensi ini.
Kehidupan modern
merupakan kehidupan yang jauh lebih rentan. Perempuan membutuhkan pendidikan,
jaringan sosial, pencarian, dan berbagai kapital tak akan mungkin ia dapatkan
tanpa haknya yang lebih mendasar lagi: hak mereka untuk bergerak serta
mengakses ruang.
Untuk waktu yang lama,
ruang gerak yang dibutuhkan perempuan ini dibatasi. Tidak adilnya, ia
dibatasi tak lain oleh keleluasaan gerak jender yang lebih berkuasa. Lantaran
dikonstruksi sebagai obyek yang secara kodrati memikat laki-laki, mereka
mudah dianggap sebagai ancaman dan dalam pelbagai narasi populer,
pemberitaan, rumor, maupun mitos dilekatkan sebagai penyebab
kekacauan-kekacauan kehidupan publik.
Kita tak tahu kapan kehendak
ini akan ditumpangi sebagai cara murah para politisi meraih simpati publik,
yakni dengan mengampanyekan isolasi perempuan lebih jauh melalui regulasi
atau peraturan publik. Ini bisa terjadi kapan pun. Namun, untuk alasan
ketidakadilan semata pun, kita jelas membutuhkan cara lain untuk memikirkan
perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar