Deflasi
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN SINDO, 26
Mei 2016
Minggu-minggu ini
negara kita sedang dilanda euforia deflasi. Di mana-mana harga sejumlah
komoditas bergerak turun.
Harga beras turun,
begitu pula dengan harga cabai dan bawang merah. Juga harga BBM ikut bergerak
turun sehingga menurunkan biaya logistik dan distribusi barang. Ini pada
gilirannya juga berperan dalam penurunan harga sejumlah komoditas. Tapi ini
bukan masalah sederhana, menjelang Idul Fitri lonjakan demand biasanya
mengubah peta harga.
Deflasi adalah istilah
untuk menggambarkan inflasi negatif (negative
inflation). Kalau inflasi artinya harga-harga barang dan jasa bergerak
naik, deflasi sebaliknya. Harga-harga malah turun.
Euforia ini tecermin
dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang April 2016, deflasi mencapai
0,45% atau terbesar sejak 2000. Ada tiga kelompok pengeluaran yang menurun
harganya. Mereka adalah kelompok bahan makanan yang harga rata-ratanya turun
0,94%. Lalu kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (turun
0,13%) serta sektor transportasi, komunikasi, dan keuangan (1,6%).
Kita yang berada di
Jakarta dan beberapa kota lainnya tentu ikut merasakannya. Harga layanan
transportasi, misalnya, sedang bergerak turun. Ini karena peran teknologi,
khususnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT, information & communication
technology) yang memungkinkan hadirnya layanan transportasi berbasis
aplikasi, seperti GoJek, GrabBike atau Uber Taxi dan Grab Car. Setidaknya
mereka telah berhasil memaksa tarif taksi konvensional ikut permainan mereka,
harganya ikut-ikutan turun.
Memang belum semua
harga pangan turun. Kini pemerintah kita masih habis-habisan berupaya
menurunkan harga daging sapi. Sekarang harganya masih sekitar Rp120.000 per
kilogram, sementara pemerintah berharap harganya bisa turun menjadi Rp80.000
per kilogram.
Bukan pekerjaan yang
mudah mengingat sebentar lagi kita bakal memasuki bulan Puasa dan disusul
dengan Lebaran. Apalagi perilaku masyarakat kita terbilang aneh. Di saat
bulan puasa, konsumsi malah meningkat. Bukan sebaliknya.
Sementara, di sisi
lain, untuk menurunkan harga pemerintah masih saja memakai cara-cara lama,
yakni mengerahkan aparat penegak hukum untuk sweeping para pedagang sapi dan perusahaan-perusahaan penggemukan
sapi. Apakah mereka melakukan spekulasi– dengan menahan menjual sapi– atau
tidak? Jadi bukan menghadapinya dengan mekanisme pasar. Itu potret deflasi
dari sisi ekonomi.
Zero Marginal Cost
Kini saya akan mengajak
Anda melihat deflasi dari sudut pandang yang lebih luas. Karl Max sejak dulu
mencoba mencari tahu apa yang menjadi faktor pemicu majunya Perekonomian
kapitalis– faktor yang suatu saat malah bakal memukul balik, menghancurkan
ekonomi kapitalis.
Sayangnya ketika itu
pencarian Karl Max terpusat pada kaitan antara alat-alat produksi, nilai
tambah, dan penggunaan tenaga kerja asing. Ia belum menyingkap lebih jauh ke
jantung dari sistem kapitalis. Dalam sistem perekonomian kapitalis kita
mengenal istilah invisible hands
atau tangan-tangan tak tampak yang mengendalikan pasar.
Dalam sistem
perekonomian ini para produsen selalu mencari teknologi baru yang bertujuan
melakukan efisiensi serta meningkatkan produksi barang dan jasa. Ini pada akhirnya membuat biaya menjadi
lebih murah sehingga harga-harga barang dan jasa tersebut lebih kompetitif.
Lebih mampu bersaing di pasar dibandingkan dengan para kompetitornya. Jadi
mereka pikir, pemerintah tak usah banyak ikut campurlah. Nanti keseimbangan akan
hadir sendiri kalau syarat-syaratnya terpenuhi.
Anda tahu, harga yang
murah akan lebih cepat merebut hati konsumen.
Lalu, dengan biaya
produksi yang lebih rendah, para pemodal bakal lebih senang. Ada profit yang
cukup besar di situ.
Jeremy Rifkin bahkan
memprediksi upaya tersebut sampai ke titik ekstrem yang disebutnya dengan
istilah zero marginal cost society.
Maksudnya, biaya marginal untuk memproduksi bahkan mendekati titik nol.
Mungkinkah kondisi tersebut tercapai?
Mungkin saja. Kita
tengah menyaksikannya sejak beberapa tahun terakhir. Di industri
telekomunikasi, misalnya, para operator bersaing gila-gilaan dengan tarif
Rp0. Kita menyebutnya dengan istilah freemium. Kualitas layanannya premium,
tapi tarifnya free . Jadi, freemium.
Kondisi zero marginal cost society belum
berhenti sampai di situ. Ia masih bergulir. Misalnya masyarakat yang selama
ini selalu menjadi konsumen, kini berubah dengan ikut menjadi produsen.
Fenomena ini kita kenal dengan istilah prosumen.
Contohnya banyak. Dulu
masyarakat kita selalu menjadi konsumen berita yang dihasilkan berbagai
media. Kini mereka tak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen. Ketika
menyaksikan suatu peristiwa yang dianggap penting–ledakan bom, aksi demo,
kebakaran, kecelakaan, dan sebagainya–mereka tak segan-segan membagikan
informasi tersebut melalui media sosial. Orang lain jadi tahu dan bisa
mengambil langkah-langkah antisipasi.
Dulu kita mengoleksi
ensiklopedia. Harganya mahal. Kini tidak lagi. Ada Wikipedia yang menggantikannya
dengan biaya yang boleh dibilang nol!
Perusahaan sekelas
Microsoft menjadi kaya raya berkat rezim copyright.
Tapi sejak beberapa tahun belakangan mereka berdebar-debar dengan hadirnya software yang tidak berbayar. Software ini dikembangkan secara keroyokan
oleh para penganut rezim copyleft.
Fenomena keroyokan
inilah yang menyelamatkan perusahaan tambang asal Kanada, GoldCorp.
Perusahaan ini memiliki peta cadangan emas di perut bumi, tetapi para
geolognya tak mampu menaksir secara persis seberapa besar volumenya. Kondisi
semacam ini membuat GoldCorp terjerat dalam kesulitan dan bahkan terancam
bangkrut.
Lalu, apa solusinya?
CEO GoldCorp, Rob McEwen, akhirnya membuka kesempatan kepada masyarakat luas
untuk menafsirkan peta tersebut. Melalui internet, ribuan orang memberikan
masukan. Akhirnya cadangan emas tersebut pun berhasil dihitung. Kondisi ini
membuat GoldCorp selamat dari ancaman kebangkrutan dan kembali berjaya.
Deflasi Keblinger
Apa yang bisa kita
simpulkan dari beberapa kasus tadi? Jelas, teknologi–termasuk ICT–memainkan
peran penting bagi terciptanya zero
marginal cost society. Dunia kita sekarang ini sedang terus bergerak ke
arah sana. Menjadi semakin efisien dan semakin murah. Inilah pemicu
terjadinya deflasi di mana-mana. Harga sewa mobil turun, tarif hotel menjadi
lebih murah, begitu pula dengan harga-harga komoditas lainnya.
Sayangnya di negara
kita deflasi juga terjadi di pengadilan– meski dalam konotasi yang negatif.
Kita sudah lama mendengar istilah mafia peradilan. Para mafia ini berperan
mengatur jalannya proses persidangan sehingga hasilnya sesuai dengan
keinginan si pengguna jasa.
Untuk itu para mafia
ini bisa mengatur siapa saja hakim yang bakal menyidangkan perkara tersebut.
Mereka tentu akan memilih hakim-hakim yang ada dalam ”genggaman”. Intinya
hakim yang bisa disuap.
Ini yang celaka,
deflasi juga berlaku di sana. Banyak yang berbisik ke saya, tarif suap hakim
makin lama makin turun. Makin murah. Contohnya hakim tipikor di Bengkulu yang
dicokok KPK dalam operasi tangkap tangan, tarifnya ternyata ”hanya” Rp150
juta.
Kita mau deflasi
terjadi di pengadilan, tetapi bukan deflasi yang itu. Kita mau biaya
beperkara di pengadilan menjadi semakin murah. Apalagi kalau ditambah semakin
cepat dan semakin pasti. Bukan sebaliknya, ”tarif” hakimnya yang semakin
murah. Ini jelas deflasi yang keblinger dan salah urus!
Sampai di sini, kita
jadi bertanya-tanya: apa mungkin tangan-tangan tak kelihatan bisa bekerja
dengan baik untuk membuat sistem yang adil dan menyejahterakan ini bisa hidup
di negeri kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar