Senin, 31 Maret 2014

Kebangkitan Industri Nasional

Kebangkitan Industri Nasional

Firmanzah  ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Ekonomi dunia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami perlambatan dan dirasakan banyak negara. Dampak dari krisis utang Eropa dan pengurangan stimulus moneter di Amerika Serikat (AS) berpengaruh cukup luas terhadap kinerja ekonomi di banyak negara, tidak hanya negara maju tetapi juga emerging-economies.

Dampak yang cukup terasa adalah penurunan pasar ekspor global dan berdampak pada penurunan kinerja manufaktur di banyak negara. Termasuk di banyak negara Eropa, China, Jepang, dan India. Rilis data manufaktur negara China, Jerman, AS, dan Uni Eropa menunjukkan tren memburuk. Data purchasing managers index (PMI) China yang dikeluarkan HSBC Holdings Plc dan Markit Economics turun ke 48,1 di bulan Maret atau turun dari 48,5 di bulan Februari. Begitu pula dengan indeks manufaktur Jerman bergerak turun ke 53,8 di bulan Maret atau turun dari 54,8 pada bulan Februari.

Sementara hal yang sama terjadi dengan aktivitas manufaktur AS yang juga turun menjadi 55,5 pada bulan Maret dari 57,1 pada bulan sebelumnya. Hal berbeda ditunjukkan ekonomi Indonesia selama tiga tahun terakhir dari 2011, 2012, dan 2013. Sektor industri nonmigas nasional semakin menegaskan arti strategis bagi perekonomian nasional. Hal ini tecermin dari sejumlah indikator: pertama, dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan industri nonmigas lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nasional. Pada tahun 2011, industri nonmigas tumbuh 6,74% lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 6,49%.

Pada 2012, industri nonmigas tumbuh 6,42%, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional sebesar 6,26% dan pada 2013, pertumbuhan ekonomi nonmigas tumbuh sebesar 6,1%, sementara PDB tumbuh 5,78%. Kedua, penyerapan tenaga kerja di sektor industri nonmigas juga terus meningkat, yaitu pada 2005 sebesar 11,84 juta tenaga kerja sampai akhir 2013 meningkat 20% dan menjadi lebih dari 14,81 juta tenaga kerja. Ketiga, dari sisi nilai ekspor sektor industri nonmigas juga mengalami peningkatan tajam lebih dari 50% dari tahun 2005 yang senilai USD55,57 miliar menjadi lebih dari USD113 miliar.

Keempat, dari sisi investasi, terjadi peningkatan tajam investasi di sektor industri nonmigas baik PMDN maupun PMA dari tahun 2005 hingga 2013. Pada 2005, nilai investasi PMDN sebesar Rp20,99triliunmeningkatmenjadi lebih dari Rp 51 triliun pada 2013. Sementara nilai investasi PMA pada 2005 hanya berkisar USD3,5 miliar, meningkat tajam sebesar USD15,86 miliar. Kelima, tidak hanya di sektor industri besar, untukindustrikecildan menengah (IKM) juga menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Pada 2010, terdapat 2,75 unit usaha IKM dan pada 2013 diperkirakan unit usaha IKM meningkat mencapai lebih dari 3,49 juta.

Tren peningkatan pertumbuhan industri nonmigas terjadi pada periode 2009–2011. Pada 2009, pertumbuhan industri nonmigas hanya sebesar 2,56% meningkat tajam menjadi 6,74% pada 2011. Bahkan untuk sektor industri automotif, Indonesia dianggap sebagai negara yang akan menjadi basis produksi industri automotif kawasan Asia-Pasifik. Beberapa faktor menjelaskan mengapa sektor industri nonmigas nasional menunjukkan kebangkitan akhir-akhir ini: pertama, stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban nasional yang semakin kondusif pasca-Pemilu 2009.

Indonesia mampu mengawal transisi demokrasi pascareformasi secara aman, damai dengan stabil. Kedua, fundamental ekonomi yang semakin baik dan masuknya Indonesia dalam investment-grade turut mendorong semakin besarnya minat berinvestasi di Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Ketiga, daya beli masyarakat yang terjaga serta kemampuan Indonesia dalam mengelola inflasi semakin baik. Besarnya ekonomi domestik menjadi faktor penarik bagi kebangkitan industri manufaktur nasional. Keempat, hadirnya MP3EI turut memberikan andil signifikan bagi investor baik dalam negeri (BUMN dan swasta) maupun asing untuk ikut membangun infrastruktur dan sektor riil di tanah air.

Kelima, komitmennasional dalam hal industrialisasi dan hilirisasi juga membuat semakin derasnya investasi di sektor nonmigas. Keenam, semakin membesarnya ruang fiskal yang tecermin pada peningkatan anggaran belanja negara dalam APBN turut memberikan andil bagi berkembangnya sejumlah industri strategis nasional seperti PT Pindad, PTPAL, PT Dirgantara Indonesia. Semakin berkembangnya industri-industri strategis nasional akan menarik industri terkait dalam mata rantai produksi.

Komitmen pembangunan industrialisasi yang tertuang dalam tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN) tentunya merupakan basis pembangunan industri nasional. Untuk mengejawantahkan kebijakan industri nasional tersebut, Kementerian Perindustrian telah menetapkan dua pendekatan pembangunan industri. Pertama, melalui pendekatan top-down dengan pengembangan 35 kluster industri prioritas yang direncanakan dari pusat (by design). Kedua, melalui pendekatan bottom-up dengan penetapan kompetensi inti industri daerah yang merupakan keunggulan daerah masing-masing.

Melalui kebijakan industrialisasi dan hilirisasi, industri nasional akan terus meningkat dan menjadi salah satu lokomotif perekonomian nasional melalui meningkatnya nilai tambah industri, meningkatnya penguasaan pasar dalam dan luar negeri, meningkatnya kemampuan inovasi dan penguasaan teknologi industri yang hemat energi dan ramah lingkungan, menguatnya struktur industri, peningkatan persebaran pembangunan industri, dan meningkatnya peran industri kecil dan menengah terhadap PDB.

Tren positif dengan outlook stabil serta menjanjikan mendorong sektor industri nonmigas (manufaktur) nasional untuk terus menguat seiring sejumlah reformasi struktural yang sedang berlangsung. Dengan mempertahankan tren positif seperti ini, saya percaya tidak dalam waktu yang lama, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi berbasis industri yang terkemuka di kawasan Asia-Pasifik.

Dari BUMN Sosialis ke World-Class

Dari BUMN Sosialis ke World-Class

Augustinus Simanjuntak  ;   Dosen Hukum dan Etika Bisnis
Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KINERJA badan usaha milik negara (BUMN) akhir-akhir ini memang cukup membanggakan. Meskipun masih cukup banyak kendala, akumulasi laba BUMN kita pada 2013 masih bisa melebihi target, yakni Rp 150,7 triliun. Tahun itu juga PT Pertamina berhasil menempati urutan ke-122 di antara 500 perusahaan terbesar dalam Fortune Global 500 dengan laba USD 2,8 miliar (2012).

Masih tahun 2013, enam BUMN juga berhasil menorehkan prestasi gemilang di kancah dunia sebagai perusahaan terbesar versi Forbes Global 2000. Enam BUMN tersebut ialah Bank Mandiri (peringkat ke-446), BRI (ke-461), PT Telkom (ke-685), BNI (ke-922), Perusahaan Gas Negara (ke-1.188), dan Semen Gresik (ke-1.425). Artinya, Pertamina dan enam BUMN itu telah mengambil peran yang paling strategis dalam upaya mewujudkan pasal 33 UUD 1945, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Prestasi BUMN pada 2013 kian lengkap setelah beroperasinya jembatan tol terpanjang di Indonesia yang menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa. Tujuh BUMN berhasil menyukseskan pembangunan tol itu, yaitu PT Jasa Marga, PT Pelindo III, PT Angkasa Pura I, PT Pengembangan Pariwisata Bali, PT Wijaya Karya, PT Adhi Karya, dan PT Hutama Karya. Prestasi itu menunjukkan peran BUMN yang terus meningkat, terutama dalam membangun infrastruktur ekonomi dan menyediakan barang/jasa bermutu tinggi bagi masyarakat.

Mirip BUMN Tiongkok

Gerak dan peran BUMN kita sebenarnya mirip dengan dinamika BUMN Tiongkok. Yakni, sama-sama berevolusi dari budaya korporasi yang penuh regulasi dan intervensi kekuasaan (ala sosialis) menuju budaya korporasi modern serta profesional. Reformasi BUMN di Indonesia mulai terjadi seiring dengan berakhirnya rezim orde baru pada 1998 walaupun masih terus mengalami kendala gara-gara dominasi kepentingan politik yang terus menggerogoti BUMN. Sedangkan reformasi BUMN di Tiongkok dimulai kala runtuhnya komunisme dan terus menguat sejak Tiongkok menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada 2001.

Sebelum reformasi, pemerintah Tiongkok menerapkan sistem ekonomi tertutup. BUMN-nya beroperasi dengan prosedur serta aturan (birokrasi) yang sangat ketat. Bahkan, BUMN merasa tidak perlu melihat faktor eksternalnya karena berfokus pada stabilitas ekonomi dan tuntutan produksi semata, bukan pada produktivitas atau daya saing ke luar.

Sejak 1993, institusi pemerintah dan BUMN di Tiongkok dipisah. Manajemen BUMN mulai didorong untuk menguasai pola manajemen modern lewat studi banding ke ragam perusahaan yang sudah sukses di Barat dalam rangka membangun korporasi yang mampu bersaing di pasar global. Budaya internal perusahaan yang merupakan warisan masa lalu (sosialis) mau tidak mau harus diubah. Pemerintah Tiongkok semakin menyadari pentingnya kemandirian BUMN dalam kegiatan operasionalnya.

Pascareformasi ekonomi, sistem reward dan kontrak kerja pun diterapkan pemerintah Tiongkok untuk meningkatkan kinerja pekerja plus efisiensi. Pekerja yang masih berbudaya pegawai negeri di masa lalu dinilai sudah tidak cocok untuk BUMN.

Hasilnya, suasana kerja di internal BUMN tidak lagi kaku, melainkan semakin dinamis dan mampu melihat peluang bisnis. BUMN Tiongkok juga semakin menyadari tantangan eksternalnya, terutama korporasi asing, setelah masuk keanggotaan WTO. Hukum perusahaan di Tiongkok juga diubah supaya BUMN bisa memakai profit sebagai ukuran efisiensi, menekankan disiplin anggaran, dan menghukum BUMN yang gagal.

Reformasi budaya BUMN itulah yang ikut berperan besar dalam membuat ekonomi Tiongkok tumbuh pesat. Lewat BUMN, sektor-sektor terpenting seperti energi, transportasi, dan farmasi dijadikan sebagai kunci ambisi Tiongkok untuk menggerakkan roda ekonomi.

Bagaimana Budaya BUMN Kita?

Saat ini BUMN kita sudah mulai nyata terbebas dari dominasi kekuasaan. BUMN tidak lagi sekadar ayam petelur yang telurnya (pendapatan) tidak pernah dieramkan untuk melahirkan ayam-ayam petelur baru (bisnis baru). Birokrasi, yang dulu sering mengabaikan profesionalitas BUMN, kini sudah banyak berubah dan tidak lagi menjadi penghambat bagi aksi-aksi bisnis BUMN. Sama dengan di Tiongkok, dominasi kekuasaan terhadap BUMN kita harus direduksi. Dengan begitu, BUMN lebih leluasa dalam membuat keputusan strategis yang terkait dengan kegiatan bisnisnya.

Karena itu, terobosan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mendelegasikan puluhan wewenang kementerian kepada dewan direksi dan komisaris BUMN merupakan pemandirian sekaligus pemurnian BUMN dari intervensi politik. Aksi-aksi korporasi demi kemajuan BUMN tidak perlu lagi harus menunggu persetujuan menteri atau pemerintah. Juga, 12 larangan (kode etik) bagi seluruh jajaran BUMN yang pernah dirilis Dahlan Iskan merupakan semangat baru untuk membuat BUMN semakin profesional.

Misalnya larangan menjadi pengurus/anggota partai politik, ikut atau diikutkan sebagai pelaksana kampanye pemilihan pejabat, menyalahgunakan jabatan, dan menggunakan fasilitas perusahaan untuk yang bukan kepentingan perusahaan, dan seterusnya.

Kuatnya intervensi politik terhadap BUMN bisa berujung pada politik dagang sapi dalam pemilihan direksi maupun komisaris BUMN. Atau, BUMN bisa menjadi sapi perah di saat menjelang pemilu. Akibatnya, tata kelola BUMN menjadi asal-asalan hingga keadaan BUMN menjadi tidak sehat.

Seperti peran dan pengembangan BUMN di Tiongkok, kemandirian dan budaya korporasi yang profesional merupakan conditio sine qua non bagi BUMN kita demi optimalisasi prestasi dan perannya di masyarakat.

Seputar Polemik Film Noah

Seputar Polemik Film Noah

Sumiati Anastasia  ;   Kolumnis dan Muslimah, Tinggal di Balikpapan
JAWA POS, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Film yang diangkat dari kisah Nabi Nuh dalam Alquran dan Alkitab yang berjudul Noah dilarang beredar di Indonesia. Film epik religius yang disutradarai Darren Aronofsky serta dibintangi Russell Crowe itu rencananya ditayangkan secara serempak di seluruh dunia pada 28 Maret 2014.

"Sesuai dengan undang-undang, kita tidak ingin ada film yang menimbulkan reaksi dan kontroversi di masyarakat," ujar salah seorang anggota Lembaga Sensor Film Zainut Tauhid Sa'adi dalam rilis kepada wartawan (24/3).

Sejumlah negara Islam di Jazirah Arab seperti Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab juga melarang. Alasannya, Islam memang melarang visualisasi Tuhan atau pemimpin agama yang suci seperti nabi.

Fatwa yang mendasari pelarangan peredaran film Noah itu dikeluarkan institusi Al Azhar di Kairo, Mesir. "Al Azhar menyatakan keberatan terhadap setiap tindakan yang menggambarkan utusan dan nabi-nabi Allah dan para sahabat Nabi SAW," tulis Daily Mail (9/3).

Terkait kisah Nabi Nuh AS, kita mungkin masih ingat dialog antara Nabi Nuh dan anaknya dalam Alquran: "Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat jauh terpencil: 'Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir'. Anaknya menjawab: 'Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!' Nuh berkata, 'Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang'. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan." (QS Huud: 42-43).

Anehnya, beberapa aliran Nasrani juga menolak film Noah. Perwakilan Gereja Pantekosta Australia mengatakan terkejut dengan penggambaran Nabi Nuh dalam film itu. Jerry A. Johnson, presiden National Religious Broadcasters (NRB), memastikan semua orang yang melihat film tersebut tahu bahwa itu adalah interpretasi imajinatif dari Kitab Suci dan tidak literal (Dailymail, 12/3).

Pro-kontra atas penolakan film Noah boleh jadi mengingatkan publik dunia pada Innocence of Muslims beberapa waktu lalu yang merendahkan Nabi Muhammad. Yang merasa tersinggung dengan film itu bukan hanya umat Islam. Vatikan juga tersinggung. Vatikan mengutuk tindakan keji yang dibuat orang yang bertujuan untuk menghina hal-hal yang dianggap suci oleh umat Islam di seluruh dunia.

Memang jika kembali ke akidah asli agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, mereka memang tegas menolak visualisasi Tuhan dan para nabi-Nya.

Kembali ke film Noah, terlepas dari keberatan sesuai akidah agama seperti disebutkan di atas, di dunia ini sebenarnya beredar beberapa kisah yang mirip dengan kisah Nabi Nuh.

Jauh sebelum kisah Nabi Nuh beredar, orang Yunani juga punya mitologi bahwa Dewa Zeus memutuskan untuk memusnahkan manusia yang semakin sesat dengan sebuah banjir besar. Hanya Deucalion dan istrinya, Pyrrha, yang selamat dari banjir karena ayah Deucalion sebelumnya menyarankan anaknya untuk membuat sebuah kapal. Pasangan itu mendarat di Gunung Parnassis sembilan hari setelah menaiki kapal. Dalam sejarah Tiongkok kuno, juga dikisahkan seseorang yang bernama Yao bersama tujuh orang lain atau Fa Li bersama istri dan anak-anaknya yang selamat dari bencana banjir dan gempa bumi dalam sebuah perahu layar.

Sebelum datangnya agama-agama samawi, orang Sumeria atau Babilonia (Iraq kuno) juga punya kisah senada dengan kisah Nabi Nuh yang disebut epik atau kisah Gilgamesh. Nabi Nuh dalam versi mereka bernama Utnaphishtim yang juga mendapat perintah secara supernatural untuk membangun bahtera agar dapat menyelamatkan diri dari banjir raksasa.

Dalam cerita versi Sumeria itu, juga terdapat hal yang sama dengan Nuh, yakni Utnaphishtim melepas burung untuk mengetahui apakah banjir telah surut atau belum, persis yang dilakukan Nabi Nuh. Hebatnya, kisah Gilgamesh dan Nabi Nuh disatukan dalam benang merah bahwa di Kota Ur-Erech di Sumeria yang saat ini dikenal sebagai Tall Al Uhaimer atau Kota Shuruppak di selatan Mesopotamia yang saat ini bernama Tall Far'ah menyimpan jejak-jejak nyata bahwa dulu pernah terjadi banjir di kawasan tersebut, seperti disimpulkan arkeolog Erich Schmidt dari Universitas Pennsylvania antara 1922-1930.

Jadi, kota-kota di Iraq kuno yang dicatat sejarah sebagai kawasan berperadaban tinggi pertama di dunia karena di sana dimulai keberadaan tulis-menulis dan agama pertama, dalam satu kurun waktu tertentu, ternyata pernah disapu banjir besar seperti tampak dari struktur tanah dan temuan hewan-hewan laut. Alquran atau Alkitab memang menyebutkan, gara-gara manusia mulai menyimpang jauh dari Sang Pencipta, banjir besar didatangkan sebagai hukuman atas kota-kota besar di Iraq kuno tersebut.

Sayang Ibu demi Gerakan Satu Juta Sambungan

Sayang Ibu demi Gerakan Satu Juta Sambungan

Dahlan Iskan  ;   Menteri BUMN
JAWA POS, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Inilah kampanye yang bukan untuk pemilu. Inilah kampanye untuk menyiapkan Indonesia masa depan: gerakan sayang ibu. Targetnya memenangkan hati ibu-ibu untuk mau menerima aliran gas alam ke dapur-dapur di rumah mereka. Melalui pipa. Bukan melalui tabung.

Juru kampanye yang satu ini bukan tokoh-tokoh nasional, melainkan ibu-ibu dari sebuah RT di Jakarta Timur. Yakni RT 09 RW 12 Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan Duren Sawit.

Hari itu, Rabu lalu, di RT tersebut dideklarasikan dua gerakan. Yang pertama "gerakan sayang ibu" tadi. Yang kedua "gerakan satu juta sambungan". Yang mendeklarasikan adalah Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk Hendi Prio Santoso.

Dalam waktu dua tahun ini, kata Hendi, PGN akan menyambungkan satu juta sambungan baru langsung ke dapur-dapur rumah penduduk. Ini tentu sebuah ambisi yang besar dari PGN. Tapi bukan tidak realistis. Apalagi, program ini memang sangat strategis. Yang terabaikan oleh PGN sepanjang sejarah hidupnya sejak zaman Belanda.

Selama ini PGN memang menjadi perusahaan besar dengan laba yang besar, namun perannya di masyarakat belum dirasakan langsung secara luas. PGN masih dikenal sebagai BUMN yang terlalu asyik sebagai pedagang gas. Belum sebagai pelayan masyarakat secara masif. Bayangkan, dalam umurnya yang sudah begitu tua, PGN baru memiliki sekitar 100.000 sambungan. Bandingkan dengan PLN yang sudah memiliki lebih dari 50 juta sambungan.

Kini PGN punya tekad yang bukan main-main. Tekad pengabdian yang sangat besar. Tiba-tiba dalam dua tahun ke depan PGN akan langsung melakukan satu juta sambungan. Saya yakin Hendi mampu mewujudkannya.

Saya memang memiliki permintaan khusus kepada direksi PGN. Yakni agar pemakaian gas alam produksi Indonesia bisa dialirkan ke sebanyak mungkin masyarakat. Seperti di banyak negara maju. Sebenarnya memang agak aneh kalau rumah-rumah mewah pun masih menggunakan gas elpiji. Dengan segala keruwetan distribusinya.

Program memasyarakatkan elpiji sendiri saya akui sangat sukses. Berhasil membuat penduduk yang dulunya menggunakan minyak tanah, yang sangat mahal itu, beralih ke elpiji. Masyarakat bisa berhemat, negara juga diuntungkan. Subsidi minyak tanah berkurang. Tapi, keberhasilan program elpiji itu tidak boleh meninabobokan kita. Harus ada gerakan berikutnya: beralih ke gas alam.

Gas alam adalah produk dalam negeri. Seharusnya lebih banyak digunakan untuk bangsa sendiri. Aneh kalau kita ekspor gas alam, tapi impor elpiji dan BBM. Ke depan gas alam haruslah sebanyak mungkin diprogramkan untuk menggantikan BBM dan elpiji.

Kita mestinya menangis meraung-raung memikirkan besarnya impor BBM. Kini dan lebih-lebih masa depan. Produksi minyak mentah kita turun terus. Cadangan minyak mentah kita memang tidak besar lagi. Berarti impor BBM kita akan terus membengkak.

Sementara itu, produksi gas kita terus meningkat. Cadangan gas kita juga masih besar. Jelaslah akal sehat harus mengatakan: mari kita beralih ke bahan bakar yang berbasis gas alam. Ibu-ibu Duren Sawit sudah merasakan sendiri "alangkah serbalebihnya" gas alam dibanding elpiji.

"Harganya lebih murah. Kami bisa lebih hemat 30 persen," ujar Bu Santina, bu RT di Malaka Jaya, hari itu. "Kami juga tidak pernah khawatir kehabisan gas," tambahnya.

Berdasar pengalaman itulah, PGN akan melancarkan kampanye khusus. Temanya pun akan lebih fokus ke ibu-ibu. PGN sudah menemukan kata kuncinya: "kampanye sayang ibu". Dengan tema itu, ibu-ibu akan bergegas merayu suami mereka untuk minta beralih ke gas alam. Rasanya, dengan rayuan ibu-ibu itu, kalau suami mereka benar-benar menyayangi sang istri, peralihan tersebut akan lancar.

Memang tidak mudah menyukseskan gerakan satu juta sambungan ini. Membangun jaringan gas alam lebih sulit daripada membangun jaringan listrik. Pipa gas itu harus ditanam di dalam tanah. Izin menanam pipa gas tidak sederhana. Tapi, sekali infrastruktur gas alam ini terbangun, banyaklah masalah yang bisa diatasi. Termasuk masalah padatnya lalu lintas distribusi gas elpiji.

Gema kampanye ini segera meluas. Ibu-ibu wilayah Halim sudah menghendaki penyambungan gas alam. Ada 6.000 rumah yang merasa siap disambungkan. Silakan PGN melayani mereka. Kalau perlu mencarikan pinjaman bank untuk biaya penyambungan pertama.

Setiap rumah memang perlu mengeluarkan uang untuk membangun pipa sekitar Rp 5 juta. Tapi, nilai itu akan lunas dalam tiga tahun dari selisih harga elpiji dan biaya langganan bulanan gas alam. Pasti banyak bank yang mau menyalurkan dananya ke sektor ini.

Saya akan memberikan dukungan maksimal kepada program strategis PGN ini. Termasuk menerobos berbagai hambatannya. Misalnya di Semarang dan beberapa kota sekitarnya. PGN akan membangun jaringan pipa distribusi gas alam ke rumah-rumah penduduk. Tapi, izinnya ada di tangan PT Rekayasa Industri (Rekind). Waktu tender dulu PGN kalah. Rekind nomor 1, PGN nomor 2.

Tapi, Rekind tidak kunjung membangun jaringan itu. Padahal, sudah lima tahun izin ada di kantongnya. Maka, Rekind akan saya minta mundur. Kebetulan perusahaan itu adalah anak perusahaan BUMN. Saya sudah hubungi direksi holding-nya. Sudah disanggupi. Rekind saya minta fokus pada bisnis utamanya: engineering.

Rekind harus menjadi perusahaan engineering kebanggaan bangsa. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, tinggal Rekind-lah perusahaan engineering kelas dunia yang masih dimiliki bangsa ini. Dua perusahaan lainnya sudah jatuh ke tangan asing. Untuk tender-tender internasional EPC dan engineering, praktis Indonesia hanya diwakili Rekind. Karena itu tidak boleh lengah. Proyek-proyeknya harus selesai tepat waktu.

BUMN sendiri sering melakukan tender internasional. Seperti Pertamina untuk proyek-proyek besarnya. Juga PLN, Pelindo, Angkasa Pura, dan yang lainnya. Kalau reputasi Rekind di kelas internasional merosot, proyek-proyek itu akan jatuh ke perusahaan luar negeri.

Maka, saya minta Rekind mundur dari bisnis distribusi gas alam. Dengan demikian, jaringan distribusi gas alam di Semarang itu otomatis akan digantikan PGN, yang sudah lebih siap membangunnya. Rekind kalau perlu mengakuisisi perusahaan sejenis di Eropa. Sebagai "kuda sembrani" untuk memenangi tender-tender internasional di Indonesia.

Gas alam adalah masa depan energi kendaraan dan rumah tangga kita. Langkah mewujudkannya memerlukan kerja cepat. Das des... Set set wuet!

Berjuang untuk Kemanusiaan

Berjuang untuk Kemanusiaan

M Joko Lelono  ;   Mahasiswa pascasarjana Fakultas Teologi
Universitas Sanata Dharma
KORAN JAKARTA, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dua pekan terakhir, perhatian dunia tertuju terpusatkan pada upacara mencari pesawat Malaysia Ailines (MAS) yang hilang bersama  239 penumpang dan kru pada 8 Maret 2014. Fenomena  proses pencarian pesawat ini menarik dicermati. Atas nama kemanusiaan, begitu  banyak negara terlibat mencari   pesawat.

Tidak kurang  dari 26 negara bahu-membahu. Ini sangat  mengagumkan karena  mereka berjuang demi satu tujuan,  menyelamatkan para penumpang dan awak. Atau paling tidak mereka bisa memberi kepastian bagi hati sekian banyak anggota keluarga dan kerabat  para penumpang dan awak.

Banyak juga dari kalangan  awam  ikut terlibat. Salah satu media  mencatat, jumlah pencari melalui platform Crowdsourcing milik DigitalGlobe bernama Tomnod  mencapai  tiga  juta orang.  Meski petunjuk  sangat minim, mereka terus berjuang sekuat tenaga.

Keraiban MAS telah mempersatukan dunia  dengan  misi  kemanusiaan. Internasional menegasikan segala persaingan  ekonomi, militer, politik dan berbagai segi kehidupan lainnya. Semua tunduk di hadapan kemanusiaan. Indonesia yang beberapa tahun terakhir tidak terlalu harmonis dengan Malaysia pun terlibat dalam pencarian.

Tentu naif untuk mengatakan bahwa Indonesia terlibat hanya untuk menyelamatkan warganya. Demikian juga  negara lain yang terlibat. Rasanya persatuan itu ada dalam satu nama bernama kemanusiaan. Memang hingga kini belum ada titik terang. 

Bahkan pernyataan Perdana Menteri Malaysia pada Senin (24/3) pun belum memastikan  pesawat hancur dan hilang karena tidak cukup bukti.

Namun, usaha itu sendiri adalah sebuah hasil.Mereka membangun harapan bagi sekian banyak kerabat dan keluarga korban. Dunia  memberi harapan kepada semua umat manusia yang sekarang, melalui  media,  menjadi bagian  musibah MAS. Yakinlah bahwa persatuan ini  sebuah hasil.

Semua  dalam satu bahasa yang sama, kemanusiaan. Kalau akhirnya pun nanti  usaha internasional tersebut  gagal, jerih payah  mereka bukan tanpa makna. Para pencari sudah bekerja maksimal. Itulah  jiwa  perjuangan ini.

Coba bandingkan dengan situasi di dalam negeri yang tengah konsentrasi guna menyelenggarakan pemilu.  Ada begitu banyak  orang yang ingin terlibat dalam usaha membangun bangsa ini. Krisis telah  mempurukkan Indonesia karena  tata pendidikan dan kepemimpinan masih kacau. Jumlah orang miskin tetap tinggi dan korupsi merajalela.

Anggota-anggota masyarakat ingin terlibat memperbaiki kondisi demikian. Di antara mereka ada juga  para calon legislatif (DPR) yang mencapai  6.607. Berdasar rekam jejak  muncul kegelisahan warga yang meragukan misi mereka. Selama ini legislator lebih banyak memikirkan diri sendiri, bukan rakyat. Pemilu sebagai jalan  mencapai kebaikan  masyarakat menjadi ambigu.

Filsuf dan matematikawan Prancis  Rene Descartes mengatakan, "Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya." Dengan kata lain, kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah cogito ergo sum - aku berpikir  (ada) maka aku ada.

Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi (Ali Maksum, 2012). Ungkapan Descartes  untuk menjawab keraguan  keberadaan  pribadi. Dalam konteks hidup yang lebih luas – misalnya – para pencari MAS, kalau mereka memikirkannya, maka individu-individu itu  ada.

Demikian juga masyarakat  yang ingin terlibat  membangun Indonesia, hanya  benar-benar eksis bila  memikirkan nasib bangsa.  Sebaliknya, andai caleg hanya konsen pada diri sendiri dan melupakan rakyat, sesungguhnya orang-orang itu tidak eksis.

Ketidakpekaan dan ketidakpedulian pada penderitaan dan ketidakadilan yang dialami wong cilik, nyata-nyata sebuah kondisi ab esse (absen).

Pemerintahan selama ini banyak absen memikirkan nasib rakyat bergizi buruk, perang antarsuku di Papua, pengungsi di Kupang atau juga penyelesaian musibah lumpur Lapindo.

Jiwa Perjuangan

Spirit perjuangan mencari pesawat adalah demi kemanusiaan. Bisa saja "para pejuang" itu gagal menemukan, tetapi langkah tegap membantu sesama dengan mengerahkan sekuat tenaga, dan menyingkirkan  ego, harus diacungi jempol. Spirit  yang sama,  bisa dipikirkan untuk kemajuan Indonesia.

Pemenang pemilu harus bekerja ekstrakeras, sehingga kalau masih juga gagal, akan "diterima" atau di-"maafkan."

Mereka hadir memikirkan nasib rakyat guna memperbaiki kemiskinan. Pemimpin harus menjauhkan diri dari  dorongan  besar  mementingkan  diri sendiri. Permintaan bangsa  tidaklah muluk-muluk, para pemimpin  pertama-tama  harus hadir.

Di tengah arena kehidupan bangsa yang  karut marut ini, bangsa tetap   harus bersyukur karena  masih banyak warga  yang hendak bergabung memperbiki negara di dalam pemerintahan. Semoga gerakan massal  ini mengarah kepada perbaikan  hidup.

Misi kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Keberadaan mereka untuk berpikir demi kemajuan bangsa perlu terus dipupuk.  Kesatuan harus diusahakan. Siapa pun  yang  terpilih  melaksanakan pemerintahan harus berkolaborasi dengan rakyat  mewujudkan perbaikan  seluruh rakyat.

Harapannya, layaknya pihak-pihak yang terlibat dalam usaha pencarian pesawat Malaysian Airlines MH370 yang mengalahkan persaingan demi kemanusiaan, kita pun berjuang untuk mengangkat harkat martabat bangsa.

Seperti halnya mereka mau hadir dan ada bagi para korban maupun keluarganya, demikian hendaknya para caleg, capres dan cawapres yang nantinya terpilih mau hadir bagi bangsa ini.

Kita tidak lagi butuh para pembual janji yang tidak bekerja.Kita perlu pribadi sederhana yang misinya bukan demi diri sendiri tetapi sungguh berpikir untuk kemanusiaan, demi kebaikan bangsa dan negara Indonesia Tercinta.

Pencarian MH370 menjadi cerminan pencarian kita akan kesejahteraan bersama. Semoga ada hasil, kalau pun tidak, kita sudah patut berbangga diri karena sudah mengusahakan yang terbaik yang kita bisa demi kesejahteraan semua.

To start fresh, dump excess baggage this election year

To start fresh, dump excess baggage this election year

Ati Nubaiti  ;   A staff writer at The Jakarta Post
JAKARTA POST, 30 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Remnants of the past will always be a barrier to progress, so it is up to today’s generation and the ability of leaders to listen to them to dump unnecessary baggage and move on.

There are three recent examples of baggage weighing down the nation’s progress.

First, the mindset that it is normal for high officials to receive gifts; second, the notion that everyone misses Soeharto; and third, the idea we all yearn for military figures in leadership positions. Spare us, please.

The first example relates to justices blithely receiving iPods as souvenirs from their colleagues’ parties, then saying to the Corruption Eradication Commission (KPK): “We don’t think this is a gratuity that should be returned.”

These were justices of the Supreme Court, leaving one to wonder whether the court will soon have its few remaining credible members wiped away with poison, judging from the past unexplained deaths of a few good men in the civil and military services.

KPK chief Abraham Samad reminded us that it was the “lavish lifestyle” of high public officials, not the iPods, which could lead to the “seeds of corruption”.

The judges’ reaction and their supporters in the Indonesian Judges Association (Ikahi) showed us that high officials like them do not understand the widespread resentment of habitual corruption and the continuous cheering for the KPK, despite some shortcomings.

The second example of excess baggage was evidenced by Golkar Party chief Aburizal Bakrie. He almost drew pity as Golkar seemed to have nothing better to do than to pitch the view, as he said, that Golkar benefits from the people’s yearning for the good old days of the late president Soeharto.

Was Aburizal drawing on the logic of Thaksin Shinawatra, the former Thai prime minister said to draw the bulk of support from rural areas? Maybe many farmers remember Soeharto’s gentle smile and his meetings with them, and mainly the more intensive training of farmers compared to today.

Yet Aburizal’s statement is in contrast to the work of new and old Golkar members who have apparently been trying to adjust themselves to the aspirations of a more democratic nation, with freedoms that Soeharto never allowed.

Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) chairperson Megawati Soekarnoputri and her underlings are doing much to tone down anyone’s merry feelings surrounding Jakarta Governor Joko “Jokowi” Widodo being nominated presidential candidate of the PDI-P.

While anything Mega says is a mystery until D-Day, when she decides on a clear statement, PDI-P suggestions that a military man might do for vice president just reflect another example of an old mindset detached from today’s developments — though the suggestion might just be one of the PDI-P’s tricks to gain public input.

In the chaotic post-Soeharto years, many among us looked around for a strong, firm figure, and all the political parties, including the PDI-P, approached retired military officers just as they approached celebrities.

Then, retired general Susilo Bambang Yudhoyono became the first twice-directly elected president. He went at lengths to say all the right things for a leader of an emerging democracy and also showed all the signs of a new age, sensitive male with a lot of tears. In the end no one got a “strong and firm” figure from the retired general, and his musical talents became compared to Gen. (ret) Wiranto.

We do need the Indonesian Military (TNI) of course, but for what? The TNI must continue to reform so it becomes professional and more equipped to safeguard the archipelago; to completely drop dwi fungsi (dual role of the armed forces) as it promised, instead of trying to take a slow U-turn right back to the New Order principal of dual function, or having the military active in defense and non-defense matters, meaning all spheres of national life.

Together with civilians, the TNI must end impunity as a central way of achieving professionalism and accountability. Otherwise, we should not be surprised why human rights classes at the police and military academies are taking so long to show evidence of a reformed National Police and TNI.

It is this failure of military reform that has taken a great chunk out of any credibility that the military might still have. The old guard may say the civilians really love the military personnel around them, that is why territorial commands have been increased rather than reduced; or that civilians allowed the country to become so chaotic and even attacked by terrorists and could become even worse if they, the military, do not take charge.

The hundreds of retired officers showing support for presidential candidate Prabowo Subianto on Thursday would do the nation a great service if they understood why we need the military, and why we don’t.

The civilian bureaucracy and politicians have also been hard to reform, but at least they do not shoot their superiors when they are angry, as is the suspected motive of the latest shooting of a police officer by his subordinate.

So let us drop all this excess baggage — the cluelessness of our fight against graft and the yearning for the Soeharto era and a military leader, regardless of the much needed reform of civil-military ties.

It is such notions that have bogged us down all these long years after 1998 and will serve to keep us in the dumps.

Our youth deserves much, much better.