Partai
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
TEMPO
|
KORAN TEMPO, 28
Mei 2016
Sebagai pilar demokrasi, partai politik lagi
tak laku. Wibawa partai runtuh. Banyaknya politikus yang terlibat dalam
skandal korupsi hanya salah satu penyebab. Perilaku politikus yang suka
berulah, baik lewat kata-kata maupun tindakan, dan partai yang kerap
bergejolak, adalah penyebab yang lain. Partai yang bergantung pada satu tokoh
juga jadi penyebab orang melirik sebelah mata.
Namun kegiatan demokrasi tetap bergairah
tatkala ada tokoh yang tiba-tiba menjadi penyalur bagi ketidaksukaan kepada
partai politik itu. Misalnya, saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak mau
diusung partai politik dalam pemilihan kepala daerah Jakarta tahun depan.
Orang rela datang dengan biaya sendiri untuk menyetorkan kartu tanda penduduk
untuk mendukung pencalonan Ahok. Banyak yang berkata, mereka bukan sekadar
memilih Ahok, tapi juga merasa terwakili sebagai masyarakat non-partai. Jalur
independen atau "jalur emoh partai" ini menular dalam pilkada
Yogyakarta; Kabupaten Buleleng, Bali; dan mungkin di tempat lain lagi.
Meski partai sudah "sulit dijual",
toh hal itu tak mengurangi niat orang untuk membuat partai baru. Padahal, 10
partai yang punya perwakilan di parlemen sudah cukup bikin riuh. Pemilu 2014
diikuti 12 partai politik. Partai Bulan Bintang serta Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia tak lolos ke DPR. Padahal, kurang apalagi. Tokohnya,
Yusril Ihza Mahendra dan Sutiyoso, orang pintar dan populer.
Pendaftaran partai politik baru sudah dibuka
di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Belum seminggu, enam
partai baru sudah mendaftar, yakni Partai Rakyat, Partai Pribumi, Partai
Idaman, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Indonesia Kerja, dan Partai
Beringin Karya. Lalu, ada Partai Perindo, yang setiap hari mengumandangkan
himne-nya lewat stasiun televisi milik ketuanya, Hary Tanoesoedibjo. Akankah
masih ditambah partai lain pada pekan depan?
Para pendiri partai dengan nama aneh-aneh itu
patut diacungi jempol. Jempol untuk keyakinannya bahwa partainya akan bisa
lolos verifikasi di Kementrian Hukum, yang persyaratannya demikian ketat:
harus memiliki pengurus dengan rincian 100 persen di tingkat provinsi, 75
persen di kabupaten/kota, dan 50 persen di kecamatan. Bahwa nanti akan ada
jempol mengarah ke bawah karena suara yang diraih hanya nol koma nol sekian,
itu pasti tak aneh.
Kementrian Hukum dan Komisi Pemilihan Umum
harus tegas ketika melakukan verifikasi. Kalau dengan mudah partai politik
lolos, Pemilu 2019 akan menjadi yang paling riuh. Bisa riuh dengan rusuh,
syukur kalau riuh dengan banyolan.
Betul kita sudah biasa dengan pemilu banyak
partai. Pemilu pada awal masa reformasi 1999 diikuti 48 partai. Pemilu 2004
mengusung 24 partai, Pemilu 2009 naik lagi 38 partai, dan Pemilu 2014 dengan
12 partai. Namun Pemilu 2019 memiliki format berbeda. Ada keputusan Mahkamah
Konstitusi, kecuali jika diuji lagi, bahwa Pemilu 2019 berlangsung serentak
dengan pemilihan presiden dan mengacu ke Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang sudah
diamendemen. "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum".
Jadi setiap partai bisa mengajukannya asal lolos dalam verifikasi KPU untuk
menjadi peserta pemilu.
Partai besar mungkin berkoalisi karena mereka
serius, tapi sulit menggandeng partai baru yang tak jelas. Sedangkan partai
baru yang terjangkiti euforia sensasional justru memanfaatkan format pemilu
serentak ini. Maka, bisa ada puluhan calon presiden di republik ini. Luar
biasa riuh, juga membingungkan, kecuali dianggap dagelan lima tahun sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar