Moga Golkar Tetap ”Setya”
Budiarto Shambazy ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 21 Mei
2016
Selamat untuk Setya
Novanto yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2019 pada
munaslub di Bali. Tak mengejutkan Setya Novanto, yang sempat populer dalam
kasus ”papa minta saham” yang memaksanya mundur dari jabatan Ketua DPR, malah
sukses menduduki posisi puncak ”Partai Beringin” itu.
Secara hukum, kasus
tersebut masih tanda tanya apakah terjadi pelanggaran hukum pidana? Setya Novanto,
yang beberapa kali diperiksa Kejaksaan Agung, berulang kali membantah
mencatut nama Presiden Joko Widodo. Dalam posisi mengambang berlama-lama
seperti itu, Setya Novanto justru memimpin partai tertua di republik ini. Tak
terhindarkan ada kesan di publik bahwa Golkar keliru memilih ketua umum.
Maka tak terelakkan
pula ada pandangan Golkar kini dipimpin sosok lightweight. Dengan sendirinya
timbul tanda tanya besar tentang masa depan partai yang kursinya nomor dua
terbesar di DPR ini.
Terlebih lagi, Golkar
terpuruk dalam perolehan total suara dalam pilkada serentak 9 Desember 2015.
Dua partai pecahan Golkar, yakni Gerindra dan Nasdem, misalnya, malah berada
dalam posisi tiga besar bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
dalam total peroleh suara tersebut.
Kekalahan telak itu
bisa diduga akibat perpecahan internal Golkar yang berkepanjangan, yang
berpengaruh terhadap pemilih tak mencoblos lagi Partai Beringin. Apalagi
perpecahan tersebut terkesan frontal, pelik, dan terkadang melibatkan pula
kekuatan fisik seperti perebutan penguasaan kantor mereka.
Sempat muncul
spekulasi Setya Novanto merupakan calon pilihan Presiden Joko Widodo,
menimbulkan spekulasi pemerintah ikut campur dalam Munaslub Bali. Namun,
Presiden Joko Widodo membantah keras spekulasi tersebut.
Suka atau tidak,
tiba-tiba Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto menyatakan mendukung Joko
Widodo sebagai presiden pada Pilpres 2019. Berakhir sudah tradisi Golkar
mencalonkan ketua umum sendiri sebagai presiden, yang dirintis Jusuf Kalla
dan dilanjutkan Aburizal Bakrie.
Masih belum cukup,
Setya Novanto menyatakan pula Golkar hengkang dari Koalisi Merah Putih (KMP).
Makin terbukti anggapan bahwa Golkar, yang berperanan menjalin hubungan erat
dan mesra antara partai-partai di KMP sejak masa Pileg dan Pilpres 2014,
kurang mampu menjalankan peranan sebagai partai oposisi.
Buat sebagian
kalangan, sikap Golkar mengedepankan ”pragmatisme politik”, filosofi yang
mengatakan yang terpenting kebijakan apa pun harus berjalan tanpa perlu
dipertanyakan caranya. Dengan kata lain, pertimbangan teoretis dan ideologis
menjadi soal nomor dua.
Buat kalangan lainnya,
sikap Golkar sudah mengarah pada ”oportunisme politik” yang lebih absurd. Di
sini berlaku filosofi ”yang penting mengambil kesempatan untuk mencapai
tujuan, tanpa mempertimbangkan sebab-sebab atau akibat-akibatnya”.
Suka atau tidak,
pragmatisme dan oportunisme makin hari makin tampak dalam praktik politik
kepartaian kita. Politik kita, seperti kata Harold Lasswell, semata-mata
hanya soal ”siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana”.
Mungkin PDI-P dan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang antara lain dapat dikategorikan sebagai
partai yang agak memperhitungkan prinsip-prinsip ideologis (masing-masing
sukarnoisme dan Islam) dewasa ini. Namun, kalau soal masuk kabinet untuk
mendapat jatah menteri, semua partai berebut atas nama pragmatisme dan
oportunisme.
Seorang tokoh Golkar,
Rully Chairul Azwar, dalam buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era,
dari Partai Hegemonik ke Partai Berorientasi Pasar (2009) menempatkan
partainya sebagai kekuatan politik yang pandai berselancar mengarungi ombak
politik. Golkar berhasil merebut suara terbanyak pada pemilu-pemilu ”abu-abu”
ala Orde Baru, bahkan sempat menjadi juara pada Pilpres 2004.
Hegemoni itu tak hanya
dominan pada masa Orde Baru, sampai kini pengaruh politik Golkar terasa
kental di berbagai bidang kehidupan negara/masyarakat. Contohnya ikonisasi
Presiden Soeharto yang oleh Golkar akan dicalonkan kembali menjadi Pahlawan
Nasional, manuver yang dianggap brilian oleh sisa-sisa Orde Baru.
Golkar satu-satunya
partai yang mampu bertahan dalam waktu paling lama dalam sejarah kepartaian
karena tiga faktor. Faktor pertama adalah kepemimpinan yang relatif stabil
dan berkesinambungan dalam menjaga kelangsungan status quo menghadapi
berbagai tantangan dan perubahan yang menghadang.
Kepemimpinan Suprapto
Sukowati, Amir Murtono, Sudharmono, Wahono, dan Harmoko dalam periode
1969-1998 berkarakteristik hegemonik berkat dukungan rezim BA (bureaucratic authoritarian) Orde Baru.
Stabilitas dan kesinambungan tetap terjaga pula pada masa kepemimpinan Akbar
Tandjung (1998-2004) sebagai solidarity
maker yang dibuktikan lewat sukses memenangi Pemilu 1999 dan 2004.
Dan, kepemimpinan
Jusuf Kalla sejak Rapimnas Bali 2004 sampai kini memperlihatkan kembali
kelenturan Golkar. Suka atau tidak, Aburizal Bakrie berhasil mengantar Golkar
menjadi pemenang kedua Pileg 2014.
Faktor kedua, konflik
dan konsensus internal terkelola relatif mulus. Jangan lupa, perpecahan
internal yang berujung pada Munaslub Bali 2016 terjadi juga karena ikut
campur invisible hands dari kalangan pemerintah. Faktor ketiga, Golkar
memiliki massa loyal yang berciri modern alias nontradisional.
Sekali lagi, selamat
untuk Setya Novanto. Semoga seluruh jajaran Golkar, termasuk mereka yang
pulang dengan tangan hampa dari Munaslub Bali 2016, tetap ”setya” kepada
Ketua Umum Golkar yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar