Kamis, 31 Juli 2014

THR

                                                                        THR

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 27 Juli 2014
                                                


Saya dan istri saya punya beberapa pegawai: dua PRT, dua sopir, dan saya punya staf pribadi (spri). Semua mau Lebaran masing-masing (mau beli baju anak-anak, mau ke Kebun Binatang sama keluarga, mau mudik, dan sebagainya), tetapi ongkosnya dibebankan ke kami, bos nya.

Padahal mereka cuti sampai 2-3 minggu, kami harus bayar full gajinya plus THR (satu bulan gaji full juga). Padahal di mana-mana, orang cuti melebihi jatah, dipotong gaji, minimal dapat SP (surat peringatan), tetapi saya malah harus tambah satu bulan gaji. Tambah celaka lagi spri saya yang nonmuslim pun ikut-ikutan minta THR. Alasannya keluarganya banyak yang muslim. Lah , keluarganya yang muslim, kok saya yang menanggung Lebaran-nya? Ini dari mana logikanya? Padahal dari uang pensiun PNS, saya enggak ada THR.

Saya kerja di PTS (perguruan tinggi swasta) juga enggak ada THR dalam kontrak saya. Honor sebagai konsultan dan penasihat di sana-sini juga enggak ada THR-THR-an. Jadi tiap Lebaran yang ada saya dan istri pusing saja berduaan urus RAPBRTR (Rencana Anggaran dan Belanja Rumah Tangga Ramadan) yang awut-awutan. Untung, anak-anak semua sudah mandiri, jadi enggak usah dipikirkan lagi. Tetapi, THR itu sudah telanjur jadi kebiasaan, bahkan adat, bahkan sudah jadi budaya. Budaya yang salah kaprah. Artinya yang benar jadi salah (enggak kasih THR) dan yang salah jadi benar (harus memberi THR).

Lebaran yang jor-joran hanya khas Indonesia. Di negara-negara lain orang Lebaran biasa-biasa saja. Agama pun menganjurkan puasa dan Idul Fitri diisi dengan memperbanyak ibadah, bukan dengan makan-makan, baju baru, Kebun Binatang, dan mudik. Kebiasaan ini justru sering menimbulkan masalah bagi pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh seorang kapolsek (kepala polisi sektor, setingkat kecamatan) mengeluh karena ia bersama rekan-rekan kapolsek lain barusan menerima perintah dari kapolres (kepala kepolisian resor, setingkat kabupaten) untuk memberi THR kepada anak buah masing-masing.

THR itu hanya Rp100.000 per anggota (relatif rendah dibandingkan dengan gaji polisi yang minimal sekitar Rp2.500.000). Tetapi, karena di polseknya ada 60 anggota, kapolsek harus menyiapkan dana sebesar Rp6.000.000. Padahal dana THR tidak disiapkan dalam anggaran Polri, baik dalam PGPol (peraturan gaji polisi) maupun dalam dana operasional. Maka itu, kapolsek yang rata-rata hanya berpangkat AKP (ajun komisaris polisi, setingkat kapten) atau kompol (komisaris polisi, setingkat mayor) pusing sendiri karena perintah kapolres harus ditanggungnya sendiri, padahal gaji penuhnya sendiri sebagai polisi lebih rendah dari dana THR yang harus disiapkannya.

Maka itu, dibutuhkan kreativitas yang luar biasa tinggi dari kapolsek untuk keluar dari masalah ini. Ada kapolsek yang bisa melakukannya, tetapi lebih banyak yang kena migran. Lagi pula tugas siaga I menjelang pilpres yang lalu membuat kapolsek harus fokus kepada tugasnya. Tetapi, itulah faktanya, THR sudah telanjur jadi adat, malah sudah jadi budaya. Kesalahannya di sini adalah kapolres perintahkan kapolsek yang tanggung. Terang saja kapolsek kelimpungan.

Memangnya kapolsek pabrik uang? Ini pola pikir Orde Baru, di mana para kasatwil dianggap take it for granted bisa memanfaatkan jabatannya untuk berbagai keperluan (di zaman KPK kok masih ada pikiran begini, ya ?). Sementara itu, para kapolsek (dan bawahan umumnya) juga rata-rata enggak punya nyali untuk bertanya kepada kapolres (atasan), ”Izin, mohon petunjuk, sumber dana bisa diperoleh dari mana saja, ndan ?” Biar kapolresnya yang pusing untuk menjawab pertanyaan yang mengandung kontradiksi itu.

Tetapi, kalau sudah jadi budaya, mau tidak mau harus diadakan. Ibaratnya adat pengantin Jawa, air siraman harus dari tujuh sumber dan kembang setaman harus tujuh rupa. Tidak masuk akal sama sekali. Tetapi, itulah tuntutan adat budaya, jadi harus dipenuhi. Kalau tidak, kualat . Begitu juga THR.

Dari sudut ilmu manajemen maupun dari sudut agama, sangat dianjurkan untuk memberi imbalan yang sangat layak kepada orang-orang yang sudah bekerja dengan baik. Negara dan bangsa dibangun dengan bekerja, kata orang bijak. Bahkan ada Hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa orang yang sudah bekerja wajib dibayar upahnya sebelum keringatnya kering. Di perusahaan swasta ada bonus, di perkebunan ada tantiem, yang besarnya bergantung pada besar-kecil laba perusahaan. Di lingkungan PNS (pegawai negeri sipil) ada gaji ke- 13.

Itulah sistem imbalan yang benar yang bergantung pada sistem merit , bukan pada adat, apalagi agama. Kalau memakai kriteria agama, malah rancu. Muslim enggak muslim sama-sama dapat THR karena terlalu ribet untuk menciptakan sistem THNt (tunjangan hari Natal), THNy (tunjangan hari Nyepi), THW (tunjangan hari Waisak), dan THI (tunjangan hari Imlek) yang terpisah-pisah. Belum kalau ada pegawai-pegawai yang gonta-ganti agama. Tentu saja saya tidak bisa ikut-ikut mencarikan jalan keluar karena saya bukan ulama, pejabat publik, atau komandan. Tetapi, semangatnya adalah marilah kita kembali ke khitah Idul Fitri yang aslinya tidak ada satu pun ayat dan hadis tentang THR.

Jadi mari kita ber-Idul Fitri tanpa THR. Mau belanja baju buat anak-anak, mau mudik, mau bagi-bagi duit ke anak-anak tetangga, silakan. Tetapi, dengan uang sendiri, yang sudah ditabung sejak beberapa bulan sebelumnya. Ibaratnya kalau kita mau mengawinkan anak, mau pakai air dari tujuh sumber atau pakai kembang setaman tujuh rupa, silakan saja, tapi duitnya jangan minta bos.

Sementara itu, saya pernah mendapat cerita tentang seorang tauke (sekarang dipanggil bos ) yang marah-marah pada pegawainya, ”Giliran Lebaran, lo minta THR! Giliran Imlek, lo minta angpau! Kapan giliran gua ... haaa ?”

Berpuasa di Mekkah Al-Mukarramah

                       Berpuasa di Mekkah Al-Mukarramah

Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR RI
KORAN SINDO, 27 Juli 2014
                                                


Islam itu di mana pun dan kapan pun adalah agama rakyat. Ada sedikit protokoler, tetapi tidak primer. Agama yang sangat populis dan bersemangat egaliter.

Coba pada Ramadan ini datang dan lihatlah suasana di Masjidilharam di Mekkah al-Mukarramah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Yerusalem. Masjid yang terhampar sangat luas dan besar itu dari ujung ke ujung, dari sudut ke sudut, dipenuhi orang dari seluruh penjuru dunia yang bisa tidur di dalam masjid seenaknya. Mereka hanya bangun untuk salat dan setelah itu kembali tidur lagi. Pada Ramadan perilakusepertiitudibiarkansaja karenasudahmenjaditradisidari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.

Berpuasa Ramadan di Mekkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah memang sangat mengesankan. Meski Masjidilharam sedang mengalami renovasi dan pembangunan besar-besaran sejak dua tahun terakhir ini, kesemarakan bulan Ramadan di sana tetap terus terpancar terpendarpendar bagaikan mercusuar. Jamaahumrahdari seluruhdunia semakin membeludak membanjiri Kota Suci (al-Haram), Mekkah dan Madinah. Beberapa orangmenyatakankesaksiannya bahwa pada sepuluh ketiga pada Ramadan jumlah jamaah umrah di Masjidilharam hampir menyamai jumlah jamaah haji di musim haji.

Tak heran jika harga sewa hotel di Mekkah pada sepuluh hari terakhir pada Ramadan mahalnya berkali-kali lipat dibandingkan dari hari-hari biasa. Sebuah kamar kelas junior suite sebuah hotel berbintang lima di samping Masjidilharam bahkan dipatok USD10.000 semalam. Harga kamar kelas eksekutif sedikit di bawah itu. Kamar-kamar hotel dan penginapan-penginapan lain yang lebih sederhana habis dipesan dan full booked jauh-jauh hari sebelumnya.

Tetapi unik dan hebatnya harga-harga makanan dan minuman yang sifatnya konsumsi tidak mengalami kenaikan yang signifikan sebagaimana akomodasi. Sempitnya ruang (space) Mekkah dengan pusatnya Masjidilharam barangkali yang menjadikan tingginya biaya akomodasi di sana. Secara fisik suasana di Masjidilharam sekarang ini kurang nyaman. Bukan hanya ada ribuan pekerja yang siangmalam melakukan pembangunan atau renovasi Masjidilharam besar-besaran di sana, melainkan juga tampak terlihat ada ratusan alat-alat berat yang ada di lantai dalam dan luar masjid.

Bahkan juga ada ratusan (bukan puluhan!) mesin jungkit di atap atap masjid yang terus beroperasi siang-malam tanpa berhenti melakukan aktivitas pembangunan. Bisa diduga, meski tidak kelihatan, debu beterbangan di mana-mana. Untung saja ribuan petugas kebersihan selalu siap sedia di setiap sudut dan jengkal masjid untuk selalu mengepel membersihkan debu di lantai dan sampah-sampah kotoran lainnya. Dalam soal yang satu ini kita angkat topi dengan kesigapan pemerintah menjaga kebersihan demi keanggunan Masjidilharam tersebut.

Demikian juga secara fisik. Pemerintah Arab Saudi memang all out untuk membangun infrastruktur fisik dan sumber daya manusia untuk melayani jamaah haji dan umrah yang sangat besar itu. Bangunan-bangunan lama di sekitar masjid diruntuhkan untuk menampung dan menata bangunan-bangunan baru akibat dari gerak perluasan masjid. Jalan-jalan layang, jalan-jalan bawah tanah, dan terowongan terus bertambah di segala jalan dan penjuru sekitar masjid. Meski sedang ada renovasi besar-besaran, suasana Masjidilharam tetap khas.

Berbuka puasa bersama di masjid sungguh sangat nikmat. Ada banyak sekali dermawan yang menyediakan buka puasa bagi seluruh jamaah yang mencapai ratusan ribu orang itu. Saya tidak tahu pasti bagaimana mengorganisasi dan mengatur jadwal para dermawan memberikan buka puasa sepanjang bulan Ramadan di Masjidilharam dan Masjid Nabawi. Yang pasti setiap buka puasa makanan itu tersedia di masjid.

Mengapa menginjak sepuluh ketiga atau sepertiga terakhir Ramadan jumlah jamaah umrah menjadi begitu sangat besar? Space Kota Mekkah menjadi sangat kecil untuk menampung jamaah umrah pada akhir Ramadan. Tradisi semacam ini memang sudah berlangsung sejak dulu kala, tetapi menjadi semakin dramatis beberapa puluh tahun terakhir. Tak heran jika umrah pada akhir Ramadan ongkosnya beberapa kali lipat umrah hari biasa, bahkan tiga atau empat kali lipat dengan ongkos umrah awal dan pertengahan Ramadan.

Umrah pada Ramadan, apalagi di sepertiga terakhir Ramadan, yang semula dimaksudkan agar lebih serius dan khusyuk, kini dengan semakin ramainya para jamaah umrah semakin sulit diwujudkan. Suasana Mekkah di sepertiga terakhir Ramadan terlalu penuh sesak, ramai, dan mahal. Tetapi, tetap saja jamaah berdatangan ke Mekkah untuk berumrah, apalagi diajarkan bahwa umrah pada Ramadan itu kebaikannya sama dengan haji.

Orang juga pergi umrah pada Ramadan sekalian berusaha mendapatkan anugerah lailatulkadar yaitu malam pada Ramadan yang kebaikannya melebihi seribu bulan itu. Kapan persisnya lailatulkadar itu diturunkan oleh Allah SWT? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya. Tetapi, Nabi Muhammad SAW memberikan beberapa petunjuk yang bersifat indikatif, tanda-tanda, atau isyarat. Pertama, lailatulkadar di-turunkan pada satu malam di tanggal-tanggal sepuluh terakhir Ramadan. Maka itu, sepuluh malam terakhir itu jangan dilewatkan untuk salat, berdoa, tadarus, itikaf, dan ibadah lain.

Jika dalam sepuluh malam itu seseorang beribadah secara intensif dan ekstensif, pastilah akan mendapatkan lailatulkadar. Kedua, lailatulkadar diturunkan pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan. Mungkin malam 21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadan. Ketiga, ada dikatakan bahwa malam lailatulkadar itu jatuh pada malam tanggal 27 Ramadan. Ada juga diriwayatkan bahwa tanda-tanda pada malam lailatulkadar antara lain malam itu suasana sangat tenang dan hening, langit tampak jernih dan bening, bulan bersinar sangat terang, angin bertiup sepoi-sepoi, pepohonan pun tenang dengan daun-daun yang tidak bergerak banyak, dan lain-lain.

Di Masjidilharam (Mekkah al-Mukarramah) sebagaimana juga di Masjid Nabawi (Madinah al-Munawwarah) dan Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis, al-Quds, Yerusalem) pada sepuluh malam terakhir Ramadan itu diselenggarakan, sebut saja, salat qiyamullail di samping salat tarawih. Tarawih diselenggarakan seusai salat isya sebanyak 20 rakaat dengan dua rakaat salam. Pada malam-malam itu jamaah salat tarawih membeludak bukan hanya sampai halaman masjid, melainkan sampai jalan-jalan raya di belakang Hotel Hilton, belakang Hotel Intercontinental, dan jalan belakang hotel atau tower Jam Zaman! Bahkan jamaah salat meluber sampai jembatan layang Misfalah. Mereka membentuk saf-saf sendiri di sepanjang jalan itu.

Demikianlah juga di arah di luar bukit Shafa dan Marwah. Kira-kira dari titik pusat Kakbah jamaah berlingkarlingkar dan berkumpar-kumpar dalam radius 2 kilometer! Meskipun jauh suara bacaan imam salat tetap saja terdengar jelas, jernih, dan lantang berkat teknologi sound system yang sangat besar dan canggih. Salat tarawih di Masjidilharam dan Masjid Nabawi memang sangat khusyuk, panjang, dan lama. Surat-surat yang dibaca imam salat sangatlah panjang. Rukuk dan sujud pun panjang-panjang. Tak heran salat 20 rakaat itu berlangsung hampir jam 24.00 malam.

Tetapi, jangan kaget, qiyamullail yang dimulai jam 01.00 dini hari berlangsung jauh lebih panjang lagi. Salat yang hanya terdiri 10 rakaat dengan dua rakaat salam ditambah dengan salat witir tiga rakaat (dibagi dua rakaat salam dan satu rakaat salam) bisa berlangsung sampai jam 03.00 dini hari! Panjangnya qiyamullail bukan hanya karena rukuk dan sujudnya panjang sekali, melainkan karena surat-surat Alquran yang dibaca memang surat-surat yang sangat panjang dan lama. Tetapi, bukan hanya itu, doa qunut pada rakaat terakhir salat witir sangat panjang dan mengharukan.

Imam selalu berdoa dengan suara serak dan parau menangis tersedu-sedu. Para jamaah yang mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan, itu selalu menyambut satu potong doa dari sang imam dengan ucapan “amin” dengan sedu sedan penuh tangisan. Ada beberapa imam salat tarawih (seusai isya) dan qiyamullail (dini hari sekitar jam 01.00) di Masjidilharam yang sering menangis tersedu-sedan ketika membaca surat-surat Alquran dan doa dalam salat-salat itu. Para jamaah pun terbawa suasana jiwa yang syahdu dan khusyuk itu sehingga tidak mampu menahan tangis tersedu mengikuti tangisan sang imam.

Suasana betul-betul sangat religius dan emosional, bukan sentimentil. Ketika imam membaca doa qunut yang amat sangat panjang, fasih, dan untaian kalimatnya indah sekali itu, jamaah menyambutnya setiap potong doa dengan “amin”. Maka bisa dibayangkan betapa membahananya ucapan “amin” dari ratusan ribu jamaah di satu tempat itu. Ketika imam mulai berdoa sambil menangis, jamaah pun menyambut “amin” dengan tangisan pula. Apalagi sang imam tahu betul memilih doa-doa yang menyentuh kalbu jamaah, terutama doa-doa untuk mohon ampunan atas dosa-dosa kita. Sungguh sebuah pengalaman kerohanian yang luar biasa menyejukkan hati.

Agama memang bukan hanya konsumsi akal dalam bentuk pemikiran-pemikiran filosofis semata. Agama juga menyangkut soal kedalaman jiwa, perasaan atau intuisi, dan kehangatan kerohanian. Agama yang terlalu rasional menjadikan kehidupan spiritual kita terasa kering. Jiwa kita perlu kesejukan spiritual dan kehalusan mistis. Berumrah dan beribadah di Masjidilharam di sepertiga terakhir Ramadan sangat menyentuh jiwa. Sayang, ongkosnya mahal sekali. ●

Keinginan Luhur Politisi

                                          Keinginan Luhur Politisi

Ichsanuddin Noorsy  ;   Pakar Ekonomi Kebijakan Publik
MEDIA INDONESIA, 17 Juli 2014
                                                


“INI Indonesia ya,“ kata saya merespons diskusi terbatas di grup BBM Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) tentang kampanye pilpres yang sudah `membelah' masyarakat Indonesia. Sebenarnya itu sikap trenyuh mendalam menyaksikan keterbelahan anak bangsa Indonesia menyusul kampanye calon presiden dan calon wakil presiden PS+HR (1) dan calon presiden dan calon wakil presiden JW+JK (2). Saya teringat di awal reformasi. Begitu derasnya desakan meliberalkan segala dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wujud keinginan berubah dari era sentralistis dan otoriter. Saking kuatnya desakan itu, amendemen UUD 1945 yang dilakukan dengan empat kali perubahan pun tanpa melakukan kajian akademis mendalam.

Elite menghendaki perubahan dan rakyat luas tidak mengetahui dan memahami ke mana arah perubahan itu. Pada 2001 saya menuliskan di Media Indonesia bahwa hasil empat kali amendemen itu ialah rancunya batang tubuh dan lahirnya tujuh masalah inkonsistensi UUD 2001. Salah satu masalah itu ialah apa yang sedang dihadapi bangsa ini sekarang: perebutan kekuasaan di elite politik yang melahirkan potensi konflik horizontal di berbagai lapisan masyarakat.

Adakah hal seperti ini yang dikehendaki para pejuang kemerdekaan Indonesia dan para pendiri Republik? Tanpa harus menoleh sejarah terlalu jauh dan mendalam, kita mendapat jawaban, “Tidak.“ Para pendiri Republik dan UUD 1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan bangsa itu berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan didorong oleh keinginan luhur agar kehidupan berbangsa bebas tertindas (dengan segala bentuknya). Tentu termasuk tertindas dalam alam pemikiran. Begitu kurang lebih bunyi alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.

Sejak reformasi, saat parpol diamanatkan dalam amendemen keempat UUD 2001 sebagai satu-satunya kendaraan untuk partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai kalangan mendirikan parpol. Dalam beberapa aspek, hal itu positif karena mungkin saja agregasi aspirasi masyarakat tidak tertampung pada parpol yang ada. Dalam perkembangannya, disadari juga bahwa kebebasan mendirikan parpol melahirkan dampak negatif. Misalnya hanya dijadikan ajang mendulang uang dan membuka akses kekuasaan. Sementara itu, akses kekuasaan pun digunakan untuk meraih kekayaan bagi petinggi parpol.

Dampak negatif lainnya masyarakat digiring menurut kepentingan parpol, padahal kepentingan tertinggi masyarakat ialah tegaknya dan terlaksananya konstitusi. Untuk menggiring keputusan masyarakat, digunakan industri survei guna memengaruhi opini publik.

Karena prinsip no free lunch dalam rujukan nilai kebebasan individual, untuk Indonesia saya menyebutnya sebagai demokrasi korporasi sejak Pemilu 2004, yakni suatu demokrasi berdasarkan transaksi materi yang pembiayaannya bersumber dari korporasi. Inilah politik uang. Joe Klein, tangan kanan raja media di dunia Rupert Murdoch, justru mengajukan pertanyaan, tidakkah dengan kondisi yang demikian sebenarnya demokrasi merupakan basa-basi aspirasi karena aspirasi yang dilaksanakan sesungguhnya aspirasi korporasi? Secara tidak lang sung, gugatan Joe Klein dijawab Joseph E Stiglitz sebagai itulah harga sebuah ketimpangan yang merupakan wujud kegagalan sistem. Juga merupakan harga sebuah peradaban yang menempatkan masyarakat banyak hanya sebagai mesin produksi dan alas kekuasaan bagi bekerjanya mesin kepentingan kelompok elite penguasa.

Situasi seperti ini pernah dibahas demikian mendalam dalam sidang-sidang BPU-PKI 29 Mei-1 Juni 1945. Saat memutuskan Indonesia bukanlah kerajaan, melainkan republik, hampir semua peserta sidang menyetujui bahwa Indonesia tidak menganut demokrasi liberal, fasisme, komunisme, etatisme, dan sosialisme TimurBarat. Penolakan berbagai aliran pemikiran politik yang berkembang di dunia itulah yang melahirkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945: MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditam bah utusan-utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan. Penjelasannya agar majelis benar-benar merupakan penjelmaan masyarakat.

Saya memahami hal itu sebagai diakuinya sistem pemilu bersamaan dengan sistem elektorat (pemilihan wakil-wakil secara berjenjang pada daerah dan komunitas atau golongan). Hibrida sistem pemilihan itu kemudian dilaksanakan majelis untuk memilih pemimpin bangsa dan negara. Jika dulu diasumsikan masyarakat Indonesia sudah terbiasa memilih langsung kepala desanya, tidaklah berlebihan jika masyarakat pun memilih langsung presidennya.

Sekarang terbukti pemilihan langsung presiden itu membuka peluang pecah belahnya bangsa dan negara. Lalu, apakah ini keinginan luhur para politikus dan kaum yang menyebut diri reformis itu? Jelas dan pasti kita menolak sistem sentralistis dan otoriter, saya pun tidak ingin kembali ke era itu. Namun, adalah salah jika power games melalui pemilu telah mengubur atau paling tidak menyingkirkan keinginan luhur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adakah cara memperbaiki?

Beberapa saat sebelum kampanye pilpres, saya diundang diskusi di Lemhannas, Kepolisian RI, dan beberapa instansi atau lembaga lainnya. Dalam diskusi itu saya menyebutkan kekuasaan politik yang membuahkan regulasi berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara telah melahirkan struktur-struktur sosial politik ekonomi seperti yang kita hadapi sekarang sebagaimana terbukti pada angka-angka (ketimpangan, kemiskinan, pengangguran, kepemilikan sumber daya, dan produksi) dan kata-kata (saling jegal, saling menihilkan, transaksional material, sanjungan pada kemasan, renggangnya ikatan sosial, keringnya hubungan kebersamaan, dan saling menyalahkan serta saling membela diri dan golongan).

Struktur itu lebih lanjut membuahkan kultur masyarakat bersamaan dengan dinamika warga dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Lihatlah jalan raya, di sana cerminan kekuasaan politik, regulasi, struktur hukum-sosial-politik-ekonomi, kultur masyarakat dan dinamika kegiatan warga masyarakat berbasis yang kuat yang menang dan the winner takes all. Dalam sebuah talk show di Metro TV merespons visi-misi-program para capres, saya menyebutnya sebagai tegaknya sistem hukum-sosialpolitik-ekonomi yang liberal. Di stasiun TV swasta lainnya, saya mengatakan hal itu sebagai produk pembangunan karakter bangsa yang dijanjikan selama kampanye 2004 dan 2009.

Sebab sistem yang tegak sudah seperti yang ada, harapannya tinggal pada manusianya, yakni apakah mereka yang menjadi pemimpin akan melanjutkan sistem itu atau berupaya kembali ke jalan yang benar menurut konstitusi UUD 1945. Pertanyaan itu diajukan karena kedua capres sama-sama memiliki visi-misi-program yang ingin mengangkat keterpurukan bangsa disebabkan jebakan neoliberal yang diterapkan. Para capres menyadari pentingnya menegakkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi. JW+JK menggunakan istilah Trisakti sementara PS+HR menggunakan istilah perekonomian yang berdaulatan dan kerakyatan.

Justru dengan visi-misi-program itu, didukung dengan situasi kondisi yang berkembang, jalan bijaksana dan meneduhkan bagi semua kalangan ialah menunjukkan keinginan luhur kehidupan berbangsa, menunjukkan kenegarawanan sebagaimana saya sampaikan di Metro TV pada 10 Juli 2014 dan TV One pada 8 Juli 2014.

Ini bisa dilakukan kalau para capres, para timses, dan tim pemikir mereka bersama media massa mereka mau bersikap bahwa keutuhan bangsa yang lebih utama dan politik pecah belah harus disingkirkan. Jika tidak, lima tahun pemerintahan ke depan akan penuh dengan hambatan, tantangan, dan gangguan baik internal maupun eksternal. ●

“Udang” di Balik Parcel

                                           “Udang” di Balik Parcel

Toto Subandriyo  ;   Asisten Administrasi Pembangunan
Sekretaris Daerah Kabupaten Tegal
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2014
                                                


Kontroversi tentang pemberian parsel kembali mencuat ke ruang publik beberapa hari menjelang Lebaran. Kontroversi seperti itu selalu terjadi sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan larangan bagi pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara menerima/memberi parsel pada tahun 2004. Tradisi memberi parsel Lebaran merupakan kebiasaan yang sudah berlangsung turun-temurun sebagai sarana mempererat tali silaturahmi.

Setidak-tidaknya terdapat empat hal yang terkandung dalam larangan KPK terkait dengan parsel. Pertama; KPK mengingatkan pegawai negeri dan penyelenggara negara untuk tidak meneri­ma/mem­beri gratifikasi sebagaimana diamanatkan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Un­dang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Gratifikasi di dalam peraturan itu didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas. Yaitu pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Tiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, bila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Kedua; semua penyelengggara negara, pejabat pemerintah, anggota DPR, DPD, DPRD, duta besar, kepala daerah, pejabat BUMN/BUMD, untuk tidak menerima/mengirim parsel kepada atasan masing-masing atau kepada sesama penyelenggara negara.

Ketiga; penyelenggara negara yang menerima bingkisan atau parsel, wajib melaporkan kepada KPK selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima bingkisan tersebut untuk diproses status hukum kepemilikannya. Keempat; masyarakat diimbau menghentikan kebiasaan memberikan ucapan selamat kepada pejabat pemerintah dan penyelenggara negara dalam berbagai bentuk.

Dalam praktik sehari-hari mungkin saja pejabat memberi layanan tertentu kepada seseorang dengan harapan kelak mendapat imbalan tertentu. Padahal, melayani publik merupakan tugas dan kewajibannya. Seorang bawahan yang hendak menduduki jabatan tertentu, maka ia akan mendatangi pejabat berwewenang sambil membawa parsel, atau dari pencari proyek ke pemberi proyek, dari pejabat BUMN ke pejabat kementerian, dan sebagainya. Pola transaksional seperti itu menyuburkan praktik suap dan korupsi.

Keberanian menolak pemberian parsel terkait erat dengan integritas seseorang. Berbicara tentang integritas mungkin kita dapat belajar dari langkah yang pernah ditempuh sastrawan  besar Sartre. Demi menjaga integritasnya, Sartre dengan tegas menolak pemberian penghargaan Nobel Kesusasteraan, sebuah penghargaan paling prestisius  yang menjadi impian semua sastrawan di dunia. Menurutnya, menerima hadiah Nobel Kesusasteraan akan membuat kemerdekaan kreatifnya terpasung.

Revolusi Mental

Menyandingkan penolakan hadiah Nobel dengan penolakan parsel mungkin terlalu berlebihan. Namun dipandang dari sisi integritas, boleh jadi keduanya mempunyai nilai sama. Apalagi dalam perkembangannya, pemberian parsel Lebaran di negeri ini tidak lagi sebatas mempererat tali silaturahmi, tetapi telah menjelma semacam  upeti.

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS telah menegaskan bahwa mereka dilarang menerima sesuatu dari siapa pun yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya. Ketentuan ini sejalan dengan amanat reformasi birokrasi untuk membangun kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang baik di seluruh jajaran aparatur negara.

Lebih jauh, upaya ini ditujukan untuk merestrukturisasi lembaga dan merevitalisasi PNS, mendekooptasi birokrasi dan BUMN dari kepentingan politik, serta memutuskan mata rantai relasi kolusif antara politikus, birokrat, dan pebisnis. Pemberantasan korupsi memang harus dimulai dari langkah-langkah kecil seperti penolakan parsel Lebaran. Waspadalah, ada ’’udang’’ di balik parsel. ●

Mudik, Urbanisasi dan Kesehatan

                            Mudik, Urbanisasi, dan Kesehatan

Saratri Wilonoyudho  ;   Ketua Koalisi Kependudukan Jateng,
Dosen Tata Kota Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2014
                                                


“Andai pertumbuhan penduduk dan migrasi ke kota besar tetap tak terkendali maka bencana akan menanti”

FENOMENA arus mudik yang luar biasa, terutama dari Jakarta ke wilayah pedesaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan betapa superioritasnya Jakarta atas daerah lain di Indonesia. Ibu Kota mengalami urbanisasi berlebih dan tampaknya akan diikuti oleh kota-kota besar lain di Indonesia, seperti Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, dan Palembang.

Urbanisasi punya berbagai dampak ikutan, menyangkut terutama masalah kesejahteraan dan kesehatan. Tulisan ringan ini hanya mengingatkan kota-kota lain untuk mewaspadai dampak kesehatan akibat urbanisasi yang tak terkendali. Tema tentang ”Urbanisasi dan Kesehatan” yang diusung pada 7 April 2010 sangat menarik untuk dikupas lebih dalam.

Sederhana saja, kepesatan pembangunan di negeri  ini yang masih urban bias mengakibatkan kota-kota mengalami permasalahan lebih berat, yakni makin membesarnya jumlah penduduk di satu sisi, serta penyediaan lapangan kerja dan pelayanan sosial yang kurang baik di sisi lain.

Akibat lebih jauh, daya tampung kota makin terbatas, dan pemerintah kota kesulitan menyediakan sarana dan prasarana umum serta pelayanan sosial yang baik.

Daerah-daerah kumuh bertambah luas karena banyak penduduk miskin menyerobot tanah di tepi rel, kolong jembatan, bantaran sungai, dan sebagainya, untu bermukim. Kondisi itu menyebabkan me­reka mudah terserang penyakit menular. Per­kam­pungan kumuh ini umumnya jauh dari pelayanan kota, seperti air minum, listrik, fasilitas pelayanan mandi, cuci, kakus (MCK), sistem pembuatan sampah, fasilitas kesehatan dan sebagainya.

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007), menunjukkan hanya 65,7% penduduk perkotaan memiliki WC dengan septic tank, dan hanya 42,7% yang menggunakan sumber air minum dari sumur/ledeng yang terlindung. Sulitnya mendapatkan pelayanan air bersih yang murah mendorong penduduk perkotaan yang bermukim di tepi sungai menggunakan sungai untuk mandi, cuci, kakus, dan tempat membuang sampah. Keadaan ini diperburuk oleh ulah industriwan yang membuang limbah di daerah aliran sungai (DAS).

Masalah lain adalah pencemaran yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor atau asap pabrik di kota-kota besar. Kualitas udara di perkotaan umumnya telah tercemar berbagai polutan seperti karbon monoksida, timah hitam, hidrokarbon, dan sebagainya. Kualitas yang tidak menguntungkan ini tentu saja merupakan aspek yang tidak dapat diremehkan karena dapat mengganggu kesehatan.

Penelitian dari Adair (2005) menunjukkan tingkat kematian anak dari golongan miskin kota di wilayah pinggiran megaurban Jakarta lebih tinggi dibanding tingkat kematian anak di pedesaan. Yulinawati (2005) juga menemukan fakta bahwa Jakarta mengalami degradasi lingkungan luar biasa. Warga miskin kota justru mengeluarkan dana lebih besar untuk mendapatkan pelayanan air bersih.

Badan Kesehatan Dunia, WHO (2002) juga mela­porkan lebih dari 3 miliar penduduk dunia kekurangan kalori, nutrient dan vitamin, serta menderita malnutrisi, dan sebagainya hingga rawan terkena penyakit (Cassils, 2004). Di India, Chandrasekhar (2007) juga menyebutkan bahwa tingkat konsumsi dan distribusi rumah tangga miskin kota terhadap private goods dan public goods yang tinggal di daerah non-slum, ternyata tidak lebih baik jika dibanding mereka yang tinggal di kawasan kumuh dan liar. Hal itu mengingat derajat kesehatan mereka sangat rendah.

Urbanisasi di Indonesia

Data BPS (1995, 2005) menunjukkan bahwa proporsi penduduk perkotaan di Indonesia makin membesar, yakni 22,3% pada 1980 menjadi 30,9% pada 1990 dan melonjak tajam menjadi 43,1% pada 2005, bahkan kini sudah lebih dari 50%. Pertumbuhan kota-kota di Tanah Air ini juga terkait pertumbuhan ekonomi dunia. 

Menurut Cohen (2006), pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, namun sekarang ada sekitar 400 kota.
Bahkan tahun 2017 diperkirakan, urban area akan lebih menonjol dibanding rural area. Diper­kirakan pertumbuhan penduduk pedesaan menurun dari 3,3 miliar jiwa (2003) menjadi 3,2 miliar jiwa (2030). Kalau tahun 1950-an ada sekitar 1,8 miliyar orang yang tinggal di pedesaan atau rural area, tahun 2000 jumlah itu akan menjadi 3,2 miliar jiwa. Pada sisi lain, dalam 30 tahun jumlah penduduk kota bertambah 2 miliar jiwa.

Namun akibat lemahnya manajemen maka pembangunan kota di negeri ini banyak mengalami masalah. Menurut Laquian (2008) permasalahan tersebut di antaranya sulitnya mengontrol pertumbuhan kota dan pembangunan wilayah periferi; peremajaan kawasan pusat kota; pengurangan polusi lingkungan; isu perencanaan wilayah dan kota; kesenjangan kemampuan keuangan; partisipasi masyarakat; dan keterbukaan dan akuntabilitas.

Dari sketsa singkat itu terlihat jelas bahwa andai pertumbuhan penduduk dan arus migrasi ke kota besar tetap tidak terkendali maka bencana akan menanti. ●

Kemenangan yang Fitri

                                            Kemenangan yang Fitri

Jamal Ma’mur Asmani  ;   Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI, Asosiasi pondok pesantren) NU Jawa Tengah, Peneliti Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2014
                                                


BANGSA Indonesia mendapatkan dua momentum kemenangan yang luar biasa, yaitu kelahiran  pemimpin baru hasil pilihan rakyat dan kedatangan Idul Fitri, hari kemenangan bagi umat Islam. Dua momentum besar ini harus disyukuri sebagai babak baru perubahan yang menentukan perjalanan bangsa ke depan. Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden-wapres terpilih harus didukung seluruh komponen bangsa, termasuk yang sebelumnya tidak mendukung.

Pemimpin hasil Pilpres 2014 mempunyai tanggung jawab besar untuk mengemban amanah bangsa. Dalam aspek ekonomi, kemiskinan, dan keterbelakangan rakyat membutuhkan kegigihan dan perjuangan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan keterampilan hidup, dan terobosan kreatif penciptaan sentra-sentra industri. Terutama dalam melahirkan produk lokal yang unggul dan kompetitif.

Dalam aspek pendidikan, dibutuhkan revolusi mental dan paradigma sehingga dunia pendidikan tidak tercerabut dari fondasi moral dan budaya luhur, dan tidak lepas dari paradigma religiositas. Dalam aspek sosial budaya, dibutuhkan kiat sukses untuk memupuk persaudaraan, kohesivitas, dan semangat kompetisi yang sehat dan dinamis. Sebagian masyarakat kita tak menyadari hidup ini kompetisi sehingga mereka pasif, stagnan, dan tidak melangkah dengan aksi yang konkret dan produktif.

Dalam aspek politik, dibutuhkan idealisme membangun bangsa di atas nilai-nilai kejujuran, akuntabilitas, keberpihakan kepada kaum petani, nelayan, PKL, dan kelompok-kelompok marginal yang lain. Dalam aspek agama, dibutuhkan pendekatan keagamaan yang mengedepankan keteladanan dan internalisasi nilai secara sistematis, bertahap, fungsional, dan efektif.

Tugas berat tersebut menjadi pekerjaan rumah pemimpin baru. Tidak ada kata menyerah dalam mengemban tugas. Pemimpin dihadirkan untuk melahirkan solusi, bukan menambah masalah. Solusi yang ditunggu adalah solusi kreatif yang bisa memecahkan persoalan riil masyarakat dan bangsa dari berbagai krisis yang mendera. Seluruh kekuatan harus dipadu­kan dalam tim kerja yang solid dan profesional untuk melahirkan perubahan fundamental.

Akademisi, tokoh masyarakat, pegiat LSM, politikus, kalangan media masa, dan pengusaha harus bekerja sama secara aktif untuk menggali dan mengembangkan potensi besar bangsa ini supaya disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Idul Fitri menjadi momentum bagi bangsa dan umat Islam untuk menyingsingkan lengan baju dan membulatkan tekad untuk membangun kemandirian. Hal itu dengan berpijak kepada kaki sendiri, tidak mengekor bangsa lain, dan berani mengambil langkah tegas demi kemajuan bangsa, seperti pemberantasan KKN tanpa pandang bulu.

Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian. Fitrah adalah agama yang hanif (condong kepada perilaku yang istikamah dan meninggalkan jalan kesesatan) yang menjadi bawaan awal manusia ketika diciptakan, dan ingin selalu menyembah Allah, menerima dan menemukan kebenaran (As-Shabuni, Min Kunuzis Sunnah, t.th:9, dan Zuhaili, Tafsir Munir, 2009:11:87). Fitrah manusia adalah makhluk suci, namun mudah dikotori dengan perbuatan dosa yang disebabkan oleh gejolak nafsu, kepentingan sesaat, dan godaan eksternal yang menjerumuskan. Iblis yang dendam kepada Nabi Adam akan terus menggoda manusia agar mereka tergelincir ke jurang kesesatan.

Optimalisasi Potensi

Hanya orang-orang yang ikhlas karena Allah, dan orang-orang yang bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya, yang akan diselamatkan oleh Allah dari tipu daya iblis.
Ikhlas adalah yang mengedepankan dedikasi daripada kompensasi, sedangkan orang yang bersyukur adalah yang melakukan optimalisasi potensi demi kemaslahatan publik di berbagai sektor. Puasa, zakat, dan halalbihalal adalah momentum pembersih­an diri secara total demi upaya meraih derajat ikhlas dan bersyukur.

Puasa Ramadan menjadi wahana strategis bagi pembersihan jiwa dari segala kotoran. Puasa melatih manusia untuk meninggalkan perbuatan yang menghapus pahala, seperti berdusta, bergunjing, mengadu domba, bersumpah palsu, dan melihat dengan syahwat (al-Ghazali, Mukhtasahar Ihya’, 2004:47). Puasa mendorong manusia untuk berlatih menahan nafsu dan mengisi jiwa dengan kegiatan positif, seperti tarawih, tadarus Alquran, mengikuti pengajian, menyantuni anak yatim, dan bersilaturahmi kepada orang saleh/salihah.

Pada akhir puasa, umat Islam diwajibkan mengeluarkan zakat sebagai bentuk kepedulian kepada sesama. Zakat itu adalah zakat fitrah, zakat kesucian, sebagai simbol pentingnya berbagi kepada orang lain. Bagi mereka yang mempunyai kelebihan harta di berbagai bidang, seperti perdagangan, emas dan perak, pertanian, pertambangan, dan profesi profesional diwajibkan mengeluarkan zakat mal (zakat harta) jika sudah memenuhi syarat yang ditentukan.

Adapun halalbihalal dilakukan untuk merajut persaudaraan sejati lahir dan batin sehingga persatuan bangsa ini menjadi kokoh sebagai modal utama pembangunan. Kesalehan ritual dan sosial yang menjadi produk puasa Ramadan menjadi modal berharga bagi umat Islam untuk meraih kemenangan hakiki pada semua aspek kehidupan. ●

“Mudahnya” Menulis di Media

                                  “Mudahnya” Menulis di Media

Th Rosid Ahmad  ;   Mantan Ketua MGMP Bahasa Inggris SMK Kota (dan Eks Karesidenan) Semarang, Aktif menulis di media massa
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2014
                                                


“Sejatinya, menulis untuk media massa tidaklah sulit, dan bahkan bisa kita lakukan sebagai aktivitas keseharian”

Banyak orang mengeluh betapa sulit menuangkan ide, pikiran, dan perasaan ke dalam satu tulisan yang baik. Padahal, disadari sepenuhnya bahwa lewat tulisan, orang bisa memperoleh beragam manfaat, baik secara moral maupun finansial. Menjadi pertanyaan mendasar, benarkah menulis itu sulit?

Memang tak sedikit yang mengaku kesulitan untuk menemukan ide. Sebenarnya ide itu bisa datang kapan dan di mana saja. Semisal tatkala menonton televisi, berangkat atau pulang kerja, saat menunggu antrean di bank, dan sebagainya. Simpanlah ide-ide itu berikut butir-butir pembahasannya, lalu buat kerangka tulisan.

Jadi sejatinya menulis itu tidaklah sulit, dan bisa kita lakukan dalam aktivitas keseharian. Bahkan ada yang dengan enteng berkata, menulis itu keterampilan tingkat sekolah dasar (SD). Artinya, mereka yang tamat sekolah dasar selayaknya mampu mengekspresikan diri lewat tulisan.

Berbeda dari mengarang yang menuntut bakat dan kemampuan berimajinasi, menulis bisa dilakukan siapa pun tanpa mempertimbangkan berbakat atau tidak. Yang penting mau berlatih dengan tekun. Keterampilan apa pun hanya dapat dikuasai bila orang mau berlatih secara teratur dan terukur.

Secara realistis, orang akan melakukan sesuatu dengan penuh semangat bila yakin hal itu membawa manfaat bagi dirinya.

Faktanya, berbagai manfaat yang amat berguna dalam hidup ini bisa dipetik dari kegiatan menulis. Di perguruan tinggi, keterampilan yang satu ini banyak dibutuhkan ketika harus membuat paper, menyusun makalah, resume, proposal, dan skripsi. Wajar jika mahasiswa yang terampil menulis umumnya mampu menyelesaikan studi dalam waktu lebih singkat.

Kemampuan menulis juga diperlukan ketika seseorang sudah bekerja, apalagi menduduki jabatan tertentu dalam organisasi. Setidak-tidaknya dia harus mampu menyusun pidato, laporan pertanggungjawaban, membuat proposal untuk proyek, dan sebagainya.

Menyadari begitu pentingnya keterampilan ini, banyak lembaga pendidikan mengadakan kegiatan guna memotivasi anggota untuk meningkatkan keterampilan menulis. Tiap Ramadan misalnya, sejumlah pondok pesantren di Jateng menyelenggarakan program santri menulis dengan mengundang praktisi dari media massa. Termasuk sebagaimana Suara Merdeka yang telah 20 tahun menggelar program ’’Gerakan Santri Menulis’’ di ponpes.

Peneliti di Universitas Negeri Semarang (Unnes) pun antusias mengikuti Pelatihan Penulisan Artikel Hasil Penelitian Menjadi Karya Artikel Popuiler yang digelar di kampus Sekaran baru-baru ini.

“Semangat belajar dan mau mempraktikkan hal yang didapat dari bacaan menjadi bekal berharga meraih kesuksesan,” kata Syukron Abu Ishaq Alafarozi, mahasiswa Teknik Elektro dan Teknik Informasi UGM. Bersama rekan setim Lathifah Fatharani, dia menjuarai kompetisi netrider (jaringan komputer) yang diadakan perusahaan AS, Cisco. (SM, 1/7/14)

Bagi mahasiswa, honor tulisan dari media sangat berarti dalam menambah uang saku. Tapi yang jauh lebih bermakna, pemuatan tulisan itu memberi kepuasan batin tiada tara. Motivasi kuat hadir demi menyadari bahwa aktivitas itu mendukung keberhasilan seseorang dalam berbagai hal. Bagi pegawai, guru, apalagi dosen, itu dapat memperlancar kenaikan pangkat dan golongan.

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), pengarang produktif dalam sejarah sastra Indonesia yang sekitar 50 karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing pun menyatakan, ’’Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Rumah Kaca, h. 352).

Banyak hal penting wajib dipahami bagi mereka yang ingin menulis untuk media massa. Beberapa di antaranya  adalah isi tulisan harus aktual, bahasanya runtut, dan menggunakan kalimat efektif, tidak mengulang-ulang. Mengingat begitu besar manfaat yang bisa diperoleh, kenapa kita tidak mencobanya mulai sekarang? ●

Mimpikan Negeri Ramah Anak

                                 Mimpikan Negeri Ramah Anak

Fransisca Ayu Kumalasari  ;   Lulusan Magister Hukum UGM
KORAN JAKARTA, 26 Juli 2014
                                                


Hiruk-pikuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 menyita perhatian seluruh rakyat. Dalam situasi seperti itu wajar bila 23 Juli yang merupakan Hari Anak Nasional (HAN) tanpa kegiatan.

Wajar saja karena warga baru saja memperoleh buah pesta demokrasi. Maka tak berlebihan jika presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo- Jusuf Kalla, menjadi kado terindah dan bersejarah anak-anak Indonesia pada HAN kali ini. Anak adalah kekuatan potensial proses regenerasi kepemimpinan suatu negara.

Mereka bingkai masa depan yang akan mewarnai perjalanan negeri dalam melewati gelombang dan rawa hutan masalah. Maka warisan paling besar setiap kepemimpinan nasional adalah penghormatan terhadap hak-hak anak yang menjadi agenda utama kerja. Jika salah memberi warna bangsa bisa krisis kepemimpinan.

Pemilu 2014 baru saja sebenarnya ladang persemaian proses pembelajaran buat anak-anak. Mereka melihat langkah laku politik para elite-elite dalam kampanye, mewacanakan gagasan, strategi pemenangan. Mereka juga dapat menonton cara menyikapi hasil pemilu. Semua menjadi pelajaran visual anak-anak.

Dengan liberalisasi media sedemikian “liar”, segala perilaku dan informasi di jejaring sosial dan televisi telah memasuki kognisi dan memori mereka. Sikap elite politik yang mengusung kebencian, primordialisme, narsisme, dan praktik-praktik korupsi terus-menerus telah ikut menurunkan suatu perilaku anomali (temperamental, vandalisme, apatisme, dan individualisme) dalam diri anak muda.

Kejahatan anak saat ini tak dapat dilepaskan dari dari budaya politisi yang keropos dan tidak kunjung dewasa. Dari ke hari rakyat mudah menyaksikan bangsa ini memanen dampaknya. Di satu sisi, bangsa berjumpa pola kematangan prematur yang membuat anak bertingkah delinkuen sebagaimana layaknya orang dewasa.

Di sisi lain pun banyak anak mengalami keterbelakangan mental karena trauma psikologis dari pengalaman sekitar. Dua dampak ini cocok dengan data dan fakta persoalan anak sehari-hari. Pelaku kekerasan sesama anak seperti tawuran, pelecehan seksual, perkosaan, dan mencuri tambah marak. Ketiadaan solidaritas dan kepekaan anak terhadap masalah sekitar menambah keburukan.

Tali-temali kekerasan yang reproduktif kian menguat dalam kehidupan anak, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan pergaulan. Dari hari ke hari pula mereka kehilangan keteladanan yang menstimulasi pikiran dan perilaku positif yang mengancam masa depan. Sayang ini tak disadari orang tua, guru, dan pemerintah.

Ancaman

Pada ruang lain, kehidupan anakanak juga semakin terancam lingkungan eksternal yang destruktif lewat berbagai aksi kekerasan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan pada tahun 2014 saja lebih dari 400 kasus kekerasan.

Contoh kekerasan seksual di Jakarta International School dan pedofil di Sukabumi dengan korban 95 anak. Di kawasan Jabodetabek pada 2010, kekerasan terhadap anak mencapai 2.046 kasus, lalu naik menjadi 2.462 kasus. Pada 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus.

Dalam tiga bulan pertama 2014, KPAI menerima 252 laporan kekerasan anak dengan dominasi kejahatan seksual. Kekerasan telah mengindikaskan negara tidak peduli investasi anak sebagai tulang punggung negara masa depan.

Pada 18 Desember tahun lalu ada orang tua tega membanting bocah umur 3 tahun hingga tewas hanya karena rewel terus. Pada 15 Desember, bocah 7 tahun di Riau disiksa dan dibuang ke kebun sawit. Pada 11 Desember seorang bocah 6 tahun di Magetan, Jawa Timur, disiram air keras ayahnya. Pada 2 Desember, bayi 1,5 tahun di Ciracas, Jakarta Timur, tewas dianiaya ayah.

Motif kekerasan terhadap anak secara garis besar terjadi karena penyimpangan otoritas orang tua yang cenderung melihat buah hati sebagai objek kompensasi atas masalah-masalah rumah tangga yang kian rumit dan tak tertangani. Belum lagi eksploitasi anak-anak di bawah umur untuk memenuhi kepentingan ekonomi keluarga maupun sindikat kejahatan.

Tahun 2009 dari Survei Pekerja Anak (SPA) menunjukkan sekitar 4,1 juta bocah berusia 5-17 harus bekerja dan sekitar 6,9 persen dari 58,8 juta anak usia 5-17 tereksploitasi untuk mencari uang. Dalam banyak kasus, tak sedikit anak perempuan haarus memalsukan umur menjadi pekerja seks komersial.

Ini kian menguatkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang menyebutkan dari 5.361 kasus kekerasan anak tahun 2010-2012, lebih dari 68 persen kekerasan seksual. Pelaku eksploitasi anak belum ditindak secara hukum secara berarti. Padahal Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 (Pasal 88) mengatur tindakan hukum pelaku eksploitasi ekonomi atau seksual anak.

Ancaman pidananya penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta. Untuk penindakan Indonesia belum setegas negara luar. Baru-baru ini, misalnya, ada temuan Samsung Electronics terkait dugaan praktik pekerja anak di sebuah pabrik pemasok di Tiongkok, Dongguan Shinyang Electronics. Ini terkuak setelah kelompok aktivis berbasis di New York, China Labor Watch, menuduh ada eksploitasi anak di perusahaan tersebut.

Samsung pun menghentikan kerja sama bisnis “secara sementara” dengan pemasok tersebut sambil menunggu hasil akhir penyelidikan. Samsung juga berjanji bakal memperketat kontrak kerja, tidak hanya pada fasilitas produksi, tetapi juga untuk mencegah pengulangan.

Baru

Seiring dengan perkembangan informasi dan gaya hidup, pola eksploitasi anak tidak lagi dengan cara-cara konvensional seperti soal seks, ngemis, ngamen di jalanan, mempekerjakan, tetapi juga memasukkan dalam pusaran kapitalisasi media hiburan dengan kedok pengembangan kreativitas. Contoh, menjadikan anak sebagai bintang film, sinetron, atau iklan. Dalihnya penyaluran bakat.

Padahal langkah ini ini telah merusak proses tumbuh kembang anak secara normal. Anak didikte kecenderungan sosial ekonomi yang menjadikan sebagai nilai utama kehidupan. Prestasi tidak diukur nilai kematangan psikologis, etika, moralitas, tetapi sejumlah kapital yang dikumpulkan sejak kanak-kanak. Jangan heran jika kemudian bocah-bocah mencaplokkan nilai kebanggaan diri pada materi yang dikenakan.

Inilah benih awal budaya praktik korupsi. Memang tidak mudah mengurus, membesarkan, dan melindungi anak. Pemerintah harus komit melahirkan kebijakan pro-masa depan anak. Pemerintah harus menegakkan hukum guna melindungi anak dari ancaman eksternal berupa kekerasan dan eksploitasi ekonomis.

Hanya generasi yang berkualitas dan berkarakter siap memegang estafet kepemimpinan bangsa. Semoga Presiden baru benar-benar mau mengerti jiwa, perasaan, serta kebutuhan anak-anak agar negeri ini sungguh ramah pada mereka. ●