Generasi Milenial dan
Nasionalisme Pembangunan Pertanian
Posman Sibuea ; Guru
Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas SU Medan; Anggota Tim Perumus Pertanyaan
Debat Capres 2014 bidang Pangan,
Energi, dan Lingkungan
|
MEDIA INDONESIA,
20 Mei 2016
SAAT kita memperingati
Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei, ada baiknya direnungkan tentang ucapan
Presiden Soekarno tentang pangan. Ia menggelorakan bahwa pangan ialah soal
mati dan hidupnya bangsa. Pernyataan itu berimplikasi pada pembangunan
pertanian yang harus dikawal secara baik untuk memperkuat nasionalisme
pangan. Sayangnya, pembangunan pertanian di negeri agraris ini dari tahun ke
tahun semakin membuat hati miris. Kehadiran pemuda untuk menjadi petani andal
kian berkurang. Padahal, Presiden Soekarno pernah juga mengatakan secara
tegas, "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."
Kalimat dahsyat Bung Karno itu merupakan gambaran betapa superiornya pemuda
sebagai agen perubahan di segala bidang pembangunan bangsa termasuk di sektor
pertanian. Tentu saja, pemuda yang dimaksud ialah mereka yang berpikiran
positif, berprestasi, dan melek teknologi pertanian.
Tidak berlebihan apa
yang disebutkan Bung Karno tentang pemuda. Dengan energi yang masih membara
dan daya kreativitas tinggi yang dimiliki, pemuda mampu menjadi akselerator
dan katalisator nasionalisme pembangunan pertanian, mengingat saat ini tidak
sedikit pemuda Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa berkat
keahlian mereka.
Pembawa pembaruan
Pemuda zaman sekarang
yang disebut generasi milenial atau Y berbeda dengan generasi sebelumnya,
generasi X yang kerap lambat mengikuti perubahan zaman. Generasi milenial
(kelahiran 1980-1999) memiliki ciri berpikir strategis, inspiratif, inovatif,
energik, antusias, dan fasih mengadopsi teknologi digital (digital natives)
dalam beragam aspek bisnis sehingga diprediksi menjadi pembawa pembaruan
dalam pembangunan pertanian.
Bahkan saat ini
generasi milenial mulai mengubah budaya sejumlah korporasi di Indonesia. Gaya
kepemimpinan yang lebih fleksibel ditularkan mulai urusan perekrutan hingga
memotivasi karyawan. Korporasi pun lebih efisien dan produktif. Sayangnya,
peran generasi milenial yang andal di bidang teknologi digital belum banyak
berkiprah di sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan dan
penguatan kedaulatan pangan. Padahal, kaum muda harus dimaknai sebagai
benteng pembangunan pertanian.
Di tengah tuntutan
masyarakat luas agar pemerintahan Jokowi-JK mampu membawa Indonesia
berswasembada beras, produksi pangan cenderung menurun karena petani
berimigrasi ke kota. Dari laporan Sensus Pertanian (2013), jumlah pemuda yang
bekerja di sektor pertanian semakin menurun sepuluh tahun belakangan. Selama
satu dekade (periode 2003-2013), jumlah keluarga petani--termasuk generasi
milenial di dalamnya menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta.
Secara kasatmata, arus
urbanisasi besar-besaran generasi milenial ke kota semakin lama semakin tidak
terbendung. Kini yang mengawal kedaulatan pangan dan mengurusi pertanian di
desa hanya kaum perempuan dan kaum lanjut usia. Generasi digital natives,
yakni anak-anak muda yang lahir di era komputer yang melek teknologi
internet, aplikasi pada smartphone, dan berbagai produk digital lainnya,
masih belum tertarik tinggal di desa untuk bertani.
Bahkan ironisnya,
hampir tidak ada keluarga petani yang berharap anaknya akan menggeluti bidang
pertanian. Dampaknya, kontribusi sektor pertanian semakin menurun terhadap
PDB. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris harus mengimpor berbagai
produk pangan mulai beras, daging, kedelai, jagung, gula, bawang merah,
hingga garam. Devisa negara banyak terkuras untuk mengimpor beragam bahan
makanan untuk kebutuhan 250 juta penduduk Indoneisa.
Penguatan kedaulatan
pangan di masa datang tampak mengkhawatirkan dengan keran impor daging sapi
dan beras yang selalu terbuka setiap tahun. Target Kementerian Pertanian yang
menetapkan produksi gabah kering giling (GKG) 2016 sebesar 76,23 juta
ton--naik tipis 1,15% bila dibandingkan pencapaian produksi 2015 yang disebut
mencapai 75,36 juta ton semakin diragukan keberhasilannya. Sektor pertanian
yang diharapkan dapat mengulang prestasi besar pada 1984, yaitu swasembada
beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik, diprediksi akan kandas jika
tidak ada upaya serius melibatkan generasi melenial di sektor pertanian.
Menjelang dua tahun
usia pemerintahan Jokowi-JK, kondisi pembangunan pertanian masih belum
menggembirakan. Sebagian besar petani belum menguasai teknologi di bidang
pertanian.
Kedaulatan pangan yang
digadang-gadang di dalam politik Nawacita itu pun terasa bak sebuah mimpi.
Penggunaan teknologi tradisional, selain membuat hasil yang diperoleh tidak
optimal, juga mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke
sektor industri dan jasa di perkotaan. Di mata generasi milenial yang
bermukim di desa, sektor pertanian makin kehilangan daya tarik. Ini membuat
sektor pertanian jauh tertinggal jika dibandingkan dengan di negara tetangga
Malaysia dan Thailand, yang kondisi awalnya tidak berbeda jauh dengan
Indonesia.
Ketertinggalan
Indonesia di bidang 'modernisasi' pertanian tidak lepas dari pro dan kontra
kehadiran alat-alat mesin pertanian (alsintan) di tengah masyarakat petani.
Saat itu diperkenalkan pada 1967, tenaga kerja di sektor pertanian relatif
masih banyak. Jika traktor digunakan, akan terjadi pengangguran sebanyak
selisih waktu masing-masing untuk setiap pengerjaan 1 hektare sawah.
Seiring dengan
perkembangan teknologi yang kian pesat, sektor pertanian dengan teknologi
tradisionalnya tidak lagi memikat hati generasi milenial yang menguasai
teknologi internet dan aplikasi pada smartphone.
Perhatian mereka lebih tertuju pada sektor jasa di perkotaan.
Mengambil peran
Secara jumlah, meski
belum ada angka pasti, populasi penduduk Indonesia yang tergolong generasi
milenial sangat besar, diperkirakan 40% atau mencapai 100 juta orang. Angka
itu setara dengan lima kali penduduk Malaysia. Jika populasi digital natives
yang besar ini bisa mengambil peran secara maksimal di sektor pertanian,
bukan mustahil pembangunan kedaulatan pangan ke depan akan berjalan lebih
baik.
Jika saat ini minat
pemuda kian menurun pada sektor pertanian, itu artinya masih ada yang salah
dalam pembangunan pertanian. Status sosial profesi petani dianggap rendah dan
tidak mempunyai bargaining power di masyarakat. Berbeda dengan beragam
profesi pekerjaan di kota dengan kantor berpenyejuk udara memberi hasil yang
lebih cepat jika dibandingkan dengan sektor pertanian yang harus menunggu
berbulan-bulan.
Pemerintah harus
segera mencari solusinya dengan baik. Strategi utama yang patut dilakukan
ialah dengan menyeimbangkan tenaga kerja di sektor pertanian dengan luas
lahan. Teknologi digital yang dipadukan dengan mekanisasi dalam pengolahan
lahan, penanaman, perawatan, dan pemanenan misalnya merupakan alternatif
terbaik saat ini. Kondisi faktual, sebagian besar petani lokal hanya memiliki
lahan sawah tidak lebih dari 0,5 hektare dan memiliki perbedaan kemiringan
yang cukup mencolok. Mekanisasi pertanian untuk proses pengolahan mulai
persiapan lahan, penanaman, hingga pemanenan menjadi sulit dilakukan.
Oleh karena itu, dalam
rangka penguatan nasionalisme pembangunan pertanian, perlu upaya konsolidasi
lahan untuk penataan hamparan sawah yang luas dan utuh. Salah satu
strateginya ialah pemerintah harus menyiapkan perluasan lahan pertanian
pangan dengan membagikan lahan seluas 9 juta hektare seperti dijanjikan
Jokowi kepada petani dari generasi melenial. Memercayakan pengelolaan lahan
kepada petani dari generasi milenial akan menjamin keberhasilan pembangunan
pertanian di masa datang. Konsolidasi lahan patut direalisasikan di
sentra-sentra pertanian guna mendorong bangkitnya nasionalisme pembangunan
pertanian untuk perwujudan mimpi besar kedaulatan pangan.
Transformasi sektor
pertanian yang terencana dengan baik akan meningkatkan nilai tambah produk
pertanian dan menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan sekaligus menahan
laju urbanisasi. Nasionalisme pembangunan pertanian ialah sebuah keniscayaan
untuk membawa jalan perubahan bagi Indonesia baru yang berdaulat, mandiri,
dan berkepribadian. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar