Misteri Pemimpin Politik
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN SINDO, 20
Mei 2016
Dalam beberapa hari
belakangan kita membaca berbagai peristiwa kepemimpinan politik. Di Filipina
Rodrigo Duterte (71 tahun) personalitasnya mengalahkan yang lain dalam
kontestasi presiden.
Di Brasil, Presiden
Dilma Rousseff (69 tahun) di ambang kejatuhannya di mana Senat sudah
memutuskan memberhentikan sementara. Di Inggris, Sadiq Khan (45 tahun)
terpilih sebagai wali kota muslim pertama kali Kota London. Di Amerika
Serikat (AS) mengemuka fenomena calon presiden dari Partai Republik Donald
Trump (70 tahun) yang kerap berkatakata vulgar dan kontroversial.
Apa yang bias kita
catat dari fenomena mereka? Dari segi usia hanya Sadiq Khan yang paling muda.
Yang lain rata-rata 70 tahun. Di AS, Bernard ”Bernie” Sanders, kandidat dari
Partai Demokrat, lebih tua lagi ketimbang Trump, 75 tahun. Ia bersaing ketat
dengan Hillary Clinton, 69 tahun. Rupanya, di Amerika kini calon tualah yang
menjadi tren. Juga di Filipina, Duterte tentu tak muda lagi.
Tapi, begitulah politik,
usia tuaataumuda tergantung konteksnya. Pasar politiklah yang menentukan.
Melihat nama-nama di atas, rupanya personalitas menjadi kata kunci yang tak
terpungkiri. Duterte di Filipina dijuluki ”Donald Trump” dari Timur.
Personalitasnya menarik perhatian, justru karena kontroversial. Dari rekam
jejaknya, publik Filipina menempatkannya sebagai sosok yang unik.
Sebagaimana Jokowi di
Indonesia, Duterte mampu memanfaatkan keberhasilannya sebagai wali kota.
Duterte sebelumnya wali Kota Davao, kota terbesar di Pulau Mindanao. Duterte
mampu menjadikan fenomena Davao sebagai daya tarik pemilih. Dalam kampanyenya
ia secara hiperbolis mengatakan telah menjadikan Davao dari kota yang
dihantui pembunuh-pembunuh jalanan menjadi kota yang bersih dan teratur, bak
Singapura. Dalam isu ekonomi, layaknya politisi populis, ia menjanjikan
pemerataan pembangunan dan antikemiskinan.
Menangnya Duterte
sesungguhnya mengingatkan kita pada Presiden Estrada masa lalu. Keduanya
sama-sama mengesankan dirinya sebagai jagoan pemberantas kejahatan.
Menjelaskan kemenangan Duterte karenanya sangat lekat dengan perspektif
populisme politik. Ia menambah daftar panjang tren populisme politik di Asia
Tenggara pasca-Thaksin Shinawatra di Thailand dan Joko Widodo di Indonesia.
Hadirnya Rousseff di Brasil pun tak lepas dari perspektif tersebut.
Ia politisi perempuan
yang populis. Ia punya massa riil yang cukup fanatik. Ia terpilih sebagai
presiden sejak 2011. Popularitasnya terawat hingga mengemukanya protes
besar-besaran skandal Petrosbras yang menyeret namanya. Kalaupun Rousseff
jatuh dalam arti bukan lagi diberhentikan sementara, tapi diberhentikan
secara formal, apakah pemerintahanbarukelakakanlebih baik? Tergantung
kebijakan yang diambil dan dukungan publik terhadapnya.
Publik yang terpecah
mungkin akan memengaruhi jalannya pemerintahan, sebagaimana Thailand pasca-Thaksin
yang sempat menggejolak. Inipenting, untukdilihat ke depan karena massa
Rousseff berjanji tidak akan membuat pemerintah baru tenang dalam menjalankan
pemerintahannya. Mereka belum bisa benar-benar ”legawa”. Bagaimana dengan
Sadiq Khan?
Sebagaimana Duterte,
ia juga mengejutkan. Hanya, konteksnya lain. Khan lebih banyak diberitakan
sebagai fenomena ”minoritas” yang memimpin ”mayoritas”. Khan seorang muslim,
bagian minoritas dari warga London. Ia segera mengingatkan Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok), sosok Tionghoa beragama Kristen yang memimpin Jakarta.
Kendatipun demikian, konteksnya masing-masing, bagaimana Khan dan Ahok
berproses, tak lepas dari dinamika masyarakatnya.
Khan, menariknya,
terpilih justru di tengah fenomena ”muslim jadi sorotan” di Barat.
Negara-negara Eropa tengah kebanjiran pengungsi muslim dari berbagai ”negara
gagal” di Timur Tengah dan Afrika Utara. Jauh sebelumnya, mereka sensitif
dengan isu terorisme pasca- berbagai serangan bom, termasuk yang terjadi di
Paris sebagai jantung Eropa. Khan ialah perkecualian. Ia memosisikan diri
sebagai, apa yang ditulis majalah Time (edisi 23 Mei 2016), ”antidote” atau
penangkal ekstremisme Islam. Para sosok yang terpilih itu tak lepas dari
lingkungan politik dan tantangannya.
Mereka semua
dihadapkan pada proses menjadi pemimpin. Ada yang belum tentu terpilih dan
masih dalam tahap bertanding sebagaimana dialami Trump, Clinton, hingga
Sanders di Amerika. Ada pula yang secara fenomenal telah terpilih seperti
Duterte dan Khan. Ada yang tinggal ”menunggu hari kejatuhannya”, sebagaimana
dialami oleh Rousseff. Begitulah ”cakramanggilingan” alias putaran roda
kepemimpinan politik. Pemimpin datang dan pergi silih berganti, memang
demikianlah yang menghiasi lembaran-lembaran berita di surat kabar.
Dalam perspektif
kepemimpinan politik, sering ada yang mengaitkan faktor adikodrati bahwa
hadirnya mereka tak sekadar ditentukan oleh pasar politik, tetapi juga faktor
”di luar kekuasaan manusia”. Konsep karisma dalam pandangan Max Weber
mengakomodasi konteks adikodrati itu. Personalitas barangkali bisa dipermak
di lembaga-lembaga pencitraan, tetapi isu sekadar untuk memunculkan ”karisma
buatan”, bukan otentik.
Karisma otentik lebih
dekat dengan dimensi adikodrati tersebut. Namun, di alam realitas apakah
pemimpin berkarisma buatan atau otentik, ia akan diuji oleh kebijakan,
termasuk di dalamnya masalah integritas. Kasus Rousseff mengingatkan semua
pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar