Rabu, 29 Februari 2012

Jurnal Ilmiah Vs Dosen Ideal


Jurnal Ilmiah Vs Dosen Ideal
Bramastia, MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 29 Februari 2012



Kebijakan Dirjen Dikti melalui surat kepu tusan Kemendikbud No 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 me ngenai publikasi karya ilmiah membuat tantangan mahasiswa untuk lulus dari universitas semakin besar. Surat yang ditujukan kepada seluruh rektor PTN/PTS di Indonesia ini mensyaratkan ketentuan tambahan untuk lulus wisuda bagi mahasiswa, baik level sarjana atau pascasarjana, yang harus menghasilkan makalah yang diterbitkan menjadi jurnal ilmiah.

Surat keputusan Dirjen Dikti ini memuat berbagai persyaratan, antara lain, untuk lulus progam S1 harus menghasilkan makalah yang terbit dalam jurnal ilmiah, untuk lulus progam S2 harus menerbitkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti, dan untuk lulus progam S3 diwajibkan membuat makalah yang diterima pada penerbitan jurnal ilmiah internasional. Ironisnya, mahasiswa merasa terbebani dengan kebijakan tersebut. Akibatnya, kebijakan penerbitan jurnal ilmiah menjadi tanggung jawab mahasiswa. Lalu, bagaimana tanggung jawab dosen? Siapkah para dosen kita?
 
Tragedi dosen Terkadang, penulis sedih mendengar ledekan istilah `dosen' yang diplesetkan menjadi bukune sak kerdus, duite sak sen (bukunya satu kardus, uangnya satu sen). Mengapa demikian? Karena konon, gaji mengajar seorang seorang dosen di perguruan tinggi (PT) masih dirasakan sangat kecil dan tidak sebanding dengan apa yang diperas dari otak untuk mengajar mahasiswa.

Akibatnya, sosok dosen lantas hanya sebatas melaksanakan kewajiban di kegiatan belajar mengajar di kampus saja, dan selebihnya keluar mencari sampingan bisnis. Data Badan Akreditasi Na sional (BAN) menyebutkan, hanya 15 persen dari 220 ribu orang pengajar yang layak untuk menyandang status sebagai dosen.

Idealnya, dosen dituntut untuk mau melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dengan beban kerja paling sedikit 12 (dua belas) SKS dan paling banyak 16 (enam belas) SKS pada setiap semesternya. Untuk beban kerja pendidikan dan penelitian, paling sedikit sembilang SKS yang dilaksanakan di PT yang bersangkutan. Dan, beban kerja pengabdian kepada masyarakat dapat dilaksanakan melalui kegiatan pengabdian ke masyarakat yang diselenggarakan PT yang bersangkutan pula atau melalui lembaga lain.

Rendahnya kelayakan status bagi seorang dosen perlu menjadi keprihatinan PT di Indonesia. Karena idealnya, seorang dosen harus mengacu kepada Ekuivalensi Waktu Mengajar Penuh (EWMP) yang setara dengan 38 jam setiap minggu. Jika dirinci, kinerja 12 SKS tiap semester harus tersebar ke beberapa aktivitas, yaitu aspek pendidikan dua sampai delapan SKS, penelitian dan pengembangan ilmu 2-6 SKS, pengabdian pada masyarakat satu sampai enam SKS, pembinaan sivitas akademika satu sampai empat SKS, serta administrasi dan manajemen nol sampai tiga SKS sebagaimana termuat dalam Keputusan Dirjen Dikti No 48/DJ/Kep/1983 Pasal 3 ayat 1.
 
Dosen kompeten Dosen sebagai figur seorang pendidik di PT, dituntut punya banyak pengalaman guna mengembangkan kompetensi pendidikan. Minimal, sebanyak lima `ayat' konsep pengembangan kompetensi pendidikan ideal bagi seorang dosen. Pertama, dosen harus selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara pribadi, baik diminta maupun tidak. Hampir semua PT saat ini memo tivasi serta memacu dosen mau mengupgrade diri agar meningkatkan kemampuan personal.

Kedua, dosen harus senantiasa meningkatkan kualitas proses belajarmengajarnya kepada mahasiswa. Untuk meningkatkan kualitas proses belajarmengajar, dosen perlu didorong mengikuti dan berpartisipasi dalam kegiatan seminar, baik skala regional, nasional, dan internasional.

Ketiga, dosen harus mencapai gelar akademik yang tertinggi. Kebijakan tentang akreditasi telah membuat PT mengharuskan dosen untuk segera menempuh studi lanjut hingga strata tiga.
Tentunya, diharapkan mahasiswa strata satu diajar oleh dosen dengan jenjang pendidikan strata dua dan strata tiga, serta mahasiswa strata dua diajar dosen dengan jenjang pendidikan strata tiga atau guru besar.

Keempat, dosen harus terus dipacu agar produktif dalam melakukan penelitian. Berdasarkan data dari Dikti, kontribusi ilmuwan Indonesia dalam pengembangan keilmuan hanya 0,012 persen dan jauh di bawah Singapura dengan 0,179 persen serta Amerika yang dapat mencapai 25 persen. Bahkan, jumlah jurnal yang dipublikasikan Indonesia pada 2004 hanya 371, padahal, Malaysia 700 jurnal, Thailand (2.125), dan Singapura (3.086).

Kelima, memacu dosen untuk melakukan pengabdian masyarakat. Seorang dosen harus mampu dan berani terjun memberikan pencerahan kepada masyarakat. Nilai pengabdian kepada masyarakat menjadi aplikasi teoretis yang sebelumnya diperoleh dalam bangku kampus. Hal ini penting untuk mengukur kompetensi nilai di lapangannya dari seorang dosen. Adanya kebijakan tentang publikasi karya ilmiah tidak hanya menjadi beban mahasiswa, tetapi juga menjadi tanggung jawab dosen. ●

Opsi Menaikkan Harga BBM


Opsi Menaikkan Harga BBM
Ahan Syahrul Arifin, MAHASISWA PASCASARJANA FE UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : REPUBLIKA, 29 Februari 2012



Kepastian kenaikan BBM disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat sidang kabinet pada 22 Februari 2012. Rencana ini tentu membatalkan rencana pemerintah sebelumnya, yaitu pembatasan BBM subsidi yang diberlakukan di Jawa dan Bali mulai 1 April 2012. Lalu, dilanjutkan pada 2013 dan 2014 yang diperluas ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Tak dapat dipungkiri, langkah ini merupakan pilihan terbaik melihat kenaikan harga minyak dunia yang sudah mencapai 105,26 dolar AS per barel dan diperkirakan sedang menuju 150 dolar AS per barel. Hal ini diakibatkan penghentian penjualan minyak Iran. Kebijakan menaikkan harga lebih tepat walaupun cenderung menunjukkan kalau pemerintah plin-plan dalam menerapkan kebijakan BBM, mengingat Indonesia sudah menjadi negeri pengimpor minyak dan beratnya beban APBN.

Pastinya, konsekuensi dari kenaikan BBM akan berimbas pada kenaikan harga barang, dilanjutkan dengan menurunnya daya beli masyarakat, tumbuhnya pengangguran, dan meningkatnya kembali kemiskinan. Saat ini, memang angka kemiskinan terlihat semakin menurun, dari 30,02 juta orang atau 12,49 persen pada Maret 2011 menjadi 29,89 juta orang atau 12,36 persen pada September 2011(BPS,2012).

Namun, pemerintah juga tidak bisa melupakan bahwa penduduk yang masuk golongan rentan miskin atau di atas sedikit garis kemiskinan kurang lebih hampir sama dengan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sesungguhnya sangat rentan kembali miskin bila terjadi gejolak ekonomi.

Nah, efek dari kenaikan BBM inilah yang mestinya penting diperhatikan pemerintah, tidak sekadar dengan menelurkan kebijakan instan seperti BLT.
Pemerintah sangat perlu berupaya untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat hingga insentif buat sopir.

Transportasi dan Subsidi

Kembali pada soal subsidi BBM, sebetulnya yang urgent dilakukan pemerintah dalam jangka pendek adalah membenahi sektor transportasi. Mengapa? Kita selama ini mendapat informasi bahwa besarnya tanggungan APBN terhadap subsidi BBM yang terus membengkak membebani biaya pembangunan.

Data dari sumber APBN menyebutkan, pembatasan setelah tahun anggaran 2011 menunjukkan, volume BBM bersubsidi mengalami pembengkakan anggaran sebesar Rp 30,3 triliun pada 2011. Di mana realisasinya mencapai 41,69 juta kiloliter. Dengan demikian, realisasi konsumsi bahan bakar bersubsidi mencapai 103 persen dari kuota dalam APBN Perubahan 2011 yang ditetapkan pada level 40,36 juta kiloliter. Maka, pada APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,6 triliun dengan kuota 40 juta kiloliter.

Pertanyaannya, mengapa beban subsidi terus membengkak? Adakah yang salah dalam skemanya ataukah sistem transportasi publik kita? Inilah yang sebenarnya lebih penting diselesaikan terlebih dahulu.

Pada tahun lalu, fakta penjualan motor tercatat hingga mencapai sekitar delapan juta unit, meningkat pesat dari dari 2010 yang hanya 7,3 juta unit. Bahkan, pada tahun ini, diprediksi penjualan motor akan genap mencapai 8,4 juta unit.
Tren ini akan semakin meningkat bila pemerintah juga gagal dalam menyediakan layanan transportasi berbasis angkutan massal yang memadai. Padahal, selama ini, sekitar 65 persen konsumsi BBM diserap oleh penggunan motor.

Inilah sebenarnya yang menjadi masalah, yakni soal amburadulnya sistem transpotasi kita. Karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membenahi tata kelola transportasi publik. Perlu pengaturan yang jelas terhadap jumlah kendaraan bermotor dan mobil sambil membenahi layanan angkutan massal. Tanpa mengubah tata kelola transportasi, kita akan selalu kesulitan untuk mengatasi melonjaknya penggunaan BBM. 
Berapa pun anggaran subsidi yang dianggarkan, bakal terus membebani belanja negara.

Berpindah ke Gas

Skema jangka panjang pemerintah rasanya perlu mencari solusi bagi ketahanan energi terutama dalam soal perminyakan. Sebagaimana diketahui, produksi minyak Indonesia semakin menurun bahkan kita sudah menjadi impotir minyak. Pada 1998, produksi minyak masih sekitar 1,5 juta barel per hari. Pada 2011, menurut catatan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), produksi minyak nasinonal hanya sebesar 903.441 barel per hari. Angka tersebut berada di bawah angka produksi pada 2010 sebesar 944.898 barel per hari. Jauh semakin menurun dari target produksi 945 ribu barel per hari.

Diprediksi, angkanya akan terus menurun. Sejatinya pemerintah mesti tanggap dan segera merespons persoalan ini. Menggantungkan diri terus pada minyak sebagai bahan bakar terasa akan sangat berat apalagi melihat harga minyak dunia yang sering tidak terkendali. Pembatasan maupun pengalihan sebetulnya merupakan paradigma yang salah kaprah karena kita akan mengandalkan ketahanan energi dari impor.

Karena itulah, sudah saatnya pemerintah serius memanfaatkan gas untuk bahan bakar kendaraan. Mengapa mesti gas? Pertama, tentu untuk mengurangi ketergantungan kita pada impor minyak. Apalagi, harga komoditas minyak selalu tergantung pada faktor geopolitik. Dalam sejarahnya, harga komoditas minyak bisa melonjak hingga 400 persen. Kondisi seperti itu terjadi kala perseteruan Israel dengan negara-negara Arab meletus pada 1973/1974. Saat itu, harga minyak melambung dari tiga dolar AS per barel menjadi 12 dolar AS per barel. Selanjutnya, pada saat Revolusi Iran pada 1979, harga minyak dunia melonjak sekitar 300 persen dari sekitar 12 dolar AS ke 35 dolar AS per barel.

Faktor geopolitik yang sangat berpengaruh terhadap harga minyak tentu akan sangat memberatkan industri-industri di Tanah Air. Sebab, diduga harga minyak bisa kembali melonjak tak terhingga jika konflik Iran dan AS buntu.

Kedua, peralihan ke bahan bakar gas (BBG) menjadi sangat niscaya disebabkan cadangan gas Indonesia yang masih dapat dipergunakan untuk jangka waktu 90 tahun mendatang. Penggunaan BBG diyakini selain lebih murah dan hemat juga ramah lingkungan. Efisien dalam harga dan higienis dalam penggunaan, begitu kira-kira ujaran yang tepat untuk BBG. Pemerintah kiranya perlu untuk berpikir lebih cepat dalam menyusun dan merumuskan termasuk penyiapan SPBG hingga converter kit. ●

Memangkas Inferioritas Migas


Memangkas Inferioritas Migas
Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
Sumber : KORAN TEMPO, 29 Februari 2012



Di sektor energi, tahun "layak investasi" 2012 sebaiknya dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan untuk meningkatkan ketahanan minyak dan gas bumi nasional dari hulu hingga ke hilir. Inilah waktu yang tepat untuk memangkas "ketidakberdayaan" atau "inferioritas" negara atas sumber daya migas agar lebih superior, sekaligus memperbaiki iklim usaha untuk kenyamanan dan keuntungan para investor yang berniat menanamkan modalnya di bumi Indonesia, khususnya di tataran migas. Kita sambut rencana Amerika Serikat untuk segera menambah investasi migas US$ 25 miliar, setelah Fitch dan Moody menaikkan rating investasi Indonesia (11 Februari).

Sektor Hulu

Di sisi hulu, selain keharusan menggalakkan kegiatan kebumian melalui eksplorasi dan eksploitasi, untuk mulai memangkas inferioritas, pemerintah dapat memulai dari penyempurnaan kontrak production sharing (PSC) yang baru. Bila dipandang perlu, dapat dipertimbangkan pemberian insentif sebagai bentuk kompensasi penyempurnaan PSC.

Seperti dimaklumi, sejak menjadi negara net pengimpor minyak pada 2004, Indonesia membutuhkan penguasaan volume migas yang lebih berdaulat di dalam negeri. Penguasaan volume migas yang selama ini diserahkan ke tangan kontraktor perlu dipertimbangkan kembali tanpa merugikan kontraktor.

Tahun 2012 adalah saat yang tepat untuk mengadakan penyempurnaan kontrak guna menjawab kebutuhan bangsa, terutama setelah Indonesia menjadi negara net pengimpor minyak dan bersiap menghadapi perubahan sosial-ekonomi yang radikal di masa depan.

Ramalan para ahli, pendapatan per kapita Indonesia bisa menembus US$ 10 ribu pada 2016-2017, naik dibanding saat ini yang sudah mencapai US$ 3,542. Pertumbuhan ekonomi, yang ditunjang oleh kondisi lainnya, seperti peningkatan jumlah penduduk dan belum berkembangnya energi "baru dan terbarukan", akan menggiring kebutuhan impor minyak mentah serta bahan bahan bakar minyak yang lebih dahsyat. Para analis meramalkan Indonesia berpotensi menjadi negara "pengimpor terbesar keempat" di Asia, setelah Cina, India, dan Jepang (Zuhdi Pane). Masalah geopolitik, seperti krisis Selat Hormuz, menjadi sinyal buruk bagi ketahanan energi Indonesia di masa depan.

Salah satu ketentuan kontrak yang perlu disempurnakan adalah terkait dengan pemberian kewenangan kepada kontraktor untuk memasarkan minyak bagian pemerintah. Selama ini kontraktor diberi hak dan kebebasan mengekspor seluruh volume minyak bumi bagian kontraktor serta pemerintah. Apabila pemerintah memilih mengambil bagiannya dalam bentuk minyak (natura), pemerintah harus "melapor" kepada kontraktor secara tertulis paling lambat 90 hari sebelum awal semester dengan menyebutkan jumlah yang diminta (Bab VI.2, PSC). Kondisi ini membuat kontraktor menjadi superior, sebaliknya Indonesia menjadi inferior.

Pada waktu Indonesia masih menjadi negara net pengekspor minyak, ketentuan tersebut tidak menjadi masalah, bahkan menguntungkan pemerintah. Namun, setelah lifting cenderung menurun dan Indonesia membutuhkan volume minyak dan BBM di dalam negeri yang semakin banyak, ketentuan tersebut berbalik memberatkan, bahkan cenderung merugikan Indonesia, terutama terkait dengan semakin besarnya volume impor dari luar negeri. Pada 2011, Indonesia mengimpor minyak mentah 400 ribu barel per hari dan produk BBM 400 ribu barel per hari. Posisi ini menjadikan Indonesia sangat inferior terhadap kontraktor migas.

Untuk kontrak-kontrak baru, disarankan ketentuan ini dibalik, bukan kontraktor, tapi Indonesia (dalam hal ini Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang mempunyai kewenangan serta hak memasarkan seluruh volume hasil produksi minyak bumi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan BP Migas akan membayar seluruh kewajiban pemerintah, yaitu hak bagi hasil kontraktor serta pengembalian biaya operasi dalam bentuk uang (cash, bukan volume) tanpa sedikit pun merugikan kontraktor dengan basis harga pasar atau Indonesian Crude Price yang disepakati bersama. Bila ketentuan ini dipandang kurang menarik bagi kontraktor, hasil produksi bagian kontraktor (split) boleh diambil dalam bentuk natura (minyak) dan boleh diekspor.

Ketentuan kontrak kedua yang perlu disempurnakan menyangkut pembayaran biaya operasi atau lazim disebut cost recovery, yakni kontraktor akan memperoleh penggantian biaya operasi (cost recovery) dalam bentuk volume migas yang diproduksi dari lapangan terkait (Bab VI.1, PSC). Ketentuan ini pada waktu Indonesia masih menjadi net pengekspor tidak menjadi masalah, bahkan kontraktor turut membantu memasarkan minyak bagian pemerintah. Namun, setelah Indonesia menjadi negara net pengimpor, ketentuan ini menjerat Indonesia menjadi kurang berdaulat terhadap volume minyak domestik. Konsekuensinya adalah ketergantungan impor yang semakin besar, sedangkan separuh volume lifting diekspor oleh kontraktor, dan bila Indonesia berniat membeli kembali volume domestik tersebut, kontraktor akan melepas dengan harga tinggi (premium). Ketentuan ini memberi kesempatan kepada kontraktor memburu rente dari pengembalian biaya operasi.

Biaya operasi migas di Indonesia US$ 12-13 miliar setahun. Volume minyak bumi yang diserahkan ke tangan kontraktor sebagai pengganti biaya operasi sekitar sepertiga dari lifting minyak atau sekitar 300 ribu barel per hari. Apabila volume sebanyak itu dapat ditahan di dalam negeri untuk bahan baku kilang domestik, inferioritas migas berkurang karena adanya jaminan tambahan volume yang akan meningkatkan ketahanan energi dan berkurangnya ketergantungan impor.

Sektor Hilir

Bersyukur Indonesia belum pernah mengalami krisis energi berskala nasional. Katastropi sekelas tsunami Aceh tidak menyebabkan kelumpuhan nasional akibat krisis energi, terutama BBM. Bencana alam berkali-kali terjadi, tapi Indonesia mampu bertahan karena keran impor masih terbuka lebar. Namun, di masa mendatang, Indonesia tidak boleh terlena. Volume impor cenderung semakin besar dan pergolakan geopolitik bergeser menjadi ancaman negara-negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Dunia tidak pernah sepi dari pergolakan geopolitik yang berpotensi mengancam kelancaran impor minyak, terutama dari wilayah Timur Tengah, contohnya krisis Selat Hormuz.

Di sisi hilir, inferioritas migas yang utama adalah Indonesia belum memiliki "cadangan strategis nasional" yang terstruktur. Selama ini pemerintah menugasi Pertamina mengelola stok atau cadangan darurat yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun cadangan darurat itu sifatnya hanya berupa inventori dan hanya mampu mengatasi situasi darurat selama 22 hari konsumsi. Upaya menambah volume cadangan strategis membutuhkan biaya yang sangat mahal untuk membangun infrastruktur, seperti tangki-tangki penimbunan, jaringan pipa, serta pembelian volume minyak mentah dan BBM.

Disarankan agar pemerintah, dalam hal ini BP Migas, segera membangun cadangan strategis nasional yang lebih terstruktur dan terukur. Pertamina boleh saja ditunjuk sebagai pelaksana di lapangan, tapi strategi, pengendalian, pengawasan, dan anggaran harus ditangani pemerintah. Pada tahap awal, cadangan strategis sebaiknya ditingkatkan dari 22 hari menjadi 30 hari, kemudian secara bertahap ditingkatkan paling sedikit cukup untuk menanggulangi krisis selama 60 hari. Sebagai perbandingan, Jepang menguasai cadangan strategis cukup untuk 120 hari impor.

Sumber inferioritas hilir lainnya adalah belum terpenuhinya penambahan kilang domestik yang sangat dibutuhkan. Diharapkan, hingga akhir 2015 Indonesia memiliki tambahan tiga kilang baru dengan total kapasitas 600-900 ribu barel BBM per hari. Namun, sejak 1998, belum ada investor yang bersedia membangun kilang karena margin kilang dianggap terlalu kecil. Para investor cenderung menuntut insentif kepada pemerintah, terutama bila investor tersebut diwajibkan juga mendatangkan minyak mentah sebagai bahan baku kilang karena produksi minyak mentah domestik tidak mencukupi.

Pada tahun "layak investasi" 2012, diharapkan Indonesia dapat menawarkan insentif fiskal dan kompensasi yang menarik, baik di sektor hulu maupun sektor hilir, serta kemudahan nonteknis yang bersifat "lintas sektor" kepada calon investor, seperti masalah perpajakan, lahan, birokrasi, perizinan, dan otonomi daerah. Ketahanan migas ibarat mata uang dengan dua sisi, sisi hulu dan sisi hilir. Keduanya harus superior untuk menunjang ketahanan energi nasional. ●

Sulitkah Membudayakan Hemat Energi?


Sulitkah Membudayakan Hemat Energi?
Erkata Yandri, PERISET PADA SOLAR ENERGY RESEARCH GROUP,
KANAGAWA INSTITUTE OF TECHNOLOGY, JEPANG
Sumber : KORAN TEMPO, 29 Februari 2012



Tidak bisa dimungkiri, masalah energi adalah hot topic bagi pemerintah. Kebijakan subsidi energi yang dianut saat ini sudah sangat membebani keuangan negara. Tahun lalu subsidi energi sudah menembus angka fantastis Rp 250 triliun, dengan Rp 160 triliun khusus untuk bahan bakar minyak saja. Menyadari bahwa skenario menaikkan tarif dasar listrik dan harga BBM sangat sensitif, maka Susilo Bambang Yudhoyono pun melirik opsi lain dengan mengajak rakyatnya menghemat energi.

Hal itu diungkapkannya pada peresmian tiga proyek pembangkit listrik tenaga uap di pengujung 2011. Mungkin ajakan SBY itu ada hubungannya dengan sosialisasi Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang penghematan energi, yang tujuan sebenarnya diarahkan untuk lingkup internal instansi pemerintah. Prosedur dan mekanismenya disusun oleh stafnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia. Jika sukses, nantinya akan diajarkan kepada masyarakat luas. Sebelumnya sudah pernah ada juga inpres serupa, yaitu Nomor 10 Tahun 2005 dan Nomor 2 Tahun 2008.

Belum lama ini, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan menginformasikan bahwa tahun lalu tercapai penghematan listrik dan air 7-10 persen, setara dengan Rp 12-14 triliun. Walaupun pencapaian itu mungkin disebabkan oleh efek kejut tanpa adanya jaminan kesinambungan, layaklah diapresiasi. Inpres hanyalah sekadar tugas atau beban. Namun fakta dikeluarkannya tiga inpres penghematan energi per tiga tahunan mengindikasikan belum terciptanya budaya penghematan energi. Mengapa?

Miskin Contoh

Paling tidak ada dua penyebab mengapa belum tercipta budaya penghematan energi. Pertama, miskin contoh dari sang pemimpin bagaimana sebenarnya bentuk kepedulian dalam penghematan energi. Bukanlah bermaksud mengarah ke pribadi SBY, tapi lihatlah rutinitas yang dilakukan Presiden setiap hari pergi-pulang kerja dan pemborosan energi yang terjadi. Mari berhitung! Menurut informasi, ada 10 mobil patroli dan pengawalan yang menempuh jarak sekitar 120 kilometer dengan rute Cikeas-Istana-Cikeas. Anggap saja seliter BBM untuk 10 km, maka sehari menghabiskan 120 liter, atau sebulan (20 hari kerja) 2.400 liter BBM. Belum lagi BBM yang terbakar hanya karena orang lain harus berhenti menunggu rombongan lewat. Tidakkah terpikir rutinitas harian ini suatu pemborosan energi?

Berikutnya, hajatan pesta pernikahan anak SBY dan besannya di Istana Cipanas beberapa bulan lalu. Ayo, dihitung lagi! Diperkirakan 10 ribu tamu hadir waktu itu. Anggaplah ada dua orang per kendaraan, maka mobil yang dipakai sekitar 5.000 unit. Jika jarak tempuh setiap mobil rata-rata 90 km dengan Monas sebagai titik pusat, sudah terbakar 90 ribu liter BBM. Belum termasuk kendaraan lain yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan tersebut, tapi harus memutar karena akses normalnya ditutup untuk alasan keamanan dan kenyamanan pesta, dan juga BBM yang dibakar oleh TNI dan Kepolisian RI dalam menggelar pasukannya. Tidakkah terpikir bahwa ini adalah suatu pesta yang boros energi?

Kedua, miskin fokus bagaimana mengefisienkan energi nasional. Fakta membuktikan buruknya perilaku ketidakpedulian energi disebabkan oleh buruknya kontrol, sedangkan buruknya kontrol disebabkan pula oleh buruknya sistem. Jadi, tanpa sistem, jangan berharap birokrat, korporat, dan rakyat bisa diajak serius melakukan penghematan energi. Semua terefleksi sampai ke bawah.

Fenomena angkutan umum di berbagai kota sekarang ini cenderung sepi penumpang, karena banyak yang beralih ke sepeda motor. Angkutan kota yang terlalu banyak menyebabkan terjadinya penumpukan di terminal atau kendaraan ngetem di perempatan jalan. Inilah penyebab kemacetan dan energi terbakar secara percuma. Apakah kepedulian energi pada transportasi sudah menjadi fokus dan prioritas pemerintah daerah?

Efek keberadaan mal, yang dipercaya sebagai salah satu penggerak perekonomian sehingga perizinannya dipermudah walaupun persaingannya ketat, juga perlu dipikirkan secara jernih. Mal sudah membuat sesuatu menjadi tidak efisien. Mal sudah menjadi gaya hidup yang merangsang orang datang untuk sesuatu yang mungkin tidak begitu penting. Mal menyebabkan penumpukan kendaraan di sekitarnya, yang memicu terjadinya kemacetan. Apakah pemda dan pebisnis sudah mempertimbangkan aspek efisiensi energi keberadaan mal secara keseluruhan?

Begitu juga dengan desain perumahan yang tidak disesuaikan dengan lingkungan tropis. Rumah-rumah di Indonesia lebih mengutamakan kegagahan, bukan fungsinya. Akibatnya, penyejuk udara yang menyedot begitu banyak listrik menjadi andalan, belum lagi kebutuhan alat-alat rumah tangga lainnya yang serba listrik. Tidak salah jika PLN mengkritik pemberian subsidi listrik untuk rumah mewah. Apakah kepedulian energi sudah menjadi fokus dan prioritas pemilik rumah serta arsiteknya?

Pemimpin tidak cukup bermodalkan keputusan atau ajakan semata dalam membudayakan penghematan energi. Tapi diperlukan contoh yang nyata, spontan, serius, dan antusias dalam mengkampanyekannya. Kalau tidak ada contoh dan tindak lanjut yang terkonsep jelas, jangan berharap penghematan energi akan tercapai, apalagi sampai menjadi suatu budaya sampai ke daerah.

Berbuatlah!

Masalah penghematan energi bukanlah kegiatan yang asal jadi semata, melainkan harus menjadi sesuatu yang ada hasilnya. Bukan penghematan saja, tapi harus ada perubahan perilaku yang membudayakan penghematan energi. Untuk mencapai arah itu, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan.

Pertama, Presiden dan segenap pejabat publik lainnya harus memberikan contoh perilaku penghematan energi. Mencontohi merupakan salah satu bentuk sosialisasi yang cukup efektif. Pada setiap kesempatan dan waktu, harus ditunjukkan contoh secara konsisten. Tujuannya agar rakyat percaya bahwa penghematan energi adalah masalah serius, sehingga Presiden berusaha menjadikannya budaya dari pribadinya sendiri. Salah satu buktinya, segeralah SBY pindah ke Istana Negara. Paling tidak, di depan mata sudah menunggu penghematan nyata 2.400 liter BBM sebulan.

Kedua, pemerintah harus menciptakan sistem yang mendorong efisiensi di segenap aktivitas kehidupan dan perekonomian. Penghematan energi tidak cukup hanya berbekal inpres, tapi haruslah terkonsep dan tersistem melalui program pelatihan, sinkronisasi goal semua lini baik pusat maupun daerah, audit, dan evaluasi dengan tim yang solid. Segala indikator penghematan energi harus jelas dan disampaikan kepada publik secara berkala. Intinya, harus ada rasa memiliki (ownership).

Ketiga, pemerintah harus berani mengambil langkah revolusioner untuk mendapatkan hasil instan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya, dengan cara mengubah pola (method change) ataupun tata letak (re-layout) suatu permasalahan. Cobalah berfokus pada simpul-simpul kemacetan, jam operasional pusat komersial, yang bisa dibereskan dengan kedua cara itu. Inilah yang harus segera dikaji dengan teliti. Lebih baik mengorbankan kenyamanan beberapa waktu demi penghematan daripada membiarkan pemborosan terus terjadi di depan mata karena tidak berani berbuat.

Jika pemerintah masih juga punya hobi mengeluarkan inpres, arahkanlah ke sektor transportasi, perumahan, dan industri agar memakai serta menghasilkan produk dengan energi yang efisien. Sudah saatnya mal dan rumah mewah menanggung sebagian kebutuhan energinya dari energi terbarukan. Ini tidak hanya mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan energi, tapi juga akan merangsang tumbuhnya industrialisasi energi terbarukan yang membuka lapangan kerja untuk negara ini, dan bukan negara lain!

Terlepas bersubsidi atau tidak, langkah penghematan energi adalah suatu keharusan. Jika memang ingin mendidik bangsa ini lebih peduli terhadap energi, lakukanlah program penghematan dengan konsep dan sistem yang jelas. Cukuplah sudah dengan tiga inpres itu, lalu "didiklah" masyarakat. Tapi janganlah "setengah-setengah" atau "asal ada" saja. Tidak ada yang sulit jika kita mau membuktikan! ●