Senin, 23 Mei 2016

Generasi Milenial dan Nasionalisme Pembangunan Pertanian

Generasi Milenial dan

Nasionalisme Pembangunan Pertanian

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas SU Medan; Anggota Tim Perumus Pertanyaan Debat Capres 2014 bidang Pangan,
Energi, dan Lingkungan
                                               MEDIA INDONESIA, 20 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAAT kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei, ada baiknya direnungkan tentang ucapan Presiden Soekarno tentang pangan. Ia menggelorakan bahwa pangan ialah soal mati dan hidupnya bangsa. Pernyataan itu berimplikasi pada pembangunan pertanian yang harus dikawal secara baik untuk memperkuat nasionalisme pangan. Sayangnya, pembangunan pertanian di negeri agraris ini dari tahun ke tahun semakin membuat hati miris. Kehadiran pemuda untuk menjadi petani andal kian berkurang. Padahal, Presiden Soekarno pernah juga mengatakan secara tegas, "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Kalimat dahsyat Bung Karno itu merupakan gambaran betapa superiornya pemuda sebagai agen perubahan di segala bidang pembangunan bangsa termasuk di sektor pertanian. Tentu saja, pemuda yang dimaksud ialah mereka yang berpikiran positif, berprestasi, dan melek teknologi pertanian.

Tidak berlebihan apa yang disebutkan Bung Karno tentang pemuda. Dengan energi yang masih membara dan daya kreativitas tinggi yang dimiliki, pemuda mampu menjadi akselerator dan katalisator nasionalisme pembangunan pertanian, mengingat saat ini tidak sedikit pemuda Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa berkat keahlian mereka.

Pembawa pembaruan

Pemuda zaman sekarang yang disebut generasi milenial atau Y berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi X yang kerap lambat mengikuti perubahan zaman. Generasi milenial (kelahiran 1980-1999) memiliki ciri berpikir strategis, inspiratif, inovatif, energik, antusias, dan fasih mengadopsi teknologi digital (digital natives) dalam beragam aspek bisnis sehingga diprediksi menjadi pembawa pembaruan dalam pembangunan pertanian.

Bahkan saat ini generasi milenial mulai mengubah budaya sejumlah korporasi di Indonesia. Gaya kepemimpinan yang lebih fleksibel ditularkan mulai urusan perekrutan hingga memotivasi karyawan. Korporasi pun lebih efisien dan produktif. Sayangnya, peran generasi milenial yang andal di bidang teknologi digital belum banyak berkiprah di sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan dan penguatan kedaulatan pangan. Padahal, kaum muda harus dimaknai sebagai benteng pembangunan pertanian.

Di tengah tuntutan masyarakat luas agar pemerintahan Jokowi-JK mampu membawa Indonesia berswasembada beras, produksi pangan cenderung menurun karena petani berimigrasi ke kota. Dari laporan Sensus Pertanian (2013), jumlah pemuda yang bekerja di sektor pertanian semakin menurun sepuluh tahun belakangan. Selama satu dekade (periode 2003-2013), jumlah keluarga petani--termasuk generasi milenial di dalamnya menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta.

Secara kasatmata, arus urbanisasi besar-besaran generasi milenial ke kota semakin lama semakin tidak terbendung. Kini yang mengawal kedaulatan pangan dan mengurusi pertanian di desa hanya kaum perempuan dan kaum lanjut usia. Generasi digital natives, yakni anak-anak muda yang lahir di era komputer yang melek teknologi internet, aplikasi pada smartphone, dan berbagai produk digital lainnya, masih belum tertarik tinggal di desa untuk bertani.

Bahkan ironisnya, hampir tidak ada keluarga petani yang berharap anaknya akan menggeluti bidang pertanian. Dampaknya, kontribusi sektor pertanian semakin menurun terhadap PDB. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris harus mengimpor berbagai produk pangan mulai beras, daging, kedelai, jagung, gula, bawang merah, hingga garam. Devisa negara banyak terkuras untuk mengimpor beragam bahan makanan untuk kebutuhan 250 juta penduduk Indoneisa.

Penguatan kedaulatan pangan di masa datang tampak mengkhawatirkan dengan keran impor daging sapi dan beras yang selalu terbuka setiap tahun. Target Kementerian Pertanian yang menetapkan produksi gabah kering giling (GKG) 2016 sebesar 76,23 juta ton--naik tipis 1,15% bila dibandingkan pencapaian produksi 2015 yang disebut mencapai 75,36 juta ton semakin diragukan keberhasilannya. Sektor pertanian yang diharapkan dapat mengulang prestasi besar pada 1984, yaitu swasembada beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik, diprediksi akan kandas jika tidak ada upaya serius melibatkan generasi melenial di sektor pertanian.

Menjelang dua tahun usia pemerintahan Jokowi-JK, kondisi pembangunan pertanian masih belum menggembirakan. Sebagian besar petani belum menguasai teknologi di bidang pertanian.

Kedaulatan pangan yang digadang-gadang di dalam politik Nawacita itu pun terasa bak sebuah mimpi. Penggunaan teknologi tradisional, selain membuat hasil yang diperoleh tidak optimal, juga mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa di perkotaan. Di mata generasi milenial yang bermukim di desa, sektor pertanian makin kehilangan daya tarik. Ini membuat sektor pertanian jauh tertinggal jika dibandingkan dengan di negara tetangga Malaysia dan Thailand, yang kondisi awalnya tidak berbeda jauh dengan Indonesia.

Ketertinggalan Indonesia di bidang 'modernisasi' pertanian tidak lepas dari pro dan kontra kehadiran alat-alat mesin pertanian (alsintan) di tengah masyarakat petani. Saat itu diperkenalkan pada 1967, tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih banyak. Jika traktor digunakan, akan terjadi pengangguran sebanyak selisih waktu masing-masing untuk setiap pengerjaan 1 hektare sawah.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang kian pesat, sektor pertanian dengan teknologi tradisionalnya tidak lagi memikat hati generasi milenial yang menguasai teknologi internet dan aplikasi pada smartphone. Perhatian mereka lebih tertuju pada sektor jasa di perkotaan.

Mengambil peran

Secara jumlah, meski belum ada angka pasti, populasi penduduk Indonesia yang tergolong generasi milenial sangat besar, diperkirakan 40% atau mencapai 100 juta orang. Angka itu setara dengan lima kali penduduk Malaysia. Jika populasi digital natives yang besar ini bisa mengambil peran secara maksimal di sektor pertanian, bukan mustahil pembangunan kedaulatan pangan ke depan akan berjalan lebih baik.

Jika saat ini minat pemuda kian menurun pada sektor pertanian, itu artinya masih ada yang salah dalam pembangunan pertanian. Status sosial profesi petani dianggap rendah dan tidak mempunyai bargaining power di masyarakat. Berbeda dengan beragam profesi pekerjaan di kota dengan kantor berpenyejuk udara memberi hasil yang lebih cepat jika dibandingkan dengan sektor pertanian yang harus menunggu berbulan-bulan.

Pemerintah harus segera mencari solusinya dengan baik. Strategi utama yang patut dilakukan ialah dengan menyeimbangkan tenaga kerja di sektor pertanian dengan luas lahan. Teknologi digital yang dipadukan dengan mekanisasi dalam pengolahan lahan, penanaman, perawatan, dan pemanenan misalnya merupakan alternatif terbaik saat ini. Kondisi faktual, sebagian besar petani lokal hanya memiliki lahan sawah tidak lebih dari 0,5 hektare dan memiliki perbedaan kemiringan yang cukup mencolok. Mekanisasi pertanian untuk proses pengolahan mulai persiapan lahan, penanaman, hingga pemanenan menjadi sulit dilakukan.

Oleh karena itu, dalam rangka penguatan nasionalisme pembangunan pertanian, perlu upaya konsolidasi lahan untuk penataan hamparan sawah yang luas dan utuh. Salah satu strateginya ialah pemerintah harus menyiapkan perluasan lahan pertanian pangan dengan membagikan lahan seluas 9 juta hektare seperti dijanjikan Jokowi kepada petani dari generasi melenial. Memercayakan pengelolaan lahan kepada petani dari generasi milenial akan menjamin keberhasilan pembangunan pertanian di masa datang. Konsolidasi lahan patut direalisasikan di sentra-sentra pertanian guna mendorong bangkitnya nasionalisme pembangunan pertanian untuk perwujudan mimpi besar kedaulatan pangan.

Transformasi sektor pertanian yang terencana dengan baik akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan sekaligus menahan laju urbanisasi. Nasionalisme pembangunan pertanian ialah sebuah keniscayaan untuk membawa jalan perubahan bagi Indonesia baru yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar